Jumat, 17 Juni 2011

KEMAJUAN DAN LEBIH OTONOM/MANDIRI

PROSES demokratisasi di Indonesia semakin terlihat sejak terjadi gelombang reformasi sekitar 1997/1998, mencanangkan agenda reformasi sebagaimana telah dirumuskan oleh kelompok mahasiswa dan kelas menengah perkotaan. Dalam kondisi gelombang reformasi dan proses demokratisasi terjadi keruntuhan kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto. Segera setelah itu, Indonesia memasuki era reformasi dan menunjukkan kemajuan politik kepartaian di Indonesia, ditandai dengan meningkatnya secara drastis kuantitas dan kualitas kepartaian di bawah payung peraturan perundang-undangan, terutama terbitnya beberapa UU tentang Parpol (Partai Politik) dan bertambah banyak Parpol peserta Pemilu.
Pertama, terbitnya UU Parpol No. 2 Tahun 1999 di bawah Presiden Habibie. Era Habibie ini terdapat 141 Parpol terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM; 106 Parpol terdaftar di KPU (Komisi Pemilihan Umum); 48 Parpol peserta Pemilu 1999. Padahal sebelumnya, era rezim Soeharto (Orde Baru), hanya ada 3 (tiga) Parpol (Golkar, PDI dan PPP). Pemilu 1999 telah menghasilan anggota MPR, DPR, DPRD Tingkat I Propinsi dan DPRD Tingkat II Kotamadya/Kabupaten yang baru. Berbagai keputusan politik diambil kemudian untuk mendukung proses reformasi dan demokratisasi, seperti GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), UU (Undang-undang) dan peraturan perundang-undangan lainnya. GBHN ini pada intinya telah memuat agenda reformasi politik dan ekonomi. Beberapa ketentuan di dalamnya adalah desentralisasi kekuasaan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah; penegasan kembali peran lembaga legislatif dalam pemerintahan; pengurangan peran dan keterlibatan militer dalam kehidupan sipil dan politik, dan pembaruan tata pengaturan kepegawaian dan administrasi negara.
Kedua, terbitnya UU Parpol No. 31 Tahun 2002 di bawah Presiden Megawati. Dalam era Megawati ini terdapat sekitar 112 Parpol terdaptar di Departemen Kehakiman & HAM; 50 Parpol terdaftar di KPU; dan, 24 Parpol peserta Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004 ini telah dilaksanakan pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung sesuai Pasal 6A UUD 1945 Perubahan (Amandemen) dan juga pemilihan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) secara langsung. Berdasarkan UUD 45 Amandemen, menjadi Calon Presiden/Wakil Presiden harus mendapat dukungan Parpol.

Ketiga, terbitnya UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol di bawah Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode I, kemudian pada 2011 dilakukan perubahan yakni UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol di bawah SBY periode II. Dalam era SBY periode I, terdapat 79 Parpol terdaftar di Departemen Hukum dan HAM; 64 Parpol terdaftar di KPU; dan, 38 Parpol (ditambah 6 Parpol lokal di Aceh) sebagai peserta Pemilu 2009. Kekuasaan politik di level nasional yang semula (era Orde Baru) didominir oleh kekuatan militer di bawah kepemimpinan Soeharto, di era reformasi bergeser ke arah kekuatan Parpol, satu perubahan struktural mendasar diraih di era reformasi ini. Karena itu, politik kepartaian sangat menentukan dinamika kehidupan pemerintahan/negara, terutama lembaga legislatif dan eksektuf baik level nasional maupun daerah/lokal.
Era reformasi menunjukkan eksistensi (keberadaan) Parpol relatif lebih otonom dan mandiri ketimbang era Orde Baru. Pemerintah juga relatif bertindak “netral” atau tidak memihak terhadap satu Parpol pun saat Pemilu dilaksanakan. Sesuai UU No.2 tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Parpol, Pasal 10, tujuan utama Parpol adalah:
a.Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan UUD 1945.
b. Menjaga dan memelihara keutuhan NKRI.
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjungtinggi kedaulatan rakyat bagi seluruh rakyat Indonesia.
d. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan tujuan khusus Parpol menurut UU adalah:
a. Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan.
b. Memperjuangkan cita-cita Parpol dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan tujuan umum dan khusus Parpol di atas, UU menetapkan fungsi Parpol di Indonesia sebagai sarana pendidikan politik, mensejahterakan masyarakat, penyalur aspirasi, partisipasi politik, dan rekruitmen politik. Lebih detailnya fungsi Parpol adalah sarana (Pasal 11):
a.Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar enjadi warga negara RI yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b.Penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat.
c.Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
d.Partisipasi politik warga negara.
e.Rekruitmen politik dalam proses pengisian/penempatan jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender.
Tujuan dan fungsi Parpol berdasarkan pada UUD 1945, menetapkan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk memperkuat semangat kebangsaan dalam NKRI yang demokratis. Hak untuk berserikat dan berkumpul ini kemudian diwujudkan dalam pembentukan Parpol sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem politik Indonesia. Berdasarkan peraturan perundangan-undangan, pengertian Parpol adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
satu pertanyaan mendasar perlu mendapat jawaban yaitu: apakah politik kepartaian era reformasi (setelah 13 tahun keruntuhan rezim Orde Baru Soeharto) benar-benar menjalankan tujuan dan fungsi sebagaimana ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan berlaku di Indonesia (seharusnya)?. Asumsi dasar dapat diajukan, politik kepartaian era reformasi tidak benar-benar menjalankan tujuan dan fungsi Parpol sesuai peraturan perundang-undangan. Politik kepartaian era reformasi bahkan mengarah pada anti demokrasi dan pro korupsi. Perilaku elite Parpol lebih memperjuangkan kepentingan elite Parpol itu sendiri, bukan memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota (konstituen), masyarakat dan bangsa Indonesia. Parpol tidak berposisi untuk menciptakan iklim yang kondusif Penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. Peran Parpol dalam realitas obyektif tidak sebagai “pilar demokrasi” untuk mewujudkan system politik yang demokratis (Muchtar Effendi Harahap).

Rabu, 08 Juni 2011

PERAN DAN FUNGSI ANGGOTA DPRD DALAM MEMPERJUANGKAN HAK-HAK DASAR RAKYAT

Catatan:
Makalah disajikan oleh Muchtar Effendi Harahap pada Workshop & Bimbingan Teknis Peningkatan Kinerja dan Kapasitas Anggota DPRD Partai Kedaulatan, 04 Juni 2011, Hotel Twin Plaza, Jakarta, diselenggarakan oleh NSEAS (Jaringan Studi Asia Tenggara) dan MIB (Masyarakat Indonesia Baru).

I. PENGANTAR
Panitia Workshop & Bimbingan Teknis “Peningkatan Kinerja dan Kapasitas Anggota DPRD Partai Kedaulatan” NSEAS & MIB ini meminta kami menjadi Pembicara topik: “Peran dan Fungsi Anggota DPRD dalam Memperjuangkan Hak-Hak Dasar Rakyat dalam Konteks Pasal 20 UUD 1945”.
Kami mencoba menyusun makalah dengan topik lebih sederhana: “Peran dan Fungsi Anggota DPRD dalam Memperjuangkan Hak-Hak Dasar Rakyat”. Sistematika Penulisan makalah yakni:
1.Pengantar
2.Peran dan Fungsi Anggota DPRD.
3.Permasalahan Hak-Hak Dasar Rakyat Indonesia.
4.Memperjuangkan Hak-Hak Dasar Rekyat.
5.Penutup

Makalah ini menawarkan kepada anggota DPRD, suatu pendekatan lembaga mediasi untuk kegiatan komunikasi politik dalam rangka menyalurkan aspirasi dan kepentingan politik rakyat sebagai perjuangan pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Asumsi dasar makalah ini, anggota DPRD memiliki peran dan fungsi baik sebagai anggota DPRD (lembaga perwakilan rakyat) dan juga sebagai kader/perwakila Parpol. Baik DPRD maupun Parpol memiliki peran dan fungsi masing-masing, tetapi mempunyai beberapa kesamaan, antara lain sebagai sarana penyerapan, penghimpunan dan penyaluran aspirasi politik rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan publik atau pemerintahan terutama di tingkat daerah bersangkutan. Makalah ini juga mengidentifikasi permasalahan hak-hak dasar rakyat Indonesia, yang menjadi sasaran perjuangan anggota DPRD.

II.PERAN DAN FUNGSI ANGGOTA DPRD
Pasal 20A UUD 1945 telah menetapkan tentang peran dan fungsi DPR (legislatif nasional). DPR memiliki fungsi “legislasi”, fungsi “anggaran” dan fungsi “pengawasan” (ayat 1). Dalam melaksanakan fungsi, DPR mempunyai hak “interpelasi”, hak “angket” dan hak “menyatakan pendapat “(ayat 2). DPR juga mempunyai hak “mengajukan pertanyaan”, hak “menyampaikan usul dan pendapat”, serta hak “imunitas “(ayat 3).
Di lain fihak, UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah menetapkan peran dan fungsi DPRD (legislatif daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota). DPRD merupakan “Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah “ berkedudukan sebagai “Lembaga Pemerintahan Daerah”. DPRD memiliki tanggungjawab sama dengan Pemerintah Daerah dalam membentuk Perda untuk kesejahteraan rakyat. DPRD juga memiliki fungsi “legislasi”, fungsi “anggaran” dan fungsi “pengawasan”.
Fungsi “legislasi” diwujudkan dalam membentuk Perda bersama Kepala Daerah. Fungsi “anggaran” diwujudkan dalam menyusun dan menetapkan APBD bersama Pemda. Fungsi “pengawasan” diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan UU, Perda, Keputusan Kepala Daerah dan kebijakan ditetapkan oleh Pemda.
Terkait dengan fungsi DPRD ini, maka tugas dan wewenang DPRD adalah:
1.Membentuk Perda dibahas dengan Kepala Daerah untuk mencapai tujuan bersama.
2.Menetapkan APBD bersama dengan Kepala Daerah
3.Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lain, Keputusan Kepala Daerah, APBD, kebijakan Pemda dalam melaksanakan Program Pembangunan Daerah, dan Kerjasama Internasional di daerah.
4.Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada Mendagri melalui Gubernur.
5.Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemda terhadap rencana perjanjian internasional menyangkut kepentingan daerah.
6.Meminta laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam pelaksanaan tugas desentralisasi.
7.Tugas-tugas lain diberikan oleh UU.

Sementara itu, kewajiban DPRD mencakup:
1.Mengamalkan Pancasila.
2.Melaksanakan UUD 1945 serta mentaati segala peraturan perundang-undangan.
3.Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemda.
4.Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan NKRI.
5.Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.
6.Menyerap, menghimpun, menampung dan menindak-lanjuti aspirasi rakyat.
7.Mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.
8.Memberi pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih di daerah pemilihannya.
9.Mentaati Kode Etik dan Peraturan Tata Tertib DPRD.
10.Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
Secara lebih terinci anggota DPRD memiliki beragam hak: 1. Mengajukan Rancangan Peraturan Daerah; 2. Mengajukan Pertanyaan; 3. Menyampaikan Usul dan Pendapat; 4. Memilih dan Dipilih; 5. Membela Diri; 6. Imunitas; dan, 7. Protokoler; 8. Keuangan dan Administratif. Namun, anggota DPRD juga sebagai perwakilan (kader) Parpol dan harus juga turut berperan mejalankan fungsi Parpol. UU No.2 tahun 2008 maupun UU No. 2 Tahun 2011 tentang Parpol telah menetapkan fungsi Parpol (pasal 11) sebagai sarana:
a.Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara RI yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b.Penciptaan iklim yang kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat.
c.Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
d.Partisipasi politik warga negara.
e.Rekruitmen politik dalam proses pengisian/penempatan jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender.

Anggota DPRD juga harus menjadi aktor politik untuk melaksanakan fungsi Parpol. Manifestasi kedaulatan rakyat sebagai cita-cita demokrasi menuntut adanya organisasi sebagai sarana massa rakyat menyalurkan apa yang disebut sebagai kehendak bersama, yang hanya mungkin diberikan melalui organisasi. Dalam perspektif demokrasi, Parpol sebagai organisasi dan bagian rakyat sangat dibutuhkan untuk menjadi sarana partisipasi politik dan penyaluran aspirasi politik rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Peran Parpol dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai “intermediate-structure”, yakni menjadi perantara antara rakyat atau masyarakat politik dan negara. Jadi, kalau kemudian Parpol berfungsi sebagai sarana partisipasi politik dan penyaluran aspirasi politikrakyat, maka Parpol sesungguhnya membantu dan memperkuat kapasitas negara dalam proses perumusan dan penetapan kebijakan publik atau negara berdasarkan kedaulatan rakyat.

Negara membutuhkan Parpol untuk melaksanakan kewajiban negara dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan publik atau negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Melalui Parpol, negara akan dapat menyerap, menghimpun dan menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Karena itu, negara sangat membutuhkan Parpol sebagai “stakeholders” dan komponen strategis dalam proses perumusan dan penetapan kebijakan negara. Karena itu, fungsi Parpol sebagai sarana penyaluran aspirasi politik rakyat bukan semata untuk pencapaian tujuan Parpol, tetapi juta tujuan negara menciptakan kehidupan demokrasi (kedaulatan rakyat) untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

III.PERMASALAHAN HAK-HAK DASAR RAKYAT INDONESIA
Aspirasi atau kepentingan politik rakyat bisa berkaitan permasalahan hak-hak dasar rakyat sebagai hak dasar secara kodrati melekat pada diri setiap manusia, bersifat universal dan langgeng. Karena itu, hak-hak dasar rakyat harus dihormati, dimajukan, dipenuhi, dilindungi, dan ditegakkan. Tugas penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan, dan penegakan hak-hak dasar rakyat merupakan kewajiban dan tanggungjawab Negara, terutama Pemerintah, dan diperlukan partisipasi politik rakyat. Hak-hak dasar rakyat adalah seperangkat hak melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Di Indonesia, terdapat beragam kajian tentang realitas obyektif hak-hak dasar rakyat. Kajian-kajian dimaksud bukan saja dilakukan dunia akademis, lembaga riset & penelitian nirlaba, tetapi juga Pemerintah. Sejumlah masalah (permasalahan) hak-hak dasar rakyat masih dihadapi di Indonesia telah diungkapkan. Sebagian dari permasalahan tersebut akan diungkapkan di bawah ini:

1.Hak untuk hidup:
Tingginya angka kematian ibu dan bayi pada saat proses kelahiran khususnya sebagai akibat kemiskinan
2.Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan:
Masih banyaknya perkawinan yang belum dicatatkan pada kantor pencatatan perkawinan yang mengakibatkan isteri dan anaknya tidak mendapatkan perlindungan hukum.
3.Hak Mengembang Diri:
Masih banyaknya warga termasuk anak usia sekolah yang belum memperoleh pendidikan dasar.
4.Hak Memperoleh Keadailan:
Terbatasnya bantuan hukum secara Cuma-Cuma bagi rakyat miskin.
5.Hak Atas Kebebasan Peribadi:
Masih kurangnya pemahaman dan toleransi tentang kebebasan beragama, dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
6.Hak Atas Rasa Aman:
Masih adanya tindakan kekerasan dalam proses penegakan hokum.
7.Hak Atas Kesejahteraan:
Masih terbatasnya akses masyarakat miskin atas Perumahan yang layak dan sehat.
8.Hak Turut Serta dalam Pemerintahan:
Masih terdapat data kependudukan tidak akurat dalam pemenuhan hak untuk dipilih dan memilih dalam Pemilu.
9.Hak Perempuan:
Masih banyaknya korban kekerasan dalam rumah tangga terutama perempuan dan anak
10.Hak Anak:
Belum optimalnya pelayanan kesehatan bagi anak miskin dan anak cacat.

IV.MEMPERJUANGKAN HAK-HAK DASAR RAKYAT
Anggota DPRD sebagai aktor politik dalam memperjuangkan hak-hak rakyat harus melalui kegiatan komunikasi politik. Pengertian komunikasi politik secara sederhana bermakna komunikasi yang melibatkan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan pemerintahan dan kebijakan. Aktor-aktor politik dimaksud bisa sebagai kelompok seperti Parpol, Organisasi Masyarakat, Asosiasi profesi, Militer, NGO’s, dll, dan bisa juga sebagai individual seperti anggota anggota DPRD, Tokoh Politik, Pengusaha, Cendikiawan, Ulama, Pendeta, dll.
Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan yang terjadi pada saat fungsi anggota DPRD dijalankan, antara lain: menyalurkan aneka ragam aspirasi dan pendapat politik rakyat dan mengaturnya sedemikian rupa penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan untuk diperjuangkan menjadi “kebijakan publik” baik berupa Perda, Keputusan atau Peraturan Kepala Daerah, dll. Dalam prakteknya komunikasi politik anggota DPRD sangat kental dalam kehidupan sehari-hari sehingga fungsi komunikasi politik secara inherent terdapat di dalam setiap anggota DPRD.
Untuk melakukan komunikasi politik efektif dan efisien dalam memperjuangkan hak-hak dasar rakyat, anggota DPRD harus mampu mengambarkan/mendeskripsikan profil rakyat sesungguhnya. Satu pendekatan sosiologi dalam menggambarkan rakyat Indonesia berdasarkan strata sebagai berikut:

1. Strata Pertama (Klas Atas).
Strata Pertama ini adalah mereka memiliki sumber daya politik dan ekonomi, biasanya berdomisili di Ibukota Propinsi, Kabupaten dan juga Kecamatan. Jumlahnya sangat sedikit. Sebagai kelas atas, mereka sangat berkepentingan dalam proses pengambilan keputusan politik pemerintahan. Tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik sangat tinggi.

2. Strata Kedua (Klas Menengah).
Strata Kedua, Klas Menengah, mereka memiliki sumber daya politik dan ekonomi relatif terbatas dan bergantung pada kelas atas. Umum tinggal di perkotaan dan memiliki tingkat pendidikan relatif baik, intelek dan terpelajar. Tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik tinggi. Jumlahnya ”lebih banyak” ketimbang Klas Atas.

3. Strata Ketiga (Klas Menengah Bawah/Lembaga Mediasi)
Strata Ketiga/Klas Menengah Bawah, lembaga mediasi, umum berdomisili dan hidup sehari-hari di lingkungan pedesaan atau lapisan akar rumput. Tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik rendah. Jumlahnya banyak, dibandingkan dengan kelas atas dan menengah.

4. Strata Keempat (Klas Bawah/Akar Rumput).
Strata Keempat berdomisili dan hidup sehari-hari di lapisan paling bawah atau “akar rumput” dengan tingkat pendapatan sangat rendah, tergolong miskin, sangat terbelakang secara ekonomi. Jumlahnya sangat banyak (dominan), diperkirakan lebih lebih 70 %. Tingkat pengetahuan dan pemahaman masalah sosial, ekonomi dan politik sangat rendah. Sumber daya mereka sangat lemah.

LAPISAN AKAR RUMPUT
Rakyat Indonesia terbanyak/dominan berada di lapisan akar rumput (grass roots), dominan berada di tingkat perdesaan/ agraris atau semi-agraris. Kehidupan sosial ekonomi lapisan ini sangat terbelakang. Tingkat pendidikan umum tamat SD, dan posisi tawar-menawar dalam politik lokal/daerah. Meskipun dari segi jumlah, mereka (akar rumput) dominan, tetapi sangat bergantung pada kelas menengah bawah (lembaga mediasi) baik secara politik maupun ekonomi. Kelompok ini masih merupakan rakyat sangat berorientasi pada bapakisme (hubungan anak-buah), yakni proses pengambilan keputusan politik masih mengacu pada perilaku politik tokoh mereka dari lembaga mediasi, bukan pengetahuan dan pemahaman politik berdasarkan metode ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Rakyat ini bukan saja miskin, bahkan juga tidak memiliki sumber mata pencaharian atau pengangguran. Mereka ini pada umumnya berada di wilayah pedesaan.

LEMBAGA MEDIASI
Lembaga mediasi dimaksudkan sebagai person-person dari lapisan rakyat menengah bawah sehari-hari berada ditengah-tengah rakyat akar rumput. Mereka baik langsung maupun tidak langsung acap kali berkomunikasi dengan rakyat di sekeliling lokasi tempat tinggal. Lembaga mediasi ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat):
I.LEMBAGA KETETANGGAAN
1.Kepala Desa
2.Lurah
3.Rukun Tetangga (RT).
4.Kepala Lingkungan (Kepling).
5.Rukun Warga (RW).
6.Kepala Lorong, dll

II.LEMBAGA KELUARGA
1.Tokoh Adat.
2.Pemangku Adat.
3.Tokoh Masyarakat
4.Guru/Pengajar
5.Dokter/Datu/
6.Dukun/ManterI
7.Bidan/ Perawat, dll

III.LEMBAGA KEAGAMAAN
1.Ulama/Ustad
2.Kelompok Pengajian.
3.Pemuda & Remaja Mesjid
4.Pimpinan Perkumpulan Keagamaan.
5.Majlis Agama.
6.Badan Wakaf, dll.

IV.KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT
1.Asosiasi Sukarela
2.NGOs/LSM.
3.KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)
4.BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat)
5.BMT (Baitul Maal Tanwil)
6.Perkumpulan Masyarakat Adat.
7.Perkumpulan Masyarakat Seni/Budaya.
8. Perkumpulan Pemuda/Perempuan.
9.Perkumpulan`Olahraga, dll.

Untuk memperjuangkan hak-hak dasar rakyat melalui komunikasi politik, anggota DPRD disarankan untuk menggunakan “pendekatan lembaga mediasi”. Salah satu alasannya, dalam menyalurkan “aspirasi rakyat” akar rumput masih membutuhkan “medium”, dinamakan lembaga mediasi. Akar rumput belum dapat dibiarkan sendiri untuk merumuskan aspirasi politik, apalagi mengaktualisasikan sebagai suatu kebijakan. Pendekatan ini pada prinsipnya memanfaatkan lembaga mediasi untuk penyaluran aspirasi politik rakyat dan sebagai dasar pengambilan kebijakan publick. Ada tiga tesis dapat ditawarkan sehubungan dengan penggunaan pendekatan lembaga mediasi bagi upaya komunikasi politik:
1.Struktur mediasi merupakan sarana vital untuk mewujudkan keberhasilan komunikasi politik rakyat kebanyakan.
2.Kebijakan komunikasi politik kebanyakan rakyat seyogyanya melindungi dan membantu perkembangan struktur-struktur mediasi tersebut.
3.Kebijakan komunikasi politik anggota DPRD seyogyanya memanfaatkan struktur mediasi untuk merealisasikan perjuangan hak-hak dasar rakyat sebagai realisasi dari penegakan prinsip kedaulatan rakyat dan pencapaian iklim demokrasi.

Karena itu, sasaran utama kegiatan komunikasi politik anggota DPRD untuk memperjuangkan hak-hak dasar rakyat adalah lembaga mediasi di tingkat Kabupaten/kota/kecamatan. Kegiatan komunikasi politik diarahkan untuk mendorong perbanyakan dan peningkatan partisipasi aktor/pelaku dan kelompok aksi komunikasi politik lembaga-lembaga mediasi lokal dalam rangka memperjuangkan hak-hak dasar rakyat.

V.PENUTUP
Anggota DPRD mempunyai peran dan fungsi: sebagai anggota DPRD, fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan; sebagai kader/perwakilan Parpol, fungsi sarana penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Anggota DPRD wajib menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Anggota DPRD juga harus menjadi aktor politik untuk melaksanakan fungsi Parpol.
Aspirasi atau kepentingan politik rakyat harus diperjuangkan anggota DPRD bisa berkaitan permasalahan hak-hak dasar rakyat Indonesia. Diantaranya: hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan peribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak perempuan dan hak anak.
Dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, anggota DPRD harus melalui kegiatan komunikasi politik efektif dan efisien dengan ”pendekatan lembaga mediasi”. Sasaran utama komunikasi politik anggota DPRD adalah lembaga mediasi atau strata menengah bawah hidup ditengah-tengah rakyat lapisan bawah (grass roots). Kegiatan komunikasi politik anggota DPRD diarahkan untuk mendorong perbanyakan dan peningkatan partisipasi aktor/pelaku dan kelompok aksi lembaga mediasi dalam rangka memperjuangkan hak-hak dasar rakyat sebagai realisasi dari penegakan prinsip kedaulatan rakyat dan pencapaian iklim demokrasi.