Selasa, 29 Maret 2011

DEMOKRATISASI DAN PILKADA SECARA LANGSUNG

Demokratisasi di Indonesia

Krisis ekonomi politik 1997/98 di Indonesia memperkuat posisi kekuatan reformasi dengan cita-cita demokratisasi di bidang Pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani. Cita-cita kekuatan reformasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan lebih partisipatif dan karena itu memberi legitimasi yang lebih kuat terhadap kebijakan melalui proses politik panjang untuk menggunakan ketrampilan negoisasi, serta kesediaan melakukan kompromi dengan semua pemangku kepentingan. Demokratisasi mengakibatkan kecenderungan sistem interaksi terpencar (divergence) dan bukannya terpusat (convergence). Kekuatan reformasi telah menumbuhkan harapan baru akan masyarakat bebas dari KKN)sebagai salah satu agenda reformasi.
Salah satu kemajuan demokratisasi di Indonesia adalah penataan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah baik dalam pengertian otonomisasi, desentralisasi maupun dekonsentrasi. Bermula dari UU No. 22 tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil revisi UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, demokratisasi secara legalistik yuridis telah melakukan perubahan sangat mendasar dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Secara garis besar, perubahan paling tampak adalah terjadinya pergeseran kewenangan dari satu lembaga ke lembaga lain. Konsep otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah paling dekat dengan masyarakat, yakni Kabupaten/Kota. Tujuan pemberian otonomi tetap seperti yang dirumuskan saat ini yakni memberdayakan daerah, termasuk masyarakat, mendorong prakarsa dan peran masyarakat dalam proses Pemerintahan dan pembangunan. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahaan seperti desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan diselenggarakan secara proporsional sehinga saling menunjang.

Pemerintah Daerah (Pemda)

UU No. 32 tahun 2004 digunakan otonomi seluas-luasnya di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan kecuali urusan Pemerintah pusat yakni: politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter/fiskal, perdailan (yuridis) dan agama. Pemerintah berwenang membuat norma, standar, prosedur, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan Pemerintahan dengan eksternalitas nasional. Pemerintah Provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan Pemerintahan dengan eksternal regional, dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan. Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 disebutkan, NKRI dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, dan tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan kota mempunyai Pemerintahan Daerah diatur dengan UU. Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah diakomodasikan dalam bentuk urusan Pemerintahan menyangkut peraturan terhadap regional menjadi wilayah tugasnya. Urusan menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan Pemerintahan berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pilihan terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.

Pemda adalah fungsi-fungsi pemerintahanan daerah dilakukan oleh lembaga Pemerintahan Daerah yaitu Pemerintah Daerah dan DPRD. Hubungan antar Pemda dan DPRD hubungan kerja kedudukan setara dan bersifat kemitraan, bermakna sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga membangun hubungan kerja saling mendukung satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
Pilkada Secara Langsung

Dalam UU No. 32 tahun 2004 terlihat semangat melibatkan partisipasi publik. Pelibatan publik dalam Pemerintahan atau politik di daerah mengalami peningkatan luar biasa dengan diaturnya Pilkada secara langsung. UU No. 32 tahun 2004 menciptakan good governance (tata pengaturan yang baik). UU No. 32 tahun 2004 kemudian diikuti terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP No. 6 tahun 2005 ini mengatur tentang pelaksanaan Pilkada secara langsung telah membuat sistem Pemerintahan di daerah semakin demokratis. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Melalui peraturan perundang-undangan ini setidaknya secara prosedural demokrasi telah difungsikan secara baik di daerah. Mulai tahun 2005 pergantian Kepala Daerah, baik Gubernur maupun Bupati/Walikota di seluruh Indonesia telah dilakukan secara langsung. Parpol berperan dalam pencalonan pasangan Kepala Daerah, lalu rakyat setempat secara langsung memilih. Seiring dengan penguatan Pemerintah Daerah dan pelaksanaan Pilkada secara langsung menjadikan Parpol sebagai faktor penting penting, peran Parpol juga semakin menguat kemudian menjadi berpengaruh terhadap

Pilkada dan sistem perumusan kebijakan APBD.

Konfigurasi politik di daerah kini telah dilengkapi dengan semua ciri dasar bagi sebuah demokrasi. Berbagai ciri demokrasi telah berlaku di daerah seperti Pilkada secara langsung, bebas dan adil, kebebasan berendapat dan berserikat, hak untuk memilih, adanya sumber informasi alternatif, hak bagi semua orang untuk menduduki jabatan publik, serta kelembagaan memungkinkan rakyat bisa mengontrol Pemerintahan Daerah sebagai ciri-ciri demokrasi telah berlaku di Indonesia.
Pilkada secara langsung hanyalah suatu proses jangka pendek. Lebih penting adalah pasca Pilkada, yakni penyelenggaraan pemerintahan daerah selama lima tahun di bawah kepemimpinan Kepala Daerah memenangkan Pilkada. Pilkada secara langsung merupakan proses awal untuk membangun local good governance, ditandai antara lain partisipasi masyarakat, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas pemerintah daerah. Demokratisasi menggiring sistem politik di daerah semakin terbuka, dapat dinilai merupakan kemajuan signifikan.

Pemberdayaan DPRD

Demokratisasi telah memberdayakan DPRD. Jika di masa Orde Baru lembaga ini hanya merupakan pelengkap dan menjadi ”stempel” dari kebijakan Pemerintah Daerah, kini bergerak ke arah legislatif sehingga DPRD diberi hak untuk memilih dan mengawasai Gubernur, Bupati dan Walikota tanpa mekanisme kawal dan imbang jelas. Sistem ini rawan politik uang selain akan menghambat proses perumusan kebijakan. Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) diserahkan sepenuhnya kepada DPRD, pasangan calon Kepala Daerah tinggal ”mendekati” separuh dari seluruh anggoat DPRD. Untuk memencapai jabatan politis di daerah ketika itu tidak lebih dari 50 orang untuk DPRD tingkat Provinsi dan tidak lebih dari 23 orang untuk tingkat Kabupaten/Kota.Dengan modal uang, sepasang calon akan mudah untuk membeli suara para anggota DPRD. Memang ada keharusan bagi para pasangan calon untuk menyampaikan visi dan misi mereka di depan DPRD, namun pada akhirnya sangat bergantung penggunaan hak mutlak memilih para anggota DPRD. Persoalan menjadi lebih parah karena kebanyakan para anggota DPRD ketika itu tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai dalam hal ketatanegaraan maupun hal-hal teknis terkait pemerintahan daerah. Ketika para anggota DPRD dengan kualitas SDA kurang memadai itu memperoleh kekuasaan besar seiring kebijakan desentralisasi, maka mereka akan sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, dan korupsi.

UU No. 32 tahun 2004 menghapus kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan juga ketentuan mengenai LPJ (Laporan Pertanggungjawaban), sebelumnya seringkali disalahgunakan oleh para anggota DPD untuk memecat Kepala Daerah tanpa alasan jelas. LPJ itu itu kini hanya dipandang sebagai laporan kemajuan bagi para anggota legislatif. Ketika Kepala Daerah selanjutnya dipilih secara langsung, kedudukan eksekutif dan legislatif di daerah relatif menjadi lebih seimbang.
Tantangan bagi Perumus Kebijakan

Sebagai daerah baru belajar berdemokrasi, banyak di antara perumus kebijakan strategis daerah sebenarnya baru belajar berdemokrasi, dan juga belum lama terbiasa dengan sistem otoritarian. Salah satu tantangan berat yakni meyakinkan para perumus kebijakan daerah agar tidak frustasi dengan tatanan demokratis masa lalu mengunkit nostalgia semuanya serba pasti dan dapat diduga. Proses perumusan kebijakan demokratis memang memerlukan kerja keras untuk menciptakan sebuah konsensus, tetapi itu bukan berarti bahwa kembali ke cara-cara tidak demokratis menjadi cara pemecahan/solusi.

Dari perspektif kebijakan publik gelombang demokratisasi itu ternyata menjadi tantangan tersendiri tidak pernah berlaku sebelumnya. Dewasa ini situasi Pemerintahan Daerah lebih sulit dalam menyelesaikan perselisihan tentang kebijakan akan diambil. Lain halnya semasa Orde Baru, begitu cepat keputusan diambil karena terbiasa dengan pendekatan kekuasaan. Proses kebijakan publik kini lebih terfragmentasi dan untuk sebagian terasa kurang efektif.

Biaya Tinggi

Permasalahan Pilkada secara langsung bagi pasangan calon adalah besarnya biaya diperlukan untuk memperoleh status sebagai calon dan memperoleh suara masyarakat pemilih. Sebagian besar pengamat Pilkada sepakat, Pilkada membutuhkan pembiayaan/pendanaan tinggi bukan saja bagi KPUD sebagai pelaksana, tetapi juga bagi pasangan calon itu sendiri. Seseorang akan maju untuk mencalonkan diri mau tidak mau harus mempersiapkan diri dengan modal uang tidak sedikit. Ongkos ini dimulai ketika sang kandidat akan mendaftar di parpol akan menjadi kendaraan menjadi calon. Selanjutnya sang calon akan dibebani biaya kampanye sangat tinggi, mulai dari iklan televisi, spanduk, “roadshow” ke kantong-kantong suara sampai dengan “money politics” acapkali ditutup-tutupi dengan kegiatan sosial seperti pemberian sembako, pengobatan gratis bahkan dalam “ukuran lebih tinggi” acapkali diberikan dalam bentuk uang langsung kepada calon pemilih. Di samping itu, juga sang calon harus membiayai tim sukses dan relawan mencari dukungan suara, juga Konsultan Politik atau Lembaga Survei untuk pencitraan sang calon di mata publik.

Pengeluaran calon untuk pembiayaan tinggi itu harus dikembalikan sehingga tidak sedikit calon terjebak dalam perilaku koruptif. Dampak dari Pilkada biaya tinggi adalah Kepala Daerah terpilih cenderung melakukan praktik korupsi. Tujuannya untuk mengembalikan biaya Pilkada sekaligus investasi politik masa mendatang.
Besarnya biaya diperlukan bukan saja bagi pasangan calon „non-incumbent“, tetapi juga „incumbent“. Pihak incumbent mengikuti Pilkada untuk periode jabatan kedua mungkin mendapatkan dana hasil korupsi dari pemberian ijin konsesi, ataupun dari peningkatan nilai (mark-up) atau kolusi pada pengadaan barang/jasa Pemerintah di daerah. Pihak non-incumbent mungkin mendapatkan sumbangan dari pihak-pihak dijanjikan mendapatkan ”balasan” jika kandidat tersebut memenangkan Pilkada. Setelah menang menjadi Kepala Daerah, dilakukan ”balasan” dengan korupsi pada pengadaan barang/jasa Pemerintah di daerah tersebut.

Presiden SBY di depan Sidang Paripurna Gabungan DPR dan DPD (15 Agustus 2010) mengaku prihatin dengan maraknya demokrasi biaya tinggi Pilkada. Bukan rahasia lagi, ujarnya, bahwa setiap Pilkada selalu dibarengi dengan politik biaya tinggi. “Sudah sering kita dengar, seorang kandidat dengan timnya harus mengeluarkan uang yang begitu banyak”, tegasnya. Menurut SBY, kegiatan demokrasi seperti itu, sumber dana legal dan juga besarannya sesuai dengan aturan. Tapi kenyataannya tindakan seperti itu justru hanya akan menimbulkan politik uang dan bahkan memicu terjadinya perbuatan anarkis seperti terjadi di Pilkada beberapa daerah. Politik biaya tinggi ini, lanjutnya, berimbas negatif bagi perkembangan demokrasi dan merugikan masyarakat. “Berdampak negatif pada moral, etika, budaya, politik kita”, tegasnya.

SBY memperkuat lagi penilaian tentang Pilkada biaya tinggi ini saat menerima kunjungan ICMI, di kantor Kepresidenan, Jakarta, 18/08/10. SBY juga menunjukkan keperihatinan dengan praktik politik dan demokrasi Pilkada biaya tinggi. Akibat praktik itu, esensi kepemimpinan di daerah jauh dari diharapkan masyarakat sebagai pemilih. “Satu keprihatinan dan kecemasan kalau politik dan demokrasi kita ini menjadi suatu amat mahal, high cost politics, dan high cost democracy. Bukan rahasia lagi kalau orang mencemaskannnya. Pilkada saja biayanya sangat tinggi, apakah pemilihan bupati, Walikota, dan Gubernur,” tandas SBY Sembari mengingatkan, saat ini perlindungan atas hak asasi manusia telah memadai, partisipasi politik rakyat juga meningkat, proses Pemilu berjalan tertib dan kebebasan pers dijalankan sebagai dampak positif dari perkembangan demokrasi di Indonesia.

Penilaian Pilkada secara langsung biaya tinggi juga datang dari Mendagri, Gamawan Fauzi, mengungkapkan sebuah paradoks, yaitu untuk menjadi seorang Kepala Daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan bersih. Untuk menjadi seorang kepala daerah dibutuhkan uang miliyaran rupiah, setelah menjadi kepala daerah dituntut menciptakan pemerintahan bersih. Gamawan mengatakan, gaji Gubernur sebesar Rp. 8,7 juta per bulan, ungkap Mendagri.”Kalau menjadi seorang Gubernur dibutuhkan uang Rp. 20 miliyar, dengan gaji Gubernur itu, butuh waktu berapa lama untuk mengembalikan uang Rp. 20 miliyar itu?”, ungkapnya.

KPU juga telah melaporkan tingginya biaya Pilkada. Biaya Pilkada 2010-2014 mencapai Rp. 15 triliyun. Ada lima komponen biaya Pilkada dilihat dari pengeluaran, yakni KPU, Panitia Pengawas Pemilu, Kepolisian, Calon Kepala Daerah dan Tim Kampanye. Khusus untuk KPU dan Panwas, KPU Kabupaten/Kota tahun 2010 menganggarkan sekitar Rp. 7 miliyar sampai Rp. 10 miliyar, sedangkan KPU Provinsi menganggarkan sekitar Rp. 50 miliyar sampai Rp. 70 miliyar. Dari sisi Panwas, dana dibutuhkan sekitar Rp.3 milyar untuk tingkat Kabupaten/Kota dan Rp. 20 miliyar untuk tingkat Provinsi. Data dari Dirjen Bina Administrasi Daerah menyebut angka Rp. 3,54 triliyun untuk biaya Pilkada tahun 2010 di 244 Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Jumlah ini hanya memperhitungkan penyelenggaraan untuk satu putaran saja.
Pilkada dan Korupsi di Daerah

Salah satu issue politik nasional di bawah era reformasi berlakangan ini (Januari 2011) adalah Pilkada dan korupsi di daerah. Biaya calon Kepala Daerah dalam pencalonan dan kampanye mengharuskan Kepala Daerah terpilih harus mengembalikan modalnya selama kampanye. Fenomena korupsi di daerah terkait dengan Pilkada telah menjadi “prestasi” Indonesia di bawah era reformasi. Untuk mengurangi korupsi di daerah, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzie, menggagas bahwa Parpol harus membiayai pencalonan dan kampanye calon Kepala Daerah. Gagasan ini tentu masih harus digugat. Bisa jadi, Parpol membiayai calon justru memperkuat politik kartel daerah, terutama perilaku politisi Parpol mengambil dana negara (APBN dan APBD) secara ilegal. Sekarang saja, untuk pembiayaan kegiatan Parpol telah menyuburkan korupsi politisi di daerah. Gamawan juga mengingatkan, banyak Kepala Daerah menjadi tersangka atau terdakwa korupsi, bahkan ditahan. Hal ini pasti berdampak terhadap penyelenggaran pemerintahan di daerah.

Fenomena korupsi di daerah sudah demikian rumit mulai dari pola dilakukan. Salah satu sebab adalah para pemain di daerah mempunyai kekuasaan penuh dan praktis tanpa ada pengawasan berarti. Pejabat benar-benar berkuasa di daerah adalah Bupati dan Walikota, Bahkan Gubernur sekalipun tidak sangup “mengatur”para raja-raja baru di daerah tersebut. Penyimpangan telah merambah secara merata di Pemerintahan daerah, acapkali dinilai telah memasuki era korupsi di daerah. Kerugian negara tidak hanya berumber dari APBN digegrogoti, termasuk juga APBD. Jenis penyimpangan sebagian besar mengindikasikan praktik KKN. Pada umumnya berujung ada timbulnya kerugian negara atau daerah (Pelita, 16 Agustus 2010). Otonomisasi dan desentralisasi daerah terlalu memberikan keleluasaan (disrectory of ower) kepada daerah. Ada indikasi justru terjadi beberapa gejala negative di daerah, bertentangan dengan upaya pemberantasan KKN. Adanya DAU merupakan transfer dari Pemerintahan Pusat ke Pemerintahan Daerah, menyebabkan daerah berhak mengalokasikan DAU sesuai pertimbangan dan kebutuhan daerah. Hal ini merupakan salah satu pendorong korupsi di daerah. Adanya kecenderungan kebebasan kurang terkendali baik dari ekekutif maupun legislative. Juga, adanya ketidakjelasan pengawasan penggunaan DAU sepenuhnya diserahkan kepada eksekutif dan legislative. Kekuasaan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintaah Daerah relatif begitu besar, kadangkala terdapat julukan munculnya “raja-raja kecil” di daerah.

Korupsi adalah solusi cepat bagi Kepala Daerah melarikan diri dari pembayaran utang akumulasi akibat pembiayaan kampanye politik mahal. Kasus korupsi banyak terjadi di tingkat daerah didorong oleh hutang untuk mendanai kampanye politik selama Pilkada. Masalah utama dalam sistem politik daerah, Pilkada secara langsung rawan terhadap praktik-praktik politik uang. Calon Kepala Daerah dilaporkan ekstra dalam menggali ke dalam kantong mereka dalam rangka memenangkan pemilihan. Sumber resmi Pemerintah dapat diambil melalui pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi. Sejak tahun 2005 Bupati menjadi tersangka sebanyak 150 orang. Jumlah tersangka dari total jumlah Kepala Daerah 524 orang itu sangat memprihatinkan).

Sebagian pengamat politik ekonomi lokal dan pejabat tinggi pemerintahan telah mengakui bahwa biaya Pilkada secara langsung terlalu mahal mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Sementara gaji seorang Kepala Daerah tidak cukup untuk membayar keseluruhan biaya Pilkada tersebut. Akibatnya, muncul pendapat bahwa salah satu pemicu Kepala Daerah melakukan korupsi adalah untuk membiayai Pilkada yang terlalu mahal itu.