Rabu, 25 April 2012

MENYOAL KINERJA DPR ERA REFORMASI

DPR adalah lembaga kenegaraan dan perwakilan rakyat memiliki peran serta penting dalam pemerintahan demokratis. Sebagai manifestasi cita-cita demokrasi dan prinsip kedaulatan rakyat era reformasi, DPR memiliki fungsi regulasi (membuat UU dan kebijakan publik) akan dilaksanakan oleh Pemerintah sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Melalui DPR, rakyat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU dan kebijakan publik. DPR juga mempunyai fungsi budgeting (anggaran) bahkan sampai pada Satuan (Proyek), bukan hanya program, juga fungsi legislasai dan bahkan fungsi rekruitmen (penempatan) pejabat Negara di dalam Badan/Komisi Negara seperti KPK, Komisi Yudisial, KPU, dll. Beberapa pemikiran dan opini telah muncul menyoal kinerja DPR era reformasi ini. Pada umumnya pemikiran dan opini menyoal kinerja DPR dari tahun ke tahun masih lemah dan semakin „buruk“ atau „menurun“ dalam pelaksanaan fungsi legislasi. DPR periode 2009-2014 tidak lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya. Penilaian ini semacam bisa bersifat individual, bisa juga bersifat kolektif. Bahkan, penilaian individual bukan saja datang dari kalangan masyarakat madani, melainkan juga penyelenggara pemerintahan. Penilaian Legislasi Salah satu penilaian kolektif telah dibeberkan oleh Kompas, 11 April 2011 berdasarkan sumber Litbang Kompas, diolah dari Badan Legislasi DPR dan hasil jajak pendapat Kompas (30 Maret-1April 2011). Menurut Sumber tesebut, kinerja legislasi DPR ditunjukkan berdasarkan target dan disetujui Undang-undang oleh DPR, yakni: Tahun 2005: target 55, disetujui 14 UU; Tahun 2006: target 76, disetujui 36 UU; Tahun 2007: target 78, disetujui 40UU; Tahun 2008: target 80, disetujui 61UU; Tahun 2009: target 82, disetujui 39UU; Tahun 2010: target 70, disetujui 15UU. Tahun 2011: target 60*), disetujui 0 UU (* hingga November 2010). Data di atas menunjukkan bahwa setiap tahun DPR tidak berhasil mencapai target pembuatan UU, kalau tidak boleh disebut sebagai suatu kegagalan DPR.Pada 2005 DPR mengalami kekurangan dari target mencapai 41 UU, 2006 kekuarangan 37 UU, 2007 kekurangan 38 UU, 2008 kekurangan 19 UU, 2009 kekurangan 43 UU, November 2010 kekurangan 55 UU dan 2011 diperkirakan banyaknya kekurangan sekitar 40 UU. Di lain fihak, menurut jajak pendapat Kompas tentang citra DPR di mata publik dengan 789 responden pada 4-6 Agustus 2010, terdapat 78,2 % responden menilai buruk, hanya 14,6 % menilai baik dan 7,2 % menilai tidak tahu. Sementara hasil jajak pendapat Kompas pada 30 Maret-1 April 2011 dengan 842 responden tentang kepedulian DPR terhadap kritik menurut publik, menunjukkan bahwa 72,3 % rersponden menilai DPR tidak perduli terhadap kritik, hanya 22, 9 % menilai, DPR peduli terhadap kritik, sementara 4,8 % tidak menjawab. Di lain fihak, hasil jajak pendapat Kompas terakhir ini menunjukkan penilaian publik tentang keterwakilan aspirasi DPR, yakni sebanyak 74,3% responden menilai tidak peduli dengan keterwakilan aspirasi, 20,3 % menilai peduli dan 5,4 % tidak jawab. Penilaian Anggota Komisi III Hukum Seorang Anggota DPR Periode 2009-2014 dari Komisi III (Hukum), Ahmad Yani, telah menulis buku berjudul: Pasang Surut Kinerja Legislasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). Di dalam buku ini, Ahmad Yani mempotret kinerja legislasi DPR terutama pada periode 2005-2009. Berdasarkan evaluasi kader PPP ini, terdapat karakteristik mewarnai kinerja legislasi DPR, terutama Proglegnas (Program Legislasi Nasional) mencakup: 1. Ketidakkonsistenan Jumlah RUU dalam Proglegnas tahun 2005-2009. 2. DPR belum dapat memenuhi target jumlah penyelesaiaan telah ditetapkan dalam Prolegnas. 3. Duplikasi judul RUU dalam Prolegnas. 4. Adanya RUU tidak diajukan dalam Prolegnas tahun 2005-2009. 5. Kualitas legislasi rendah. Menurut Yani, pada periode DPR 2004-2009, terdapat 284 RUU ditetapkan, dan 193 RUU diantaranya berhasil dijadikan UU. Dari 193 UU itu, hanya 76 UU berasal dari Daftar Judul RUU Prolegnas 2005-2009. Sisanya 96 UU berasal dari Daftar Komulatif Terbuka, APBN, serta Pembentukan PT dan Perpu. Pencapaian 284 RUU yang ditetapkan tergolong sangat jauh melebihi kapasitas DPR baik dari segi waktu maupun daya dukung untuk menyelesaikan dalam satu periode. Dalam proses penyusunan Prolegnas, lanjut Yani, belum secara cermat mempertimbangkan aspek ketersediaan kapasitas dimaksud. Juga, penentuan jumlah RUU belum sepenuhnya menggunakan kriteria jelas dan tepat, dikaitkan kebutuhan hukum yang ada. Penentuan Daftar Judul RUU masuk tidak disertai dengan Naskah Akademik dan Naskah RUU-nya. Ahmad Yani juga menunjukkan 4 judul RUU duplikasi karena memiliki judul sama dan proses penyusunan Prolegnas masih membuka peluang terjadinya ketidaktelitian. Sangat mungkin, ujarnya, ketidaktelitian karena Prolegnas hanya memuat daftar judul RUU, sulit untuk mengetahui apa substansi materi muatan dalam 4 judul RUU tersebut. Disamping itu, terdapat 154 judul RUU dalam Prolegnas 2005-2009 tidak pernah diajukan sebagai prioritas untuk dibahas baik oleh Pemerintah maupun DPR. Sehingga hanya 130 judul RUU saja tercantum dalam Prolegnas 2005-2009 berdasarkan pertimbangan tertentu merupakan RUU ditetapkan untuk dibahas oleh DPR hingga 2009. Jika ditambah 27 judul RUU non-Prolegnas, maka DPR 2005-2009 hanya membahas 157 RUU saja, bukan 284 RUU seperti tertuang di dalam Prolegnas 2005-2009. Bagi Ahmad Yani, jika dilihat dari aspek materi hukum, masih ditemukan materi hukum saling tumpang tindih dan tidak konsisten baik vertikal maupun horizontal, belum menunjukkan komitmen dan karakter responsif terhadap masalah perlindungan hak asasi manusia, masyarakat lemah dan marginal, nilai-nilai keadilan gender, serta proses pembentukan kurang aspiratif dan partisipatif. Indikatornya adalah masih banyak produk UU diujimaterikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan data MK,lanjut Ahmad Yani, sejak tahun 2003 hingga 27 Agustus 2008, terdapat 150 putusan MK atas 73 UU diajukan Judicial Review. Dari jumlah putusan tersebut, 40 putusan diantaranya dikabulkan MK. Hal ini menjustifikasi penilaian Ahmad Yani bahwa kualitas legislasi DPR rendah. Penilaian Ketua DPR Penilaian anggota DPR lain tentang kinerja DPR dapat diambil dari pernyataan Ketua DPR, Marzuki Alie, pada saat memberi sambutan dalam Rapat Koordinasi Nasional dan Bimbingan Teknis Partai Demokrasi Pembaruan di Denpasar, Bali, Sabtu malam, 21 Mei 2011 (VIVAnews, 22 Mei 2011). Marzuki mengatakan, banyak anggota DPR masih muda dan berwajah baru -- selama ini diharapkan membawa perubahan nasib bangsa ke arah lebih baik-- justru malah membuat lembaga parlemen semakin bobrok. “70 persen muda dan baru-baru itu, justru malah membawa petaka,” Dia mengatakan, sejak September 2009, berdasarkan hasil survei sebuah lembaga, kepercayaan publik terhadap legislatif terus menurun. Ia menyebut angka di kisaran 24 persen. Padahal, DPR kali ini merupakan produk reformasi diharapkan mampu berbuat lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat. “Tetapi, setelah 10 tahun berjalan apa terjadi? Kasus korupsi, asusila, dan arogansi justru terjadi pada anggota DPR. DPR itu menjadi sumber masalah. Itu fakta,”katanya. Menurut dia, peralihan kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi diharapkan mampu mengubah kesan DPR dari pemberi legitimasi kebijakan penguasa menjadi badan kontrol dan penyambung aspirasi publik. Tetapi, katanya, peran itu tidak mampu dijalankan anggota DPR. “ duduk di DPR sekarang itu hanya mikir duit, dan duit saja. Hampir seperti selebriti, cari panggung, ngomong sana-ngomong sini. Sementara tidak bisa ngomong datang, absen lalu pulang," katanya. Untuk itu, tak ada cara selain melakukan perubahan mendasar di lembaga perwakilan rakyat tersebut. “Perubahannya melalui sistem. Karenanya kita buat rencana strategis. Kita harus ubah total. Proses kaderisasi di partai politik itu harus berjalan, harus ada pembenahan secara sistematis,” ujarnya. Penilaian Rektor Berbagai penilaian kolektif terhadap kinerja DPR, terutama anggota DPR, telah bermunculan di berbagai media massa. Salah satu penilaian kolektif sangat mengejutkan datang dari sekompok Rektor di Indonesia melalui Metodologi Panel Survei 30 Rektor perguruan tinggi dilakukan Litbang Kompas (Kompas 24 Mei 2011). Suatu pertanyaan diajukan: “dalam skala 1-10, berapakah nilai anda berikan terhadap kualitas kepemimpinan di beberapa kalangan berikut pada saat ini?” (1 untuk terburuk dan 10 untuk terbaik). Hasilnya sebagai berikut: Personel TNI 7,0; Mahasiswa 6,5; Pemuka-pemuka Agama 6,5; Pengusaha 6,1; Menteri-menteri 6,0; Aktivis LSM 6,0; Kepala-kepala Daerah 5,8; Pegawai Birokrasi 5,7; Polri 5,2; Parpol 5,1; dan, anggota DPR 4,8. Hasil panel Rektor cenderung memberikan penilaian buruk terhadap kepemimpinan di kalangan DPR sekarang. Rata-rata penilaian mereka jatuh di angka 4,8 ketika mereka diminta memeringkatkan 1 hingga 10 untuk kepemimpinan di kalangan anggota legislatif ini. Nilai kepemimpinan di DPR adalah terendah dibandingkan dengan kalangan menteri, pegawai birokrasi, kepala-kepala daerah, pengusaha, dan kelompok-kelompok lain ditanyakan. Tidak jauh berbeda dengan anggota DPR, panel Rektor ini juga memberikan penilaian terburuk setelah anggota DPR, jatuh di angka 5,1. Fungsi anggaran atau budget DPR telah dijadikan salah salah kriteria penilaian publik atas kinerja DPR. DPR mengemban tugas bidang anggaran. Tugas ini telah sesuai dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan jika DPR tidak menyetujui RUU APBN diajukan pemerintah, maka pemerintah menjalankan APBN lalu. Hal ini dipertegas oleh UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara menyatakan APBN merupakan rencana keuangan pemerintah disetujui DPR dan DPR juga memiliki peran untuk mengajukan usul perubahan pada sisi pendapatan dan belanja pada RAPBN (Rencana APBN) diajukan Pemerintah. Selain menjadi payung hukum bagi DPR dalam menjalankan fungsi anggarannya, juga merupakan kesempatan emas bagi para wakil rakyat untuk menyetujui anggaran pro-rakyat berupa APBN diajukan pemerintah. Fungsi anggaran DPR juga merupakan alat ukur menunjukkan keberpihakan DPR terhadap rakyat dalam perwujudan APBN. Itu artinya, DPR memiliki kewenangan kuat dalam penyusunan APBN. Namun, dimata publik fungsi DPR di bidang anggaran ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kinerja kinerja DPR dari segi fungsi anggaran dinilai lemah sehingga mewarnai maraknya anggota DPR sebagai “calo anggaran”. Salah satu penilaian kritis datang dari Sebastian Salang dari Formappi. Ia menilai, DPR lebih memperjuangkan alokasi anggaran untuk kepentingan sendiri dibandingkan bagi kepentingan publik. Ini, ujar Ketua Formappi, bisa dilihat dalam hal permintaan alokasi dana aspirasi, pembangunan gedung DPR, mobil mewah. DPR belum mampu mengaplikasikan hasil kunjungan kerja atau aspirasi masyarakat untuk dimasukkan ke dalam APBN. Dalam APBN/APBN-P 2010, sebesar Rp. 781,5 triliun atau sekitar 69,33% dialokasikan untuk belanja pusat. Angka ini jauh lebih besar dibanding belanja daerah hanya Rp. 344,6 triliun (30,61 %). Formappi menyoroti biaya dan kinerja untuk DPR sendiri, pada APBN-P 2010 mendapatkan alokasi sebesar Rp. 1,22 triliun. Dari jumlah ini, biaya kunjungan kerja pimpinan dan anggota ke luar negeri naik Rp. 46,4 % dari APBN 2009 yakni Rp. 162,994 miliyar. Jika dibagi rata 560 anggota DPR, maka setiap orang mendapatkan Rp. 290,97 juta per tahun (Harian REPUBLIKA, 27 Mei 2011). Di lain fihak, penilaian datang dari Yuna Farhan, Sekjen Sekretariat Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Ia menilai fungsi anggaran DPR periode sekarang lebih terlihat menonjolkan fungsi anggaran mereka miliki untuk kepentingan mereka peribadi dan kerap dijadikan alat tawar politik. Hal ini terlihat dari usulan DPR mencuat ke publik lebih mengutamakan kepentingan mereka seperti usulan dana aspirasi, rumah aspirasi, bangun gedung baru, hobi plesiran ke luar negeri dan terakhir usulan mereka untuk APBN 2011 kenaikan anggaran legislasi dari Rp. 5,4 miliyar per RUU menjadi Rp. 8 miliyar karena kenaikan belanja pelesiran dalam setiap RUU. Orientasi pembahasan anggaran di DPR, bagi Yuna farhan, adalah bagaimana membagikan dan menghabiskan anggaran tanpa memikirkan efektivitasnya (Harian REPUBLIKA, 27 Mei 2011). Fungsi Pengawasan Terdapat juga penilaian lemahnya kinerja DPR berdasarkan fungsi pengawasan DPR. Fungsi pengawasan relatif berjalan dengan frekuensi penggunaan hak interpelasi, hak angket maupun rapat-rapat kerja di komisi-komisi. Namun, pengawasan dijalankan dalam kerangka kepentingan politik jangka pendek dan sangat sedikit menyentuh substansi. DPR juga dalam menjalankan fungsi pengawasan ini, cenderung reaktif dan responsif atas persoalan pokok aktual nasional muncul di tengah-tengah publik. Setelah publik membicarakan persoalan pokok dimaksud melalui media massa sehingga menjadi perhatian utama publik, baru DPR bereaksi menanggapi dengan menggunakan hak-hak pengawasan atau menjalankan fungsi pengawasan terkait dengan persoalan pokok nasional tersebut. Salah satu contoh adalah reaksi dari DPR atas issue nasional tentang pengaduan MK terhadap Polri atas dugaan pemalsuan putusan MK dilakukan pada 2009 dan diduga dilakukan anggota KPU Andi Nurpati. MK juga pernah menyatakan, ada belasan surat serupa menyangkut sengketa perolehan suara di Pemilu 2009. Muncul dugaan, surat palsu menjadi alat manipulasi penentuan dan alokasi kursi DPR, dan terjadinya mafia Pemilu. Terkuaknya kasus dugaan surat palsu MK ini menambah panjang catatan suram pelaksanaan dan hasil Pemilu 2009. Ketidakpercayaan publik terhadap segenap produk Pemilu semakin meningkat. Komisi bidang pemilu (Komisi II) DPR menyepakati pembentukan Panitia Kerja (Panja) kemudian dikenal sebagai “Panja Mafia Pemilu” untuk mengusut kasus pemalsuan Surat Keputusan MK tersebut. Panja diketuai oleh Chairuman Harahap (kader Golkar) dengan wakil Ganjar Pranowo (Kader PDIP). Andi Nurpati saat Panja ini dibentuk sudah tidak lagi anggota KPU, tetapi pindah menjabat salah satu Ketua DPP Partai Demokrat. Seperti diberitakan di media massa, pemalsuan Surat Keputusan MK terkait sengketa Pemilu pada 2009 di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I. Surat Keputusan MK yang palsu memenangkan anggota DPR dari Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo. Sementara Surat Keputusan yang asli memenangkan Mestariyani Habie dari Partai Gerakan Indonesia Raya. Panja Mafia Pemilu dalam Rapat Pleno telah memanggil sejumlah pihak yang terkait pembuatan Surat Keputusan yang palsu, antara lain Andi Nurpati, Dewi Yasin Limpo (fihak yang dimenangkan menjadi anggota DPR) dan Mantan Hakim MK Arsyad Sanusi serta sejumlah anggota KPU dan Badan Pengawas Pemilu. Salah satu kesimpulan sementara Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR, yakni dari beberapa orang terlibat dalam pemalsuan Surat Keputusan MK dimaksud, Panja menilai Mantan Anggota KPU Andi Nurpati berperan dominan dalam kasus ini. "Kita saat ini sudah sampai pada kesimpulan sementara. Beberapa orang memang punya peran dalam kasus ini, tetapi paling dominan adalah Andi Nurpati," ujar anggota Panja Mafia Pemilu Abdul Malik Haramain (detik.com, Rabu 13 Juli /2011). Di bawah issue surat palsu MK ini, Litbang Kompas (Kompas, 11 Juli 2011) menyelenggarakan jajak pendapat melalui telepon, sebanyak 714 responden berusia 17 tahun dipilih secara acak, berdomisili di 93 kota di Indonesia (6-8 Juli 2011). Separuh lebih responden (59,4%) cenderung mulai tidak percaya dengan keabsahan (legitimasi) kursi di DPR., sementara kelompok percaya hanya 25, 2% dan tidak tahu 15,4 %. Sekitar 70 % responden tidak yakin proses Pemilu 2009 lalu bersih dari kecurangan (kelompok yakin mencapai hanya 21,1 % dan tidak tahu 9,6%). Bahkan, terdapat 67,2 % responden yakin bahwa dalam DPR saat ini terdapat anggota menduduki kursi semestinya bukan haknya; kelompok tidak yakin hanya 17,8 % dan tidak tahun 15,0%. Sebagian besar responden juga menunjukkan ketidakpuasan terhadap kinerja DPR hasil Pemilu 2009. Bahkan, sebagian besar responden (81,7 %) tidak yakin anggota DPR terpilih dari hasil Pemilu 2009 lebih mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok dan Parpolnya. Harian Kompas (11 Juli 2011) menggambarkan mayoritas mutlak responden memiliki persepsi negatif terhadap kinerja DPR berdasarkan hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas (6-8 Juli 2011), yakni “tidak puas” baik dalam hal membuat dan menetapkan Undang-undang, melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah, membuat dan menetapkan anggaran Negara (APBN) maupun menyalurkan aspirasi masyarakat. Menurut Hasil Survei LSI Kinerja DPR dalam persepsi masyarakat dapat diambil dari hasil survei nasional Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Januari 2010. Suveri ini bertujuan untuk mengetahui pendapat publik atas koalisi partai. Hasil survei menunjukkan, pola koalisi masih belum banyak dimengerti oleh publik. Dalam jumlah cukup besar publik masih belum mengetahui, wakil suatu Papol masuk dalam kabinet berarti menjadi bagian dari anggota koalisi. Hanya separoh dan bahkan kurang publik mengetahui bahwa Golkar, PKB, PPP dan PAN mempunyai wakil dalam kabinet dan menjadi anggota koalisi. Bahkan, hanya 14.6% publik mengetahui, tidak ada kader PDIP masuk dalam kabinet. Sebanyak 33.7% publik justru keliru dengan mengira, ada wakil dari PDIP masuk dalam cabinet. Sebagian besar publik tidak mengetahui mengenai komposisi kabinet berasal dari Parpol. Publik tidak begitu mempermasalahkan masuknya Menteri dari parpol dalam kabinet. Mayoritas publik bisa menerima (49.5%) kehadiran Menteri berasal dari perwakilan Parpol. Alasan utama public adalah agar kabinet didukung oleh DPR dan banyak kader dari parpol berkualitas. Publik bisa menerima kehadiran menteri dari Parpol karena publik juga percaya bahwa menteri-menteri akan lebih tunduk kepada Presiden dibandingkan dengan Parpol Menteri bersangkutan. Survei juga menunjukkan mayoritas publik (41.5%) menilai, Parpol akan tetap bisa melakukan kontrol dan pengasawan meski kadernya masuk dalam kabinet. Pola koalisi mengakomodasi Menteri dari Parpol kabinet dimaksudkan agar suara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak berseberangan dengan Pemerintah. Pada periode rezim SBY tahap kedua ini (1999-2004) suara anggota DPR Parpol Koalisi Pendukung Pemerintah menguasai mayoritas (75.7%) kursi.Realitas obyektif jumlah kursi Parpol Koalisi menunjukkan ketidakseimbangan antara kekuatan koalisi dan oposisi (75,7% berbanding 24,3%). Ketidakseimbangan ini menyebabkan para pengamat politik mengkhawatirkan, kekuatan DPR akan lemah dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap Pemerintah. DPR akan “mengamini” saja kebijakan Pemerintah. Pada awal 2012 publik Indonesia lagi-lagi dikejutkan oleh sejumlah proyek di DPR yang pembiayaannya luar biasa mahal. Proyek-proyek ini dinilai publik tidak masuk akal dan diduga syarat korupsi. Salah satu proyek dimaksud adalah pengadaan makanan/minuman penambah daya tahan tubuh (skiatr Rp. 800 juta), pengharum ruangan (Rp. 1,5 milar), perawatan rusa (sekitar Rp. 500 juta), dan kalender (Rp. 1 miliar), asuransi keluarga anggota dewan senilai Rp. 37 miliar. Sebelumnya publik juga dikejutkan dengan rencana renovasi toilet, pemindahan ruang rapat Badan Anggaran, pembangunan gedung baru, pembangunan lahan parkir yang total keseluruhannya menelan dana ratsuan miliar, terkuak juga anggaran fantastis DPR di atas. Di tengah banyaknya masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, hal ini menjadi pertanyaan publik. Publik melalui berbagai media massa menunjukkan betapa kecewa terhadap rencana DPR yang dianggap pemborosan ini.Sebagian komentar publik meminta anggaran tersebut supaya dialihkan ke program-program yang bisa memberdayakan rakyat. Perilaku Korupsi Anggota DPR Pertanyaan pokok “Mengapa Anggota DPR Korupsi?” ini membutuhkan jawaban kausalitas (sebab-akibat), tidak saja bersifat personal tetapi juga struktural (kelompok kepentingan) di mana anggota tersebut menjadi anggota/kader Parpol. Beragam jawaban atau alasan atas pertanyaan pokok di atas telah diajukan oleh berbagai pengamat politik dan juga aktivis anti korupsi di Indonesia. Terdapat perbedaan jawaban, namun terdapat juga kesamaan jawaban. Dari semua jawaban dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Rekruitmen politisi; (2) Sumber Pendanaan untuk parpol dan Anggota DPR; (3) Transparansi dan Akuntabilitas DPR Sangat Rendah; (4) Lemahnya Posisi Kontrol Masyarakat dan Konstituen; (5) Kewenangan DPR Kegemukan; (6) Relasi Bersifat Politik Transaksional DPR-Pemerintah; (7) Biaya Politik Tinggi; (8) Pendangkalan Pemahaman Esensi Politik Rekruitmen Politisi Berdasarkan UUD 1945 hasil Amandemen, sumber utama rekruitmen politisi di DPR adalah Parpol. Proses rekruitmen politisi di DPR berdasarkan Pemilu anggota legislatif di mana Parpol sebagai peserta.Melalui Parpol peserta Pemilu proses rekruitmen anggoat DPR berlangsung. Proses rekruitmen politisi pada tingkat internal Parpol acap kali melahirkan anggota DPR berorientasi uang. Tidak ada kejelasan jenjang karir dalam politik. Hubungan loyalitas anggota dan Parpol berdasarkan setoran uang atau “high cost procedure”. Model rekruitmen “high cost procedure” dalam Parpol ini menjadi pintu awal praktik korupsi di tubuh DPR. Untuk bisa duduk di DPR, sekarang lebih ditentukan kedekatan dengan pimpinan Parpol dan dana dimiliki serta bukan prestasi. Ini membuat sebagian anggota DPR mencari harta sebanyak-banyaknya. Faktor rekruitmen ini juga diakui oleh Ketua DPR Marzuki Alie (Kader Partai Demokrat). Sebelum mengikuti pertemuan antar pemimpin lembaga negara di Kompleks Gedung DPR, Senayan Jakarta, 20 Februari 2012, Ia mengatakan, Parpol bertanggungjawab terhadap banyaknya keluhan masyarakat terhadap kinerja anggota parlemen saat ini. Partai pun harus lebih memperhatikan rekruitmen dan kadersiasi yang mereka lakukan. Untuk menghindari adanya kader seperti Angelina Sondakh dan Muhammad Nazaruddin, Marzuki mengakui, Parpol harus membenah diri. Jangan ada lagi, karena sekedar terkenal dan kaya, seseorang langsung menjadi anggota DPR. Kalau kadernya tidak dipercaya, Parpol pun tidak dipercaya,” tutur Marzuki (Kompas, 21 Februari 2012). Sumber Pendanaan untuk parpol dan Anggota DPR Mahalnya ongkos politik bagi Politisi menjadi pejabat publik akan mengembalikan investasi politik dikeluarkan kemudian menggunakan sumber daya pulik dikuasainya untuk kelanggengan kekuasaan. Dana besar dalam politik antara lain dibutuhkan untuk memperjuangkan nomor urut dan daerah pemilihan saat Pemilu, memelihara pemilih dan mengamankan posisi di Parpol. Hal ini diperkuat adanya aturan mengenai pendanaan Parpol dilarang memiliki unit usaha dan hanya menghandalkan pendanaannya dari iuran anggota dan APBD/APBN sangat terbatas. Kebutuhan akan biaya politik tinggi dan hasrat untuk mempertahankan kekuasaan kian mendorong terjadinya perselingkungan keji antara kelompok bisnis dan politik-birokrasi. Transparansi dan Akuntabilitas DPR Sangat Rendah DPR memiliki kewenangan dalam penyusunan anggaran. Namun, dalam penyusunan anggaran tersebut hampir tidak ada mekanisme dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas itu dijalankan. DPR tidak menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik dalam berbagai pengambilan keputusan sehingga terjadi kongkalikong atau politik dagang sapi. Siklus pembangunan biasanya terdiri dari tahap pembuatan kebijakan, strategi, penyusunan program, penyusunan proyek (kegiatan) dan pelaksanaan proyek. DPR dalam siklus pembangunan berperan di dalam tahap pembuatan kebijakan, penyusunan program hingga penyusunan proyek (kegiatan) atau apa yang disebut sebagai “satuan tiga”. Peran di dalam penyusunan proyek ini dinilai sebagai salah satu penyebab perilaku korupsi anggota DPR. Hal ini diperkuat lagi saat Panitia Anggaran DPR dan Pemerintah dalam penyusunan atau rapat pembahasan anggaran proyek, tidak ditegakkan prinsip transparansi atau tertutup. Banyaknya “ruang gelap” bisa dimainkan DPR. Lemahnya Posisi Kontrol Masyarakat dan Konstituen Untuk mengendalikan perilaku anggota DPR dibutuhkan posisi kontrol masyarakat dan konstituen relatifkuat. Namun, dalam realitas obyektif era reformasi, posisi kontrol dimaksud sangat lemah dan sebaliknya posisi lembaga legislatif pada saat ini sangat kuat dan tingginya ambisi anggota DPR dan elite Parpol untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan dengan gaya hidup “konsumerisme” dan “hendonisme” keluarga anggota DPR dimaksud. Masyarakat lebih menghormati hal-hal bersifat kebendaan; lebih menghargai nilai sumbangan sosial keagamaan diberikan oleh mereka; dan tutup mata terhadap asal-usul derma. Dengan perkataan lain, koruptor bisa demikian terhormat di masyarakat dapat merangsang dan mendorong orang korupsi. Kewenangan DPR Kegemukan Kewewenangan DPR kegemukan ditandai dengan semua hal bermuara di DPR, mulai dari pembahasan anggaran, rekruitmen pejabat publik, perizinan hutan dan sebagainya. Tidak mengherankan anggota DPR bisa mempejualbelikan kewenangan untuk kepentingan individu. DPD (Dewan Perwakilan Daerah) semula diadakan untuk menyeimbangi kewenangan DPR luar biasa itu ternyata tidak berkutik. Sistem bikameral diciptakan UUD 45 Perubahan (Amandemen) ternyata tidak berjalan baik. Kewenangan DPD tidak ada apa-apanya di mata DPR kecuali hanya sebagai instansi formalitas belaka. Relasi Bersifat Politik Transaksional DPR-Pemerintah Pemerintah cenderung membiarkan terbangunnya relasi bersifat politik transaksional dengan DPR ketimbang relasi bersifat institusional. Transaksi tertutup berlangsung saat Presiden dan DPR bersepakat melalui rapat-rapat konsultasi akhirnya meredam usul hak interpelasi atau hak angket DPR. Hak angket impor beras, misalnya, kandas setelah berlangsung lobi setengah kamar antara pemerintah dan pimpinan fraksi DPR di Hotel Dharmawangsa. Transaksi paling terlanjang dialami para pejabat eselon I (sekjen atau setama) saat berhadapan dengan Panitia Anggaran DPR dalam menegoisasi alokasi anggaran masing-masing departemen/kementerian dalam struktur APBN. Sedangkan transaksi skala kecil berlangsung hampir di setiap pekan di lobi atau kafe-kafe hotel berbintang di Jakarta antara DPR dan pejabat daerah untuk mengurus Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dana bagi hasil atau “biaya sosialisasi” terkait pemekaran daerah. Biaya Politik Tinggi Sebagai konsekuensi dari politik berbiaya tinggi adalah sistem rekruitmen dan promosi Parpol tidak berdasarkan kriteria keunggulan. Selain itu, calon anggota DPR dibiasakan dengan iming-iming materi sejak memperkenalkan diri sampai meraih dukungan suara. Di samping itu, mereka terjebak keinginan untuk menaikkan status sosial dengan ukuran materi. Wakil rakyat meyakini kenaikan status itu dapat diperoleh bila nilai kejayaan dan gaya hidup mereka naik. Karena memaknai kenaikan status sosial seperti itu, mereka terjebak ke dalam hidup berbiaya tinggi bersama keluarga dan terdorong untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya. Pendangkalan Pemahaman Esensi Politik Pendangkalan pemahaman para wakil rakyat terhadap esensi politik, Parpol, parlemen dan hakikat keterlibatan mereka dalam kehidupan politik nasional. Politik didistorsikan secara konkreat sekedar sebagai kekuasaan sehingga perdebatan tentang moralitas atau etika, hati nurani, dan keberpihakan pada penderitaan rakyat tidak lagi relevan bagi sebagian politisi DPR. Parpol cenderung dipraktikkan sebagai tempat untuk “mengambil” ketimbang wadah untuk mengabdi bagi Ibu Pertiwi seperti diteladani para pendiri bangsa ini. Berbagai UU bidang politik selalu direvisi menjelang Pemilu cenderung dirancang melestarikan realitas obyektif tidak pro rakyat ini. Sesungguhnya perilaku korupsi politisi di Badan Anggaran DPR-RI sudah terjadi sejak perencanaan, melibatkan oknum pimpinan, komisi, pejabat kementerian, pejabat daerah, pengusaha, dan calo. Dari hasil penelusuran Kompas (Kompas, 3 Oktober 2011), termasuk hasil verifikasi Pos Pengaduan Praktik Mafia Anggaran, setidaknya terungkap 6 (enam) modus operansi dugaan mafia anggaran. Modus itu berlangsung terus menerus sejak era reformasi. Pertama, kerjasama oknum anggota DPR dengan oknum anggota DPR lainnya antar komisi atau Badan Anggaran dengan Komisi DPR, yang melibatkan perantara sebagai penghubung daerah dengan pusat. Kedua, orang-orang kepercayaan oknum anggota DPR yang ditanamkan di daerah-daerah dengan pesan untuk menghubungi oknum anggota DPR atau pimpinan DPR atau pejabat kementerian serta di Daerah. Ketiga, calo-calo atau perantara yang hanya menjadi penghubung daerah dengan oknum anggota DPR dan kementerian. Keempat, calo yang mengaku staf atau orang kepercayaan oknum anggota DPR menjadi penghubung daerah dengan DPR atau kementerian. Kelima, oknum anggota DPR terjun langsung ke daerah pemilihannya dan menawarkan proyek dengan janji-janji langsung ke Bupati/Walikota atau kepala dinas dan kemudian ditindaklanjuti dengan penyetoran dana awal. Bisa langsung ke oknum atau menggunakan perantara atau calo anggaran. Keenam, sejumlah aktivis yang mendirikan LSM dan menjual jasa untuk membuat proposal ke DPR atau ke kementerian dan sekaligus mengurusnya ke instansi atau DOR dengan imbalan tertentu Rp. 15 juta-Rp. 20 juta. Kinerja DPR Sampai Tahun 2014 Dalam kurun waktu lima tahun ini, DPR periode 2009-2014 telah menghabiskan anggaran hingga Rp. 11.8 triliun. Namun besarnya anggaran tersebut berbanding terbalik dengan capaian kinerja parlemen yang relative rendah. Menurut Harian Kompas, 17 Februari 2014, berdasarkan data Indonesia Budget Centre (IBC), dari total anggaran Ro.11,8 triliun itu, sekitar 70 % arau Rp.8,3 triliundialokasikan untukmembiayai kegiatan anggota DPR. Adapun Rp. 3,5 triliun lainnya untuk anggaran Sekretariat Jenderal DPR. Di lihat dari anggaran setiap tahun anggaran untuik kegiatan anggota DPR sesungguhnya terus menaik. Tahun n2010 anggaran DPR sebear Rp. 1,03 triliun.Pada 2011 menaik menjadi Rp. 1.17 triliun.Pada 2012, anggaran anggota DPR nail lagi menjadi Rp.1,51 trilun, tahun 2013 kembali menaik menjadi Rp. 2,22 triliun, dan tahun 2014 naik lagi menjadi Rp. 2,37 triliun. Besarnya anggaran yang dialokasikan selama lima tahun masa jabatan itu, dalam kenyataannya DPR kurang berprestasi. Fungsi pengawasan, penganggaran dan legislasi tidak berjalan baik. Dalam bidang legislasi misalnya, DPR tidak pernah berhasil memenuhi target legislasi. Pada 2010 DPR hanya berhasil menyelensaikan delapan dari target 70 RUU prioritas. Begitu pula tahun 2011, DPR hanya mampu menyelesaikan pembahasan 18 RUU dari target 93 RUU prioritas dan pada 2012 hanya 10 RUU dari target 64 RUU proritas. Kondisi ini masih berulang pada 2013 saat DPR hanya menyelesaikan pembahasan 7 RUU prioritas. Padahal jumlah RUU yang dipririoritaskan sebanyak 70 RUU. Pada 2014 DPR menargetkan menyelesaikan 66 RUU prioritas. Namun hingga Februari 2014, baru menyelesaikan satu, RUU tentang Perdagangan. Karena itu , secara ideologis masuk akal kalau rakyat Indonesia semakin banyak akan tidak menggunakan hak suara (Golput) pada Pemilu berikutnya. Pada Awal April 2014 Kompas telah melaksanakan survei terhadap 652(Kompas,14 April 2014). Hasilnya menunjukkan, 70 % dari keseluruhan 652 responden, menilai buruk citra anggota DPR periode 2009-2014. Tidak hanya citra yang terpuruk, kinerja mereka juga dinilai buruk oleh mayoritas responden. Gambaran pendapat publik tampak belum berubah dibandingkan masa lima tahun atau bahkan 10 tahun sebelumnya. Pemilihan Anggota Baru DPR sudah dilakukan pada 9 April 2014. Namun, Hasil Survei Kompas di atas menunjukkan bahwa publik memiliki keraguan terhadap kiprah anggota DPR mendatang. Terdapat 68 % dari keseluruhan 652 responden menunjukkan keraguan terhadap kemampuan anggota Dewan menghindari suap dan korupsi. Menurut publik, DPR tepilih mendatang (Periode 2014-2019) tidak akan jauh berbeda dengan DPR sebelumnya. Publik juga pesimistis terkait kemampuan anggota DPR menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. MUCHTAR EFFENDI HARAHAP