Kamis, 11 Agustus 2011

CITA-CITA DEMOKRASI

KEKUATAN reformasi di Indonesia sesungguhnya mencita-citakan sistem demokrasi berlaku menunjukkan kekuasaan dibagi-bagi dengan sengaja melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan di satu tangan, dan terdapat “checks and balances”. Dalam masyarakat demokratis, kebenaran tidak ditentukan oleh orang kuat serba tahu. Kebenaran justru berasal dari orang-orang ramai dengan kemampuan terkadang sangat biasa. Demokrasi, diibaratkannya seperti pasar dimana semua orang berkumpul dan bertumpuk di sana dan melakukan tawar menawar untuk mencapai kesepakatan, walaupun kadangkala kesepakatan diambil bukanlah terbaik. Pemilihan demokratis menjadi keharusan bertujuan untuk menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk menggantikan politisi di bawah performa dengan alternatif lain sesuai pilihan warganegara.

Kekuatan reformasi mendorong pengembangan demokrasi menuntut adanya organisasi sebagai sarana massa rakyat menyalurkan apa disebut sebagai kehendak bersama, hanya mungkin diberikan melalui organisasi. Dalam perspektif demokrasi, Parpol sebagai organisasi dan bagian masyarakat madani sangat dibutuhkan untuk merealisasikan kedaulatan massa rakyat, bukan sekedar retorik in abstracto sebagaimana dikatakan seorang akademisi politik terkenal Gaetano Mosca. Secara umum peran Parpol itu bagaikan “intermediate-structure”, sebagai perantara antara masyarakat politik dan negara. Karena itu, jika kader Parpol terpilih sebagai anggota legislatif, maka seharusnya mereka memperjuangkan agea-agenda kepentingan atau harapan konstituen/pemilihnya.

Proses pengangkatan pemimpin Parpol dalam perspektif demokrasi harus melalui jalan kompetisi dan pengambilan keputusan harus melibatkan banyak pihak dengan kepentingan berbeda-beda. Pemimpin Parpol harus memberi pertanggungjawaban dalam pemilihan demokratis, dan jika mereka kalah dalam pemilihan mereka akan kehilangan kekuasaan.

Dalam sistem demokrasi kekuasaan oligarki terpenjara oleh sistem bekerja secara rasional, nantinya menyeleksi beragam kepentingan individu dan kelompok ada di dalamnya. Demokrasi memberi ruang kepada rakyat berdaulat meletakkan kedaulatan dalam bentuk Negara. Demokrasi menjadikan negara sebagai kumpulan daulat rakyat dalam realitasnya terwujud bagian-bagian atau organ-organ kelembagaan Negara. Untuk itu, politik kepartaian harus didorong menjadi lebih kompetitif, ditandai jarak ideologi di antara Parpol dalam kehidupan kepartaian. Kompetisi antar Parpol harus konsisten di berbagai arena politik baik Pemilu maupun pemerintahan sehingga terdapat tautan elektoral (hubungan pemilihan) di antara Parpol sebelum Pemilu dan Pasca Pemilu. Kaitan antara ideologi, pola koalisi, pola oposisi, proses kebijakan dan basis dukungan akan membuat demokrasi menjadi lebih bermakna.

Sebagai pilar demokrasi, Parpol haruslah terlebih dahulu menata dirinya berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi antara lain partisipasi, kesetaraan (non diskriminatif), keterbukaan (transparansi), pertanggungjawaban publik (akuntabilitas publik), supremasi hukum (taat hukum), efisien dan effektif, dll. Parpol dapat berperan sebagai pilar demokrasi bagi kehidupan masyarakat madani, pemerintahan dan juga dunia usaha manakala tata pengelolaan Parpol itu sendiri sungguh-sungguh berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi dimaksud.


UUD 1945 telah menjamin penegakan prinsip kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan kuat dalam NKRI merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum. Dalam kehidupan demokarasi, peran, fungsi dan tanggungjawab Parpol dituntut berkembang secara konstitusional. Parpol sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedaulatan rakyat bermakna rakyat pemilik kekuasaan, bebas berkehendak, mutlak memiliki, klaim menguasai, menjaga dengan hak penuh. Seluruh harta bumi dan kekayaan alam negara Indonesia mutlak milik pemegang kekuasaan dimaksud, yakni rakyat. Rakyat harus menyadari hak-haknya mengontrol bagi kemungkinan terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan negara Indonesia.

Dasar filosofis dan konstitusional prinsip kedaulatan rakyat ini sesungguhnya telah tertuang di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Salah satu pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945, yakni Negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Setiap warganegara Indonesia adalah pemegang kedaulatan atau pemilik seluruh harta bumi dan kekayaan alam Indonesia. UUD 1945 mengharuskan sistem negara terbentuk berdasarkan “kedaulatan rakyat”. UUD 1945 mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara untuk menjamin rakyat menyalurkan aspirasi politik kepada lembaga-lembaga Negara, terutama lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPRD). Parpol harus berfungsi untuk menyalurkan aspirasi politik sebagai manifestasi dari penegakan prinsip kedaulatan rakyat. Karena itu, Parpol dalam hubungannya dengan Negara (khususnya legislatif dan eksekutif) tidak boleh hanya mewakili konstituen atau anggota semata, tetapi harus berfungsi sebagai sarana aspirasi politik rakyat keseluruhan.

Untuk menegakkan prinsip kedaulatan rakyat dan meningkatkan kehidupan demokrasi, Parpol perlu melakukan pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik rakyat melalui Parpol diharapkan dapat membangun karakter bangsa merupakan watak atau keperibadian bangsa Indonesia terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa.

Namun, realitas obyektif menunjukkan bahwa kalangan aktor masyarakat madani memperjuangkan cita-cita demokrasi dan penegakan prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia cenderung tidak mempercayai peran dan fungsi Parpol. Mereka menilai, tidak ada hubungan signifikan antara Parpol dan kelompok konstituen, juga peran Parpol di dalam pekerjaan demokrasi. Kepercayaan rakyat terhadap Parpol tergolong sangat rendah. Hal ini bisa menjadi bencana bagi demokrasi mengingat Parpol berfungsi sesungguhnya sebagai alat rakyat untuk menyampaikan kedaulatan mereka.

Salah satu karya akademis menunjukkan ketidakpercayaan atas peran dan fungsi Parpol di Indonesia dapat ditemukan pada Mahrus Irsyam dan Lili Romli (Eds), Menggugat Partai Politik (Jakarta: Laboratorium Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia, 2003). Di dalam karya ini terdapat tulisan Tim dengan pertanyaan utama: sudah sampai sejauh manakah relevansi antara teori dan konsep tentang Parpol dan system kepartaian dengan realitas system kepartaian beserta Parpolnya di Indonesia selama ini? Pertanyaan ini diajukan sekitar tahun 2003, suatu situasi Indonesia baru memasuki era demokratisasi dari otoriterianisme. Para penulis karya ini antara lain Arbi Sanit, Mahrus Irsyam, Syamsuddin Haris, Lili Romli, Sahrul Hidayat dan Ibnu Hamad.

Di dalam karya ini, Lili Romli mengajukan judul tulisan: “Potret Buram Partai Politik di Indonesia”. Menurut Lili, Parpol ternyata asyik dengan kepentingannya sendiri, tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Harapan dan aspirasi rakyat dibiarkan begitu saja: kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik vertikal maupun horizontal , ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dll. Semuanya itu, lanjut Lili, tampak tidak dihiraukan oleh parpol. Padahal ketika mereka berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, hal itu hanya tinggal janji saja tanpa buki nyata. Maka tidak heran apabila rakyat kemudian pesimis dan kecewa terhadap Parpol. Saat ini ada kesadaran di kalangan rakyat bahwa mereka hanya selalu dijadikan “obyek” pengatasnamaan rakyat. Padahal semuanya “pepesan kosong”, yang ada adalah kepentingan golongan atau Parpol, dari kekuasaan, jabatan sampai pada uang. Terdapat kekecawaan rakyat terhadap Parpol.

Untuk menjustifikasi penilaian kritis di atas`, Lili lalu menyajikan hasil riset dikeluarkan Forum Keadilan (No. 52, 14 April 2002). Penilaian kritis Lili atas keberadaan Parpol dalam awal era reformasi ini juga diperkuat dengan hasil riset Kompas (lihat Tabel 2.) menunjukkan bahwa Parpol melalui kader di DPR lebih mengutamakan kepentingan peribadi dan Parpol ketimbang kepentingan rakyat. Rata-rata lebih 55 % responden berpendapat, DPR lebih berkomitmen terhadap kepentingan peribadi dan Parpol, bukan kepentingan rakyat. Dengan perkataan lain, kepentingan peribadi dan kepentingan Parpol diutamakan sedangkan kepentingan rakyat diabaikan.

Di samping hasil riset Kompas ini, Lili juga menunjukkan contoh nyata, yakni kegagalan membentuk Pansus Buloggate II, di mana sebagian besar wakil rakyat menolak dan abstain, suatu sikap yang menyakiti hati rakyat. Intinya, Lili menilai, Parpol tumbuh dalam era reformasi ini belum melaksanakan fungsi dengan baik.

Sebagaimana digelombangkan kaum kelas menengah perkotaan dan mahasiswa tergabung dalam kekuatan reformasi, dalam era reformasi Parpol harus berperanan sebagai pelaku dan pejuang cita-cita demokrasi Tetapi, Parpol tidak melakukan kegiatan-kegiatan di kehidupan sehari-hari. Penilaian semacam ini dapat dipertegas dengan hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas pada 26-27 Mei 2010 dengan 781 responden 17 tahun keatas di 57 kota Indonesia. Terdapat 58,9 % responden tidak puas tentang Parpol memperjuangkan demokratisasi, dan hanya 35,1 % puas. Jajak Pendapat juga mengungkapkan, lebih dari separoh (54 %) responden mengamati bahwa selama ini tidak ada aktivitas organisasi berarti dari Parpol-parpol di wilayah mereka. Sebagian besar responden tdiak pernah mngetahui kegiatan maupun aktivitas Parpol seperti dalam hal perekruitan (penempatan) anggota, pendidikan politik, penggalangan dana, maupun dalam pendampingan-pendampingan saat situasi krisis berlangsung di wilayah mereka. Sebagian besar responden tidak merasakan kehadiran Parpol di kehidupan sehari-hari.

Gerakan reformasi pro-demokrasi sama sekali belum terealisir dan tidak pernah disinggung oleh kaum politisi Parpol. Gerakan demokrasi hanya dijadikan “lipstik” untuk meraih dukungan politik. Para aktor pro-demokrasi masih terus berjuang dari posisi „terpinggirkan“ (marginal). Kalangan aktor pro-demokrasi dan tokoh organisasi non pemerintah (Ornop) mempercayai bahwa perjuangan demokrasi harus melalui Parpol ternyata juga gagal total. Mereka baru menyadari bahwa politik kepartaian hanya menggunakan massa rakyat untuk mendapatkan dukungan bagi kepentingan kekuasaan sesaat dengan mengandalkan pola hubungan „politik uang“ atau „transaksional“ dan juga politik „pencitraan“, sebuah pola pernah mereka kritik dan tolak sebelumnya. Sebagian aktivis pro-demokrasi baik di Ornop maupun Kampus, tatkala berada di dalam Parpol seakan telah melupakan cita-cita demokrasi dan disibukkan pada pertikaian internal Parpol, mencari sumber pendanaan ilegal serta jabatan di permerintahan.

Kalangan pro demokrasi sungguh-sungguh mempercayai bahwa untuk pencapaian kesejahteraan sosial ekonomi rakyat, demokrasi sebagai suatu metode tepat dan merupakan keharusan atau keniscayaan. Kepercayaan ini telah mendorong kekuatan reformasi pro demokrasi sejak tahun 70-an bergerak dan berjuang menentang struktur kekuasaan otoriter ciptaan rezim Soeharto (Orde Baru). Keberhasilan kekuatan reformasi meruntuhkan kekuatan Orde Baru memberi peluang untuk merealisasikan kepercayaan akan demokrasi sebagai metode, hal ini ditandai dengan bertambahnya jumlah Parpol dan kualitas Pemilu lebih jujur dan adil (jurdil). Namun, Parpol sebagai aktor atau pilar demokrasi tidak merupakan realitas obyektif, bahkan sebaliknya menjadi kekuatan anti demokrasi dan pro korupsi sehingga bertentangan dengan fungsi Parpol sebagai sarana penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. Acapkali Parpol dinilai sebagai sarana bukan penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat, melainkan aspirasi atau kepentingan politik elite dan kelompok Parpol dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara. Parpol juga dinilai tidak melakukan pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara RI sadar akan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa sadar, pendidikan politik berlangsung justru mendorong kader-kader berperilaku korupsi baik di lembaga legislatif maupun ekekutif sebagai perilaku anti demokrasi dan pro korupsi.