Selasa, 24 Juli 2012

Kesimpulan Diskusi Publik PETISI 50 tentang GOLKAR

CACATAN REDAKSI: Kelompok Kerja Petisi 50 (KKPL) telah memperhatikan perkembangan kehidupan Bangsa dan Negara dewasa ini. Atas perhatian tersebut, Petisi 50 bersama Gema 77/78, Tewas Orba, HMI MPO dll, mengadakan Diskusi Publik dengan Topik: “Bangkitnya Golkar dan Munculnya Partai-Partai Neo-Orde Baru: Suatu Amnesia Sejarah? “ Diskusi Publik telah diselenggarakan pada tanggal 18 Juli 2012, Jam 12.000-17.00 Wib di Jl. Tandean (RM Ayam Goreng Suharti). Diskusi Publik yang dmoderatori oleh IndroTjahjono, menampilkan pembicara masing-masing Dr. Mohchtar Pabotinggi, Dr. Thamrin Tomagola, Arbi Sanit, Martin Aleida, Judilherry Justam dan Kasino. Pengundang Diskusi Publik ini adalah Chris Siner Key Timu dan Judlherry Justam. Berikut ini adalah Kesimpulan yang ditarik oleh Moderator Indro Thajono. KESIMPULAN DISKUSI PUBLIK PETISI 50; ORDE BARU SECARA SISTEMIK MASIH EKSIS SAMPAI SAAT INI Setelah 15 tahun reformasi dilaksanakan, keadaan Indonesia masih belum berubah. Bahkan tingkat destruksi dan disfungsi kelembagaan semakin menjadi-jadi. Kalau pada masa rezim Soeharto Indonesia tidak terindikasi sebagai negara gagal, saat ini pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Indonesia masuk daftar sebagai negara yang cenderung gagal. Negara gagal ditandai dengan tidak adanya jaminan keamanan terhadap aktivitas warga, kebutuhan rakyat tidak terpenuhi, korupsi merajalela, banyak terjadi konflik horizontal, dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah. Semua ini bersumber pada otoritas dan lembaga negara yang sudah tidak efektif lagi. Hal itu ditandai dengan delegitimasi negara, pelayanan publik yang amburadul, pelanggaran HAM dan hak-hak EKOSOB, dilaksanakannya operasi bersifat rahasia, faksionalisasi, dan intervensi terhadap lembaga-lembaga formal. Eksisnya Orde Baru ini bisa dirunut dari keberadaan dan proses pembelahan institusi-institusi politik sebelumnya. GOLKAR sebagai manifestasi center power Orde Baru beserta budaya politiknya tidak pernah dibubarkan dan malah dimanfaatkan oleh elit-elit baru muncul. Bahkan GOLKAR telah mereproduksi keturunannya menjadi partai-partai baru paska reformasi yang mewarisi karakter politik induknya, yakni PKPI, HANURA, Gerindra, dan Nasdem. Selain itu anak-anak Soeharto mendirikan partai-partai politik baru dan diduga menggelontorkan dana kepada setiap partai politik. Ciri-ciri umum Orde Baru yang sebelumnya samar-samar, kini juga semakin kasat mata, yakni pembentukan oligarki politik, penumpukan modal sebagai basis dukungan kekuasaan, menjadikan birokrasi sebagai alat kekuasaan, dan pendekatan militeristik bersamaan dengan operasi intelijen. Kalau pada Orde Baru dibangun kekuasaan politik monolit yang terdiri dari GOLKAR, PDI, dan PPP; maka pada saat ini dibentuk Sekretariat Gabungan (SETGAB) sebagai koalisi partai-partai politik pendukung kekuasaan dominan rezim SBY. Dalam hal ini, birokrasi tidak digunakan sebagai sarana untuk pelayanan publik, tetapi sebagai instrumen politik sekaligus ekonomi untuk kepentingan koalisi. Pendekatan rahasia, konspiratif, dan klik (cliquish) digunakan dalam menjalankan berbagai kegiatan sosial dan politik. Kalau pada masa Soeharto operasi intelijen dilaksanakan melalui lembaga-lembaga resmi, maka pada masa SBY dibentuk kelompok-kelompok dengan sandi-sandi tertentu untuk menjalankan operasi-operasi senyap bagi kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Pendekatan ini telah menyuburkan proses agregasi elit atau terbentuknya elit faksional sebagai pilar-pilar pendukung kekuasaan, serta digrogot dan diselewengkannya tugas dan fungsi lembaga-lembaga publik yang ada. Bagaimanapun tetap tegaknya kekuatan, sistem, dan budaya politik Orde Baru sampai saat ini bersumber dari kesalahan persepsi tentang perubahan dan reformasi. Perubahan sistemik dan fundamental hanya direduksi sebagai upaya untuk menjatuhkan Soeharto, tetapi bukan rezim dan seluruh sistem yang diciptakan. Reformasi dijalankan tanpa peretasan terhadap kekuatan dan pengaruh politik masa lalu karena Komite Kebenaran dan Rekonmsiliasi telah dijegal di tengah jalan. Lebih dari itu reformasi tidak pernah melakukan restrukturisasi dalam penguasaan modal yang menjadi sangat powerful di masa rezim SBY.

Kamis, 12 Juli 2012

TIPOLOGI/MODUS KORUPSI DI DAERAH

FENOMENA korupsi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) dan anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam era reformasi telah menunjukkan intensitas dan kuantitas semakin meningkat, bahkan telah menjadi ”keprihatinan” pejabat negara di Pusat. Fenomena korupsi ini nampaknya terus akan berlangsung seiring format politik nasional dengan kehidupan kepartaian syarat politik kartel. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas (Kompas, 18 April 2012) menyebutkan, korupsi terjadi akibat sistem yang didesain bukan untuk menyejahterakan rakyat. Akibatnya, kasus korupsi yang ditangani KPK paling banyak akibat penyelewengan pada pengadaan barang dan jasa (40,9 %), penyuapan (34,9 %), serta penyalahgunaan anggaran (14,9 %. Sementara itu, berdasarkan sumber Litbang Kompas diolah dari pemberitaan „Kompas“ dan KPK ( Kompas,18 April 2012), modus korupsi di Indonesia dari tahun 2004 hingga 2011, total 96 modus pengadaan barang/jasa, 82 modus penyuapan, 35 modus penyalanggunaan anggaran, 12 modus pungutan dan 10 modus perizinan. Gambaran modus korupsi yang ditangani KPK dimaksud sebagai brikut: Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran tipologi/modus korupsi Kepala Daerah dan anggota legislatif dimaksud. Beragam tipologi/modus atau korupsi pada pemerintahan daerah telah ditemukan oleh berbagai hasil studi. A. TIPOLOGI/MODUS KORUPSI MENURUT BANK DUNIA Salah satu studi dapat ditemukan di dalam Taufik Rinaldi , dkk., Memerangi Korupsi di Indonesia Yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah (Jakarta: Justice for the Poor Project, Bank Dunia, Mei 2007). Hasil studi ini melaporkan bahwa tipologi/modus korupsi di DPRD adalah: 1.Memperbanyak/memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan fasilitas bagi pimpinan dan anggota Dewan. 2.Menyalurkan dana APBD bagi keperluan anggota Dewan melalui Yayasan fiktif. 3.Manipulasi bukti perjalanan dinas. Sementara itu, peluang & tipologi/ modus operandi korupsi eksekutif di daerah yaitu: 1.Penggunaan sisa dana (UUDP) tanpa pertanggungjawaban dan tanpa prosedur. 2.Penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana kas daerah. Manipulasi sisa APBD. 3.Manipulasi dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP). Di lain fihak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengidentifikasi tipologi/modus korupsi di daerah. Menurut KPK, paling tidak ada 14 tipologi/modus, yakni: 1.Pengusaha menggunakan pejabat pusat untuk membujuk Kepala Daerah mengintervensi proses PBJP dalam rangka memenangkan pengusaha tertentu dan meninggikan harga ataupun nilai kontrak. 2.Pengusaha mempengaruhi Kepala Daerah untuk mengintervensi proses PBJP agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan (dimark-up). 3.Panitia PBJP dibentuk Pemda membuat sepesifikasi barang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak. 4.Kepala Daerah ataupun Pejabat Daerah memerintahkan bawahan untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif. 5.Kepala Daerah memerintahkan bawahan menggunakan dana untuk kepentingan peribadi si pejabat bersangkutan atau kelompok tertentu kemudian membuat pertanggungjawaban fiktif. 6.Kepala Daerah menerbitkan Perda (Peraturan Daerah) sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundangan lebih tinggi, namun sudah tidak berlaku lagi. 7.Pengusaha, pejabat eksekutif dan DPRD membuat kesepakatan melakukan ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan menurunkan (mark down) harga aset Pemda, serta meninggikan (mark-up) harga aset milik pengusaha. 8.Kepala Daerah meminta uang jasa dibayar di muka kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek. 9.Kepala Daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan. 10.Kepala Daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan specimen peribadi (bukan Pejabat atau Bendahara Dewan ditunjuk). Maksudnya, untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur. 11.Kepala Daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah ditempatkan di Bank. 12.Kepala Daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan peribadi atau kelompok. 13.Kepala Daerah menerima uang/barang berhubungan dengan proses perijinan dikeluarkannya. 14.Kepala Daerah, keluarga ataupun kelompoknya membeli lebih dulu barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke Pemda dengan harga sudah di-mark up. B. TIPOLOGI/MODUS KORUPSI MENURUT TRANSPARENCY INTERNASIONAL INDONESIA Hasil studi berikutnya dapat ditemukan di dalam Biadib, Fahmia (Penerjemah), Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa ( Jakarta: Transparency International Indonesia, 2006). Hasil studi ini menunjukkan tipologi/modus korupsi pada PBJP di daerah pada tahap: I.Kegiatan penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan. II.Persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender. III.Pemilihan peserta penentuan pemenang tender. IV.Pelaksanaan pekerjaan. V.Pelaporan keuangan & audit. Lebih detailnya hasil studi Transparancy International Indonesia (2006) berdasarkan tahapan kegiatan PBJP di daerah sebagai berikut: I. Tahap Penilaian/Penentuan Kebutuhan Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain: 1.Kekuasaan melakukan investasi dan pembelian. Adanya tawaran dari beberapa perusahaan untuk membuat kesepakatan, walau nilainya kecil atau tidak bermanfaat bagi masyarakat. 2.Menerapkan sistem baru (potensial menawarkan suap) justru lebih rentan terhadap kebocoran dibanding menggunakan sistem pelacakan kebocoran sistematis atau sistem meminimalkan kerugian secara berjenjang (justru meminimalkan korupsi). 3.Adanya investasi secara ekonomis tidak adil dan merusak mekanisme berlaku. 4.Hanya menguntungkan sebagian penyedia barang. Kebutuhan barang dan jasa dinaikkan agar melebihi batas kebutuhan. 5.Suap untuk politisi dan uang „terima kasih“ (kickback) dimasukkan dalam anggaran keuangan (biasanya ada pra-perjanjian tertentu dengan kontraktor). 6.Konflik kepentingan di mana pembuat kebijakan mempengaruhi proses tender dengan cara menekan panitia tender. II. Tahap Persiapan Perancangan & Persiapan Dokumen Tender Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain : 1.Dokumen atau panduan tender dibuat untuk menguntungkan salah satu kontraktor, sehingga bisa dipastikan tidak ada persaingan saat tender berlangsung. 2.Menaikkan atau mengurangi jumlah barang/jasa dibutuhkan untuk menguntungkan beberapa kontraktor. 3.Kompleksitas proyek dalam dokumen dan panduan tender sengaja dihilangkan untuk membingungkan proses pengawasan, bertujuan menyembunyikan rencana korupsi. 4.Konsultan sengaja membuat perencanaan proyek untuk menguntungkan beberapa peserta tender. 5.Menyalahgunakan prinsip penunjukan langsung. III. Tahap Pemilihan Peserta/Penentuan Pemenan Tender Tahap ini memiliki tipologi/kodus korupsi yakni : 1.Pembuat kebijakan bersikap tidak adil (karena disuap, mengharapkan uang terima kasih, kickback, atau konflik kepentingan). Seleksi kriteria sangat subyektif untuk memudahkan pembuat kebijakan mengambil alih peran di dalamnya. 2.Adanya pemberian informasi bersifat rahasia sebelum penawaran dimulai atau pada tahap aanwejzing menguntungkan salah satu atau beberapa peserta tender. Informasi serupa tidak dibagikan kepada seluruh peserta tender. 3.Penyalahgunaan kerahasiaan, bahkan dokumen tersebut justru disebarluaskan sehingga proses pemantauan dan pengawasan sulit dilakukan. 4.Kriteria pemilihan pemenang tender diumumkan kepada publik (transparansi hasil evaluasi penawaran). 5.Pembayaran harga sangat mahal (padahal tidak seharusnya) akibat proses tender tidak benar. IV. Tahap Pelaksanaan Pekerjaan Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni: 1.Sebagai ganti atas suap dan uang tak resmi lainnya, kontraktor akan menggantinya dengan harga barang lebih rendah, kualitas kurang baik atau berbeda dari spesifikasi kontrak telah disetujui. Akibatnya, buruknya hasil pekerjaan menyebabkan adanya perbaikan memerlukan biaya lebih mahal dari semestinya. 2.Re-negoisasi atau penggantian klausal kontrak mendasar dilakukan pengawas lapangan dan pelaksana dengan sejumlah imbalan. 3.Harga meningkat sebagai perubahan kontrak, dampak atas perubahan spesifikasi disertai dengan peningkatan biaya untuk suap guna memperlancar kolusi. 4.Muculnya tuntutan dibuat-buat. 5.Pengawas atau pemantau telah „dibeli“ atau tidak indepenen agar mereka membuat laporan tidak benar atau memalsukan laporan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. 6.Negoisasi ulang atau penambahan perubahan substansial dalam kontrak diperbolehkan sehingga membuat proses tender menjadi sia-sia. V. Tahap Pelaporan Keuangan & Audit (Bila Dilakukan) Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :Akuntan dan auditor melakukan audit tidak jujur atau telah « dibeli » dan memuluskan banyak bukti akuntansi tidak benar. C. TIPOLOGI/MODUS KORUPSI MENURUT INDONESIAN PROCUREMENT WATCH (IPW) Di lain pihak, hasil studi Indonesian Procurement Watch (IPW), telah merumuskan tipologi/modus korupsi pada PBJP di daerah lebih mendetail sebagaimana diungkapkan dalam Oemarmadi, Sarwedi dkk., Toolkit Anti Korupsi Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Jakarta, Indonesia Precurement Watch, tanpa Tahun): I. Tahap Penyusunan Rencana Pengadaan Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni: 1.Pengelembungan Anggaran Yakni pengelembungan anggaran pada berbagai aspek: biaya,kualitas, bahan, volume dll tidak realistis dan biasanya berlebihan, jauh di atas kebutuhan sebenarnya. 2.Rencana pengadaan Diarahkan Yakni rencana pengadaan diarahkan; dan, penyusunan spesifikasi teknis dan kriterianya diarahkan untuk memperbesar peluang agar suatu produk dan pengusaha tertentu dapat memenangkan tender. Kompetisi tidak terjadi dan peluang negara untuk memperoleh pengawasan paling menguntungkan semakin kecil. 3.Rekayasa Pemaketan untuk KKN Yakni perencanaan pengadaan meliputi kegiatan pembagian dan pengaturan paket pengadaan menjadi beberapa paket proyek atau sebaliknya, menggabungkan beberapa kegiatan menjadi satu paket proyek untuk alasan menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Sebagai contoh, “tender arisan” atau “proyek bagi-bagi untung”. 4.Mengarah dengan Sengaja untuk Penunjukan Langsung Yakni tahapan pengadaan dibuat lama dan berlarut-larut sehingga batas waktu sempit dan mendesak. Ketika waktu mendesak, dapat dijadikan alasan untuk melakukan penunjukan langsung, dapat membuka peluang untuk memilih perusahaan atau rekanan sudah ditentukan. 5.Panitia Tidak Transparan Yakni Panitia bekerja tertutup dan tidak memberi layanan/penilaian sama di antara para peserta lelang. Pada umumnya hal seperti ini terjadi karena adanya unsur suap atau sogok, dari pihak pengusaha ingin memenangkan tender, atau tekanan dan pengaruh pihak atasan langsung mereka berniat unjuk melakukan KKN. 6.Integritas Panitia Lemah Yakni lemahnya integritas mental dan kompetensi panitia membuat proses pengadaan terbuka terhadap ancaman KKN. Lemahnya integritas ini ditandai cara kerja cenderung tidak obyektif, tidak jujur, bekerja tanpa visi, tidak profesional, tidak transparan dan tidak bertanggungjawab. 7.Panitia Lelang Memihak Yakni Panitia cenderung memberikan keistimewaan pada kelompok tertentu. Putusan selalu mengacu pada kesepakatan atau aturan2 pelelangan tidak tertulis. Panitia berpihak kepada kelompok memberikan janji atau memberikan sesuatu berharga. 8.Panitia Tidak Independen Yakni Panitia dikendalikan atau dipengaruhi oleh keinginan dan kepentingan tertentu, tidak akuntabel, tidak profesional dan lamban karena selalu menunggu perintah/petunjuk atasan, sebenarnya tidak memiliki otoritas di bidang pengadaan. Panitia ibarat robot tak bebas melakukan analisis maupun pertimbangan teknis diperlukan. Sepenuhnya atasan atau pihak pendana mengambil alih „operasi tender“. 9.Intervensi Atasan Langsung Yakni Panitia tidak dapat menolak intervensi atasan langsung. Kepentingan atasan menjadikan panitia tidak dapat bekerja secara operasional II. Tahap Kegiatan Prakualifikasi Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain: 1.Dokumen adminsitratif tidak memenuhi syarat Yakni dokumen mitra kerja tidak memenuhi syarat, data palsu, dll tetapi panitia tetap meluluskan. Jika ternyata mitra kerja semacam ini menang tender, akibatnya penanganan fisik akan berkualitas `rendah atau jauh dari memadai sekalipun harga tergolong tinggi. 2.Dokumen administratif „aspal“. Yakni dokumen sertifikasi mitra kerja asli, namun tidak didukung status nyata perusahaan (karena memang tidak ada). Panitia mudah meluluskan peserta tender dokumen „aspal“, walau pada proses informal tetap dipakai azas pembuktian tidak langsung bermuara pada suap. 3.Tidak Dilakukan Legalisasi Dokumen Yakni dokumen prakualifikasi tidak diperkuat oleh data otentik dan pengesahan pihak berwenang. Namun dokumen ini malah diluluskan karena praktik KKN. 4.Evaluasi Tidak sesuai Kriteria Yakni dokumen pralikualifikasi tidak diperkuat data otentik dan pengesaahan dari pihak berwenang. Dokumen ini diluluskan karena KKN. 5.Tidak Dilakukan Pemeriksaaan Lapangan Yakni Panitia tidak memeriksa kondisi perusahaan secara langsung ke lokasi perusahaan berada. Biasanya perusahaan tidak diperiksa adalah perusahaan akan dimenangkan. Jika dilakukan pemeriksaaan lapangan hanya dilakukan secara proforma. III. Tahap Penyusunan Dokumen Lelang Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain: 1.Spesifikasi diarahkan, yaitu Paket pembelian peralatan atau mesin tertentu, agar barang ditawarkan pembuat/supplier, dengan janji komisi menggiurkan dibeli/dipakai proyek. Spesifikasi teknis disusun panitia untuk pembuatan dokumen tender diarahkan kepada produk tsb. 2.Rekayasa Kriteria Evaluasi Yaitu penambahan persyaratan atau ketentuan tidak relevan/dibutuhkan dengan maksud mempermudah KKN. Penambahan dilakukan untuk membatasi peserta di luar daerah kerja, kelompok, atau ketentuan teknis sulit dipenuhi perusahaan tidak memiliki akses/persyaratan dimaksud. 6.Dokumen Lelang Non-Standar Yaitu dokumen lelang dibuat tidak mengikuti kaidah dokumen lelang. Instruksi penambahan syarat sukar, sehingga mitra kerja gugur suka rela menerima kekalahan karena tidak bisa memenuhi dokumen rekayasa itu. 7.Dokumen Lelang Tidak Lengkap Yaitu Panitia tidak mampu menyusun dokumen lelang baik dan benar sehingga memperbesar peluang KKN. Pengusaha berpeluang memanfaatkan kekurangan informasi sebagai upaya menjatuhkan saingan mereka. 8.Dokumen Lelang Aspal Yaitu untuk mengelabui/menyesatkan peserta lain bukan kelompok kolusi panitia, sengaja membuat dokumen lelang „aspal“ agar dalam mengikuti dan menyusun penawaran perusahaan tsb salah, dan akhirnya akan dikalahkan. IV. Tahap Pengumuman Lelang Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni: 1.Pengumuman Lelang Semu atau Fiktif. Yaitu pengumuman lelang melalui media mempunyai jangkauan publik sangat terbatas. Misalnya pada surat kabar bertiras rendah atau kolusi media tertentu untuk menerbitkan edisi „khusus“ sangat terbatas. Hal ini menghilangkan kesempatan kompetisi sehat, tidak ada peminat dari pemasok barang/jasa akan mengikuti proses pelelangan, keluar pemenang KKN. 2.Pengumuman Lelang Tidak Lengkap. Yaitu informasi lelang dibuat tidak lengkap, tidak memadai. Juga informasi „tidak diumumkan“ diberi khusus tersendiri kepada pengusaha diproyeksikan memenangkan lelang dan dibuat selengkap mungkin. Hal ini mempersempit peluang pesaing lain untuk berkompetisi „fair“ dan gagal memenuhi persyaratan lengkap dan tepat waktu. V.Tahap Kegiatan Penyediaan Dokumen Lelang Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi mencakup: 1.Dokumen Lelang Diserahkan Tidak Sama (Inkonsisten) Yakni hanya sedikit peserta memperoleh dokumen (kelompok KKN) dan ada pengaturan dalam tender. Dalih digunakan untuk menjustifikasi perbuatan adalah keterbatasan waktu pelaksanaan pekerjaan atau musim hujan segera datang.Peserta masih sempat mengambil dokumen yakni mereka dekat dengan Pimpro. 2.Waktu Pendistribusian Dokumen Terbatas Yakni untuk maksud mengalahkan peserta lelang lain tidak ikut dalam kelompok kolusi, mereka diberi dokumen masih „konsep, bukan final. Akibatnya, gugur karena tidak memenuhi kriteria evaluasi seharusnya. Mereka tidak gugur hanya kelompok KKN dokumen lengkap. 3.Dokumen Lelang Diserahkan Tidak Sama (inkonsisten) Yakni hanya sedikit peserta memperoleh dokumen (kelompok KKN) dan ada pengaturan dalam tender. Dalih digunakan untuk menjustifikasi perbuatan adalah keterbatasan waktu pelaksanaan pekerjaan atau musim hujan segera datang.Peserta masih sempat mengambil dokumen yakni mereka dekat dengan Pimpro. 4.Waktu Pendistribusian Dokumen Terbatas Yakni penyampaian dokumen lelang ditentukan oleh panitia di tempat sukar ditemukan dan papan pengumuman tidak dipasang. Termasuk juga upaya memindahkan lokasi pengambilan dokumen dilakukan secara mendadak, hanya beberapa jam sebelum penutupan dan diumumkan dengan tempelan petunjuk kertas pengumuman. Mereka mengenal baik panitia datang mengambil dokumen lelang. VI.Tahap Penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi mencakup: 1.Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Ditutup-tutupi Yakni HPS ditutupi-tutupi agar peserta lelang tidak diproyeksikan menjadi pemenang akan kehilangan „jejak“ dalam mengajukan harga penawaran wajar. Para penawar hanya meraba-raba harga pantas, sehingga kenyataannya penawar mendekati “ceiling HPS, hanya mereka memperoleh “bocoran”, sedangkan lainnya jauh berbeda di atas atau dibawah harga ceiling HPS. 2.Pengelembungan (Mark-up) Yakni Nilai penawaran mendekati HPS karena sudah diatur sebelumnya dengan mitra kerja. Nilai kontrak menjadi tinggi karena nilai ditawarkan pemenang dekat nilai HPS. Koefisien dan faktor mempengaruhi suatu harga tidak menguntungkan. Produktivitas rendah karena upaya ini digunakan untuk berKKN. Mitra kerja terkait akan memanfaatkan nilai HPS. VII.Tahap Penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain: 1.Penentuan Estimasi Harga Tidak Sesuai Aturan Yakni besarnya menyusun HPS adalah panitia, namun dalam rangka kolusi, menyusun adalah “calon pemenang”. 2.Cara dan Data serta Metode Yakni fakta dan data serta metode mirip penawaran dari mitra kerja dalam rangka kolusi (disamping panitia juga tidak berkemampuan menyusun HPS sendiri). VIII.Tahap Penjelasan/AANWIJZING Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain: 1.Pre-Bid Meeting Terbatas Yakni pembatasan informasi oleh panitia agar hanya kelompok dekat saja memiliki informasi lengkap. Dalam penawaran, ada cluster penawaran lengkap dan ada cluster penawaran tidak lengkap. Bila para peserta tidak jeli melihat dokumen lelang dibagikan, mereka akan terjebak dalam kerugian. Akibatnya, tidak ada transparansi informasi, mengakibatkan ketimpangan dalam persaingan. Pengaturan tender akan mengarah pada ekonomi biaya tinggi. Dunia usaha dirugikan secara menyeluruh akibat ulah sekelompok pengusaha sehingga akuntabilitas dibina dengan susah payah, hilang dalam sekejab. 2.Informasi dan Deskripsi Terbatas Yaitu Panitia memberi penjelasan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Adakalanya formulasi dan distribusi adendum selama pertemuan, tidak merata antar peserta (setelah aanwijzing). Penjelasan parsial dimaksud untuk berKKN, sehingga kelompok berKKN akan memperoleh informasi lebih sempurna. Pihak tidak berKKN akan menawar kurang sempurna dan cenderung dinyatakan gugur secara administratif. IX. Tahap Penyerahan & Pembukaan Penawaran Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi mencakup: 1.Relokasi Tempat Penyerahan Penawaran Yakni relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran dalam rangka pengaturan tender. Hal ini dimaksudkan untuk menyingkirkan peserta tidak termasuk dalam kelompok KKN mereka. Sebaliknya kelompok mereka telah diberitahukan sebelum pemasukan penawaran. Saat melakukan relokasi, panitia sudah membuat skenario sedemikian rupa agar peserta non kelompok akan terlambat datang. 2.Penerimaan Dokumen Penawaran Terlambat Yakni penawar biasanya menyampaikan penawaran pada detik-detik terakhir. Faktor transportasi dapat saja menjadi hambatan dalam proses penyampaian tersebut sehingga dokumen terlambat disampaikan. Sesuai tertera di juklak, panitia dilarang menerima dokumen terlambat namun dalam KKN hal ini sering terjadi. 3.Penyerahan Dokumen Fiktif Yakni untuk jatuhkan lawan, mitra kerja melakukan tindakan ilegal yakni memasukkan dokumen palsu atas nama penawar lain. Dokumen palsu tersebut memiliki banyak kesamaan dengan dokumen lain, dalam hal perwajahan dan bentuk tanda tangan. Bila terjadi, maka akan ditemukan 2 dokumen penawaran dari satu perusahaan sama. Kedua dokumen saling menjelaskan (berupa dokumen perubahan). Bila Indikasi Tidak terbukti, maka kedua dokumen akan dinyatakan tidak sah sebab dalam dokumen lelang disebutkan bahwa pemasukan dokumen penawaran hanya diperkenankan satu kali saja. X. Evaluasi Penawaran Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain: 1.Kriteria Evaluasi Cacat Yakni Dimaksudkan memenangkan calon berani menyuap jumlah tidak sedikit. Dari awal telah diterapkan hal-hal khusus sukar dipenuhi mitra kerja untuk menjustifikasi kelompok tertentu. Penawaran tidak kompeten ternyata mampu memenangkan tender. Perusahaan bonafid akan gugur, sebaliknya perusahaan kinerja lebih buruk akan lulus evaluasi administratif. 2.Penggantian Dokumen Penawaran Yakni penggantian dokumen penawaran dengan cara menyisipkan revisi dokumen di dalam dokumen awal. Evaluasi tertutup dilakukan di tempat tersembunyi dan sukar dijangkau, panitia dapat berbuat apa saja dalam menangani dokumen termasuk mengganti atau menukar dokumen penawaran. Walaupun penawar bukan terendah, dokumen dirubah dan diganti sedemikian rupa, sehingga telah dilakukan koreksi aritmatik penawar tersebut dapat menjadi pemenang (karena terendah). 3.Evaluasi Tertutup dan Tersembunyi Yakni pemilihan tempat evaluasi tersembunyi untuk memudahkan panitia mengatur segala sesuatunya dalam rangka KKN. Pemilihan tempat terpencil dan tersembunyi untuk memperoleh hasil mantap karena tidak banyak gangguan pihak luar akan mempengaruhi jalannya evaluasi. Tapi, justru dimanfaatkan panitia untuk melakukan KKN dengan mitra kerja. 4.Peserta Lelang Terpola dalam rangka Berkolusi Yakni pengaturan lelang seperti ini banyak dijumpai dalam tender arisan, sehingga beban evaluasi panitia tidak banyak dan panitia hanya mengevaluasi syarat minimum tertentu. Jumlah peserta ikut prakualifikasi, memasukan dokumen, dan lulus semakin menurun mencolok dengan pola 15-10-5 penawar. Ikut tender hanya separuh. Selanjutnya setengah total peserta memasukkan penawaran salah, akhirnya tinggal 3 peserta. Simtom pada tender arisan tidak terlampau jelas, namun akan terlihat pada proses berikutnya (banyak surat kuasa, banyak kecerobohan, banyak kesamaan isi, pengetikan sama, dan nomor jaminan berurutan). XI. Tahap Pengumuman Calon Pemenang Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain: 1.Pengumuman Terbatas Yakni Pengumuman terbatas dengan maksud mengurangi sanggahan, publik betul2 buta mengenai proses pengadaan. Ketertutupan panitia berlangsung hingga tahap akhir. Informasi baru akan dibuka setelah pelaksanaan pekerjaan. Sanggahan tidak ada,masukan dari publik tidak ada karena tidak terbaca. 2.Pengumuman Tanggal Ditunda Yakni Pengumuman agar terlambat dari hari ditentukan karena proses suap/sogok terjadi. Secara psikis, calon pemenang sudah tahu akan menang, ingin kemenangan itu segera diumumkan agar tidak terjadi perubahan. Hal tersebut dilakukan dengan menyogok panitia. Bila suap diterima, maka telah terjadi kesalahan bersifat random. 3.Pengumuman Tidak Sesuai Yakni Tidak ada masukan dari masyarakat, sejak awal sudah ada upaya mengelabui pihak pemerhati dan mitra kerja, yakni melalui pengumuman tidak informatif. Muncul hambatan pada mekanisme pasca evaluasi dan mengurangi sanggahan dari mitra kerja. XII. Sanggahan Peserta Lelang Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi terdiri dari : 1.Tidak Seluruh Sanggahan Ditanggapi Yakni Pengumuman panitia ditanggapi mitra kerja kurang setuju dengan hasil evaluasi. Mereka mengkritik tugas panitia menyimpang dari pedoman, menunjukkan bukti panitia berKKN dengan kelompok mitra tertentu. Respon panitia kurang mencerminkan jawaban atas sanggahan. Proses pengadaan tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Merugikan proses pengadaan dari segi waktu. 2.Substansi Sanggahan Tidak Ditanggapi Yakni Polemik berkepanjangan namun surat rekomendasi tetap alasan kekhawatiran keterlambatan proyek. Jawaban panitia tidak menyentuh substansi sanggahan. 3.Sanggahan Proforma untuk Menghindari Tuduhan Tender Diatur Yakni Sanggahan proforma untuk menghindari tuduhan tender diatur XIII. Tahap Penunjukkan Pemenang Langsung Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain: 1.Surat Penunjukan Tidak Lengkap Yakni Penunjukan sudah dikeluarkan, namun proses sanggahan belum selesai, data pendukung berita acara tentang sangah-jawab belum ada, seolah-olah tidak ada sanggahan. Panitia bekerja tertutup, memasuki tahap berikutnya sebelum menyelesaiakn proses seharusnya diselesaikan. 2.Pengeluaran Surat Penunjukkan Sengaja ditunda Yakni hari ditentukan, pengeluaran surat penunjukan sengaja ditunda demi uang pelicin. Terjadi penundaan kegiatan berikut akan memperlambat proses selanjutnya. Akibatnya, masyarakat dan dunia usaha tidak lagi percaya terhadap lembaga pengadaan tersebut. 3.Surat Penunjukkan Dikeluakan dengan Terburu-buru Yakni Surat tersebut seolah-olah tanpa masalah tentang tender dilaksanakan. Padahal, saat proses sanggah-jawab berlangsung sehingga sangat merugikan mitra kerja penYanggah. Akibatnya, hilang kepercayaan terhadap lembaga, pimpro dan panitia. 4.Surat Penunjukan Tidak Sah Yakni Surat Penunjukkan belum lengkap sudah beredar atau sudah sampai kepada calon pemenang. Ada kemungkinan sanggahan benar. Surat bisa jadi tangal dan tanda tangan belum ada, belum memiliki kekuatan hukum. XIV. Tahap Penandatangan Kontrak Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain: 1.Penandatangan Kontrak Ditundang-tunda Yakni jaminan pelaksana belum ada sehingga kontrak belum dapat ditandatangani. KKN mulai di sini karena di satu pihak rekanan berusaha mengulur waktu, sementara proyek mendesak dan mengancam memutuskan/mencabut SPK atau pembatalan tanda tangan kontrak. 2.Penandatangan Kontrak Tidak Sah Yakni kontrak ditandatangani tanpa adanya dukungan disyaratkan, atau data pendukung kurang dipercaya. 3.Penandatanganan Kontrak oleh Orang lain, Yakni penandatangan kontrak bukan orang namanya tercantum dalam akte perusahaan atau akte perubahan telah disahkan oleh notaris. Hal ini ditujukan terhadap perusahaan peserta tender disewa atau dipinjam orang lain. XV. Amandemen Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi mencakup: 1.Amandemen untuk Melindungi Keterlambatan Penyedia Barang/Jasa Yaitu amandemen untuk menghindari sanksi karena keterlambatan pekerjaan, tapi ketidakmampuan pihak penyedia,baik teknis maupun keuangan. 2.Amandemen Menaikkan Harga Yakni Penyedia menawar harga serendahnya. Setelah menang meminta amandemen menaikkan harga sesuai harga awal (HPS). Keterlibatan pengguna sangat besar, sejak awal penawaran. 3. Amandemen Volume Yakni ternyata harga ditawarkan tidak sesuai lagi ketika penawaran dibuat. Penyedia mengurangi kualitas dan kuantitas agar tidak rugi. Alasan inflasi tinggi, dijadikan alasan untuk amandemen. XVI. Tahap Penyerahan Barang/Jasa Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi antara lain: 1.Volume Tidak Sama Yakni volume diserahkan tidak sama dengan volume kontrak. Pihak organisasi pengadaan kolusi dengan pihak rekanan untuk mengurangi volume pekerjaan . Agar pekerjaan fiktif dijadikan uang untuk keperluan pihak organisasi pengadaan. 2.Mutu/kualitas Pekerjaan Lebih Rendah dari Ketentuan dalam Spesifikasi Teknik Yakni upaya KKN melalui penurunan mutu barang atau pekerjaan jauh berbeda spesifikasi teknik tertera dalam penawaran atau kontrak. Hal melibatkan pihak organisasi pengadaan dan rekanan, asumsi kedua belah pihak akan memperoleh keuntungan tapi negara dan masyarakat akan dirugikan. 3.Mutu/kualitas Pekerjaan Tidak Sama dengan Spesifikasi teknik Yakni terjadi ketidaksesuaian antara hasil pekerjaan dengan ketentuan tertuang dalam spesifikasi teknik. Bentuk ketidaksesuaian berwujud deformasi bentuk permukaan pekerjaan diserahkan, deformasi kadang-kala tidak tampak. Dalam pekerjaan fisik, berbentuk permukaan retak, bergelombang, dan terjadi deformasi bentuk. Dalam pekerjaan konsultan, hanya ditemukan dalam suatu kajian, lebih kepada kejujuran para profesional. Dalam pengadaan barang, kinerja barang kualitas rendah, tidak akan sempurna (seperti Komputer mengalami „hang“,dll). 4.Contract Change Order (CCO) Yakni CCO merupakan tempat paling populer untuk menempatkan dana susah dipertanggungjawabkan. CCO dapat dilakukan pergantian volume material murah (dikurangi) ke volume material bernilai tinggi, sehingga terjadi kenaikan harga karena volume material mahal diperbesar. Karena CCO memang digunakan sebagai kamuflase, mitra kerja akhirnya tidak peduli lagi terhadap mutu hasil pekerjaan. Negara dirugikan karena mitra kerja tidak lagi memikirkan kuantitas efisien bagi pekerjaan, mereka upayakan pembayaran lewat kolusi. 5.Pekerjaan Fiktif Yakni penyerahan barang/jasa fiktif. Tiada sama sekali bukti, pekerjaan dilakukan atau barang diadakan. Terjadi kolusi antara panitia dan kontraktor/pemborong sejak awal dan sangat tertutup. 6.Tidak Menerapkan Masa Jaminan Yakni menerima pekerjaan tanpa menerapkan jaminan pekerjaan. Akibatnya pekerjaan mengalami kerusakan sebelum masa jaminan habis dan tidak dapat diminta pertanggungjawaban. 7.Meminta Adendum Yaitu adendum sebagai siasat untuk memberi jalan bagi perusahaan terlambat melakukan pekerjaan karena kelemahan kemampuan dan keterbatasan modal meneruskan proyek sesuai jadwal. D. TIPOLOGI/MODUS KORUPSI : PENGALAMAN NTT Uraian tipologi atau tipologi/modus korupsi di atas sesungguhnya hasil kajian tipologi atau mudus korupsi di daerah dalam ruang lingkup nasional. Untuk khusus ruang lingkup Provinsi sebagai suatu studi kasus, dapat disajikan dari hasil pengalaman Advokasi Piar-NTT (Nusa Tenggara Timur), telah tersaji di dalam Sinleloe, Paul, „Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa“, website: LAWAN KORUPTOR, 16 Juni 2009. Studi kasus ini menggambarkan kegiatan korupsi pada tahap perencanaan pengadaan; pembentukan panitia lelang; prakualifikasi perusahaan; penyusunan dokumen lelang; pengambilan dokumen lelang; penyusunan HPS; penjelasan; penyerahan dan pembukaan penawaran; evaluasi penawaran; pengumuman pemenang lelang; sanggahan pemenang lelang; penunjukan pemenang lelang, dll. Lebih detailnya tipologi/modus korupsi di daerah berdasarkan tahapan PBJP sebagaI berikut: 1.Tahap Perencanaan Pengadaan Yakni pengelembungan anggaran, rencana pengadaan diarahkan rekayasa pemaketan untuk KKN. 2.Tahap Pembentukan Panitia Lelang Yakni Panitia tidak transparan. Integritas Panitia Lelang lemah, tidak independen dan memihak. 3.Tahap Prakualifikasi Perusahaan Yakni dokumen administrasi tidak memenuhi syarat, aspal (asli tapi palsu), tanpa legalisasi dokumen. Evaluasi tidak sesuai kriteria. 4.Tahap Penyusunan Dokumen Lelang Yakni spesifikasi yang diarahkan. Rekayasa kriteria evaluasi. Dokumen lelang non standar, tidak lengkap, dsb. 5.Tahap Pengumuman Lelang Yakni pengumuman lelang semu atau fiktif, tidak lengkap. Jangka waktu pengumuman terlalu singkat. 6.Tahap Pengambilan Dokumen Lelang Yakni dokumen lelang diserahkan inkonsistensi. Waktu pendistribusian dokumen terbatas. Lokasi pengembalian dokumen sulit dicari. 7.Tahap Penyusunan HPS Yakni gambaran nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) ditutup. Penggelembungan harga (mark-up) atau KKN. Penentuan estimasi harga tidak sesuai dengan ketentuan,dsb. 8.Tahap Penjelasan/Aanwijzing Yakni peserta aanwejzing terbatas. Informasi dan deskripsi terbatas. Penjelasan kontroversial, dsb. 9.Tahap Penyerahan/Pembuktian Penawaran Yakni relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran. Penerimaan dokumen penawaran terlambat, penyerahan dokumen fiktif. 10.Tahap Evaluasi Penawaran Yakni kriteria evaluasi cacat. Penggantian dokumen penawaran. Evaluasi tertutup dan tersembunyi. Pengumuman tidak sesuai ketentuan,dsb. 11.Tahap Pengumuman Calon Pemenang Yakni pengumuman terbatas. Tanggal pengumuman ditunda. Pengumuman tidak sesuai dengan ketentuan, dsb. 12.Tahap Sanggahan Peserta Lelang Yakni tidak seluruh sanggahan ditanggapi dan dijawab. sanggahan tidak dijawab. Sanggahan untuk menghindari tuduhan tender diatur. 13.Tahap Penunjukan Pemenang Lelang Yakni surat penunjukan tidak lengkap, sengaja ditunda diterbitkan. Surat penunjukan dikeluarkan terburu-buru. Surat penunjukan tidak sah, dsb. 14.Tahap Penandatangan Kontrak Yakni penandatanganan kontrak ditunda-tunda. Penandatanganan kontrak tetutup, atau tidak sah. 15.Tahap Penyerahan Barang/Jasa Yakni volume tidak sesuai. Mutu/kualitas pekerjaan lebih rendah dari spesifikasi teknik. Mutu kualitas pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi teknik. Contract Change Order,dll. E. TIPOLOGI/MODUS KORUPSI MENURUT FITRA DAN THE HABIBIE CENTRE Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) menemukan 10 tipologi/modus penyalahgunaan dana APBD. Di lain fihak, The Habibie Center menunjukkan 20 tipologi/modus korupsi berpeluang digunakan oleh anggota legislatif dan eksekutif di daerah. Tetapi, secara umum hasil penelitian dua lembaga itu mempunyai kesamaan: anggaran daerah sudah berpeluang dikorup sejak mulai dari perencanaan (usulan). Berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah memberi kekuasaan besar untuk mengatur daerah, termasuk hak untuk mengatur anggaran menjadikan kecenderungan tertentu perilaku eksekutif dan yudikatif di daerah. Sementara di sisi lain, UU tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban transparan kepada publik. Wewenang besar justru membawa banyak penyimpangan seperti mengalirnya dana negara ke kantong peribadi. Tipologi/modus korupsi beragam dari periode ke periode. Berbeda dengan periode sebelum, tipologi/modus korupsi dominan tahun 2009 adalah penyalahgunaan anggaran dengan 32 kasus, tahun 2010 tipologi/modus bergeser menjadi penggelapan (62 kasus). Pergeseran tipologi/modus ini kemungkinan karena dipengaruhi perubahan kondisi politik, yakni tahun 2008 dan 2009 sebagai tahun persiapan Pilkada. Tipologi/modus penggelapan umumnya terkait penyimpangan dana langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana bantuan sosial (bansos). Dana banson adalah program pupuler biasa digunakan Kepala Daerah (Incumbent) untuk mendekati konstituen dalam Pilkada. Namun, para Kepala Daerah dan anggota DPRD juga selalu menemukan celah dan alasan untuk menyalahgunakan dana APBD atas nama otonomi daerah. PP No. 110 itu sendiri telah dipersoalkan di depan MA (Mahkamah Agung) oleh banyak anggota DPRD. MA mengabulkan uji materil PP No. 110 tersebut dan Pemerintah kemudian menggantinya dengan PP No. 37 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. PP No. 37 Tahun 2006, pada Pasal 10 menetapkan, penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD terdiri atas: Uang Representasi, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Beras, Uang Paket,Tunjangan Jabatan, Tunjangan Panitia Musyawarah, Tunjangan Komisi,Tunjangan Panitia Anggaran, Tunjangan Badan Kehormatan: dan Tunjangan Alat Kelengkapan Lainnya. Pasal 10A, ayat (1) menetapkan pula, Selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, kepada Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan penerimaan lain berupa Tunjangan Komunikasi Intensif. Selanjutnya, selain penerimaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pimpinan DPRD diberikan Dana Operasional. Sebagian pengamat keuangan menilai, justru PP No. 37 tahun 2006 itu semakin memberikan peluang terjadinya penggembosan anggaran daerah. PP No. 37 sepintas tidak memberi celah bagi pejabat di daerah untuk menyalahgunakan dana APBD karena kenaikan pEnghasilan dan tunjangan anggota DPRD tidak lagi berasal dari APBD. Namun, mengacu pada pasal-pasal PP No. 37, semua kenaikan penghasilan dan tunjangan para anggota Dewan itu justru diperbolehkan diambil dari dana untuk belanja publik. Sektor publik seharusnya untuk kepentingan kebanyakan orang dapat dikurangi hanya untuk menambah kesejahteraan para anggota DPRD. Fitra pernah menghitung, anggaran belanja publik akan termakan untuk membiayai gaji dan tunjangan para anggota DPRD akan mencapai 20 %.(MUCHTAR EFFENDI HARAHAP

KORUPSI POLITISI PARPOL DAERAH (BAGIAN KEEMPAT)

Korupsi Politisi Parpol Daerah Bagian Pertama, Kedua dan Ketiga terdahulu memuat sejumlah kasus korupsi Kepala Daerah di seantero Indonesia ini. Untuk tulisan ini (Bagian Keempat), akan disajikan data dan fakta khusus kasus korupsi anggota DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota yang seluruhnya sebagai kader Parpol. Di Propinsi Sumatera Utara (Sumut) terdapat sejumlah kasus korupsi anggota DPRD. Salkah satunya terkait anggota DPRD Kota Padang Sidempuan Haris Muda Siregar dengan dua orang lain: Rustam Effendi dan Burhanudin Hasibuan. Kasus di Kota Padang Sidempuan. Sumatera Utara. Penyelewengan Rp.3,5 miliyar bantuan Departemen Agama untuk Mesjid, Madrasah dan Pondok Pesantren di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Mandailing Natal. Lebih 50% dana telah dikorupsi terdakwa tanpa membagikan dana bantuan Rp 3,5 miliyar itu. Selanjutnya, kasus korupsi Ketua DPRD Abdul Roni Harahap. Terkait Bupati T. Milwan. Kasus di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Dana APBD Rp 30.2M. Sejumlah anggota DPRD Kasus di Kabupaten Nias, dugaan tindak pidana korupsi dana APBD Nias 2006 senilai Rp.354.790.000. Ketua DPRD Kota Tebing Tinggi, Sumut (Sumatera Utara), M.Syafri Chap (62 tahun). Ia mengalihkan sebagian premi asuransi untuk 25 anggota DPRD Rp. 500 juta dari asuransi kesehatan menjadi asuransi jiwa. Nilai premi 454.400.000. Atas perbuatan tersebut, negara kerugian senilai Rp. 454.4000,000,-‚ Syafri ditangkap Tim Gabungan intelijen Kejakgung dan Kejari Tebing Tinggi di Hotel Sentral, Jakarta, 9 Juli 2011 (Republika, 12 Juli 2011). Wakil Ketua DPRD 1999-2004 H. Sutoyo. Kasus di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Korupsi dana APBD 2004. divonis 1 tahun 6 bulan. Di Wilayah Sumatera Barat, kita dapat menemukan kasus korupsi anggota DPRD antara lain 53 anggota DPRD. Rp. 14 miliyar. Modusnya membuat Tata Tertib untuk pos anggaran baru. diperiksa dan divonis 2 tahun penjara. Kemudian, 40 anggota DPRD Kasus di Kota Padang, Sumatera Barat. Korupsi dana APBD. Rp. 10,4 miliyar.,. divonis 4 tahun. Propinsi Riau mencakup kasus korupsi 55 orang anggota DPRD. Kasus di Provinsi Riau. Dana aspirasi Rp 2M/anggota Dewan, dan Dana Bansos Rp 500jt/anggota. Selanjutnya, kasus M.Faisal Aswan, Anggota DPRD Riau, Kader Golkar. Kasus Dugaan Suap Pembahasan Perubahan Perda N0. 6 Tahun 2010 tentang Dana Peninglatan Tahun Jamak Pembangunan Arena Pekan Olah Raga Tahun 2012 di Riau. Tersangka oleh KPK. Kemudian, kasus Muhammad Dunir, Anggoat DPRD Riau, Kader PKN. Tersangka oleh KPK. Propinsi Kepulauan Riau ditandai dengan kasus Anak Anggota DPRD dan Staf Ahli Bupati. Kasus di Kabupaten Lingga, korupsi lahan sawah Rp 2 M. Telah menjadi tersangka. Propinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mencakup kasus 85 anggota DPRD. Yakni Kasus penyimpangan anggaran untuk belanja, Propinsi Jambi mencakup kasus Adi Muklis dan Munir, anggota DPRD Kerinci dari Fraksi PAN. Kasus korupsi dana anggaran bantuan rumah ibadah Rp. 2,5 miliyar. Menaikkan anggaran bantuan rumah ibadah Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp. 2,5 miliyar. Alih-alih menyerahkan uang ke rumah-rumah ibadah, mereka justru mengantongi untuk kepentingan sendiri. Propinsi Lampung mencakup kasus 75 anggota DPRD. Kasus di Provinsi Lampung. Penyimpangan anggaran untuk belanja. Propinsi Banten mencakup kasus Ketua DPRD 2001-2004, dan 2 mantan anggota DPRD. Kasus Korupsi dana APBD 2003. Rp. 14 miliyar. Divonis 4 tahun 6 bulan. Di Propinsi DKI Jakarta terdapat kasus Mantan Sekwan DPRD DKI – Sarwo Edi. Beberapa saksi di pengadilan dari anggota DPRD DKI Jakarta.Dilakukan bersama Mantan Ketua Lelang DPRD DKI Aries Halawani R dan Abdul Haris Mugni, Dirut PT Murdjani Artha Konsultan. Kasus di DKI Jakarta. Korupsi pengadaan jasa kajian kapasitas lmbaga (JKKL) DPRD Tahun Anggaran 2008, Rp. 25 M. Terdapat pekerjaan fiktif belaka. Ketua Lelang DPRD DKI Aries Halawani R menyetujui anggaran Rp. 27, 3 M lebih. (Sudah divonis). Propinsi Jawa Barat mencakup 41 anggota DPRD. Kasus di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Rp. 6,6 miliyar. Mark up biaya perjalanan dinas 41 anggota DPRD. Selanjutnya, kasus 17 anggota Dewan. Kasus di Kota Depok, Jawa Barat. Korupsi dana APBD Rp. 9,5 miliyar.. Kasus korupsi anggota DPRD ini terungkap atas laporan sejumlah LSM Depok tahun 2005 kepada Polda Metro Jaya.. Polda memutuskan menahan 17 anggota Dewan Mei 2005Dihukum oleh Pengadilan Negeri Cibinong (24 Januari 2006) kurungan selama dua tahun, potong masa tahanan dan denda Rp. 50 juta subsider tiga bulan kurungan. 17 orang anggota DPRD diancam hukuman 20 tahun penjara. Setelah divonis di Pengadilan Cibinong, para terpidana mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Keluar keputusan bahwa terpidana divonis 1 tahun penjara Selanjutnya, di Propinsi Jawa Barat terdapat kasus 32 orang mantan anggota DPRD Kota Bogor periode 1999-2004. Kasus di Kota Bogor, Jawa Barat. Korupsi dana APBD Rp 6,8 miliyar tahun 2002. Pada pengesahan APBD, terdapat dana Anggaran Biaya Tambahan (ABT) sebesar Rp. 1,3 miliyar disalahgunakan. Seharusnya uang digunakan untuk pemeriksaaan kesehatan dan komunikasi. Praktek lapangan, dana tersebut tidak dipergunakan untuk itu, justru untuk keperluan sendiri.. Divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Kota Bogor setahun dan denda Rp. 50 juta. Mereka dijerat Pasal 31 tahun 1999 tidak pidana korupsi (Tipikor). Iyos Somantri (anggota DPRD), Mahyar Suara (Staff Ahli Bupati Garut), dan Encep Mulyana. Kasus di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Korupsi dana APBD. Dedi Suryadi (Ketua DPRD 2004-2009). Vonis 4 tahun 2 orang dari eksekutif (Mantan Kabagsos Setda dan Mantan Asda II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemkab Bandung), kemudian 29 orang anggota Dewan. Kasus di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Korupsi dana Bantuan Sosial Tahun Anggaran 2005.Diperkirakan kerugian negara mencapai Rp. 1,4 miliyar. Terkait 31 orang anggota DPRD. Moch Said, Mantan Ketua DPRD Kota Bogor. Kasus di Kota Bogor. Jawa Barat. Korupsi dana DPRD Tahun Anggaran 2002 Sebanyak Rp. 6,164 miliyar. Divonis 4 tahun. Bambang Herdadi (Ketua DPRD Subang 2004), Kasus di Kabupaten Subang. Jawa Barat. Korupsi dana asuransi anggota DPRD sebanyak Rp. 136.400.000 juta. Kasus di Kabupaten Aceh Singkil, NAD. Korupsi pencairan Kasbon. Rp. 1.733.119.6354 orang anggota DPRD Aceh, divonis bebas. divonis 1 tahun. Beni Bambang Erawan, Mantan Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat 2004-2009. Dua tersangka lain, Mien Hartati, mantan Kepala Dinas Kota Depok dan Yusuf Effendi, Direktur PT Karya Profesi Mulya. Kasus di Kota Depok Jawa Barat, penyedia alat kesehatan. Dia dikenakan pasal 2, 3 dan 5 UU No. 31 tahun 1999 juncto UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman seumur hidup. (sudah terjerat satu tahun penjara). Propinsi Jawa Tengah ditandai dengan 5 orang mantan anggota DPRD Kabupaten Tegal yakni Lahri, Humam, Agus Siswoyo, Umar Hadi dan Sorikhin. Kasus di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Korupsi bantuan sapi. Menerima uang atau juga sapi .Kerugian negara skitar Rp. 200 juta. 5 orang mantan anggota DPRD Nganjuk: FH Didik Yudianto, H.M.Fathoni, Kasim, Harijono, Bambang Sulistiyono. Kasus di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Tindak Pidana Korupsi anggaran rumah tangga DPRD Kabupaten Nganjuk. Sumartono, Anggota DPRD Kota Semarang, Fraksi Partai Demokrat. Kasus Dugaan Suap dalam Pengesahan RAPBD Kota Semarang tahun 2012. Mereka ditangkap Tim KPK di halaman parkir Balaikota Semarang, membawa amplop diduga berisi uang panjar pengesahan RAPBD. 24 November 2011, Tim KPK menangkap Sumartono dan Agung Purno Sardjo (Fraksi PAN) serta Akhmad Zaenuri (Sekretaris Daerah Kota Semarang). Agung Purno Sardjo, Anggota DPRD Kota Semarang, Fraksi PAN. Kasus Dugaan Suap dalam Pengesahan RAPBD Kota Semarang tahun 2012. Mereka ditangkap Tim KPK di halaman parkir Balaikota Semarang, membawa amplop diduga berisi uang panjar pengesahan RAPBD. 24 November 2011, Tim KPK menangkap, Tim KPK Agung Purno Sardjo dan Sumartono (Fraksi P.Demokrat) serta Akhmad Zaenuri (Sekretaris Daerah Kota Semarang). Di Propinsi Jawa Tengah terdapat kasus 43 orang mantan anggota DPRD Temanggung 1999-2004. Kasus di Kabupaten Temanggung. Jawa Tengah. Korupsi dana bantuan Pendidikan putra-putri anggota dewan Tahun Angagarn 200, Rp 1.8 M. 43 orang mantan anggota DPRD Temanggung 1999-2004 menerima kucuran dana bermasalah. Wakil Ketua DPRD Jateng Riza Kurniawan (Politisi Senior PAN). Dugaan korupsi penyelewengan dana bantuan sosial Provinsi Jateng, yang disalurkan ke Kabupaten magelang senilai 1,3 miliyar. Ditahan Kejaksanaan Negeri kabupaten magelang, 5/6/2012. Sudah lama ditetapkan sebagai Tersangka. Soemarlan Djatmiko (Mantan Sekretaris DPRD), Kasus di Kota Solo. Jawa Tengah. Korupsi dana APBD. Rp. 4,272 miliyar. Divonis 18 bulan Sumartono, Anggota DPRD Kota Semarang Menerima dana awal Rp. 40 juta dari Sekretaris Daerah Semarang, Akhmad Zaenuri. Dana itu bagian dari kesepakatan Wali Kota Semarang Soemarmo HS yang kini ditahan KPK, untuk anggita DPRD Kota Semarang sebesar Rp. 4 miliar. Dana itu untuk memuluskan pembahasan APBD Kota Semarang tahun 2012. Pengadilan Tipikor Semarang (29 Mei 2012) menghukum Sumartono selama 2,5 tahun penjara. Ia dinyatakan terbukti menerima dana Rp. 104 juta dari Pemkot Semarang untuk dibagikan kepada 13 anggota Fraksi Partai Demokrat (F-PD) DORD Kota Semarang. Dana ini diterima terdakwa bersama anggota badan Anggaran DPRD Kota Semarang, Agung Purno Sarjono. Selanjutnya kasus Titik Kirnangsih, anggota DPRD Kota Salatiga. Titik adalah istri Walikota Salatiga, Yuliyanto. Korupsi terkait proyek Jalan Lingkar Selatan Salatiga yang merugikan keuangan negara senilai Rp. 12,2 miliar. Pengadilan Tipikor Semarang 29 Mei 2012 mulai mengadili terdakwa. Titik ke persidangan dengan memakai kursi roda karena sakit. Propinsi Jawa Timur mencakup kasus Ketua DPRD M. Basuki. Kasus di Kota Surabaya, Rp. 1,2 miliyar. Penyalahgunaan peruntukan dana premi kesehatan dibagi ke 45 anggota masing-masing dapat Rp. 25 juta. Divonis 1,6 tahun penjara. Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya Musyafak Rouf, Kader…. ? Kasus Korupsi penerimaan gratifikasi senilai Rp. 720 juta. Pengadilan Kota Surabaya memutus bebas Musyafak, dan Jaksa mengajukan kasasi ke MA dan dikabulkan pada Januari 2011. Musyafak dihukum 1,5 tahun. 5 anggota DPRD. Kasus di Kota Madiun, Jawa Timur. Korupsi dana operasional DPRD tahun 2002-2004 sebesar Rp. 996.7 juta. Dikembalikan kepada kas negara Rp 241juta. Saat itu, kelima terdakwa menjadi Panmus (Panitia Musyawarah) bertugas mengagendakan jadwal persidangan dan rapat termasuk pembahasan dana operasional Dewan diambil dari APBD 2002-2004. Tiga bekas (13) pimpinan dan 16 anggota DPRD saat itu menerima dana operasional kegiatan dan tujangan antara lain tahun 2002 enam pos/biaya total sekitar Rp. 1,437 miliyar, 2003 sebanyak 13 jenis biaya total sekitar Rp. 2,433 miliyar, dan 2004 sebanyak empat jenis biaya total sekitar Rp. 1,47 miliyar. Total dana diterima bekas pimpinan dan anggota DPRD mencapai Rp. 5,341 miliyar. Kelima terdakwa diduga menerima dana tahun 2002 sekitar Rp. 257,225 juta, 2003 Rp. 441,128 juta dan 2004 Rp. 996,7 juta. Dari dana sudah diterima, kelima terdakwa sudah mengembalikan ke kas ngara sekitar Rp. 241 juta. Mereka didakwa menerima dana ilegal (tidak sah) sebesar Rp.996,7 juta dari total krugian ngara Rp. 8,3 miliyar (BPKP). Dari 5 orang anggota DPRD, perbuatan terdakwa 1 sampai 5 melanggar pasal 27 PP No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Kuangan Daerah dan Pasal 57 ayat 1 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002. Asrofi (Mantan Ketua PRT), Wahono Ilyas, dan Suyatno SW (Mantan Sekretaris PRT). Kasus di Provinsi Jawa Tengah. Korupsi dana APBD 2003. Sebanyak Rp. 14.8 M. Divonis 1 Tahun. Kasus di Kota Madiun, Jawa Timur. Tindak pidana korupsi dana anggaran operasional Rp. 5,3 miliyar (Terungkap di Pengadilan Negeri Madiun). Penyalahgunaan dana operasional DPRD tahun 2002 hingga 2004. Negara dirugikaan sekitar Rp. 5 miliyar lebih.. Didakwa pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 tahun 2009 tentang Tipikor jo UU No. 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Selanjutnya, kasus 11 Mantan Anggota DPRD Kota Madiun 1999-2004. Wisnu Suwarto Dewo, Yohanes Sinulingga, Kun Anshori, Adam Suparno, Supranawo, Ali Sholah Baraba, Soewarsono, Gatot Triyanto, Wimbo Hartono, Suhadai dan Isnanto. Mereka Mantan Panggar (Panitia Anggaran), terlibat proses penganggaran dana operasional DPRD bersumber APBD 2002-2004 Kasus di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Korupsi dana sumber daya manusia (SDM) Rp. 21,3 miliyar. Terkait 9 anggota DPRD 1999-2004, yakni Abdul Shomad, Ato’I Towali, Choiri Nur Afandi, Guntur Eko, Ahmad Ali Fauzan, Tito Pradopo, Sumi harsono, Purwadi Sigarlagi dan (alm) Sardjito. Nashrullah, anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo. Nasrullah sebagai Ketua Panitia Pelayanan Kesehatan Desa Prasung. Kasus di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2ESM) Rp 200 juta. Dijerat pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tipikor dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Laporan pertanggungjawaban fiktif.. Ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Kasus korupsi ini saat Terkait M. Mardijo (Ketua DPRD 1999-2004). Kasus di Provinsi Jawa Tengah. Korupsi dana APBD 2003 sebanyak Rp. 14.8 miliyar. Divonis 2 tahun. Selanjutnya, kasus 41 orang mantan anggota DPRD Ponorogo. Kasus di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Korupsi dana operasional DPRD Ponorogo dengan kerugian Rp. 2,7 M. Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencakup kasus 10 orang mantan anggota Panitia Anggaran DPRD 1999-2004, Kasus di Kota Mataram. NTB. Korupsi dana APBD. Rp. 17,5 miliyar. Divonis bebas. Di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdapat kasus 35 anggota DPRD diduga melakukan tindak pidana korupsi. Kasus di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, Rp. 1,4 miliyar. Dana purnabakti. Selanjutnya, kasus 3 anggota DPRD NTT, yakni Penyimpangan anggaran untuk perumahan 3 anggota DPRD. Ditambah lagi kasus 7 orang mantan anggota DPRD Kabupaten Kupang, divonis 1 tahun. Kasus di Kabupaten Kupang ini menyangkut korupsi dana penunjang kegiatan dewan. Rp. 2 miliyar. Propinsi Kalimantan Timur ditandai dengan kasus 38 orang anggota DPRD tersangka. Semua 40 anggota DPRD Kutai disangka terlibat, tetapi dua orang telah wafat. Sebanyak 20 orang tidak lagi menjadi anggota Dewan. Hal ini terkait dengan penggunaan dana penunjang operasional DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara 2004-2009. Selanjutnya, kasus Mantan Ketua DPRD Kaltim dan Wakil PN Samarinda, yakni Korupsi di DPRD Kaltim 2001-2003 dengan vonis 7 tahun 5 bulan penjara. Terakhir kasus Mantan Wakil Ketua DPRD Kaltim (Kasyful Anwar Asad). Korupsi dana APBD sebanyak Rp. 3,4 miliyar dengan vonis 4 tahun penjara. Di Propinsi Kalimantan Barat terdapat kasus 10 orang mantan anggoat DPRD Kota Pontianak. Korupsi dana Yayasan Bestari Rp 625 juta.Dana itu dialokasikan dari APBD Pemda Kabupaten Pontianak 2003. Di Kalimantan Tengah terdapat kasus korupsi melibatkan 22 mantan anggota DPRD Kabupaten Katingan. Satu orang lain telah wafat. Pada kasus serupa, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah mencebloskan Mantan Ketua dan Mantan Sekretaris DPRD Kantingan tahun 2008 dengan vonis berkekuatan hukum dari Majelis Hakim setahun penjara dan denda Rp. 50 juta. Tindak pidana Korupsi penyimpangan dana asuransi kesehatan. Mereka mengalihkan anggaran tunjangan kesehatan anggota DPRD menjadi asuransi jiwa purnabakti dan perjalanan dinas untuk cek kesehatan fiktif Tahun Anggaran 2003/2004. Kerugian negara Rp. 1.529.710.000. Propinsi Sulawesi Selatan menunjukkan kasus korupsi antara lain 3 orang, termasuk ketua DPRD Agus Nu`mang. Alokasi anggaran untuk dua pos berbeda. Dana sudah dialokasikan ke pos anggaran belanja Sekretariat Dewan. Semula Polisi menetapkan 14 tersangka, namun diubah menjadi saksi. Tersangka baru ditetapkan. Selanjutnya, kasus Anggota DPRD Kota Bitung, Drs. Menno Tairas. Kasus korupsi Bedah Rumah. Diduga merugikan uang negara Rp. 1.258.503.750. Terdakwa dalam kapasitas sebagai Ketua KSU “Mentari” Kota Bitung melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) sub a,b ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 tahun 1999 tentang TIPIKOR. Sedangkan dalam dakwaan Subsidair terdakwa melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) sub a,b ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 tahun 1999. Di Propinsi Papua juga terdapat kasus korupsi politisi kader Parpol, antara lain kasus Ketua DPRD Papua, Anggota DPR, Mantan Sekda, dan Mantan Kepala Biro Keuangan Provinsi Papua. Dana bantuan keuangan kepada instansi vertikal dana APBD 2006 sebesar Rp. 2,6 miliyar, bantuan untuk rumah tinggal Rp 2,6 miliyar,serta dana APBD 2006. Dikenakan tindak pidana korupsi UU 31 tahun 1999 pasal 2, pasal 3 dengan ancaman minimal empat tahun penjara. Propinsi Maluku Tenggara mencakup kasus korupsi 35 orang mantan anggota DPRD. Kasus korupsi dana APBD Rp. 8.256.266.000. Kemudian Propinsi Sulawesi Tengah memiliki kasus korupsi anggota DPRD Kabupaten Donggala (Ridwan Yalidjama, Allobua Rangan V). Korupsi dana APBD. divonis 4 tahun penjara. Kemudian kasus korupsi Sutomo Borman, Ketut Mardika (Mantan anggota DPRD Kab. Donggala). Korupsi dana APBD. Sementara itu, di Sulawesi Tenggara tepatnya di Kota Kendari terdapat kasus 23 anggota DPRD. Divonis 2 tahun. Selanjutnya, kasus seorang masih menjabat anggota DPRD Kota Kendari periode 2009-2014. Kasus pengadaan mobil Puskesmas Keliling Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana tahun 2008, Sulawesi Tenggara. Propinsi Maluku Utara juga terdapat kasus korupsi politisi Parpol, antara lain kasus 36 mantan Anggota DPRD Maluku Utara periode 1999-2004. Kasus di KabupatenTual, Provinsi Maluku Tenggara. Kasus Korupsi Dana APBD Kabupaten Maluku Tenggara (Malra) ini merugikan negara Rp. 8.256.266.000. Apa yang dapat disimpulkan dari fakta dan data di atas, yakni fenomena korupsi di daerah bukanlah hanya Kepala Daerah sebagai aktor/pelaku, anggota legislatif kader Parpol juga telah berposisi sebagai pelaku. Karena itu, sekalipun terpecahkan masalah Pilkada sebagai penyebab tindak pidana korupsi Kepala Daerah, tidak berarti menghapuskan politisi Parpol di legislatif terbebas dari perilaku korupsi di daerah. Bahkan, kalau Parpol membiayai Calon Kepala Daerah dalam pencalonan dan kampanye, para politisi Parpol bersangkutan menjadi “ganas” korupsi dana negara karena mereka mencari “ganti” dana dikeluarkan sebelumnya. Berdasarkan fakta dan data korupsi anggota legislatif (DPRD) di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fenomena korupsi anggota legislatif biasanya berpola pada proses anggaran. Tidak menunjukkan dominan kasus korupsi pada PBJP (Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) di daerah. Karena itu, keterlibatan anggota DPRD dalam melakukan korupsi pada PBJP di daerah tidak cukup fakta dan data berdasarkan sumber lembaga penegak hukum, sehingga keterlibatan korupsi pada PBJP tidak sampai mengantarkan anggota DPRD menjadi tersangka atau terdakwa bagi penegak hukum. Perlu ada pembuktian lebih mendalam dan pengumpulan data sekunder dan primer di lapangan melalui FGD (Focus Group Discussion) atau indept-interview, misalnya, dengan pelaku usaha atau penyedia jasa/barang sebagai rekanan Pemerintahan Daerah. Melalui FGD dan indept-interview akan dapat diketahui para anggota DPRD sebagai “pelaku” korupsi pada PBJP di daerah (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP