Jumat, 24 Februari 2012

SIKAP ANTI PARPOL KIAN MENINGKAT: MASALAH BARU DAN UTAMA ERA REFORMASI

Menjelang Pemilu 2014 kecenderungan sikap anti Parpol di Indonesia kian meningkat. Citra Parpol dimata publik/masyarakat acapkali semakin negatif dan bahkan semakin tidak dipercaya publik. Kemajuan kepartaian dalam bentuk peningkatan secara drastis jumlah dan kualitas sesungguhnya tidak diikuti dengan pelaksanaan fungsi Parpol sebagai sarana terutama pendidikan politik, penciptaan iklim untuk mensejahterakan rakyat dan juga penyaluran aspirasi politik rakyat dalam kebijakan publik sesuai peraturan perundang-undangan.


Beberapa hasil survei opini publik tentang kepartaian di dalam era reformasi belakangan ini memperlihatkan realitas obyektif kepartaian semacam itu. Hasil survei Reform Institute, sebagai misal, menunjukkan bahwa tingkat kekurangpuasan publik atas performa Parpol dalam dua tahun belakangan meningkat dari 41 % pada 2009 menjadi 60 % pada 2011. Hasil survei Reform Institute ini juga menunjukkan, sekitar 34 % responden menyatakan bahwa tidak ada manfaat keberadaan Parpol sama sekali bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di lain fihak, hasil survei opini publik Jaringan Suara Indonesia (JSI) juga menunjukkan ke arah yang sama, yakni 51,4 % responden menyatakan tidak puas dengan kinerja Parpol. Dua hasil survei opini publik tentang keberasaan Parpol tersebut dan beberapa hasil survei sebelumnya mengindikasikan semakin melemahnya citra Parpol di mata publik.

CSIS (Centre fro Strategic and International Studies, 13 Februari 2012 melansir hasil survey secaar acak bertingkat pada 16-24 Januari 2012 terhadap 2.117 responden di 33 Provinsi yang memperlihatkan, penilaian publik terhadap parpol peserta Pemilu 2009 (Kompas, 14 Februari 2012). Kepercayaan terhadap Parpol sangat rendah, yang ditunjuukkan dengan sangat rendahnya dukungan masyarakat terhadap Parpol. Kekecewaan masyarakat semakin melouas dan hanya 24,4 % responden menilai Parpol memiliki kinerja baik. Dukungan terhadap Parpol pun turun dibandingkan dengan Pemilu 2009. Keterikatan terhadap Parpol ditunjukkan sebagai berikut: (a) Pernah Menyumpang Parpol hanay 1,3 %, sementara tidak pernah menyumbang mencapai 98,7%; (b) mengenal wakil di DPR hanya 7,8 %, sementara sebanyak 92,2 % tidak mengenal.Sementara itu, jumlah responden yang belum memutuskan memiloih Parpol (undecided voters) apa menduduki peringkat teratas, yakni 48,4 %.

Sikap anti Parpol dan masyarakat tidak suka (emoh) tehadap Parpol yang semakin menguat belakangan ini dapat dibuktikan dari tingkat Party-identification atau identifikasi terhadap Parpol. Salah satu hasil Jajak Pendapat terkait dengan identifiaksi terhadap Parpol telah dibeberkan oleh Litbang Kompas, diselenggarakan pada 25-27 Mei 2011 (57 Kota) dengan samping error=+/- 3,6 % dan 745 responden. Dari total responden, hanya 18 % pernah ikut diskusi, seminar dan kegiatan seni Parpol, sisanya 82 % tidak pernah. Jumlah responden ikut kampanye Pemilu/Pilkada sebanyak 25,6 % dan tidak pernah 74,3%. Jumlah responden pernah menyumbang “barang” terhadap Parpol hanya 7,2 % , tidak pernah 92,8%. Sedangkan jumlah responden pernah menyumbang “uang” hanya sebesar 7,0%, tidak pernah 93,01% (Kompas, 15 Februari 2012).

Hasil survei lain menunjukkan penilaian publik atas Parpol semakin memburuk atau tidak suka (emoh) terhadap Parpol dapat ditunjukkan juga oleh hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 1-12 Februari 2012 berdasarkan multistage random sampling dari 33 Provinsi, 2.050 orang, Margin error +/- 2,2 persen, tingkat kepercayaan 95 persen, wawancara tatap muka, merujuk jumlah parpol pada Pileg 2009.

Jika dilaksanakan Pemilu saat wawancara dilalukan terhadap responden, maka hasilnya juga terjadi pengurangan dukungan. Golkar hanya mendapat dukungan 15,5 %; Partai Demokrat menurun drastic hanya 13,7 %; PDIP hanya 13,6%; Gerindra 4,9 %; PPP 4,9%; PAN 4,1 %; Hanura bahkan hanya 1,2 %. Parpol-parpol lainnya tergabunghanay 5,1 %. Sementara itu, kelompok masyarakat belum menentukan pilihan mencapai 28,9%.

Pada umumnya kekuatan elektoral Parpol menunjukkan menurunan signifikan ketimbang perolehan suara Pemilu 2009. Namun, terdapat 28,9 % responden masih menyatakan belum mengetahui pilihan politik. Dari responden yang sudah meiliki Parpol pilihan, sebagian juga menyatakan belum mantap. Secara keseluruhan, warga yang belum jelas dengan pilihan mencapai 51 %. Hal ini tidak berbeda jauh dari hasil survey CSIS, menunjukkan angka 48, 4 % warga belum punya pilihan.

Dua hasil survei di atas (CSIS dan LSI) dapat memberi makna, adanya potensi atau kecenderungan kekecewaan publik terhadap institusi parpol yang meningkat. Juga, bahkan dapat dimaknakan sebagai kondisi mengarah pada deparpolisasi, yang dinilai para pengamat politik demokrasi sebagai kondisi “berbahaya” bagi demokrasi. Kekecewaan publik terhadap Parpol sesungguhnya berlaku kepada semua Parpol, bukan satu dua Parpol semata seperti Partai Demokrat, Golkar dan PDIP.

Dari sisi komunikasi politik, publik menilai komunikasi yang dilakukan para pemimpin selama ini masih sebatas pencitraan diri atau lembaga dibandingkan dengan upaya memberikan solusi atas persoaloan bangsa.Sebuah hasil Jajak Pendapat “Kompas” (Tabel 1.3 di bawah). menunjukkan bahwa terhadap 82,4 % responden menilai akomodatif terhadap aspirasi masyarakat tidak memadai, dan hanya 11,1 % menilai memadai. Untuk pemberian solusi persoalan, terhadap 83,8% responden menilai pimpinan Parpol tidaki memadai dalam memberikan solusi persoalan dalam komunikasi politik. Juga dalam memperluas dukungan noublik, 74,0% responden menilai tidak memadai. Intinya, publik menilai lebih dari tiga perempat responden menyuarakan penilaian negatif terhadap pimpinan Parpol dalam berkomunikasi politik.

Kekhawatiran para pengamat politik pro demokrasi melihat kecenderungan sikap anti Parpol kian meningkat ini adalah kekagalan demokrasi dan munculnya kembali kekuatan otoriterian atau militer memimpin negara ini. Publik bisa jadi tidak percaya dengan demokrasi, dan kembali mendambakan kondisi otoriterian sebagaimana era Orde Baru. Parpol semula diharapkan sebagai komponen strategis proses percepatan demokratisasi justru terus menerus memproduksi “koruptor “ dan “criminal politik” terang menderang di media massa. Bingkai politik demokrasi telah diisi perilaku korupsi dan criminal kader Parpol baik di eksekutif maupun legislatif. Kecenderungan ini menjadi masalah baru dan utama dalam era reformasi ini, bisa jadi lebih sulit untuk dipecahkan ketimbang era Orde Baru. Kelompok pelaku koruptor dan kriminal politik ini jauh lebih besar di era refromasi!

Rabu, 08 Februari 2012

PEMUDA DAN PEMBANGUNAN POLITIK



Catatan:
Makalah Muchtar Effendi Harahap disajikan pada “Pendidikan Politik dan Hukum Bagi Mahasiswa, Kantor Lurah Cawang, Jakarta, 4 Feb. 2012




I.PENGERTIAN PEMUDA


A.Menurut UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan.
Pemuda adalah warga negara Indonesia memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Sedangkan pengertian “Kepemudaan” adalah berbagai hal berkaitan dengan potensi, tanggung jawab, hak, karakter, kapasitas, aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda.

B Menurut Usia/Umur 15-30 Tahun
Pemuda adalah manusia yang berusia 15 – 30 tahun, secara biologis yaitu manusia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kedewasaan seperti adanya perubahan fisik, dan secara agama adalah manusia yang sudah memasuki fase aqil baligh, ditandai dengan mimpi basah bagi pria biasanya pada usia 11 – 15 tahun dan keluarnya darah haid bagi wanita biasanya saat usia 9 – 13 tahun.
D. Menurut Princeton
Pemuda (youth) dalam kamus Webstersnya sebagai “the time of life between childhood and maturity; early maturity; the state of being young or immature or inexperienced; the freshness and vitality characteristic of a young person”.

E.Menurut WHO
WHO menggolongkan usia 10 – 24 tahun sebagai “young people”, sedangkan remaja atau adolescence dalam golongan usia 10 -19 tahun. Contoh lain di Canada dimana negara tersebut menerapkan bahwa “after age 24, youth are no longer eligible for adolescent social services”.

II.CIRI-CIRI PEMUDA

1.Berani merombak dan bertindak revolusioner terhadap tatanan sistem yang rusak. Mempunyai keberanian mengambil resiko. Keberanian dan Keterbukaanya dalam menyerap nilai-nilai dan gagasan-gagasan baru
2.Memiliki standar moralitas (iman), berwawasan, bersatu, optimis dan teguh dalam pendirian serta konsisten dalam dengan perkataan. Keteguhan janji dan keinginan untuk menampilkan sikap dan keperibadian mandiri.
3.Tidak berputus-asa, pantang mundur sebelum cita-cita tercapai. Memiliki optimisme dan kegairahan semangat. Keinginan untuk segera mewujudkan gagasan-gagasan baru.
4.Idealis dan daya kritis atau kemurnian idealism. Secara sosiologis generasi muda belum mapan dalam tatanan yang ada, maka ia dapat melihat kekurangan-kekurangan dalam tatanan dan secara wajar mampu mencari gagasan baru.
5.Dinamis, kreatif, inovatif dan spontan.
6.Masih langkanya pengalaman dapat merelevansikan pendapat, sikap dan tindakan dengan kenyataan yang ada.
Jadi pemuda identik dengan sebagai sosok individu yang berusia produktif dan mempunyai karakter khas yang spesifik yaitu revolusioner, optimis, berpikiran maju, memiliki moralitas, dsb. Kelemahan mecolok dari seorang pemuda adalah kontrol diri dalam artian mudah emosional, sedangkan kelebihan pemuda yang paling menonjol adalah mau menghadapi perubahan, baik berupa perubahan sosial maupun kultural dengan menjadi pelopor perubahan itu sendiri.

II.PENGERTIAN PEMBANGUNAN POLITIK

A.Menurut Lucian W. Pye

Seorang Ilmuwan Politik Amerika Serikat, Lucian W. Pye. membuat pengertian “pembangunan politik” konprehensif karena ada 10 (sepuluh) arti berkaitan dengan pengertian pembangunan politik, yaitu:

1.Prasarat utama bagi pembangunan ekonomi.
2.Ciri khas pembangunan industri.
3.Operasionalisasi negara bangsa.
4.Modernisasi politik.
5.Pembangunan administrasi dan hokum.
6.Mobilisasi dan partisipasi massa.
7.Pembinaan kehidupan demokrasi.
8.Stabilitas dan perubahan teratur.
9.Mobilisasi dan kekuasaan.
10.Proses perubahan sosial multidimensional.

B.Menurut Pemerintah RI

Pengertian pembangunan politik, menurut Pemerintah RI, adalah membangun sistem politik demokratis serta mempertahankan persatuan dan kesatuan. Sementara, sistem politik Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses demokratisasi membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika kehidupan politik nasional, melainkan juga terhadap dinamika sistem lain menunjang penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Pembangunan sistem politik demokratis tersebut diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik Indonesia dan semakin mempererat persatuan dan kesatuan Indonesia akan memberikan ruang sesemakin luas bagi perwujudan keadilan sosial dan kesejahteraan merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, pembangunan politik di Indonesia harus berhadapan dengan proses demokratisasi sedang berjalan dewasa ini.

Pembangunan politik diharapkan tumbuh dan berkembang bersama dengan bidang kehidupan lain dalam masyarakat secara simultan agar dapat memberikan kontribusi optimal bagi terwujudnya sistem politik nasional berkedaulatan rakyat, demokratis, dan terbuka. Pembangunan politik dilaksanakan melalui tiga komponen kegiatan yakni:

1.Perbaikan struktur Politik
2.Peningkatan kualitas proses politik
3.Pengembangan budaya politik.


III.PEMBANGUNAN POLITIK: PERBAIKAN STRUKTUR POLITIK

Tujuan pembangunan politik, menyempurnakan konstitusi sesuai dengan dinamika kehidupan politik nasional dan aspirasi masyarakat serta perkembangan lingkungan strategis internasional, mengembangkan institusi politik demokrasi, dan mewujudkan netralitas pegawai negeri sipil, polisi dan militer, serta memantapkan mekanisme pelaksanaan.

Sasaran komponen kegiatan perbaikan struktur politik ini adalah:
•Terwujudnya struktur politik demokratis, berintikan pemisahan kekuasaan tegas dan keseimbangan kekuasaan.
•Terwujudnya peningkatan kapasitas lembaga negara dalam menjalankan peran, fungsi dan tugas dan dalam menerapkan mekanisme kontrol dan keseimbangan (check and balances).

Sebagai hukum dasar dan tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, UUD 1945 telah mengalami perubahan sejak tahun 1999 hingga 2002.

Perubahan UUD 1945 telah:
1.Mengubah corak dan format klembagan serta mekanisme hubungan antar lembaga negara.
2.Menghasilkan rumusan UUD jauh lebih kokoh menjadi hak konstitusional warga negara.
3.Menghasilkan Butir Perubahan Mendasar: dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi langsung. Pasal 6A UUD 1945, mengatur sistem pemilihan presiden dan wakil presiden tidak lagi melalui perwakilan MPR, tetapi langsung dipilih oleh rakyat melalui suatu proses pemilihan umum.
4.Memasukkan Bab khusus tentang HAM, terdiri dari 10 pasal.
5.Membentuk Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Konstitusi (MK). KY berwenang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil Pemilu.
6.Membentuk DPD mewakili seluruh Daerah Propinsi di Indonesia.
7.Menggeser kekuasaan membuat UU sebelumnya pada pemerintah kepada kekuasaan legislatif DPR.

IV.PEMBANGUNAN POLITIK: PENINGKATAN KUALITAS PROSES POLITIK

Pembangunan politik di Indonesia dapat bermakna, peningkatan kualitas proses politik, yakni meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum, meningkatkan kualitas partai politik dan organisasi kemasyarakatan, serta partisipasi politik rakyat.

Sasaran komponen kegiatan peningkatan kualitas proses politik adalah:
1.Terwujudnya pemilu demokratis dan transparan.
2.Terwujudnya sistem kaderisasi dan mekanisme kepemimpinan nasional transparan dan akuntabel (accountable).
3.Tersedianya fasilitas penyaluran aspirasi masyarakat.

Kegiatan utama peningkatan kualitas proses politik mencakup:
1.Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban penyelenggaraan Pemilu.
2.Meningkatkan kredibilitas dan independensi lembaga penyelenggara Pemilu.
3.Menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul setiap warga negara melalui organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan dipilihnya berdasarkan aspirasi masing-masing, antara lain menyempurnakan UU Keormasan.
4.Menyediakan fasilitas peratuaran perundang-undangan menjamin kebebasan masyarakat dalam berpolitik sesuai dengan aspirasi dan kepentingan politiknya.

Pelaksanaan Pemilu juga sangat berbeda di era reformasi, relatif jurdil (jujur dan adil). Dasar hukum semula dibuat adalah UU Pemilu No. 3 Tahun 1999, dibawah pemerintahan Habibie. Telah terlaksana Pemilu 1999 relatif lebih kompetitif (bersaing), adil dan jujur dan melibatkan banyak (48) Parpol. UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 mengkondisikan sistem pemilihan lebih terbuka ketimbang sebelumnya dan lebih detail ketentuan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pemilu.

UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden No. 23 Tahun 2003 sebagai tindak lanjut dari perubahan konstitusi Pasal 6 A UUD 1945. Dengan berbagai kelemahan dalam hal penegakan prinsip jujur dan adil (jurdil), pada tahun 2004 telah dilaksanakan Pemilu anggota legislatif tanpa terjadinya konflik menifest dan kekerasan. Pada 2004 telah dilaksanakan Pilpres secara langsung sesuai Pasal 6A UUD 1945. Telah dilaksanakan juga pemilihan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) secara langsung pada Pemilu 2004.

Di bawah pemerintahan SBY-JK, telah terbit UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. UU ini telah menjadikan Pilkada sebagai rezim Pemilu. Salahsatu ketentuan penting UU ini mengenai parlimentary treshold (PT), yakni parpol peserta pemilu memperoleh suara sah kurang dari 2,5 % dari total suara sah, tidak akan dapat memproleh kursi di DPR. Namun, parpol bersangkutan masih bisa mengikuti Pemilu 2014 mendatang.

Kehidupan kepartaian juga sangat berubah dalam era reformasi ini. Berbagai UU telah dibuat untuk memenuhi tuntutan sistem banyak partai. Sebagai pilar demokrasi, kepartaian telah diatur melalui UU Parpol No. 2 Tahun 1999 di bawah pemerintahan Habibie. Lebih 200 parpol telah terbentuk dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan 44 Parpol sebagai Peserta Pemilu 1999.

Selanjutnya, UU Parpol No. 31 Tahun 2002 di bawah pemerintahan Mega-Hamzah telah memberi peluang/kesempatan pendirian sekitar 200 ratus parpol. Terdapat 24 partai politik sebagai peserta Pemilu anggota legislatif tahun 2004. Selanjutnya, UU Parpol tahun 2007 di bawah pemerintahan SBY-JK. lebih 50 parpol telah lolos verifikasi badan hukum Departemen Kehakiman & HAM Sebanyak lebih 60 parpol resmi mendaftar sebagai peserta Pemilu 2009 ke KPU (s/d hari penutupan pendaftaran, 12 Mei 2008). Peserta Pemilu 2009 semakin lebih banyak ketimbang Pemilu sebelumnya.


V.PEMBANGUNAN POLITIK: PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK

Pembangunan politik juga dapat berarti “pengembangan budaya politik”, yakni meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban politiknya, meningkatkan kualitas komunikasi dan kapasitas kontrol politik masyarakat, serta membangun karakter bangsa kuat (nation and character building) menuju bangsa dan masyarakat Indonesia maju, bersatu, rukun, damai, demokratis, dinamis, toleran, sejahtera, adil, dan makmur

Sasaran komponen kegiatan pengembangan politik adalah terpenuhinya hak dan kewajiban politik masyarakat secara maksimal sesuai dengan kedudukan, fungsi, dan perannya dalam sistem politik nasional.

Kegiatan utama mencakup:
1.Menjamin keberlanjutan pers bebas untuk tumbuh secara sehat dan bertanggung jawab.
2.Mewujudkan budaya politik demokratis.
3.Meningkatkan kesadaran terhadap kesetaraan dan keadilan gender dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban politik setiap warga negara secara adil dan bertanggung jawab.
4.Melaksanakan pendidikan politik, pembelajaran demokrasi, dan wawasan kebangsaan.
5.Memasyarakatkan dan menerapkan prinsip kebersamaan dan anti diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Payung hukum untuk kebebasan pers telah diterbitkan segera setelah jatuhnya pemerintahan Suharto, yakni UU Pers No. 40 Tahun 1999. Tidak boleh ada lagi penyensoran, pembredelan dan penghentian siaran terhadap media oleh Pemerintah. Di bawah UU Pers ini telah berdiri ratusan media massa cetak dan belasan media audio visual (TV) di seantero ini. Hal ini tak pernah terjadi di Indonesia. Juga telah terbentuk Dewan Pers dan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) sebagai kelompok kepentingan masyarakat madani dalam dunia pers dan penyiaran. Juga organisasi profesi wartawan tidak hanya PWI (tunggal), tetapi telah berdiri beragam organisasi profesi wartawan lain seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen).

Kebebasan berserikat juga mengalami kemajuan pesat. Beragam bentuk organisasi kemasyarakatan dan politik sebagai bagian masyarakat madani telah tumbuh berkembang dalam era reformasi, antara lain parpol, pers, perhimpunan, Ornop/LSM, Ormas, OKP, assosiasi kelompok kepentingan, penampungan keluhan warganegara (Ombudsman, Watch). Pengorganisasian masyarakat madani ini merupakan proses demokratisasi dan komponen demokrasi.

Telah terbit UU yang menjamin kebebasan dan memberikan ruang bagi warganegara baik secara individual maupun kelompok melakukan aksi politik dalam bentuk demonstrasi dan unjuk rasa kepada lembaga pemerintahan. Hampir setiap minggu kita menemukan berita adanya aksi demonstrasi atau protes massal baik terhadap pemerintahan maupun dunia usaha. Bahkan, telah berdiri Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai tindak lanjut UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

VI.PERAN DAN TANGGUNGJAWAB PEMUDA

Sesuai pengertian pemuda dan cirri-ciri pemuda serta perkembangan pembangunan politik sebagaimana perkembangan demokrasi atau demokratisasi dalam era reformasi ini, maka peran dan tanggungjawab pemuda dalam pembangunan politik harus diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang mendukung komponen-komponen pembangunan politik (demokratisasi) sebagaimana telah diungkap di atas.