Selasa, 25 Januari 2011

BUKAN HANYA KEPALA DAERAH, POLITISI PARPOL JUGA KORUPSI DI DAERAH

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP





Salah satu issue politik nasional di bawah era reformasi berlakangan ini (Januari 2011) adalah Pilkada dan korupsi di daerah. Biaya calon Kepala Daerah dalam pencalonan dan kampanye mengharuskan Kepala Daerah terpilih harus mengembalikan modalnya selama kampanye. Fenomena korupsi di daerah terkait dengan Pilkada telah menjadi “prestasi” Indonesia di bawah era reformasi. Untuk mengurangi korupsi di daerah, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzie, menggagas bahwa Parpol harus membiayai pencalonan dan kampanye calon Kepala Daerah. Gagasan ini tentu masih harus digugat. Bisa jadi, Parpol membiayai calon justru memperkuat politik kartel daerah, terutama perilaku politisi Parpol mengambil dana negara (APBN dan APBD) secara ilegal. Sekarang saja, untuk pembiayaan kegiatan Parpol telah menyuburkan korupsi politisi di daerah. Gamawan juga mengingatkan, banyak Kepala Daerah menjadi tersangka atau terdakwa korupsi, bahkan ditahan. Hal ini pasti berdampak terhadap penyelenggaran pemerintahan di daerah.

Fakta dan Data Kasus Korupsi Kepala Daerah

Tulisan ini mencoba menyajikan fakta dan data kasus korupsi Kepala Daerah dan Politisi Parpol di legislatif sebagai justifikasi berlakunya issue politik nasional di bawah rezim kartelis SBY. Kasus-kasus korupsi di bawah ini dapat dijadikan fakta dan data. Informasi tentang kasus-kasus ini diperoleh dari berbagai media massa, baik media cetak maupun media internet (website). Kasus-kasus korupsi dimaksud sebagai berikut:

1.Gubernur Nangroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh, mark-up pengadaan helikopter MI-12 Rp12,5 miliar. Status terpidana dengan hukuman penjara 10 tahun.
2.Gubernur Kalimantan Timut Suwarna Abdullah Fattah, korupsi pembukaan satu juta hektare perkebunan kelapa sawit.
3.Wali Kota Tomohon 2005-2010 Jefferson SM Rumanjar, korupsi APBD Tomohon 2006-2008 Rp19,8 miliar (status tersangka).
4.Bupati Kutai Kartanegara Syaukani. Empat kasus korupsi, yaitu penggelembungan studi kelayakan pembangunan Bandara Loa Kulu senilai Rp3 miliar, pembebasan tanah pembangunan bandara Rp 15 miliar, penyalahgunaan dana bantuan sosial sebagai dana taktis Rp 7,75 miliar, serta upah pungutan dana perimbangan untuk negara dari sektor minyak dan gas Rp 15 miliar (status bebas karena mendapatkan grasi).
5.Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah. Korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran (damkar) di Otorita Batam 2004-2005 (status terpidana dengan hukuman dua tahun penjara.
6.Gubernur Kalimantan Selatan Sjahriel Darham 2000-2005. Penyalahgunaan anggaran belanja rutin pos kepala daerah Rp5,47 miliar selama 2001-2004 (status terpidana dengan hukuman empat tahun penjara.
7.Bupati Boven Digul Yusak Waluyo. Penunjukan langsung pengadaan kapal tanker LCT 180 dan penggelapan dana kas daerah Januari 2006 hingga November 2007 (status terdakwa dan masih menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor dengan tuntutan lima tahun penjara.
8.Gubernur Riau 1998-2003 Saleh Djasit. Kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran Rp4,719 miliar (hukuman empat tahun penjara dan sekarang bebas karena mendapat remisi 17 Agustus.
9.Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan. Kasus korupsi pengadaan alat berat dan mobil pemadam kebakaran di Jawa Barat pada 2004 yang merugikan negara sekitar Rp 72 miliar (status terpidana dengan hukuman empat tahun.
10.Wali Kota Medan Abdillah. Kasus korupsi pengadaan mobil damkar (terpidana divonis 4 tahun penjara.
11.Wakil Wali Kota Medan Ramli Lubis. Kasus korupsi pengadaan mobil damkar (terpidana divonis 4 tahun penjara.
12.Wali Kota Makassar periode 1999-2004 Baso Amiruddin Maula. Kasus menerima hadiah senilai Rp 600 juta dalam proyek pengadaan 10 mobil pemadam kebakaran pada tahun anggaran 2003. Akibat perbuatan tersebut, negara dirugikan senilai Rp 4,31 miliar. Status bebas setelah mendapatkan pembebasan bersyarat, setelah sebelumnya divonis empat tahun.
13.Bupati Brebes Indra Kusumah. Kasus pengadaan tanah untuk pembangunan pasar pada 2003 (status terdakwa dengan tuntutan tiga tahun penjara.
14.Bupati Situbondo Ismunarso. Kasus dugaan korupsi APBD 2005-2007 senilai Rp 45,75 miliar. Status terpidana dengan hukuman sembilan tahun penjara.
15.Agusrin Najamudin, Gubernur Bengkulu. Kasus Dispenda Gate atau kasus korupsi dalam penyaluran dan penggunaan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan PBB/BPHTB di provinsi. Partai : Pertama diusung PKS/PBR lalu pindah ke Partai Demokrat.Progres penanganan kasus : Pemberian izin pemeriksaan keluar Desember 2008. Tetapi kasus terhambat di Kejaksaan Agung.
16.Sukawi Sutarip, Walikota Semarang. Kasus dugaan penyimpangan APBD 2004 di Semarang, pos dana komunikasi senilai Rp5 miliar.Partai : dari PDI Perjuangan pindah ke Partai Demokrat. Progres penanganan kasus terhambat di Kejati Jawa Tengah.
17.Djufri, Walikota Bukit Tinggi. Kasus pengadaan tanah untuk pembangunan kantor DPRD dan pool kendaraan sub dinas kebersihan serta pertamanan kota Bukit Tinggi. Partai: Dari PBB ke Partai Demokrat Progres penanganan kasus terhambat di Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat.
18.Ismunarso, Bupati Situbondo. Kasus dugaan korupsi raibnya dana kas daerah sebesar Rp45,750 miliar. Partai Golkar ke PDI Perjuangan Progres penanganan kasus belum jelas.
19.Andrias Palino Popang, Wakil Bupati Tanah Toraja. Kasus korupsi anggaran pendapatan dan belanja Tanah Toraja 2003-2004 senilai Rp1,9 miliar. Partai Golkar ke Partai Demokrat.Progres penanganan kasus : Terhambat di Kejaksaan Tinggi Sulawesi. Yang bersangkutan sudah berstatus tersangka
20.Ahmad Syafii, Bupati Pemekasan. Kasus masih ditelusuri ICW Partai : PPP ke Partai Demokrat.Progres penanganan kasus : Diajukan oleh Kejaksaan Agung pada April 2006, proses tidak jelas.
21.Satono, Bupati Lampung Timur. Kasus dugaan penyimpangan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah periode 2005-2008 Partai : Golkar ke Partai Demokrat.Progres penanganan kasus Izin pemeriksaan keluar pada 25 September 2009. Yang bersangkutan sudah berstatus tersangka. Proses tidak jelas.
22.Sri Roso Sudarmo. Bupati Bantul. Kasus kasus suap Rp. 1 Milyar kepada Yayasan Dharmais.Hukuman : 9 bulan penjara.
23.Samsul Hadi Siswoyo. Bupati Jember. Kasus korupsi dana APBD jember 2004 sebesar Rp. 19 Miliar.Hukuman : 6 tahun penjara dan denda sebanyak Rp. 100 juta, serta membayar uang pengganti sebesar Rp. 9.8 Miliar.
24.Ramlan Zas. Mantan Bupati Rokan Hulu. Kasus korupsi dana tak terduga APBD Rokan Hulu 2003 sebesar Rp. 3.5 Miliar. Hukuman 3 tahun penjara.
25. Simeon Th Pally, 2009, Bupati Kabupaten Alor NTT. Kasus 20 anggota DPRD menyerahkan data rekomendasi PANSUS hak angket ke KPK terkait penyalahgunaan dana bantuan social senilai Rp. 18 miliyar lebih. Status masih diduga oleh DPRD. Diduga, hampir 85 % penggunaan dana Bansos tidak jelas dan melanggar ketentuan.
26. Zulkifli Muhadli, Bupati Kab. Sumbawa Barat. Kasus proses pembelian saham PT. Newmon Nusa Tenggara (NNT) terindikasi Tipikor. Potensi kerugian negara 24 % saham NNT karena tidak jelas statusnya, jumlah US 884,6 juta atau Rp. 8,8 triliyun. Tidak ada Perda mengatur proses divestasi senilai 24 % pembelian saham di NNT dikuasai PT. Multi Daerah Bersaing (MDB). DPRD Kab.Sumbawa Barat, M. Sahril Amin, melaporkan ke KPK.
27. Kasus dugaan korupsi Bupati Labuhanbatu, T.Milwan , Rp. 30,2 M. Kasus ini disampaikan mantan anggoat DPRD ke KPK, juga turut menikmati dana itu. Kasusnya, penggunaan belanja penunjang kegiatan DPRD dan Pemkab Labuhan Batu pada beberapa pos anggaran, disinyalir merugikan negara Rp. 30,2 miliyar. Dugaan korupsi Bupati T. Milwan dan mantan Ketua DPRD Abdul Harahap Cs. Dugaan ini berdasarkan temua BPK wilayah Sumut tahun 2006 dari APBD Labuhan Batu tahun 2004-2005.

Berdasarkan fakta dan data korupsi Kepala Daerah di atas, maka dapat digambarkan bahwa fenomena korupsi Kepala Daerah lebih dominan pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) di daerah. Dalam batas-batas tertentu, memang ada prilaku korupsi Kepala Daerah di luar wilayah PBJP.

Fakta dan Data Kasus Korupsi Anggota DPRD

Sementara itu, untuk kasus-kasus korupsi politisi Parpol sebagai anggota DPRD, fakta dan data sebagai berikut.
1.Kasus di Provinsi Sumatera Barat, Rp. 14 miliyar. Modusnya membuat Tata Tertib untuk pos anggaran baru. 53 anggota DPRD diperiksa dan divonis 2 tahun penjara.
2.Kasus di Provinsi Sulawesi Selatan. Alokasi anggaran untuk dua pos berbeda. Dana sudah dialokasikan ke pos anggaran belanja Sekretariat Dewan. Semula Polisi menetapkan 14 tersangka, namun diubah menjadi saksi. Tersangka baru ditetapkan 3 orang, termasuk ketua DPRD Agus Nu`mang.
3.Kasus di Kabupaten Garut, Jawa Barat, Rp. 6,6 miliyar. Mark up biaya perjalanan dinas 41 anggota DPRD.
4.Kasus di Surabaya, Jawa Barat, Rp. 1,2 miliyar. Penyalahgunaan peruntukan dana premi kesehatan dibagi ke 45 anggota masing-masing dapat Rp. 25 juta.Ketua DPRD M. Basuki divonis 1,6 tahun penjara.
5.Kasus di Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, Rp. 1,4 miliyar. Dana purnabakti, 35 anggota DPRD.
6.Kasus di Provinsi Sumatera Selatan, penyimpangan anggaran untuk belanja, terkait 85 anggota DPRD.
7.Kasus di Provinsi Lampung. Penyimpangan anggaran untuk belanja. Terkait 75 anggota DPRD.
8.Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTT). Penyimpangan anggaran untuk perumahan anggota. 3 anggota DPRD.
9.Kasus di Provinsi Kalimantan Timur. Penggunaan dana penunjang operasional DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara 2004-2009. Sebanyak 38 orang anggota DPRD tersangka. Semua 40 anggota DPRD Kutai disangka terlibat, tapi dua orang telah wafat. Sebanyak 20 orang tidak lagi menjadi anggota Dewan.
10.Kasus di Provinsi Riau. Dana aspirasi Rp 2M/anggota dewan, dan Dana Bansos Rp 500jt/anggota. 55 orang anggota DPRD
11.Kasus di Kota Madiun, Jawa Timur. Korupsi dana operasional DPRD tahun 2002-2004 sebesar Rp. 996.7 juta. Dikembalikan kepada kas negara Rp 241juta. Mereka didakwa menerima dana illegal (tidak sah) sebesar Rp.996,7 juta dari total krugian ngara Rp. 8,3 miliyar (BPKP). 5 orang anggota DPRD Perbuatan terdakwa 1 sampai 5 melanggar pasal 27 PP No.105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Kuangan Daerah dan Pasal 57 ayat 1 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002. Saat itu, kelima terdakwa menjadi Panmus (Panitia Musyawarah) bertugas mengagendakan jadwal persidangan dan rapat termasuk pembahasan dana operasional Dewan diambil dari APBD 2002-2004. Tiga bekas pimpinan dan 16 anggota DPRD saat itu menerima dana operasional kegiatan dan tujangan antara lain tahun 2002 enam pos/biaya total sekitar Rp. 1,437 miliyar, 2003 sebanyak 13 jenis biaya total sekitar Rp. 2,433 miliyar, dan 2004 sebanyak empat jenis biaya total sekitar Rp. 1,47 miliyar. Total dana diterima bekas pimpinan dan anggota DPRD mencapai Rp. 5,341 miliyar. Kelima terdakwa diduga menerima dana tahun 2002 sekitar Rp. 257,225 juta, 2003 Rp. 441,128 juta dan 2004 Rp. 996,7 juta. Dari dana sudah diterima, kelima terdakwa sudah mengembalikan ke kas ngara sekitar Rp. 241 juta.
12.Kasus di Kota Madiun, Jawa Timur. Tindak pidana korupsi dana anggaran operasional Rp. 5,3 miliyar (Terungkap di Pengadilan Negeri Madiun). Penyalahgunaan dana operasional DPRD tahun 2002 hingga 2004. Negara dirugikaan sekitar Rp. 5 miliyar lebih. Didakwa pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31 tahun 2009 tentang Tipikor jo UU No. 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP. 11 Mantan Anggota DPRD Kota Madiun 1999-2004. Wisnu Suwarto Dewo, Yohanes Sinulingga, Kun Anshori, Adam Suparno, Supranawo, Ali Sholah Baraba, Soewarsono, Gatot Triyanto, Wimbo Hartono, Suhadai dan Isnanto. Mereka Mantan Panggar (Panitia Anggaran), terlibat proses penganggaran dana operasional DPRD bersumber APBD 2002-2004.
13.Kasus di Kota Depok, Jawa Barat. Korupsi dana APBD Rp. 9,5 miliyar. Dihukum oleh Pengadilan Negeri Cibinong (24 Januari 2006) kurungan selama dua tahun, potong masa tahanan dan denda Rp. 50 juta subside tiga bulan kurungan. 17 orang anggota DPRD diancam hukuman 20 tahun penjara. Setelah divonis di Pengadilan Cibinong, para terpidana mengajukan banding ke Penagdilan Tinggi Jawa Barat. Keluar keputusan bahwa terpidana divonis 1 tahun penjara. Kasus korupsi anggota DPRD ini terungkap atas laporan sejumlah LSM Depok tahun 2005 kepada Polda Metro Jaya. Polda memutuskan menahan 17 anggota Dewan Mei 2005.
14.Kasus di Cirebon, Jawa Barat. Korupsi dana APBD Rp. 4, 9 miliyar. Kasus ini menyeret semua anggota DPRD periode 1999-2004.
15.Kasus di Kota Cirebon, Jawa Barat. Kasus korupsi dana APBD Kota Cirebon tahun 2004. Kerugian negara Rp. 4,9 miliyar. 9 Mantan Anggota Dewan periode 1999-2004 sebagai tersangka. Sebelumnya 13 anggota dewan periode sama juga terseret sebagai tersangka.
16.Kasus di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Tindak pidana Korupsi penyimpangan dana asuransi kesehatan. Mereka mengalihkan anggaran tunjangan kesehatan anggota DPRD menjadi asuransi jiwa purnabakti dan perjalanan dinas untuk cek kesehatan fiktif Tahun Anggaran 2003/2004. Kerugian negara Rp. 1.529.710.000. Terkait 22 mantan anggota DPRD Kabupaten Katingan. Satu orang lain telah wafat. Pada kasus serupa, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah mencebloskan Mantan Ketua dan Mantan Sekretaris DPRD Kantingan tahun 2008 dengan vonis berkekuatan hukum dari Majelis Hakim setahun penjara dan denda Rp. 50 juta.
17.Kasus di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Korupsi dana Yayasan Bestari Rp 625 juta.Dana itu dialokasikan dari APBD Pemda Kabupaten Pontianak 2003. Terkait 10 orang mantan anggota DPRD Pontianak.
18.Kasus di Kota Bogor, Jawa Barat. Korupsi dana APBD Rp 6,8 miliyar tahun 2002. Pada pengesahan APBD, terdapat dana Anggaran Biaya Tambahan (ABT) sebesar Rp. 1,3 miliyar disalahgunakan. Seharusnya uang digunakan untuk pemeriksaaan kesehatan dan komunikasi. Praktek lapangan, dana tersebut tidak dipergunakan untuk itu, justru untuk keperluan sendiri. Terlibat 32 orang mantan anggota DPRD Kota Bogor periode 1999-2004. Divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Kota Bogor setahun dan denda Rp. 50 juta. Mereka dijerat Pasal 31 tahun 1999 tidak pidana korupsi (Tipikor).
19.Kasus di Provinsi Papua. Dana bantuan keuangan kepada instansi vertikal dana APBD 2006 sebesar Rp. 2,6 miliyar, bantuan untuk rumah tinggal Rp 2,6 miliyar,serta dana APBD 2006. Dikenakan tindak pidana korupsi UU 31 tahun 1999 pasal 2, pasal 3 dengan ancaman minimal empat tahun penjara. Terkait Ketua DPRD Papua, Anggota DPR, Mantan Sekda, dan Mantan Kepala Biro Keuangan Provinsi Papua.
20.Kasus di Tegal, Jawa Tengah. Korupsi bantuan sapi. Menerima uang atau juga sapi .Kerugian negara skitar Rp. 200 juta. Terkait 5 orang mantan anggota DPRD, yakni Lahri, Humam, Agus Siswoyo, Umar Hadi dan Sorikhin.
21.Kasus di Provinsi Maluku Tenggara. Kasus korupsi dana APBD Rp. 8.256.266.000,- Terkait 35 orang mantan anggota DPRD.
22.Kasus di Kota Padang Sidempuan. Sumatera Utara. Penyelewengan Rp.3,5 miliyar bantuan Departemen Agama untuk Mesjid, Madrasah dan Pondok Pesantren di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan, Kabupaten Mandailing Natal. Lebih 50% dana telah dikorupsi terdakwa tanpa membagikan dana bantuan Rp 3,5 miliyar itu. Terkait anggota DPRD Kota Padang Sidempuan Haris Muda Siregar dengan dua orang lain: Rustam Effendi dan Burhanudin Hasibuan.
23.Kasus di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. Dana APBD Rp 30.2M. Terkait Bupati T. Milwan dan Mantan Ketua DPRD Abdul Roni Harahap.
24.Kasus di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Korupsi dana operasional DPRD Ponorogo dengan kerugian Rp. 2,7 M. Terkait 41 orang mantan anggota DPRD Ponorogo.
25.Kasus di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Tindak Pidana Korupsi anggaran rumah tangga DPRD Kabupaten Nganjuk. Terkait 5 orang mantan anggota DPRD Nganjuk: FH Didik Yudianto, H.M.Fathoni, Kasim, Harijono, Bambang Sulistiyono.
26.Kasus di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Korupsi dana sumber daya manusia (SDM) Rp. 21,3 miliyar. Terkait 9 anggota DPRD 1999-2004, yakni Abdul Shomad, Ato’I Towali, Choiri Nur Afandi, Guntur Eko, Ahmad Ali Fauzan, Tito Pradopo, Sumi harsono, Purwadi Sigarlagi dan (alm) Sardjito.
27.Kasus di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Korupsi dana hibah Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2ESM) Rp 200 juta. Dijerat pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tipikor dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Laporan pertanggungjawaban fiktif. Nashrullah, anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo. Ancaman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Kasus korupsi ini saat Nasrullah sebagai Ketua Panitia Pelayanan Kesehatan Desa Prasung.
28.Kasus di DKI Jakarta. Korupsi pengadaan jasa kajian kapasitas lmbaga (JKKL) DPRD Tahun Anggaran 2008, Rp. 25 M. Terdapat pekerjaan fiktif belaka. Terkait Mantan Sekwan DPRD DKI – Sarwo Edi. Beberapa saksi di pengadilan dari anggota DPRD DKI Jakarta.Dilakukan bersama Mantan Ketua Lelang DPRD DKI Aries Halawani R dan Abdul Haris Mugni, Dirut PT Murdjani Artha Konsultan (Sudah divonis). Aries menyetujui anggaran Rp. 27, 3 M lebih.
29.Kasus di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Korupsi dana Bantuan Sosial Tahun Anggaran 2005.Diperkirakan kerugian negara mencapai Rp. 1,4 miliyar. Terkait 31 orang anggota DPRD. Pertama 2 orang dari ekskutif (Mantan Kabagsos Setda dan Mantan Asda II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemkab Bandung), kemudian 29 orang anggota Dewan.
30.Kasus di Kabupaten Lingga,Provinsi Kepulauan Riau. Korupsi lahan sawah Rp 2 M. Staf Ahli Bupati dan anak Anggota DPRD menjadi tersangka.
31.Kasus di Provinsi Jambi. Korupsi dana anggaran bantuan rumah ibadah Rp. 2,5 miliyar. Menaikkan anggaarn bantuan rumah ibadah Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp. 2,5 miliyar. Alih-alih menyerahkan uang ke rumah-rumah ibadah, mereka justru mengantongi untuk kepentingan sendiri. Terkait Adi Muklis dan Munir, anggota DPRD Kerinci dari Fraksi PAN.
32.Kasus di Kabupaten Temanggung. Jawa Tengah. Korupsi dana bantuan Pendidikan putra-putri anggota dewan Tahun Angagarn 200, Rp 1.8 M. Terkait 43 orang mantan anggota DPRD Temanggung 1999-2004 menerima kucuran dana bermasalah.
33.Kasus di Kabupaten Donggala, Provinsi Palu. Korupsi dana APBD. Mantan anggota DPRD Kabupaten Donggala (Ridwan Yalidjama, Allobua Rangan V), divonis 4 tahun penjara.
34.Kasus di Kabupaten Donggala, Provinsi Palu. Korupsi dana APBD. Terkait Sutomo Borman, Ketut Mardika (Mantan anggota DPRD Kab. Donggala), divonis 4 tahun.
35.Kasus di Kota Bogor. Jawa Barat. Korupsi dana DPRD Tahun Anggaran 2002 Sebanyak Rp. 6,164 miliyar. Terkait Moch Said, Mantan Ketua DPRD Kota Bogor, divonis 4 tahun.
36.Kasus di Garut, Jawa Barat. Korupsi dana APBD. Dedi Suryadi (Ketua DPRD 2004-2009), Iyos Somantri (anggota DPRD), Mahyar Suara (Staff Ahli Bupati Garut), dan Encep Mulyana. Vonis 4 tahun.
37.Kasus di Provinsi Kalimatan Timur. Korupsi dana APBD sebanyak Rp. 3,4 miliyar. Terkait Mantan Wakil Ketua DPRD Kaltim (Kasyful Anwar Asad), divonis 4 tahun.
38.Kasus di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Korupsi di DPRD Kaltim 2001-2003. Terkait Mantan Ketua DPRD Kaltim dan Wakil PN Samarinda. Vonis 7 tahun 5 bulan.
39.Kasus di Kabupaten Kupang, NTT. Korupsi dana penunjang kegiatan dewan. Rp. 2 miliyar. Terkait 7 orang mantan anggota DPRD Kabupaten Kupang, divonis 1 tahun.
40.Kasus di Kota Padang, Sumatera Barat. Korupsi dana APBD. Rp. 10,4 miliyar. Terkait 40 orang mantan anggota DPRD, divonis 4 tahun.
41.Kasus di kota Kendari. Sulawesi Tenggara. Terkait 23 anggota DPRD, divonis 2 tahun.
42.Kasus di Kabupaten Bombana, Provinsi Korupsi pengadaan mobil Puskesmas Keliling Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana tahun 2008, Sulawesi Tenggara. Terkait seorang masih menjabat Anggota DPRD Kota Kendari periode 2009-2014.
43.Kasus di Provinsi Banten. Korupsi dana APBD 2003. Rp. 14 miliyar. Terkait Ketua DPRD 2001-2004, dan 2 mantan anggota DPRD, divonis 4 tahun 6 bulan.
44.Kasus di Kota Solo. Jawa Tengah. Korupsi dana APBD. Rp. 4,272 miliyar. Terkait Soemarlan Djatmiko (Mantan Sekretaris DPRD), divonis 18 bulan. Terkait Soemarlan Djatmiko (Mantan Sekretaris DPRD), divonis 18 bulan.
45.Kasus di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Korupsi dana APBD 2004. Terkait H Sutoyo (Mantan Wakil Ketua DPRD 1999-2004), divonis 1 tahun 6 bulan.
46.Kasus di Kabupaten Subang. Jawa Barat. Korupsi dana asuransi anggota DPRD sebanyak Rp. 136.400.000 juta. Terkait Bambang Herdadi (Ketua DPRD Subang 2004), divonis 1 tahun.
47.Kasus di Kabupaten Aceh Singkil, NAD. Korupsi pencairan Kasbon. Rp. 1.733.119.6354 orang anggota DPRD Aceh, divonis bebas.
48.Kasus di Kota Mataram. NTB. Korupsi dana APBD. Rp. 17,5 miliyar. Terkait 10 orang mantan anggota Panitia Anggaran DPRD 1999-2004, divonis bebas.
49.Kasus di Provinsi Jawa Tengah. Korupsi dana APBD 2003. Sebanyak Rp. 14.8 M. Terkait Asrofi (Mantan Ketua PRT), Wahono Ilyas, dan Suyatno SW (Mantan Sekretaris PRT), divonis 1 Tahun.
50.Kasus di Provinsi Jawa Tengah. Korupsi dana APBD 2003 sebanyak Rp. 14.8 miliyar. Terkait M. Mardijo (Ketua DPRD 1999-2004), divonis 2 tahun.
51.Kasus di Kabupaten Nias, Sumut. Dugaan tindak pidana korupsi dana APBD Nias 2006 senilai Rp. 354.790.000. Sejumlah anggota DPRD telah mengembalikan uang tersebut.
52.Kasus di Kota Depok Jawa Barat Beni Bambang Erawan, Mantan Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat 2004-2009. Dia dikenakan pasal 2, 3 dan 5 UU No. 31 tahun 1999 juncto UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman seumur hidup. Dua tersangka lain, Mien Hartati, mantan Kepala Dinas Kota Depok dan Yusuf Effendi, Direktur PT Karya Profesi Mulya penyedia alat kesehatan (sudah terjerat satu tahun penjara).
53.Kasus di Kota Bitung, Sulawesi Selatan. Kasus korupsi Bedah Rumah. Terdakwa dalam kapasitas sebagai Ketua KSU “Mentari” Kota Bitung melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) sub a,b ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 tahun 1999 tentang TIPIKOR. Sedangkan dalam dakwaan Subsidair terdakwa melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) sub a,b ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 tahun 1999. Saat ini sebagai anggota DPRD Kota Bitung, Drs. Menno Tairas. Diduga merugikan uang negara Rp. 1.258.503.750.
54.Kasus di KabupatenTual, Provinsi Maluku Tenggara. Kasus Korupsi Dana APBD Kabupaten Maluku Tenggara (Malra), merugikan negara Rp. 8.256.266.000. Terkait 36 mantan Anggota DPRD Maluku Utara periode 1999-2004.
Bukan Hanya Kepala Daerah

Apa yang dapat disimpulkan dari fakta dan data di atas, yakni fenomena korupsi di daerah bukanlah hanya Kepala Daerah sebagai aktor/pelaku, anggota legislatif juga telah berposisi sebagai pelaku. Karena itu, sekalipun terpecahkan masalah Pilkada sebagai penyebab korupsi Kepala Daerah, tidak berarti menghapuskan politisi korupsi di daerah. Bahkan, kalau Parpol membiayai Calon Kepala Daerah dalam pencalonan dan kampanye, para politisi Parpol bersangkutan menjadi “ganas” korupsi dana negara karena mereka mencari “ganti” dana dikeluarkan sebelumnya.

Berdasarkan fakta dan data korupsi anggota legislatif (DPRD) di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fenomena korupsi anggota legislatif biasanya berpola pada proses anggaran. Tidak menunjukkan dominan kasus korupsi pada PBJP (Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) di daerah. Karena itu, keterlibatan anggota DPRD dalam melakukan korupsi pada PBJP di daerah tidak cukup fakta dan data berdasarkan sumber lembaga penegak hukum, namun keterlibatan itu tidak sampai mengantarkan anggota DPRD menjadi tersangka atau terdakwa bagi penegak hukum. Perlu ada pembuktian lebih mendalam dan pengumpulan data sekunder dan primer di lapangan melalui FGD atau indept-interview, misalnya, dengan pelaku usaha atau penyedia jasa/barang sebagai rekanan Pemerintahan Daerah. Melalui FGD dan indept-interview akan dapat diketahui para anggota DPRD sebagai “pelaku” korupsi pada PBJP di daerah.

Senin, 24 Januari 2011

TIPOLOGI/MODUS KORUPSI KEPALA DAERAH DAN ANGGOTA DPRD

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Fenomena korupsi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Waliota) dan anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam era reformasi telah menunjukkan intensitas dan kuantitas semakin meningkat, bahkan telah menjadi ”keprihatinan” pejabat negara di Pusat. Fenomena korupsi ini nampaknya terus akan berlangsung seiring format politik nasional dengan kehidupan kepartaian syarat politik kartel. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran tipologi/modus korupsi kepala daeran dan anggota legislatif dimaksud. Beragam tipologi/modus atau korupsi pada pemerintahan daerah telah ditemukan oleh berbagai hasil studi.

Tipologi/Modus Korupsi menurut Bank Dunia

Salah satunya, dapat ditemukan di dalam Taufik Rinaldi , dkk., Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah (Jakarta: Justice for the Poor Project, Bank Dunia, Mei 2007). Hasil studi ini melaporkan bahwa tipologi/modus korupsi di DPRD adalah:
1.Memperbanyak/memperbesar mata anggaran untuk tunjangan dan fasilitas bagi pimpinan dan anggota dewan.
2.Menyalurkan dana APBD bagi keperluan anggota dewan melalui Yayasan fiktif.
3.Manipulasi bukti perjalanan dinas.
Sementara itu, peluang & tipologi/ modus operandi korupsi eksekutif di daerah yaitu:
1.Penggunaan sisa dana (UUDP) tanpa pertanggungjawaban dan tanpa
prosedur.
2.Penyimpangan prosedur pengajuan dan pencairan dana kas daerah.
3.Manipulasi sisa APBD.
4.Manipulasi dalam proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP).
Di lain fihak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mengidentifikasi tipologi/modus korupsi di daerah. Menurut KPK, paling tidak ada 14 tipologi/modus, yakni:
1.Pengusaha menggunakan pejabat pusat untuk membujuk Kepala Daerah mengintervensi proses PBJP dalam rangka memenangkan pengusaha tertentu dan meninggikan harga ataupun nilai kontrak.
2.Pengusaha mempengaruhi kepala daerah untuk mengintervensi proses PBJP agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan (di mark up).
3.Panitia PBJP dibentuk Pemda membuat sepesifikasi barang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak.
4.Kepala Daerah ataupun pejabat daerah memerintahkan bawahan
untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif.
5.Kepala Daerah memerintahkan bawahan menggunakan dana untuk
kepentingan pribadi si pejabat bersangkutan atau kelompok tertentu kemudian membuat pertanggungjawaban fiktif.
6.Kepala Daerah menerbitkan Perda (Peraturan Daerah) sebagai dasar pemberian upah
pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundangan lebih tinggi, namun sudah tidak berlaku lagi.
7.Pengusaha, pejabat eksekutif dan DPRD membuat kesepakatan
melakukan ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan menurunkan (mark down) harga aset Pemda, serta meninggikan (mark-up) harga aset milik pengusaha.
8.Kepala Daerah meminta uang jasa dibayar di muka kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek.
9.Kepala Daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.
10.Kepala Daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat atau bendahara yang ditunjuk). Maksudnya, untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.
11.Kepala Daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan di bank.
12.Kepala Daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam
kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
13.Kepala Daerah menerima uang/barang berhubungan dengan proses perijinan dikeluarkannya.
14.Kepala Daerah, keluarga ataupun kelompoknya membeli lebih dulu
barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke Pemda dengan harga yang sudah di-mark up.

Tipologi/Modus Korupsi menurut Transparency International Indonesia

Hasil studi berikutnya dapat ditemukan di dalam Biadib, Fahmia (Penerjemah), Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa ( Jakarta: Transparency International Indonesia, 2006). Hasil studi ini menunjukkan tipologi/modus korupsi pada PBJP di daerah pada tahap:
1.Kegiatan penilaian kebutuhan/penentuan kebutuhan.
2.Persiapan perancangan dan persiapan dokumen tender.
3.Pemilihan peserta penentuan pemenang tender.
4.Pelaksanaan pekerjaan.
5.Pelaporan keuangan & audit.
Lebih detailnya hasil studi Transparancy International (2006) berdasarkan tahapan kegiatan PBJP di daerah sebagai berikut:

I. TAHAP PENILAIAN /PENENTUAN KEBUTUHAN
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Kekuasaan melakukan investasi dan pembelian. Adanya tawaran dari beberapa perusahaan untuk membuat kesepakatan, walau nilainya kecil atau tidak bermanfaat bagi masyarakat.
2.Menerapkan sistem baru (potensial menawarkan suap) justru lebih rentan terhadap kebocoran dibanding menggunakan sistem pelacakan kebocoran sistematis atau sistem yang meminimalkan kerugian secara berjenjang (justru meminimalkan korupsi).
3.Adanya investasi secara ekonomis tidak adil dan merusak mekanisme yang ada.
4.Hanya menguntungkan sebagian penyedia barang. Kebutuhan barang dan jasa dinaikkan agar melebihi batas kebutuhan.
5.Suap untuk politisi dan uang „terima kasih“ (kickback) yang dimasukkan dalam anggaran keuangan (biasanya ada pra-perjanjian tertentu dengan kontraktor).
6.Konflik kepentingan di mana pembuat kebijakan mempengaruhi proses tender dengan cara menekan panitia tender.
II. TAHAP PERSIAPAN PERANCANGAN & PERSIAPAN DOKUMEN TENDER
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni
1.Dokumen atau panduan tender dibuat untuk menguntungkan salah satu kontraktor, sehingga bisa dipastikan tidak ada persaingan saat tender berlangsung.
2.Menaikkan atau mengurangi jumlah barang/jasa yang dibutuhkan untuk menguntungkan beberapa kontraktor.
3.Kompleksitas proyek dalam dokumen dan panduan tender sengaja dihilangkan untuk membingungkan proses pengawasan, bertujuan menyembunyikan rencana korupsi.
4.Konsultan sengaja membuat perencanaan proyek untuk menguntungkan beberapa peserta tender.
5.Menyalahgunakan prinsip penunjukan langsung.
III. TAHAP PEMILIHAN PESERTA/PENENTUAN PEMENANG TENDER
Tahap ini memiliki tipologi/kodus korupsi yakni :
1.Pembuat kebijakan bersikap tidak adil (karena disuap, mengharapkan uang terima kasih, kickback, atau konflik kepentingan).
2.Seleksi kriteria sangat subyektif untuk memudahkan pembuat kebijakan mengambil alih peran di dalamnya.
3.Adanya pemberian informasi bersifat rahasia sebelum penawaran dimulai atau pada tahap aanwejzing yang menguntungkan salah satu atau beberapa peserta tender. Informasi serupa tidak dibagikan kepada seluruh peserta tender.
4.Penyalahgunaan kerahasiaan, bahkan dokumen tersebut justru disebarluaskan sehingga proses pemantauan dan pengawasan sulit dilakukan.
5.Kriteria pemilihan pemenang tender diumumkan kepada publik (transparansi hasil evaluasi penawaran).
6.Pembayaran harga sangat mahal (padahal tidak seharusnya) akibat proses tender tidak benar.
IV. TAHAP PELAKSANAAN PEKERJAAN
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Sebagai ganti atas suap dan uang tak resmi lainnya, kontraktor akan menggantinya dengan harga barang lebih rendah, kualitas kurang baik atau berbeda dari spesifikasi kontrak telah disetujui. Akibatnya, buruknya hasil pekerjaan menyebabkan adanya perbaikan memerlukan biaya lebih mahal dari semestinya.
2.Re-negoisasi atau penggantian klausal kontrak mendasar dilakukan pengawas lapangan dan pelaksana dengan sejumlah imbalan.
3.Harga meningkat sebagai perubahan kontrak, dampak atas perubahan spesifiaksi disertai dengan peningkatan biaya untuk suap guna memperlancar kolusi.
4.Muculnya tuntutan dibuat-buat.
5.Pengawas atau pemantau telah „dibeli „atau tidak indepenen agar mereka membuat laporan tidak benar atau memalsukan laporan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
6.Negoisasi ulang atau penambahan perubahan substansial dalam kontrak diperbolehkan sehingga membuat proses tender menjadi sia-sia.
V. TAHAP PELAPORAN KEUANGAN & AUDIT (BILA DILAKUKAN)
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :
•Akuntan dan auditor melakukan audit tidak jujur atau telah « dibeli » dan memuluskan banyak bukti akuntansi tidak benar.

Tipologi/Modus Korupsi menurut Indonesian Procurement Watch (IPW)

Di lain pihak, hasil studi Indonesian Procurement Watch (IPW), telah merumuskan tipologi/modus korupsi pada PBJP di daerah lebih mendetail sebagaimana terlihat di dalam Tabel berikut ini (Oemarmadi, Sarwedi dkk., Toolkit Anti Korupsi Bidang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Jakarta, Indonesia Precurement Watch, tanpa Tahun):

I. TAHAP PENYUSUNAN RENCANA PENGADAAN
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Pengelembungan Anggaran, yakni pengelembungan anggaran pada berbagai aspek: biaya,kualitas, bahan, volume dll tidak realistis dan biasanya berlebihan, jauh di atas kebutuhan sebenarnya.
2.Rencana pengadaan yang diarahkan, yakni rencana pengadaan yang diarahkan; dan, penyusunan spesifikasi teknis dan kriterianya diarahkan untuk memperbesar peluang agar suatu produk dan pengusaha tertentu dapat memenangkan tender. Kompetisi tak terjadi dan peluang negara untuk memperoleh pengawasan paling menguntungkan semakin kecil.
3.Rekayasa pemaketan untuk KKN, yakni Perencanaan pengadaan meliputi kegiatan pembagian dan pengaturan paket pengadaan menjadi beberapa paket proyek atau sebaliknya, menggabungkan beberapa kegiatan menjadi satu paket proyek untuk alasan menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya. Sebagai contoh, “tender arisan” atau “proyek bagi-bagi untung”.
4.Mengarah dengan sengaja untuk penunjukan langsung, yakni Tahapan pengadaan dibuat lama dan berlarut-larut sehingga batas waktu sempit dan mendesak. Ketika waktu mendesak, dapat dijadikan alasan untuk melakukan penunjukan langsung, yang dapat membuka peluang untuk memilih perusahaan atau rekanan sudah ditentukan.
5.Panitia tidak transparan, yakni Panitia bekerja tertutup dan tidak memberi layanan/penilaian sama di antara para peserta lelang. Pada umumnya hal seperti ini terjadi karena adanya unsur suap atau sogok, dari pihak pengusaha ingin memenangkan tender, atau tekanan dan pengaruh pihak atasan langsung mereka yang berniat unjuk melakukan KKN.
6.Integritas Panitia lemah, yakni Lemahnya integritas mental dan kompetensi panitia membuat proses pengadaan terbuka terhadap ancaman KKN. Lemahanya integritas ini ditandai cara kerja cenderung tidak obyektif, tidak jujur, bekerja tanpa visi, tidak profesional, tidak transparan dan tidak bertanggungjawab.
7.Panitia Lelang memihak , yakni Panitia cenderung memberikan keistimewaan pada kelompok tertentu. Putusan selalu mengacu pada kesepakatan atau aturan2 pelelangan tidak tertulis. Panitia berpihak kepada kelompok yang memberikan janji atau memberikan sesuatu berharga.
8.Panitia tidak independen, yakni Panitia dikendalikan atau dipengaruhi oleh keinginan dan kepentingan tertentu, tidak akuntabel, tidak profesional dan lamban karena selalu menunggu perintah/petunjuk atasan, yang sebenarnya tidak memiliki otoritas di bidang pengadaan. Panitia ibarat robot tak bebas melakukan analisis maupun pertimbangan teknis diperlukan. Sepenuhnya atasan atau pihak pendana mengambil alih „operasi tender“.
9.Intervensi atasan langsung, yakni Panitia tidak dapat menolak intervensi atasan langsung. Kepentingan atasan menjadikan panitia tidak dapat bekerja secara operasional.
II. TAHAP KEGIATAN PRAKUALIFIKASI
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Dokumen adminsitratif tidak memenuhi syarat, yakni Dokumen mitra kerja tidak memenuhi syarat, data palsu, dll tetapi panitia tetap meluluskan. Jika ternyata mitra kerja semacam ini menang tender, akibatnya penanganan fisik akan berkualitas `rendah atau jauh dari memadai sekalipun harga tergolong tingi.
2.Dokumen administratif „aspal“, yakni Dokumen sertifikasi mitra kerja asli, namun tidak didukung status nyata perusahaan (karena memang tidak ada). Panitia mudah meluluskan peserta tender dokumen „aspal“, walau pada proses informal tetap dipakai azas pembuktian tidak langsung bermuara pada suap.
3.Tidak dilakukan legalisasi dokumen, yakni Dokumen prakualifikasi tidak diperkuat oleh data otentik dan pengesahan pihak berwenang. Namun dokumen ini malah diluluskan karena praktik KKN.
4.Evaluasi tidak sesuai kriteria, yakni Dokumen pralikualifikasi tidak diperkuat data otentik dan pengesaahan dari pihak berwenang. Dokumen ini diluluskan karena KKN.
5.Tidak dilakukan pemeriksaaan lapangan, yakni Panitia tidak memeriksa kondisi perusahaan secara langsung ke lokasi perusahaan berada. Biasanya perusahaan tidak diperiksa adalah perusahaan akan dimenangkan. Jika dilakukan pemeriksaaan lapangan hanya dilakukan secara proforma.
III. TAHAP PENYUSUNAN DOKUMEN LELANG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :
1. Spesifikasi diarahkan, yaitu Paket pembelian peralatan atau mesin tertentu, agar barang ditawarkan pembuat/supplier, dengan janji komisi menggiurkan dibeli/dipakai proyek. Spesifikasi teknis disusun panitia untuk pembuatan dokumen tender diarahkan kepada produk tsb.
2.Rekayasa kriteria evaluasi, yaitu Penambahan persyaratan atau ketentuan tidak relevan/dibutuhkan dengan maksud mempermudah KKN. Penambahan dilakukan untuk membatasi peserta di luar daerah kerja, kelompok, atau ketentuan teknis yang sulit dipenuhi perusahaan tidak memiliki akses/persyaratan dimaksud.
3.Dokumen lelang non-standar, yaitu Dokumen lelang dibuat tidak mengikuti kaidah dokumen lelang. Instruksi penambahan syarat sukar, sehingga mitra kerja gugur suka rela menerima kekalahan karena tidak bisa memenuhi dokumen rekayasa itu.
4.Dokumen lelang tidak lengkap, yaitu Panitia tidak mampu menyusun dokumen lelang baik dan benar sehingga memperbesar peluang KKN. Pengusaha berpeluang memanfaatkan kekurangan informasi sebagai upaya menjatuhkan saingan mereka.
5.Dokumen lelang Aspal, yaitu Untuk mengelabui/menyesatkan peserta lain bukan kelompok kolusi panitia, sengaja membuat dokumen lelang „aspal“ agar dalam mengikuti dan menyusun penawaran perusahaan tsb salah, dan akhirnya akan dikalahkan.
IV. TAHAP PENGUMUMAN LELANG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Pengumuman lelang semu atau fiktif
Pengumuman lelang melalui media mempunyai jangkauan publik sangat terbatas. Misalnya pada surat kabar bertiras rendah atau kolusi media tertentu untuk menerbitkan edisi „khusus“ sangat terbatas. Hal ini menghilangkan kesempatan kompetisi sehat, tidak ada peminat dari pemasok barang/jasa akan mengikuti proses pelelangan, keluar pemenang KKN.
2.Pengumuman lelang tidak lengkap
Informasi lelang dibuat tidak lengkap, tidak memadai. Juga informasi „tidak diumumkan“ diberi khusus tersendiri kepada pengusaha diproyeksikan memenangkan lelang dan dibuat selengkap mungkin. Hal ini mempersempit peluang pesaing lain untuk berkompetisi „fair“ dan gagal memenuhi persyaratan lengkap dan tepat waktu.
V. TAHAP KEGIATAN PENYEDIAAN DOKUMEN LELANG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Dokumen lelang diserahkan tidak sama (inkonsisten), yakni hanya sedikit peserta memperoleh dokumen (kelompok KKN) dan ada pengaturan dalam tender. Dalih digunakan untuk menjustifikasi perbuatan adalah keterbatasan waktu pelaksanaan pekerjaan atau musim hujan segera datang.Peserta masih sempat mengambil dokumen yakni mereka dekat dengan Pimpro.
2.Waktu Pendistribusian Dokumen Terbatas, yakni untuk maksud mengalahkan peserta lelang lain tidak ikut dalam kelompok kolusi, mereka diberi dokumen masih „konsep, bukan final. Akibatnya, gugur karena tidak memenuhi kriteria evaluasi seharusnya. Mereka tidak gugur hanya kelompok KKN dokumen lengkap.
3.Dokumen lelang diserahkan tidak sama (inkonsisten), yakni hanya sedikit peserta memperoleh dokumen (kelompok KKN) dan ada pengaturan dalam tender. Dalih digunakan untuk menjustifikasi perbuatan adalah keterbatasan waktu pelaksanaan pekerjaan atau musim hujan segera datang.Peserta masih sempat mengambil dokumen yakni mereka dekat dengan Pimpro.
4.Waktu pendistribusian dokumen terbatas, yakni penyampaian dokumen lelang ditentukan oleh panitia di tempat sukar ditemukan dan papan pengumuman tidak dipasang. Termasuk juga upaya memindahkan lokasi pengambilan dokumen dilakukan secara mendadak, hanya beberapa jam sebelum penutupan dan hanya diumumkan dengan tempelan petunjuk kertas pengumuman. Hanya mereka mengenal baik panitia datang mengambil dokumen lelang.
VI. TAHAP PENENTUAN HARGA PERKIRAAN SENDIRI (HPS)
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Harga perkiraan sendiri (HPS) ditutup-tutupi, yakni HPS ditutupi-tutupi agar peserta lelang tidak diproyeksikan menjadi pemenang akan kehilangan „jejak“ dalam mengajukan harga penawaran wajar. Para penawar hanya meraba-raba harga pantas, sehingga kenyataannya penawar mendekati “ceiling HPS, hanya mereka memperoleh “bocoran”, sedangkan lainnya jauh berbeda di atas atau dibawah harga ceiling HPS.
2.Pengelembungan (mark-up), yakni Nilai penawaran mendekati HPS karena sudah diatur sebelumnya dengan mitra kerja. Nilai kontrak menjadi tinggi karena nilai ditawarkan pemenang dekat nilai HPS. Koefisien dan faktor mempengaruhi suatu harga tidak menguntungkan. Produktivitas rendah karena upaya ini digunakan untuk berKKN. Mitra kerja terkait akan memanfaatkan nilai HPS.
VII. TAHAP PENENTUAN HARGA PERKIRAAN SENDIRI (HPS)
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
•Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan, yakni besarnya menyusun HPS adalah panitia, namun dalam rangka kolusi, menyusun adalah “calon pemenang”. Cara dan data serta metode mirip penawaran dari mitra kerja dalam rangka kolusi (disamping panitia juga tidak berkemampuan menyusun HPS sendiri).
VIII. TAHAP PENJELASAN/AANWIJZING
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Pre-Bid Meeting terbatas, yakni pembatasan informasi oleh panitia agar hanya kelompok dekat saja memiliki informasi lengkap. Dalam penawaran, ada cluster penawaran lengkap dan ada cluster penawaran tidak lengkap. Bila para peserta tidak jeli melihat dokumen lelang dibagikan, mereka akan terjebak dalam kerugian. Akibatnya, tidak ada transparansi informasi, mengakibatkan ketimpangan dalam persaingan. Pengaturan tender akan mengarah pada ekonomi biaya tinggi. Dunia usaha dirugikan secara menyeluruh akibat ulah sekelompok pengusaha sehingga akuntabilitas dibina dengan susah payah, hilang dalam sekejab.
2.Informasi dan deskripsi terbatas, yaitu Panitia memberi penjelasan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Adakalanya formulasi dan distribusi adendum selama pertemuan, tidak merata antar peserta (setelah aanwijzing). Penjelasan parsial dimaksud untuk berKKN, sehingga kelompok berKKN akan memperoleh informasi lebih sempurna. Pihak tidak berKKN akan menawar kurang sempurna dan cenderung dinyatakan gugur secara administratif.
IX. TAHAP PENYERAHAN & PEMBUKAAN PENAWARAN
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Relokasi Tempat Penyerahan penawaran, yakni relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran dalam rangka pengaturan tender. Hal ini dimaksudkan untuk menyingkirkan peserta tidak termasuk dalam kelompok KKN mereka. Sebaliknya kelompok mereka telah diberitahukan sebelum pemasukan penawaran. Saat melakukan relokasi, panitia sudah membuat skenario sedemikian rupa agar peserta non kelompok akan terlambat datang.
2.Penerimaan dokumen penawaran terlambat, yakni penawar biasanya menyampaikan penawaran pada detik-detik terakhir. Faktor transportasi dapat saja menjadi hambatan dalam proses penyampaian tersebut sehingga dokumen terlambat disampaikan. Sesuai tertera di juklak, panitia dilarang menerima dokumen terlambat namun dalam KKN hal ini sering terjadi.
3.Penyerahan dokumen fiktif, yakni untuk jatuhkan lawan, mitra kerja melakukan tindakan ilegal yakni memasukkan dokumen palsu atas nama penawar lain. Dokumen palsu tersebut memiliki banyak kesamaan dengan dokumen lain, dalam hal perwajahan dan bentuk tanda tangan. Bila terjadi, maka akan ditemukan 2 dokumen penawaran dari satu perusahaan sama. Kedua dokumen saling menjelaskan (berupa dokumen perubahan). Bila indikasi tidak terbukti, maka kedua dokumen akan dinyatakan tidak sah sebab dalam dokumen lelang disebutkan bahwa pemasukan dokumen penawaran hanya diperkenankan satu kali saja.
X EVALUASI PENAWARAN
1.Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi, yakni kriteria evaluasi cacat, yakni Dimaksudkan memenangkan calon berani menyuap jumlah tidak sedikit. Dari awal telah diterapkan hal-hal khusus sukar dipenuhi mitra kerja untuk menjustifikasi kelompok tertentu. Penawaran tidak kompeten ternyata mampu memenangkan tender. Perusahaan bonafid akan gugur, sebaliknya perusahaan kinerja lebih buruk akan lulus evaluasi administratif.
2.Penggantian dokumen penawaran, yakni penggantian dokumen penawaran dengan cara menyisipkan revisi dokumen di dalam dokumen awal. Evaluasi tertutup dilakukan di tempat tersembunyi dan sukar dijangkau, panitia dapat berbuat apa saja dalam menangani dokumen termasuk mengganti atau menukar dokumen penawaran. Walaupun penawar bukan terendah, dokumen dirubah dan diganti sedemikian rupa, sehingga telah dilakukan koreksi aritmatik penawar tersebut dapat menjadi pemenang (karena terendah).
3. Evaluasi tertutup dan tersembunyi, yakni pemilihan tempat evaluasi tersembunyi untuk memudahkan panitia mengatur segala sesuatunya dalam rangka KKN. Pemilihan tempat terpencil dan tersembunyi untuk memperoleh hasil mantap karena tidak banyak gangguan pihak luar akan mempengaruhi jalannya evaluasi. Tapi, justru dimanfaatkan panitia untuk melakukan KKN dengan mitra kerja.
4.Peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi, yakni pengaturan lelang seperti ini banyak dijumpai dalam tender arisan, sehingga beban evaluasi panitia tidak banyak dan panitia hanya mengevaluasi syarat minimum tertentu. Jumlah peserta ikut prakualifikasi, memasukan dokumen, dan lulus semakin menurun mencolok dengan pola 15-10-5 penawar. Ikut tender hanya separuh. Selanjutnya setengah total peserta memasukkan penawaran salah, akhirnya tinggal 3 peserta. Simtom pada tender arisan tidak terlampau jelas, namun akan terlihat pada proses berikutnya (banyak surat kuasa, banyak kecerobohan, banyak kesamaan isi, pengetikan sama, dan nomor jaminan berurutan).
XI. TAHAP PENGUMUMAN CALON PEMENANG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :
1.Pengumuman terbatas, yakni Pengumuman terbatas dengan maksud mengurangi sanggahan, publik betul2 buta mengenai proses pengadaan. Ketertutupan panitia berlangsung hingga tahap akhir. Informasi baru akan dibuka setelah pelaksanaan pekerjaan. Sanggahan tidak ada,masukan dari publik tidak ada karena tidak terbaca.
2.Pengumuman tanggal diteunda, yakni Pengumuman agar terlambat dari hari ditentukan karena proses suap/sogok terjadi. Secara psikis, calon pemenang sudah tahu akan menang, ingin kemenangan itu segera diumumkan agar tidak terjadi perubahan. Hal tersebut dilakukan dengan menyogok panitia. Bila suap diterima, maka telah terjadi kesalahan bersifat random.
3.Pengumuman tidak sesuai, yakni Tidak ada masukan dari masyarakat, sejak awal sudah ada upaya mengelabui pihak pemerhati dan mitra kerja, yakni melalui pengumuman tidak impormatif. Muncul hambatan pada mekanisme pasca evaluasi dan mengurangi sanggahan dari mitra kerja.
XII. SANGGAHAN PESERTA LELANG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :
1.Tidak seluruh sanggahan ditanggapi, yakni Pengumuman panitia ditanggapi mitra kerja kurang setuju dengan hasil evaluasi. Mereka mengkritik tugas panitia menyimpang dari pedoman, menunjukkan bukti panitia berKKN dengan kelompok mitra tertentu. Respon panitia kurang mencerminkan jawaban atas sanggahan. Proses pengadaan tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Merugikan proses pengadaan dari segi waktu.
2.Substansi sanggahan tidak ditanggapi, yakni Polemik berkepanjangan namun surat rekomendasi tetap alasan kekhawatiran keterlambatan proyek. Jawaban panitia tidak menyentuh substansi sanggahan.
3.Sanggahan proforma untuk menghindari tuduhan tender diatur, yakni Sanggahan proforma untuk menghindari tuduhan tender diatur
XIII. TAHAP PENUNJUKAN PEMENANG LANGSUNG
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni :
1.Surat penunjukan tidak lengkap, yakni Penunjukan sudah dikeluarkan, namun proses sanggahan belum selesai, data pendukung berita acara tentang sangah-jawab belum ada, seolah-olah tidak ada sanggahan. Panitia bekerja tertutup, memasuki tahap berikutnya sebelum menyelesaiakn proses seharusnya diselesaikan.
2.Pengeluaran surat penunjukkan sengaja ditunda, yakni hari ditentukan, pengeluaran surat penunjukan sengaja ditunda demi uang pelicin. Terjadi penundaan kegiatan berikut akan memperlambat proses selanjutnya. Akibatnya, masyarakat dan dunia usaha tidak lagi percaya terhadap lembaga pengadaan tersebut.
3.Surat penunjukkan dikeluakan dengan terburu-buru, yakni Surat tersebut seolah-olah tanpa masalah tentang tender dilaksanakan. Padahal, saat proses sanggah-jawab berlangsung sehingga sangat merugikan mitra kerja penyanggah. Akibatnya, hilang kepercayaan terhadap lembaga, pimpro dan panitia.
4.Surat penunjukan tidak sah, yakni Surat Penunjukkan belum lengkap sudah beredar atau sudah sampai kepada calon pemenang. Ada kemungkinan sanggahan benar. Surat bisa jadi tangal dan tanda tangan belum ada, belum memiliki kekuatan hukum.
XIV. TAHAP PENANDATANGAN KONTRAK
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Penandatangan kontrak ditundang-tunda, yakni jaminan pelaksana belum ada sehingga kontrak belum dapat ditandatangani. KKN mulai di sini karena di satu pihak rekanan berusaha mengulur waktu, sementara proyek mendesak dan mengancam memutuskan/mencabut SPK atau pembatalan tanda tangan kontrak.
2.Penandatangan kontrak tidak sah, kontrak ditandatangani tanpa adanya dukungan disyaratkan, atau data pendukung kurang dipercaya.
3.Penandatanganan kontrak oleh orang lain, Penandatangan kontrak bukan orang namanya tercantum dalam akte perusahaan atau akte perubahan telah disahkan oleh notaris. Hal ini ditujukan terhadap perusahaan peserta tender disewa atau dipinjam orang lain.
XV. AMANDEMEN
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Amandemen untuk melindungi keterlambatan penyedia barang/jasa, Amandemen utk menghindari sanksi karena keterlambatan pekerjaan, tapi ketidakmampuan pihak penyedia,baik teknis maupun keuangan.
2.Amandemen menaikkan harga, yakni Penyedia menawar harga serendahnya. Setelah menang meminta amandemen menaikkan harga sesuai harga awal (HPS). Keterlibatan pengguna sangat besar, sejak awal penawaran.
3.Amandemen volume, yakni Ternyata harga ditawarkan tidak sesuai lagi ketika penawaran dibuat. Penyedia mengurangi kualitas dan kuantitas agar tidak rugi. Alasan inflasi tinggi,
dijadikan alasan untuk amandemen.
XVI. TAHAP PENYERAHAN BARANG/JASA
Tahap ini memiliki tipologi/modus korupsi yakni:
1.Volume tidak sama, yakni Volume diserahkan tidak sama dengan volume kontrak. Pihak organisasi pengadaan kolusi dengan pihak rekanan untuk mengurangi volume pekerjaan . Agar pekerjaan fiktif dijadikan uang untuk keperluan pihak organisasi pengadaan.
2.Mutu/kualitas pekerjaan lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknik, yakni Upaya KKN melalui penurunan mutu barang atau pekerjaan jauh berbeda spesifikasi teknik tertera dalam penawaran atau kontrak. Hal melibatkan pihak organisasi pengadaan dan rekanan, asumsi kedua belah pihak akan memperoleh keuntungan tapi negara dan masyarakat akan dirugikan.
3.Mutu/kualitas pekerjaan tidak sama dengan spesifikasi teknik, yakni Terjadi ketidaksesuaian antara hasil pekerjaan dengan ketentuan tertuang dalam spesifikasi teknik. Bentuk ketidaksesuaian berwujud deformasi bentuk permukaan pekerjaan diserahkan, deformasi kadang-kala tidak tampak. Dalam pekerjaan fisik, berbentuk permukaan retak, bergelombang, dan terjadi deformasi bentuk. Dalam pekerjaan konsultan, hanya ditemukan dalam suatu kajian, lebih kepada kejujuran para profesional. Dalam pengadaan barang, kinerja barang kualitas rendah, tidak akan sempurna (seperti Komputer mengalami „hang“,dll).
4.Contract Change Order (CCO), yakni CCO merupakan tempat paling populer untuk menempatkan dana susah dipertanggungjawabkan. CCO dapat dilakukan pergantian volume material murah (dikurangi) ke volume material bernilai tinggi, sehingga terjadi kenaikan harga karena volume material mahal diperbesar. Karena CCO memang digunakan sebagai kamuflase, mitra kerja akhirnya tidak peduli lagi terhadap mutu hasil pekerjaan. Negara dirugikan karena mitra kerja tidak lagi memikirkan kuantitas efisien bagi pekerjaan, mereka upayakan pembayaran lewat kolusi.
5.Pekerjaan fiktif, yakni Penyerahan barang/jasa fiktif. Tiada sama sekali bukti, pekerjaan dilakukan atau barang diadakan. Terjadi kolusi antara panitia dan kontraktor/pemborong sejak awal dan sangat tertutup.
6.Tidak menerapkan masa jaminan, yakni Menerima pekerjaan tanpa menerapkan jaminan pekerjaan. Akibatnya pekerjaan mengalami kerusakan sebelum masa jaminan habis dan tidak dapat diminta pertanggungjawaban.
7.Meminta adendum, adendum sebagai siasat untuk memberi jalan bagi perusahaan terlambat melakukan pekerjaan karena kelemahan kemampuan dan keterbatasan modal meneruskan proyek sesuai jadwal.

Tipologi/Modus Korupsi Pengalaman Kasus NTT

Uraian tipologi atau tipologi/modus korupsi di atas sesungguhnya hasil kajian tipologi atau mudus korupsi di daerah dalam ruang lingkup nasional. Untuk khusus ruang lingkup Provinsi sebagai suatu studi kasus, dapat disajikan dari hasil pengalaman Advokasi Piar-NTT (Nusa Tenggara Timur), telah tersaji di dalam Sinleloe, Paul, „Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa“, website: LAWAN KORUPTOR, 16 Juni 2009. Studi kasus ini menggambarkan kegiatan korupsi pada tahap perencanaan pengadaan; pembentukan panitia lelang; prakualifikasi perusahaan; penyusunan dokumen lelang; pengambilan dokumen lelang; penyusunan HPS; penjelasan; penyerahan dan pembukaan penawaran; evaluasi penawaran; pengumuman pemenang lelang; sanggahan pemenang lelang; penunjukan pemenang lelang, dll. Lebih detailnya tipologi/modus korupsi di daerah berdasarkan tahapan PBJP sebagaI berikut:
1.Tahap perencanaan pengadaan, yakni pengelembungan anggaran, rencana pengadaan diarahkan rekayasa pemaketan untuk KKN.
2.Tahap pembentukan Panitia Lelang, yakni Panitia tidak transparan. Integritas Panitia Lelang lemah, tidak independen dan memihak.
3.Tahap prakualifiaksi perusahaan,yakni Dokumen administrasi tidak memenuhi syarat, aspal, tanpa legalisasi dokumen. Evaluasi tidak sesuai kriteria.
4.Tahap penyusunan dokumen lelang, yakni spesifiaksi yang diarahkan. Rekayasa kriteria evaluasi. Dokumen lelang non standar, tidak lengkap, dsb.
5.Tahap pengumuman lelang, yakni pengumuman lelang semu atau fiktif, tidak lengkap. Jangka waktu pengumuman terlalu singkat.
6.Tahap pengambilan dokumen lelang, yakni dokumen lelang diserahkan inkonsistensi. Waktu pendistribusian dokumen terbatas. Lokasi pengembalian dokumen sulit dicari.
7.Tahap penyusunan HPS, yakni gambaran nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) ditutup. Penggelembungan harga (markup) atau KKN. Penentuan estimasi harga tidak sesuai dengan ketentuan,dsb.
8.Tahap Penjelasan/Aanwijzing, yakni peserta aanwejzing terbatas. Informasi dan deskripsi terbatas. Penjelasan kontroversial, dsb.
9.Tahap penyerahan/pembuktian penawaran, yakni relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran. Penerimaan dokumen penawaran terlambat, penyerahan dokumen fiktif.
10.Tahap evaluasi penawaran, yakni kriteria evaluasi cacat. Penggantian dokumen penawaran. Evaluasi tertutup dan tersembunyi. Pengumuman tidak sesuai ketentuan,dsb.
11.Tahap pengumuman calon pemenang, yakni pengumuman terbatas. Tanggal pengumuman ditunda. Pengumuman tidak sesuai dengan ketentuan, dsb.
12.Tahap sanggahan peserta lelang, yakni tidak seluruh sanggahan ditanggapi dan dijawab. Substansi sanggahan tidak dijawab. Sanggahan untuk menghindari tuduhan tender diatur.
13.Tahap penunjukan pemenang lelang, yakni surat penunjukan tidak lengkap, sengaja ditunda diterbitkan. Surat penunjukan dikeluarkan terburu-buru. Surat penunjukan tidak sah, dsb.
14.Tahap penandatangan kontrak, yakni penandatanganan kontrak ditunda-tunda. Penandatanganan kontrak tetutup, atau tidak sah.
15.Tahap penyerahan barang/jasa, yakni volume tidak sesuai. Mutu/kualitas pekerjaan lebih rendah dari spesifikasi teknik. Mutu kualitas pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi teknik. Contract Change Order,dll.

Tipologi/Modus Korupsi menuruht Fitra, The Habibie Center dan ICW

Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) menemukan 10 tipologi/modus penyalahgunaan dana APBD. Menurut The Habibie Center ada 20 tipologi/modus korupsi berpeluang digunakan oleh anggota legislatif dan eksekutif di daerah. Tetapi, secara umum hasil penelitian dua lembaga itu mempunyai kesamaan: anggaran daerah sudah berpeluang dikorup sejak mulai dari perencanaan (usulan). Berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberi kekuasaan besar untuk mengatur daerah, termasuk hak untuk mengatur anggaran menjadikan kecenderungan tertentu perilaku eksekutif dan yudikatif di daerah. Sementara di sisi lain, UU tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban transparan kepada publik. Wewenang besar justru membawa banyak penyimpangan seperti mengalirnya dana negara ke kantong peribadi.
Catatan dari ICW menunjukkan, sampai 2004 sudah ada seratus perkara korupsi melibatkan anggota DPRD di seluruh Indonesia. Sebanyak 1.500-an orang telah diproses secara hukum. Sebagian dalam tahap penyelidikan, sebagian sudah disidik dan sisanya menjalani hukuman. Mereka umumnya didakwa telah melanggar PP No. 110 tahun 2000, sebuah peraturan agar dalam menyusun APBD, para anggota DPRD dan pejabat Pemerintah daerah memperhatikan asas kepatutan antara anggaran publik dan anggaran kesejahteraan anggota. Asas kepatutan itu antara lain termasuk kejelasan penggunaan dari setiap rupiah dana APBD. PP No. 110 tahun 2000 ini dimaksudkan sebagai pagar dari pelaksanaan otonomi daerah. Sementara itu, baik tahun 2009 maupun tahun 2010, keuangan daerah, terutama dalam APBD, tetap sebagai sektor paling rawan dan rentan dikorupsi. Keuangan daerah juga menyumbang potensi kerugian negara terbesar, yaitu sekitar Rp. 596,232 mliyar dengan 38 kasus.
Menurut ICW (4 Agustus 2010), kecenderungan korupsi Semester I, dari Januari hingga 30 Juni 2010, berdasarkan tahap penyidikan oleh penegak hukum (Kejaksaaan, Kepolisian dan KPK), sebanyak 176 kasus. Terdapat 441 orang ditetapkan sebagai tersangka dan kerugian negara akibat korupsi sekitar Rp. 2,1 triliyun. Pada periode sama tahun 2009, hanya ada 86 kasus korupsi disidik, 217 tersangka, dan kerugian negara sekitar Rp. 1,17 triliyun. Peningkatan jumlah kasus korupsi ini terungkap karena jumlah korupsi diindikasikan meningkat, terutama terjadi di daerah.
Tipologi/modus korupsi beragam dari periode ke periode. Berbeda dengan periode sebelum, tipologi/modus korupsi dominan tahun 2009 adalah penyalahgunaan anggaran dengan 32 kasus, tahun 2010 tipologi/modus bergeser menjadi penggelapan (62 kasus). Pergeseran tipologi/modus ini kemungkinan karena dipengaruhi perubahan kondisi politik, yakni tahun 2008 dan 2009 sebagai tahun persiapan Pilkada. Tipologi/modus penggelapan umumnya terkait penyimpangan dana langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana bantuan sosial (bansos). Dana banson adalah program pupuler biasa digunakan Kepala Daerah (Incumbent) untuk mendekati konstituen dalam Pilkada.
Namun, para Kepala Daerah dan anggota DPRD juga selalu menemukan celah dan alasan untuk menyalahgunakan dana APBD atas nama otonomi daerah. PP No. 110 itu sendiri telah dipersoalkan di depan MA (Mahkamah Agung) oleh banyak anggota DPRD. MA mengabulkan uji materiil PP No. 10 tersebut dan Pemerintah kemudian menggantinya dengan PP No. 37 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. PP No. 37 Tahun 2006, pada Pasal 10 menetapkan, penghasilan Pimpinan dan Anggota DPRD terdiri atas: Uang Representasi, Tunjangan Keluarga, Tunjangan Beras, Uang Paket,Tunjangan Jabatan, Tunjangan Panitia Musyawarah, Tunjangan Komisi,Tunjangan Panitia Anggaran, Tunjangan Badan Kehormatan: dan Tunjangan Alat Kelengkapan Lainnya. Pasal 10A, ayat (1) menetapkan pula, Selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, kepada Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan penerimaan lain berupa Tunjangan Komunikasi Intensif. Selanjutnya,. selain penerimaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pimpinan DPRD diberikan Dana Operasional.
Sebagian pengamat keuangan menilai, justru PP No. 37 tahun 2006 itu semakin memberikan peluang terjadinya penggembosan anggaran daerah. PP No. 37 sepintas tidak memberi celah bagi pejabat di daerah untuk menyalahgunakan dana APBD karena kenaikan pnghasilan dan tunjangan anggota DPRD tidak lagi berasal dari APBD. Namun, mengacu pada pasal-pasal PP No. 37, semua kenaikan penghasilan dan tunjangan para anggota Dewan itu justru diperbolehkan diambil dari dana untuk belanja publik. Sektor publik seharusnya untuk kepentingan kebanyakan orang dapat dikurangi hanya untuk menambah kesejahteraan para anggota DPRD. Fitra pernah menghitung, anggaran belanja untuk publik akan termakan untuk membiayai gaji dan tunjangan para anggota DPRD akan mencapai 20 %.

Rabu, 05 Januari 2011

PILKADA BIAYA TINGGI DAN PERILAKU KORUPSI KEPALA DAERAH

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Permasalahan pelaksanaan Pilkada secara langsung khususnya bagi calon atau pasangan calon adalah besarnya biaya diperlukan untuk memperoleh status sebagai Calon Kepala Daerah dan memperoleh suara masyarakat pemilih. Besarnya biaya diperlukan bukan saja bagi calon/kandidat non-incumbent, tetapi juga calon incumbent. Pihak incumbent mengikuti Pilkada untuk periode jabatan kedua mungkin mendapatkan dana hasil korupsi dari pemberian ijin-ijin konsesi, ataupun dari peningkatan nilai (mark-up) atau kolusi pada pengadaan barang/jasa Pemerintah di daerah bersangkutan. Pihak non-incumbent mungkin mendapatkan sumbangan dari pihak-pihak dijanjikan mendapatkan ”balasan” jika kandidat tersebut memenangkan Pilkada. Setelah menang menjadi Kepala Daerah, dilakukan ”balasan” dengan perilaku korupsi pada pengadaan barang/jasa Pemerintah di daerah tersebut.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di depan Sidang Paripurna Gabungan DPR dan DPD (1 5 Agustus 2010) mengaku prihatin dengan maraknya demokrasi biaya tinggi khususnya Pilkada. Bukan rahasia lagi, ujarnya, bahwa setiap Pilkada selalu dibarengi dengan politik biaya tinggi. “Sudah sering kita dengar, seorang kandidat dengan timnya harus mengeluarkan uang yang begitu banyak”, tegasnya. Menurut SBY, kegiatan demokrasi seperti itu, sumber dana legal dan juga besarannya sesuai dengan aturan. Tapi kenyataannya tindakan seperti itu justru hanya akan menimbulkan politik uang dan bahkan memicu terjadinya perbuatan anarkis seperti terjadi di Pilkada beberapa daerah. Politik biaya tinggi ini, lanjutnya, berimbas negatif bagi perkembangan demokrasi dan merugikan masyarakat. “Berdampak negatif pada moral, etika, budaya, politik kita”, tegasnya.

SBY memperkuat lagi penilaian tentang Pilkada biaya tinggi ini saat menerima kunjungan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), di kantor Kepresidenan, Jakarta, 18 Agustus 2010. SBY juga menunjukkan keperihatinan dengan praktik politik dan demokrasi Pilkada biaya tinggi. Akibat praktik itu, esensi kepemimpinan di daerah jauh dari diharapkan masyarakat sebagai pemilih. “Satu keprihatinan dan kecemasan kalau politik dan demokrasi kita ini menjadi suatu amat mahal, high cost politics, dan high cost democracy. Bukan rahasia lagi kalau orang mencemaskannnya. Pilkada saja biayanya sangat tinggi, apakah pemilihan bupati, Walikota, dan Gubernur,” tandas SBY Sembari mengingatkan, saat ini perlindungan atas hak asasi manusia telah memadai, partisipasi politik rakyat juga meningkat, proses Pemilu berjalan tertib dan kebebasan pers dijalankan sebagai dampak positif dari perkembangan demokrasi di Indonesia.

Penilaian Pilkada biaya tinggi juga datang dari Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, mengungkapkan sebuah paradoks, yaitu untuk menjadi seorang Kepala Daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan bersih. Untuk menjadi seorang kepala daerah dibutuhkan uang miliyaran rupiah, setelah menjadi kepala daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan bersih. Gamawan mengatakan, gaji Gubernur sebesar Rp. 8,7 juta per bulan, ungkap Mendagri.”Kalau menjadi seorang Gubernur dibutuhkan uang Rp. 20 miliyar, dengan gaji Gubernur itu, butuh waktu berapa lama untuk mengembalikan uang Rp. 20 miliyar itu?”, ungkap Mendagri (Kompas, 22 Juli 2010).

Ungkapan Mendagri ini mendapat banyak tanggapan. Salah sastunya adalah Mudrajad Kuncoro, Staf Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM (Kompas, 23 Juli 2010), memperkirakan dari sisi KPU, daya dibutuhkan bisa mencapai Rp. 4 triliyun untuk 244 Pilkada. Angka ini belum ditambah apabila dilihat dari sisi pengeluaran calon kepala daerah. Misalnya, untuk tingkat Kabupaten seorang calon menghabiskan dana sekitar Rp. 5 miliyar, calon Gubernur lebih dari Rp. 20 miliyar. Jika setiap daerah minimal ada tiga, maka dana dibutuhkkan jauh lebih besar.

Biaya dibutuhkan untuk Pilkada oleh calon Kepala Daerah sesungguhnya bervariasi, namun umumnya lebih Rp. 5 miliyar untuk kabupaten/Kota dan Rp. 20 miliyar untuk Provinsi. Bahkan, hasil studi di salah satu Kabupaten di Sumatera Utara, seorang calon untuk memenangkan Pilkada telah menghabiskan minimal Rp. 50 miliyar untuk dua putaran. Namun, beberapa Bupati berkilah mengeluarkan dana sebanyak itu. Sebagai misal, Amirullah mengakui, biaya dikeluarkan calon Bupati atau Wakil Bupati dalam Pilkada memang cukup besar, namun biaya dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti dana pribadi dan sumbangan orang lain. Namun, ia enggan merinci pengeluaran dananya (Kompas, 23 Juli 2010).

Selanjutnya, Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan dan Bupati Kayong Utara Hildy Hamid di Kalimantan Barat mengaku bisa menghemat biaya. Mereka melakukan survei melihat populeritas sebelum memutuskan untuk maju dalam Pilkada. Keduanya mencalonkan diri setelah melihat hasil survei populaeritas dan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka mencapai lebih dari 60%. Biaya politik dileuarkan Muda Mahendrawan (Bupati Kubu Raya), untuk memenangi Pilkada pada akhir 2008 berkisar Rp. 1,5 miliyar. Jumlah itu, menurut dia, tidak besar untuk merebut suara di Kubu Raya memiliki luas wilayah sekitar 7.000 km persegi dengan jumlah pemilih 300.000 jiwa di 9 kecamatan dan 106 desas. Dengan maju dari jalur independen, Muda tidak memiliki utang budi ke Parpol ketika terpilih menjadi Bupati. Ia juga tidak menemui hambatan dari Parpol di DPRD saat menjalankan pemerintahan karena memiliki posisi netral dan dapat membangun komunikasi baik dengan legislatif (Kompas, 23 Juli 2010).

Di samping itu, Hildy Hamid mengakui biaya politik dikeluarkan dalam Pilkada lalu berkisar Rp. 2 miliyar. Jumlah itu, menurutnya, tidak terlalu besar karena ia menjadi fungsionaris Partai Persatuan Daerah (PPD) dan maju ke Pilkada menggunakan partai itu. Yang membuat pengeluaran politik tinggi itu, biaya harus dikeluarkan untuk meraih dukungan dari Parpol, apalagi jika calon bukan dari Parpol bersangkutan. Biaya harus dikeluarkan makin besar jika calon itu menggunakan strategi merkrut banyak partai. Meski penghasilan menjadi Bupati tidak sebanding dengan pengeluaran saat pencalonan. Menurut Hildy, hal tersebut tidak menjadi soal karena ia menjadi Bupati bukan untuk menambah kekayaan. Penghasilan diterimanya saat menjadi Bupati berkisar Rp. 360 juta per tahun (Kompas, 23 Juli 2010).

Pengakuan kandidat Wakil Gubernur Jambi, Agus Setyonegoro, mengaku mengeluarkan dana Rp. 1,5 miliyar untuk alokasi dana kampanye bersama pasangan, Safrial. Jumlah ini, menurutnya, tergolong sedikit dibandingkan dengan dikeluarkan kandidat lain. Bagi Agus, sebagian besar biaya kampanye dikeluarkan berasal dari dana peribadi. Hanya sekitar Rp. 300 juta berasal dari batuan kalangan pengusaha dan birokrat. Selanjutnya, pengakaun Yuniarso Kwartono Adi, calon bupati Purwerejo, Jawa Tengah, diusung PKB dan Gerindra, dana kampanye tidak diperoleh dari partai pengusung. Untuk keseluruhan kegiatan dilakukan dalam pencalonan, dia menggunakan dana peribadi dan sumbangan rekan-rekan. Yuniarso dan pasangannya Zaenal Mustofa adalah pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Perworejo memiliki dana kampaye paling sedikit dibandingkan dengan delapan pasangan lain, yakni Rp. 62 juta. Di lain fihak, Kontjoro, pernah maju sebagai calon Walikota Magelang, Jawa Tengah, dari jalur independen, mengaku sudah menjual tanah dan laku Rp. 400 juta sebagai modal awal kampanye (Kompas, 24 Juli 2010).

Di lain pihak, Poppy Dharsono, Anggota DPD dari Jawa Tengah, pada suatu diskusi (Koran Jakarta, 27 April 2010), mengungkapkan bahwa dirinya pernah ditawari sebuah Parpol untuk menjadi calon kepala daerah dalam Pilkada secara langsung, tetapi ia harus menyediakan sekitar Rp. 5 miliyar. Angka sebesar itu baru untuk ”tiket pencalonan” oleh Parpol. Jika ia maju, miliyaran rupiah dana harus disiapkan untuk dana kampanye dan berbagai kebutuhan lain.

KPU juga telah melaporkan tingginya biaya Pilkada. Biaya Pilkada 2010-2014 mencapai Rp. 15 triliyun. Ada lima komponen biaya Pilkada dilihat dari pengeluaran, yakni KPU, Panitia Pengawas Pemilu, Kepolisian, Calon Kepala Daerah dan Tim Kampanye. Khusus untuk KPU dan Panwas, KPU Kabupaten/Kota tahun 2010 menganggarkan sekitar Rp. 7 miliyar sampai Rp. 10 miliyar, sedangkan KPU Provinsi menganggarkan sekitar Rp. 50 miliyar sampai Rp. 70 miliyar. Dari sisi Panwas, dana dibutuhkan sekitar Rp.3 milyar untuk tingkat Kabupaten/Kota dan Rp. 20 miliyar untuk tingkat Provinsi. Data dari Dirjen Bina Administrasi Daerah menyebut angka Rp. 3,54 triliyun untuk biaya Pilkada tahun 2010 di 244 Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Jumlah ini hanya memperhitungkan penyelenggaraan untuk satu putaran saja. Sebuah angka sangat fantastis dan hampir setara dengan dana APBN untuk Kementerian Sosial tahun 2010. Beberapa pihak menyebutkan bahwa biaya tersebut sangatlah mahal untuk sebuah proses demokrasi di Indonesia. Angka ini belum termasuk biaya dikeluarkan oleh peserta Pilkada itu sendiri. Seseorang akan maju untuk mencalonkan diri mau tidak mau harus mempersiapkan diri dengan modal uang tidak sedikit. Ongkos ini dimulai ketika sang kandidat akan mendaftar di parpol akan menjadi kendaraan menjadi calon. Selanjutnya sang calon akan dibebani biaya kampanye sangat tinggi, mulai dari iklan televisi, spanduk, “roadshow” ke kantong-kantong suara sampai dengan “money politics” acapkali ditutup-tutupi dengan kegiatan sosial seperti pemberian sembako, pengobatan gratis bahkan dalam “ukuran lebih tinggi” acapkali diberikan dalam bentuk uang langsung kepada calon pemilih. Di samping itu, juga sang calon harus membiayai tim sukses dan relawan mencari dukungan suara, juga Konsultan Politik atau Lembaga Survei untuk pencitraan sang calon di mata publik.

Penyebab Meningkatnya Perilaku Korupsi di Daerah
Biaya dibutuhkan calon Kepala Daerah untuk Pilkada, oleh sebagian pengamat politik dianggap sebagai penyebab meningkatnya perilaku korupsi di daerah pada pasca pelaksanaan Pilkada. Biaya tinggi mereka keluarkan, bahkan acapkali didanai dari utang, harus dapat dikembalikan ketika mereka sudah memperoleh jabatan. Namun, ketika jabatan ini menemui tembok berupa penghasilan terbatas, maka tentunya mereka berniat untuk menyalahgunakan wewenang demi pengembalian modal telah dikeluarkan. Data kuantitatif dari berbagai sumber, terutama KPK, justifikasi atas anggapan ini. Masalah mendasar telah meningkatnya korupsi adalah penggunaan uang dalam Pilkada tidak terkendali. Uang telah menjadi kebutuhan mutlak dan komponen sangat strategis untuk meraih suara pemilih, suatu faktor penting untuk menyokong berbagai macam kegiatan kampanye, termasuk juga membayar Parpol-parpol pengusung dan pendukung jika menggunakan jalur Parpol, bukan independen. Uang digunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari pengadaan material kampanye, logistik, hingga pembiayaan Tim Sukses dan pendukung (relawan). Tanpa uang sangat mustahil seorang calon Kepala Daerah dapat memenangi Pilkada.

Biaya politik dan praktik politik uang dalam Pilkada secara langsung oleh sebagian pengamat politik local dinilai sebagai salah satu sebab maraknya korupsi di daerah. Setelah memenangi pemilihan, Kepala Daerah terpilih hanya berpikir untuk mengembalikan dana/uang telah digelontorkan untuk mencari dukungan dan bahkan membeli suara dalam Pilkada. Resiko tejadinya korupsi di pemerintahan daerah semakin tinggi. Salah satu cara pemecahan pengembalian dana politik ini adalah melakukan korupsi pada PBJP di daerah, di samping sumber-sumber APBD dan APBN lain. Potensi korupsi semakin membesar apabila PBJP di daerah tidak dikawal dan dikontrol secara efektif dan baik khususnya oleh masyarakat madani sebagai penerima manfaat dari PBJP itu sendiri.

Korupsi pada PBJP di Daerah
Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan sumber media massa sementara ini, dampak negatif Pilkada terhadap PBJP (pengadaan barang/jasa pemerintah) di daerah pada dasarnya memperbanyak dan memperbesar tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus dugaan dan dakwaan Kejaksanaan terhadap Kepala Daerah telah melakukan tindak pidana korupsi melalui Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tipikor.

Pilkada secara langsung hanyalah suatu proses jangka pendek. Lebih penting adalah pasca Pilkada, yakni penyelenggaraan pemerintahan daerah selama lima tahun di bawah kepemimpinan Kepala Daerah memenangkan Pilkada. Pilkada secara langsung merupakan proses awal untuk membangun local good governance, ditandai antara lain partisipasi masyarakat, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas pemerintah daerah. Ada satu hal penting dan harus diperhatikan pasca Pilkada, yakni relasi antara Kepala Daerah, politisi legislatif daerah, politisi Parpol di satu pihak dan di lain pihak yakni organisasi pengadaan barang/jasa pemerintah di daerah tersebut.

Sebagian pengamat politik ekonomi lokal dan pejabat tinggi pemerintahan telah mengakui bahwa biaya Pilkada secara langsung terlalu mahal mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Sementara gaji seorang Kepala Daerah tidak cukup untuk membayar keseluruhan biaya Pilkada tersebut. Akibatnya, muncul pendapat bahwa salah satu pemicu Kepala Daerah melakukan korupsi adalah untuk membiayai Pilkada yang terlalu mahal itu.

Beragama Perilaku Korupsi
Beragam perilaku korupsi dapat dilakukan Kepala Daerah, khususnya pada pengadaan barang/jasa pemerintah dengan modus antara lain :

a)Membentuk dan menetapkan personil organisasi pengadaan berdasarkan KKN.
b)Mengintervensi proses pegadaan untuk memenangkan pelaku usaha tertentu di
menangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikan (di
mark-up).
c)Memerintahkan organisasi pengadaan untuk membuat spesifikasi barang yang
mengarah pada merek tertentu atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan
tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak.
d)Menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek
pengadaan.
e)Meminta uang jasa dibayar di muka kepada pemenang tender sebelum pelaksanaan
proyek.

Sebagian besar pengamat Pilkada dan politik daerah sepakat bahwa Pilkada membutuhkan pembiayaan/pendanaan tinggi bukan saja bagi KPUD sebagai pelaksana, tetapi juga bagi calon Kepala Daerah itu sendiri. Pembiayaan tinggi bagi calon bukan saja untuk kepentingan kampanye atau setelah menjadi calon resmi, tetapi juga untuk kepentingan internal sejumlah Parpol pengusung/pendukung, dalam penentuan calon. Pengeluaran calon untuk pembiayaan tinggi itu harus dikembalikan sehingga tidak sedikit calon terjebak dalam perilaku koruptif. Dampak dari Pilkada biaya tinggi adalah Kepala Daerah terpilih cenderung melakukan praktik korupsi. Tujuannya untuk mengembalikan biaya Pilkada sekaligus investasi politik masa mendatang.

Hasil Penelitian KPK, menurut Dedie A. Rachman, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK pada Latihan Kader II HMI Ponorogo di Ponpes Gontor, 17 Mei 2010, kasus korupsi di daerah banyak dilakukan pada proses pengadaan barang dan jasa Pemerintah. Sebagai misal, dengan cara melakukan “mark up”, “penunjukan langsung” yang menyebabkan gratifikasi, atau “proses tender tidak fair”. Sebagian besar kasus korupsi di daerah ditangani KPK itu terjadi pada pengadaan barang dan jasa (Seputar Ponorogo NEWS, 18 Mei 2010). Intinya, fenomena Pilkada biaya tinggi ini adalah salah satu faktor penyebab meningkatnya korupsi di daerah, terutama pada pengadaan barang dan jasa Pemerintah baik dari sumber APBN maupun APBD.