Senin, 29 November 2010

DAMPAK NEGATIF POLITIK KARTEL: MENINGKATNYA KASUS KORUPSI DI DAERAH

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP





Salah satu dampak negatif politik kartel adalah meningkatnya baik kualitatif maupun kuantitatif kasus korupsi kaum politisi baik sebagai Kepala Daerah maupun Anggota DPRD. Dampak lanjutannya adalah penyelenggaraan negara oleh pejabat pemerintahan daerah tidak dalam rangka memenuhi tujuan bernegara yakni kesejahteraan masyarakat, melainkan kesejahteraan kaum politisi Parpol khususnya dan klas atas dan menengah umumnya.

Tulisan ini akan berfokus pada penyajian fenomena korupsi di daerah dalam era reformasi, demokratisasi, otonomisasi, desentralisasi dan dekonsentrasi, termasuk era pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Karakteristik politik kartel kepartaian di tingkat nacional juga berlaku dan jauh lebih banyak di tingkat daerah, antara lain memperoleh dana ilegal dari negara/pemerintahan untuk kepentingan pribadi dan Parpol. Para pelaku politik kartel dapat direpresenasiakan dengan kasus-kasus korupsi Kepala Daerah dukungan atau pemimpin Parpol setempat dan anggota DPRD yang notabenenya adalah kader Parpol.

Demokratisasi dan Pilkada Secara Langsung

Pada tahun 1997 krisis ekonomi politik di Indonesia memperkuat posisi kekuatan reformasi dengan cita-cita demokratisasi di bidang Pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani. Cita-cita kekuatan reformasi akan menghasilkan sistem perumusan kebijakan lebih partisipatif dan karena itu memberi legitimasi yang lebih kuat terhadap kebijakan melalui proses politik panjang untuk menggunakan ketrampilan negoisasi, serta kesediaan melakukan kompromi dengan semua pemangku kepentingan. Demokratisasi mengakibatkan kecenderungan sistem interaksi terpencar (divergence) dan bukannya terpusat (convergence). Kekuatan reformasi telah menumbuhkan harapan baru akan masyarakat bebas dari Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) sebagai salah satu agenda reformasi.

Salah satu kemajuan kekuatan reformasi dan demokratisasi di Indonesia adalah penataan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah baik dalam pengertian otonomisasi, desentralisasi maupun dekonsentrasi. Bermula dari diterbitkannya UU No. 22 tahun 1999, kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah an Daerah hasil revisi UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, demokratisasi secara legalistik yuridis telah melakukan perubahan sangat mendasar dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Secara garis besar, perubahan paling tampak adalah terjadinya pergeseran kewenangan dari satu lembaga ke lembaga lain. Konsep otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah paling dekat dengan masyarakat, yakni Kabupaten/Kota. Tujuan pemberian otonomi tetap seperti yang dirumuskan saat ini yakni memberdayakan daerah, termasuk masyarakat, mendorong prakarsa dan peran masyarakat dalam proses Pemerintah an dan pembangunan. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahaan seperti desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan diselenggarakan secara proporsional sehinga saling menunjang.

UU No. 32 tahun 2004 digunakan otonomi seluas-luasnya di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintah an kecuali urusan Pemerintah pusat yakni: politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter/fiskal, perdailan (yuridis) dan agama. Pemerintah berwenang membuat norma, standar, prosedur, monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan Pemerintahan dengan eksternalitas nasional. Pemerintah Provinsi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan Pemerintahan dengan eksternal regional, dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan Pemerintahan dengan eksternalitas daerah. Dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 disebutkan, NKRI dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, dan tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan kota mempunyai Pemerintahan Daerah diatur dengan UU. Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah diakomodasikan dalam bentuk urusan Pemerintahan menyangkut peraturan terhadap regional menjadi wilayah tugasnya. Urusan menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan Pemerintahan berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pilihan terkait dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.

Pemda adalah fungsi-fungsi pemerintahanan daerah dilakukan oleh lembaga Pemerintahan Daerah yaitu Pemerintah Daerah dan DPRD. Hubungan antar Pemerintah Daerah dan DPRD hubungan kerja kedudukan setara dan bersifat kemitraan, bermakna sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga membangun hubungan kerja saling mendukung satu sama lain dalam melaksanakan fungsi masing-masing.
Dalam UU No. 32 tahun 2004 terlihat semangat melibatkan partisipasi publik. Pelibatan publik dalam Pemerintahan atau politik di daerah mengalami peningkatan luar biasa dengan diaturnya Pilkada secara langsung. UU No. 32 tahun 2004 tersebut menciptakan good governance (tata pengaturan yang baik). UU No. 32 tahun 2004 kemudian diikuti terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. PP No. 6 tahun 2005 ini mengatur tentang pelaksanaan Pilkada secara langsung telah membuat sistem Pemerintah an di daerah semakin demokratis. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk memeilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Melalui peraturan perundang-undangan ini setidaknya secara prosedural demokrasi telah difungsikan secara baik di daearh. Mulai tahun 2005 pergantian Kepala Daerah, baik Gubernur mapun Bupati/Waliota di seluruh Indonesia telah dilakuakn secara langsung. Parpol berperan dalam pencalonan pasangan Kepala Daerah, lalu rakyat setempat secara langsung memilih dengan prinsipprinsip Pilaka yang sesuai Pilpres. Seiring dengan penguatan Pemerintah Daerah dan pelaksanaan Pilkada secara langsung yang menjadikan Parpol sebagai faktor penting penting, peran Parpol juga semakin menguat kemudian menjadi berpengaruh terhadap pemilihan Kepala Daerah dan sistem perumusan kebijakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Demokratisasi menggiring sistem politik di daerah semakin terbuka, dapat dinilai merupakan kemajuan signifikan. Namun, dari perspektif kebijakan publik gelombang demokratisasi itu ternyata menjadi tantangan tersendiri tidak pernah berlaku sebelumnya. Dewasa ini situasi Pemerintahan Daerah lebih sulit dalam menyelesaikan perselisihan tentang kebijakan akan diambil. Lain halnya semasa Orde Baru, begitu cepat keputusan diambil karena terbiasa dengan pendekatan kekuasaan. Proses kebijakan publik kini lebih terfragmentasi dan untuk sebagian terasa kurang efektif.
Konfigurasi politik di daerah kini telah dilengkapi dengan semua ciri dasar bagi sebuah demokrasi. Berbagai ciri demokrasi telah berlaku di daerah seperti Pilkada secara langsung, bebas dan adil, kebebasan berendapat dan berserikat, hak untuk memilih, adanya sumber informasi alternatif, hak bagi semua orang untuk menduduki jabatan publik, serta kelembagaan memungkinkan rakyat bisa mengontrol Pemerintahan Daerah sebagai ciri-ciri demokrasi telah berlaku di Indonesia. Namun, sebagai daerah baru belajar berdemokrasi, banyak di antara perumus kebijakan strategis daerah sebenarnya baru belajar berdemokrasi, dan juga belum lama terbiasa dengan sistem otoritarian. Salah satu tantangan berat yakni meyakinkan para perumus kebijakan daerah agar tidak frustasi dengan tatanan demokratis masa lalu mengunkit nostalgia semuanya serba pasti dan dapat diduga. Proses perumusan kebijakan demokratis memang memerlukan kerja keras untuk menciptakan sebuah konsensus, tetapi itu bukan berarti bahwa kembali ke cara-cara tidak demokratis menjadi cara pemecahan/solusi.
Demokratisasi telah memberdayakan DPRD. Jika di masa Orde Baru lembaga ini hanya merupakan pelengkap dan menjadi ”stempel” dari kebijakan Pemerintah Daerah, kini bergerak ke arah legislatif sehingga DPRD diberi hak untuk memilih dan mengawasai Gubernur, Bupati dan Walikota tanpa mekanisme kawal dan imbang jelas. Sistem ini rawan politik uang selain akan menghambat proses perumusan kebijakan. Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) diserahkan sepenuhnya kepada DPRD, pasangan calon Kepala Daerah tinggal ”mendekati” separuh dari seluruh anggoat DPRD. Untuk memencapai jabatan politis di daerah ketika itu tidak lebih dari 50 orang untuk DPRD tingkat Provinsi dan tidak lebih dari 23 orang untuk tingkat Kabupaten/Kota.Dengan modal uang, sepasang calon akan mudah untuk membeli suara para anggota DPRD. Memang ada keharusan bagi para pasangan calon untuk menyampaikan visi dan misi mereka di depan DPRD, namun pada akhirnya sangat bergantung penggunaan hak mutlak memilih para anggota DPRD. Persoalan menjadi lebih parah karena kebanyakan para anggota DPRD ketika itu tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai dalam hal ketatanegaraan maupun hal-hal teknis terkait pemerintahan daerah. Ketika para anggota DPRD dengan kualitas SDA kurang memadai itu memperoleh kekuasaan besar seiring kebijakan desentralisasi, maka mereka akan sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, dan korupsi. UU No. 32 tahun 2004 menghapus kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan juga ketentuan mengenai LPJ (Laporan Pertanggungjawaban), sebelumnya seringkali disalahgunakan oleh para anggota DPD untuk memecat Kepala Daerah tanpa alasan jelas. LPJ itu itu kini hanya dipandang sebagai laporan kemajuan bagi para anggota legislatif. Ketika Kepala Daerah selanjutnya dipilih secara langsung, kedudukan eksekutif dan legislatif di daerah relatif menjadi lebih seimbang.
Meskipun secara prosedural tatanan demokratis telah terwujud di daerah, tetapi masih banyak masalah yang belum terpecahkan. Namun, masalah kesenjangan antara prilaku DPRD dengan apa dikehendaki oleh para konstituen mereka tetap belum dapat diatasi sampai sekarang. Dinamika politik di daerah menganadung tendensi kuat bahwa pejabat lebih memperhatikan kepentingan Parpol ketimbang kepentingan publik. Korupsi menjangkiti para politisi dan petinggi di seluruh jenjang Pemerintahan daerah mengakibakan sikap skeptis terhadap para pengambil keputusan di daerah. Potret korupsi semakin mengerikan. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pejabat negara dengan segala unsur seperti Bupati/Walikota, pejabat musyawarah pimpinan daerah (Muspida), atau DPRD. Namun, sebagaimana ditegaskan Hadi Supeno, seorang Mantan Wakil Bupati penulis buku Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan (2010), korupsi telah merembet ke berbagai elemen masyarakat, mulai dari kalangan parpol, LSM, tokoh agama, hingga perguruan tinggi. Semua terlibat korupsi, Perguruan Tinggi seringkali melegitimasi proyek-proyek korup dengan penelitian bayaran, sedangkan tokoh agama acapkali menjadi juru doa proyek korup. Tidak ada lagi pejabat daerah memenangi pemilihan dengan jujur atau tanpa menggelontorkan uang ke calon pemilih. Akibatnya, ketika menjabat mereka berperilaku korup. Dalam hitungan, Kebocoran uang APBD rata-rata mencapai 20 %. Sebagian adalah untuk biaya Pilkada pada priode berikutnya. (Hadi Supeno, (Kompas.Com, 24 Desember 2009).
Fenomena Korupsi di Daerah Era Reformasi

Menurut ICW, Fenomena korupsi di daerah sudah demikian rumit mulai dari pola dilakukan. Salah satu sebab adalah para pemain di daerah mempunyai kekuasaan penuh dan praktis tanpa ada pengawasan berarti. Pejabat benar-benar berkuasa di daerah adalah Bupati dan Walikota, Bahkan Gubernur sekalipun tidak sangup “mengatur”para raja-raja baru di daerah tersebut. Penyimpangan telah merambah secara merata di Pemerintahan daerah, acapkali dinilai telah memasuki era korupsi di daerah. Kerugian negara tidak hanya berumber dari APBN digegrogoti, termasuk juga APBD. Jenis penyimpangan sebagian besar mengindikasikan praktik KKN. Pada umumnya berujung ada timbulnya kerugian negara atau daerah (Pelita, 16 Agustus 2010).
Otonomisasi dan desentralisasi daerah terlalu memberikan keleluasaan (disrectory of ower) kepada daerah. Ada indikasi justru terjadi beberapa gejala negative di daerah, bertentangan dengan upaya pemberantasan KKN. Adanya DAU merupakan transfer dari Pemerintahan Pusat ke Pemerintahan Daerah, menyebabkan daerah berhak mengalokasikan DAU sesuai pertimbangan dan kebutuhan daerah. Hal ini merupakan salah satu pendorong korupsi di daerah. Adanya kecenderungan kebebasan kurang terkendali baik dari ekekutif maupun legislative. Juga, adanya ketidakjelasan pengawasan penggunaan DAU sepenuhnya diserahkan kepada eksekutif dan legislative. Kekuasaan Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintaah Daerah relatif begitu besar, kadangkala terdapat julukan munculnya “raja-raja kecil” di daerah.

UU No. 32 Tahun 2004 sesungguhnya tidak mengenal instilah “penguasa tunggal”, namun secara sosiologis dan psikologis posisi Kepala Daerah tetap sebagai orang nomor satu di daerah baik dalam kewenangan maupun protokoler. Secara yuridis, Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan Pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan ditetapkan bersama DPRD, namun di pihak lain, Kepala Daerah bertugas mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan Pemerintahan Pusat di daerah. Hal ini sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004, penggunaan otonomi seluas-luasnya di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan kecuali urusan Pemerintah Pusat, yakni politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter/fiskal, peradilan (yuridis) dan agama. UU No. 32 Tahun 2004 ditindaklanjuti dengan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. Sebagian pengamat politik mengusulkan, sebaiknya hubungan Kepala Daerah dengan DPRD tetap diposisikan sebagai “chek and balances” dan kedudukan Kepala Daerah sebagai kordinator dalam penyelenggaraan Pemerintahan di daerah perlu dibuat aturan jelas dan rinci. Perlu ketidakbrgantungan instansi vertikal pada Pemda. Instansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan harus tidak memperoleh fasilitas anggaran dan APBD, tetapi secara global ditampung oleh APBN. Namun dalam kenyataannya, Kepala Daerah masih merupakan kordinator terhadap lembaga vertikal lain. Kendatipun tidak ada peraturan jelas, namun masih dihidupkan lembaga “Muspida” di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kepala Daerah adalah pemimpin ”Muspida” tersebut. Kepala Daerah melaksanakan koordinasi untuk menjalankan tugas-tugas tertentu dengan Unsur Muspida lain seperti Pangdam, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua DPRD Propinsi dan instansi lain untuk Propinsi. Sedangkan Dandim, Kapolres, Ketua Pengadilan Negeri, Ketua DPRD adalah untuk Kabupaten/Kota. Lebih dari mengkordinasikan, para Kepala Daerah juga “memfasilitasi” unsur Muspida lain baik melalui APBD (boleh resmi tetapi illegal) dan ada juga bersifat pribadi. Untuk dukungan pelaksanaan tugas instansi vertikal atau unsur Muspida, sering dialokasikan anggaran dalam APBD, walaupun sebenarnya instansi vertikal lain itu memiliki anggaran tersediri dari instansi induk di pusat. Tidak jarang karena “kedekatan hubungan” antar Kepala Daerah dengan pejabat Muspida, diciptakan pos anggaran sedemikian rupa dengan alasan koordinasi, kendati dasar hukum tidak ada, tetapi mungkin terjadi persengkongkolan dan juga korupsi. Dalam hal ini berlakulah konsep bahwa hukum dipergunakan sebagai alat kejahatan (law as tool of crime).

Korupsi adalah solusi cepat bagi Kepala Daerah untuk melarikan diri dari pembayaran utang akumulasi akibat pembiayaan kampanye politik mahal. Mochammad Jasin (Anggota KPK) mengakui bahwa kasus korupsi banyak terjadi di tingkat daerah didorong oleh hutang untuk mendanai kampanye politik selama Pilkada. Masalah utama dalam sistem politik Daerah kita adalah bahwa Pilkada secara langsung rawan terhadap praktik-praktik politik uang. Calon Kepala Daerah dilaporkan ekstra dalam menggali ke dalam kantong mereka dalam rangka memenangkan pemilihan. Pendapat Kepala Daerah ini adalah sekitar Rp. 6 juta sebulan. Bagaimana mereka bisa membayar utang mereka untuk kampanye politik? Kampanye hutang terbukti menjadi beban besar pada politisi. Sebagai contoh kasus korban Pilkada, pada 4 Juni Sutoto Agus Pratomo, suami Dasih Ardianti kalah pada Pilkada 2010 Wakil Walikota di Semarang, Jawa Tengah, menggantungkan diri di kantornya.

Fakta dan Data Korupsi di Daerah

Fakta dan data korupsi di daerah dapat diperoleh dari KPK . Antara kurun waktu 2004 dan 2010, Lembaga penegak hukum ini telah menyelesaikan 193 kasus korupsi, termasuk di tingkat Daerah. Kebanyakan pelanggaran telah diungkapkan terkait dengan pegadaan barang dan jasa dan prosedur pelayanan dengan 86 kasus dan suap pada 56 kasus. Terdapat 40,93 % dari total jumlah kasus, terjadi di daerah 79 kasus. Dari angka ini, pelanggaran paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat 17 kasus, diikuti oleh Kalimantan Timur 11 kasus, Jakarta 10 kasus dan Riau dan Kepulauan Riau kombinasi 10 kasus. Lembaga telah berhasil menjatuhi hukuman delapan Gubernur dan 20 Walikota atau Bupati antara 2004 dan awal 2010, dari jumlah total 242 para pejabat korup.
Ada banyak pejabat Daerah lain terlibat dalam korupsi. Menurut jasin, metode paling berulang korupsi di tingkat Daerah adalah markup dari pengadaan barang dan jasa, menambahkan bahaw banyak pejabat pemda membuat pengeluaran fiktif dan proyek-proyek untuk keuntungan diri mereka sendiri. Ini dilakukan oleh Gubernur,Bupati, Waliota dan wakil-wakil mereka, termasuk pejabat mereka. Bentuk korupsi lainn termasuk manipulasi prosedur pengadaan dan menggelapkan dana daerah dengan praktik paling umum seperti menggunakan dana negara untuk urusan peribadi seperti liburan keluarga. Lebih melibatkan bentuk manipulasi prosedur pencarian dana, Daerah manipulasi perizinan konsesi kehutanan dan pertambangan, merajalela di Sumatera dan Kalimantan, dan pelanggaran prosedur gratifikasi biasanya melibatkan bank-bank Daerah. Public Sector Integrity Survey tahun 2010 menunjukkan bahwa indeks integritas nasional turun sampai 5,42 taun ini dari 6,5 tahun lalu. Survey mengevaluasi dan memberi skor lembaga-lembaga tingkat daerah mencakup administrasi 22 kota, mendapat skor rata-rata 5,07 (The Jakarat Post, 10/11/2010.
Fakta dan data lain menunjukkan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia sudah melahirkan 205 daerah baru, terdiri dari 7 provinsi, 164 Kabupaten dan 34 kota. Sejak itu pula, perilaku korupsi di daerah semakin menggila. Berdasarkan catat ICW hingga satu semester 2010, setidaknya ada 1.800 kasus korupsi terungkap dan sudah masuk pengadilan. Dari data ini, sepanjang 2004-2009 tercatat setidaknya 1.243 anggota DPRD terlbat korupsi.
Fakta dan data korupsi ICW ini hampir sama dengan data Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM). Pukat UGM melaporkan kepada KPK, terdapat 1.891 kasus korupsi di daerah hasil pemekaran. Korupsi terbanyak terjadi di Provinsi Banten 593 kasus, Kepulauan Riau 463 kasus, Maluku Utara 184 kasus, Kepulauan Bangka Belitung 173 kasus, Sulawesi Barat 168 kasus, Gorontalo 155 kasus, dan Papua Barat 147 kasus. Sisanya di daerah lain. Bagi Pukat, melonjaknya kasus korupsi di daerah lantaran dipicu oleh tingginya anggaran negara digelontorkan ke daerah. Hal tersebut menyebabkan gagalnya proses pembangunan di daerah baru hasil pemekaran. 80 % daerah baru hasil pemekaran gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat (LiraNews, Jakarta, 30 Oktober 2010).

Dalam kurun waktu 2004-2010, ICW mencatat ada 1.243 anggoat DPRD terjaring kasus korupsi. Tetapi saat divonis, hamper separuhnya dibebaskan oleh pengadilan. Kejaksanaan telah berupaya keras membawa kasus korupsi itu banyak, yang melibatkan anggoat legislative daerah, ternyata dibebaskan di pengadilan.
Fakta dan data berikutnya adalah hasil hasil investigasi ICW, yakni APBD menjadi sektor paling diminati para koruptor. Terbukti, kini keuangan daerah menyumbang potensi kerugian negara terbesar yakni Rp. 596, 232 miliyar. Temuan ICW baik tahun 2009 maupun tahun 2010, keuangan daerah tetap sebagai pintu masuk utama terjadinya korupsi. Keuangan daerah penyumbang potensi kerugian negara terbesar yakni Rp. 596.232 mliyar dengan 38 kasus. Tiga sekor lainnay menyumbangkan potensi kerugian negara yakni perizinan Rp. 420 miliyar (1 kasus), pertambangan Rp. 365,2 miliyar (2 kasus), dan energy/listrik Rp. 140,8 miliyar (5 kasus). Sebagai perbandingan, ada semester I tahun 2009, kasus korupsi meraup keuangan daerah sebesar Rp. 410.857 miliyar dengan 23 kasus. Adapun modus paling banyak digunakan para pelaku korupsi untuk mengeruk uang negara yakni penggelapan (62 kasus). Diikuti modus mark up (52 kasus), proyek fiktif (20 kasus), penyelahgunaan anggaran (18 kasus) dan suap (7 kasus). Sementara modus tertinggi semester I tahun 2009, yakni modus penyelahgunaan anggaran dengan 32 kasus. Ini terkait dengan kondisi politik terjadi, yakni tahun 2008-2009, tahun persiapan menjelang Pemilukada. Modus penggelapan umumnya terkait dengan penyimpangan dana langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana bantuan sosial marak terjadi pada tahun 2008-2009 (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010).

Fakta dan data selanjutnya berasal dari Hadi Poernomo, Ketua BPK. Pada 12 Oktober 2010, BPK melapor kepada DPR dari ikhtiar pemeriksanaan semester I tahun 2010, total temuan mencapai 10.113 kasus dengan potensi kerugian negara Rp. 26,12 triliyun secara nasional. Khusus untuk potensi kerugian daerah mencapai Rp. 2 triliyun. Dari sekian banyak itu, ternyata ada beberapa oknum memang sengaja melakukan hal-hal berpotensi merugikan negara dan daerah. Khusus untuk daerah, BPK mencatat ada 348 laporan keuangan pemda (LKPD) menunjukkan adanya kerugian sebanyak 1.246 kasus dengan nilai Rp. 306,63 miliyar. Kerugian di daerah dimaksud adalah berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga, dan barang, nyata dan pasti jumlah sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Kerugian ini timbul karena kasus-kasus meliputi belanja atau pengadaan barang dan jasa fiktif, rekanan pengadaan barang dan jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan volume pekerjaan, kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan dan termasuk proses pemahalan harga (mark up). Sementara itu, Kementerian Keuangan menyatakan hingga kini belum memiliki langkah jitu untuk mengantispasi manipulasi dan korupsi para pegawai daerah dalam proses pengadaan barang dan jasa atau kegiatan lain. Dirjen Perbendaharaan Harry Purnomo mengakui kelemahan Pemerintah dalam melacak dan menelusuri berbagai kasus tersebut (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010).
Sumber resmi Pemerintah dapat diambil melalui pernyataan Menteri Dalam Negeri Ganawan Fauzi. Menurutnya, sejak tahun 2005 Bupati menjadi tersangka sebanyak 150 orang. Jumlah tersangaka dari total jumlah Kepala Daerah 524 orang itu sangat memprihatinkan (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Di lahin fihak, berdasarkan hasil investigasi ICW kecenderungan korupsi 2010 semester I, korupsi di semester awal tahun ini sudah terjadi di 27 Provinsi. Provinsi menempati jumlah kasus paling banyak adalah Sumut dengan 26 kasus, empat besar di bawahnya yakni Jabar (16 kasus), DKI Jakarat dan kasus terjadi pada Pemerintahan pusat 18 kasus, NAD (14 kasus), Jateng (14 kasus). Meski demikian, potensi kerugian negara dengan jumlah paling besar terjadi pada kasus-kasus di DKI Jakarta, sebesar Rp. 709,514 miliyar dengan 12 kasus, diikuti Lampung sebesar Rp. 408,382 miliyar (7 kasus), NAD sebesar Rp. 275,1 miliyar (14 kasus), Maluku sebenar Rp. 118,875 miliyar (6 kasus) dan Riau potensi kerugian negara mencapai Rp. 117, 75 miliyar (3 kasus). Beberapa kasus APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama tahun 2010, di antara kasus pembobolan kas daerah Aceh Utara (Rp. 220 miliyar), kasus korupsi APBD di Indrgiri Hulu (Rp. 116 miliyar), kasus korupsi kas daerah di Pasuruan Jawa Timur (Rp. 74 miliyar) dan kasus dana otonomi daerah Kabupaten Boven Digoel Rp. 49 miliyar. Presiden SBY sendiri menyatakan keprihatinann atas korupsi masih saja terjadi di daerah. (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010).
Dalam laporan yang diserahkan kepada DPR awal Oktober 2009 dan DPD 22 November 2009, BPK memaparkan berbagai penyimpangan uang negara. Tidak saja di Pemerintah pusat, penyimpangan juga merambah secara merata di Pemda. Hasil pemeriksaan atas 237 Pemda meliputi Propinsi dan Kabupaten/Kota, BPK menemukan penyimpangan sebesar Rp. 91,03 miliyar. BPK membagi penyimpangan tersebut dalam lima jenis temuan, yaitu : 1. Penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp. 45,8 miliyar (37%) ; 2. Tidak didukung bukti yang lengkap Rp. 32,05 miliyar (38%) ; 3. Terlambat menyampaikan laporan Rp. 8, 2 miliyar (6%); 4. Penggunaan anggaran tidak tepat sasaran Rp. 4,4 milyar (9%); dan, 5. Belum dipungut pajak/denda Rp. 466 juta.
Dalam buku Ikhtiar hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2007 tersebut, BPK melaporkan banyak praktik pengadaan barang dan jasa dengan nilai ratusan juta hingga miliyaran rupiah tidak menaati aturan. Selain itu, dijumpai pemberian berbagai fasilitas kepada Kepala Daerah dan anggota DPRD menyimpang dari aturan. Nilainya juga bervariasi dari puluhan juta hingga miliyaran rupiah, Kedua temuan tersebut merupakan contoh dari penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan.
Di lihat dari frekuensi, jenis penyimpangan banyak tejadi adalah penggunaan uang tidak didukung bukti pertanggunjawaban lengkap dan sah. Hampir seluruh Pemda terdapat temuan seperti ini. Sebagai contoh, di Pemerintah Provinsi Riau, BPK menemukan belanja administrasi umum apparatur sebesar Rp. 2 miliyar. Tanpa bukti pertanggungjawaban lengkap dan sah. BPK tidak yakin atas kewajaran hal itu. Demikian pula, di Kota Prabumulih Provinsi Sulsel, BPK menemukan belanja tenaga kerja non pegawai sebenar Rp. 300 juta belum didukung dengan bukti lengkap dan sah. Di kabupaten Kediri ditemukan pemberian bantuan dan kepada sejumlah instansi vertical, seperti Polres, Polsek, Kejaksaan, Kodim, Koramil, Pengadilan Negeri, dll senilai Rp. 950 juta. Temuan seperti ini dijumpai hampir di setiap Pemda. Selain pemberian bantuan tersebut tidak dibenarkan oleh aturan, ternyata bukti pertanggungjawaban sering tidak jelas. Melihat fakta seperti itu, perlu diwaspadai Pemda akan menyelenggarakan Pilkada. Bukan tidak mungkin pengeluaran dana APBD tidak jelas pertanggungjawaban, sesungguhnya dipakai untuk membiayai kepentingan politik pimpinan daerah dalam Pilkada. Dana tersebut untuk membayai lobby-lobby politik. Biasanya kepada kalangan DPRD, LSM dan kelompok-kelompok masyarakat diharapkan memberikan dukungan pencalonan. Penyimpangan lain ditermukan BPK adalah penggunaan anggaran tidak tepat sasaran. Bukan cerita baru, banyak Pemda saat mengajukan rancangan APBD tidak didahului dengan perencanaan baik. Sering dijumpai rencana proyek pembangnan dan pelayanan publik diajukan hanya sekedar formalitas anggaran. Akibatnya, pada saat proyek selesai dilaksanakan, ternyata tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan kebutuhan. Contoh menarik dapat dibaca pada temuan pengadaan kapal keruk senilai Rp. 4 miliyar di Kabupaten Cirebon. Pada waktu diperiksa oleh BPK, kondisi kapal tersebut menganggur karena tidak ada biaya untuk mengoperasikan. Hal ini merupakan kecerobhan pejabat terkait dalam membuat rencana pengadaan tidak sesuai dengan kebutuhan. (Majalah Pemeriksa, Edisi 114, 27 Januari 2009).

Aliran Dana dari Pusat ke Daerah

Berbagai hal bisa kita kaitkan dengan fenomena korupsi di daerah ini. Salah satunya berkaitan dengan aliran dana dari Pusat ke Daerah. Bambang Widjojanto, misalnya, (Kompas, 20 Agustus 2009) percaya, ada kontradiksi antara peningkatan jumlah aliran dana ke daerah dan akuntabilitas penggunaan keuangan daerah dinilai terus merosot. APBN Perubahan 2009 menetapkan, jumlah dana APBN Rp. 1.0005,7 triliyun dan ada sekitar 60 % diserahkan ke daerah. Di sini lain, laporan keuangan Pemda mendapat opini dengan penilaian tidak wajar meningkat tajam dari 10 daerah (2004) menjadi 59 daerah (2007). Sementara hasil pemeriksaan BPK Semester II tahun 2008 menyebutkan, ada 93.481 rekomendasi senilai Rp. 764 triliyun yang perlu ditindaklanjuti. Dari jumlah itu, 38.010 rekomendasi senilai Rp. 205 triliyun belum ditindaklanjuti. Menteri Keuangan dengan merujuk laporan BPK mengemukan kian merosotnya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Penjelasan Menteri dan laporan itu menyatakan, pertama, ada 21 daerah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian tahun 2004 dan merosot menjadi hanya 8 daerah tahun 2008. Kedua, ada 249 daerah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian tahun 2004 merosot menjadi 137 daerah (2008). Ketiga,ada 7 daerah tahun 2004 diberikan opini tidak memberikan pendapat menjadi 120 daerah (2008). Uraian tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, ada kecenderungan kian merosotnya kinerja daerah dalam mengelola keuangan. Kedua, ada 157 daerah pengelolaan dinilai membahayakan dan 249 daerah potensial membayakan karena dapat merugikan keuangan negara. Ketiga, ketidakmampuan mengelola keuangan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keempat, potensi kerugian negara cenderung meningkat sesuai dengan kian memburuknya kualitas pengelolaan keuangan negara.
Laporan BPK juga menyatakan, pada 2008 ada 31 laporan hasil pemeriksaan (LHP) meliputi 40 kasus senilai Rp. 3,67 triliyun dan 26,37 juat dolar AS mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada fihak berwenang. Dari jumlah itu, ada 24 LHP terdiri 37 kasus senilai Rp. 3,59 triliyun dan 26,37 juta dolar AS diserahkan kepada KPK; sisanya diserahkan kepada Kepolisian satu LHP dan Kejaksanaan enam LHP terdiri dari tiga kasus senilai Rp. 84,42 miliyar. Laporan itu melengkapi laporan lain BKP menyatakan, tahun 2003-2008 ada 90 LHP terdiri dari 120 kasus senilai Rp. 30, 18 triliyun dan 470, 31 juta dollar AS. Ada dugaan potensi penyimpangan pengelolaan keuangan negara akan meningkat seiring diadakan Pilkada di lebih 240 daerah tahun 2010. Asumsinya pejabat di daerah akan lebih memberikan perhatian pada Pilkada, kontrol pengelolaan keuangan daerah akan berkurang, serta sebagian pejabat potensial tergoda untuk menggunakan kewenangan dan keuangan daerah bagi kepentingan sendiri dalam Pilkada (Kompas, 20 Agustus 2009).

Kamis, 25 November 2010

KAWASAN KUMUH: CERMINAN PELANGGARAN HAK DASAR WARGA

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Hak Dasar Warga dan Komitmen Global

Sudah menjadi komitmen global, tempat tinggal atau rumah merupakan bagian dari hak dasar dan menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan hidup dan menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman. Penyediaan perumahan dan permukiman memenuhi prinsip-prinsip layak dan terjangkau bagi semua orang telah menjadi komitmen global. Telah ada kesadaran global, adalah kewajiban Pemerintah untuk memudahkan warganya mendapatkan tempat tinggal, melindungi dan untuk meningkatkan kualitas rumah serta lingkungan tempat tinggal. Pemerintah Indonesia juga harus melaksanakan dan terikat dengan komitmen global berdasarkan beberapa deklarasi internasional penting di atas.

Komitmen global ini pertama-tama tertuang di dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia, diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A(III). Di dalam Mukadimah dipertimbangkan, menegaskan kembali kepercayaan anggota-anggota PBB pada hak-hak dasar dari manusia, martabat dan nilai seseorang manusia dan hak-hak sama dari laki-laki maupun perempuan dan telah memutuskan akan mendorong kemajuan sosial dan tingkat hidup lebih baik dalam kemerdekaan lebih luas.

Dalam hak-hak dasar perumahan, Deklarasi menegaskan dalam Pasal 25 ayat (1) sebagai berikut: “Setiap orang berhak atas taraf hidup memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya mengakibatkannya kekurangan nafkah, berada di luas kekuasaannya.”

Komitmen global ini lebih lanjut diperkuat oleh Deklarasi PBB tentang Pembangunan dan Kemajuan Sosial tahun 1969, Deklarasi Permukiman Vancouver, Kanada, tahun 1976 dan Deklrarasi PBB di Istanbul, Turki, tahun 1996. Deklarasi Vancouver tahun 1976 merupakan hasil Konferensi PBB mengenai Pemukiman Manusia (HABITAT) di Vancouver, Kanada, 31 Mei hingga 11 Mei 1976. Menurut Konferensi PBB tersebut, peningkatan kualitas hidup manusia adalah tujuan pertama dan penting dari setiap kebijakan pemukiman manusia. Kebijakan-kebijakan harus memfasilitasi perbaikan cepat dan terus menerus dalam kualitas hidup semua orang, mulai dari kepuasan kebutuhan dasar pangan, tempat tinggal, air bersih, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, pelatihan, jaminan sosial tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelaminan, bahasa, agama, ideologi, asal nasional atau sosial atau penyebab lainnya, dalam kerangka kebebasan, martabat dan keadilan sosial. Bagi Konfrensi ini, semua orang memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi, secara individual dan kelektif dalam perluasan dan pelaksanaan kebijakan dan program permukiman manusia mereka.
Dalam kaitan dengan tempat tinggal sebagai hak dasar manusia, Deklarasi Vancouver menegaskan, “tempat tinggal memadai dan jasa merupakan hak asasi manusai yang menempatkan kewajiban pada Pemerintah untuk memastikan pencapaian mereka dengan semua orang, dimulai dengan bantuan langsung kepada yang paling diuntungkan melalui program dipandu swadaya dan tindakan masyarakat. Pemerintah harus berusaha untuk menghapus semua hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan tersebut atau kepentingan khusus adalah penghapusan dan ras segregasi sosial, antara lain, melalui penciptaan masyarakat yang seimbang lebih baik, yang campuran kelompok sosial yang berbeda, pekerjaan, perumahan dan fasilitas.”
Dengan perkataan lain, Deklarasi Vancouver menegaskan bahwa tempat tinggal dan pelayanan yang layak adalah hak dasar manusia, sehingga merupakan kewajiban pemerintah untuk memastikan ketersediaan kedua hal tersebut bagi setiap warganya melalui pendampingan langsung atau program berbasis komunitas atau aksi swadaya yang lebih terarah.

Konvensi internasional sebagai komitmen global lain dalam hal penegakan hak dasar manusia atas perumahan atau tempat tinggal adalah Konferensi PBB tentang Permukiman Manusia (HABITAT II) di Istanbul, Turki dari 3 hingga 14 Juni 1996. Kepala Negara atau Pemerintah dan delegasi resmi negara-negara berkumpul mengambil kesempatan ini untuk mendukung tujuan-tujuan universal untuk memastikan tempat tinggal yang memadai untuk semua dan membuat manusia pemukiman lebih aman, sehat dan lebih baik untuk ditinggali, adil, berkelanjutan dan produktif. Mereka membahas dua thmea utama, yakni tempat tinggal yang memadai untuk semua dan berkesinambungan pembangunan manusia permukiman di dunia urbanisasi—telah terinspirasi oleh Piagam PBB dan ditujukan untuk menegaskan kembali ada dan membangun kemitraan baru untuk tindakan di tingkat internasional, tingkat nasional dan lokal untuk memperbaiki lingkungan hidup. Mereka berkomitmen dengan tujuan, prinsip dan rekomendasi tertuang dalam Agenda Habitat dan berjanji saling mendukung untuk pelaksanaannya.

Agenda Habitat (The Habitat Agenda, Istanbul Declaration on Human Settlements) tahun 1996. Konvensi ini turut memastikan komitmen “untuk merealisasikan hak dasar atas perumahan layak”. Konferensi PBB ini menegaskan komitmen kembali untuk realisasi penuh dan progresif hak atas perumahan yang layak sebagaimana diatur dalam instrumen internasional. Untuk tujuan itu, Konferensi akan mencari partisipasi aktif dari mitra publik, swasta dan nonpemerintah di semua tingkatan untuk menjamin keamanan hukum kepemilikan, perlindungan dari diskriminasi dan akses sama terjangkau, perumahan layak bagi semua orang dan keluarga mereka.

Masyarakat dunia ternyata terus memperjuangkan penegakan hak dasar manusia atas perumahan melalui Millenium Development Goals (MDGs) sebagai dorongan agar keadaan dan kehidupan manusia benar menjadi lebih benar. Pilar pertama dipakai dunia sebagai acuan tentang hak atas perumahan layak, adalah International Convenant on Economic, Social dan Cultural Right(1966) yang diterjemahkan oleh Komnas HAM ke dalam bahasa Indonesia (2004) setelah Pemerintah RI bersama negara lain seperti Amerika Serikat dan Cina meratifikasinya. Pasal 11 (1) konvenan tersebut berbunyi: ”Negara-negara pihak pada Konvenan ini mengakui setiap orang atas kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kelayakan pangan,sandang dan pangan, dan perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara-negara pihak akan mengambil langkah-langkah tepat untuk menjamin perwujudan hak tersebut dengan mengakui arti esensial dari kerja sama internasional didasarkan pada kesepakatan sukarela.

Definisi “Rumah Layak”

Gagasan merumuskan kriteria atau definisi tentang apa yang disebut sebagai “rumah layak” sudah muncul sejak PBB mengadopsi konvenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Muara dari upaya ini pertama kali muncul pada Deklarasi Vancouver tentang Human Settlement yang dihasilkan oleh KTT Habitat I (1976). Selanjutnya, definisi ini dikembangkan pada saat Global Strategy for Shelter to the year 2000 ditetapkan PBB pada 12/1988 (GSS 2000), rumah layak didefinisikan lebih baik meliputi kelayakan privacy, kelayakan ruang, kelayakan sekuriti, kelayakan penerangan dan ventilasi, kelayakan prasarana dan sarana dasar dan kedekatannya pada berbagai sasarana dasar, semua dalam batas keterjangkauan mencapaiannya. ECOSOC PBB pada keputusan Sidang Umum PBB No. 4 Tahun 1991 lebih lanjut yakin bahwa aspek-aspek kelayakan rumah berikut ini perlu diperhatikan yaitu:

1.Jaminan kepemilikan dilindungi hukum.
2.Ketersediaan service, bahan, fasilitas dan prasarana.
3.Kemampuan beli masyarakat.
4.Layak huni atau habitable.
5.Dapat diakses oleh siapa saja.
6.Lokasi mendukung bagi kehidupan.
7.Kelayakan budaya, termasuk menjalankan keyakinan luas.

Millenium Development Goals (disingkat MDGs) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Melenium (TMP). Tujuan Pembangunan Melemium merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB bulan September 2000. Majelis Umum PBB kemudian melegalkan ke dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 tentang Deklarasi Milenium PBB (A/RES/55/2.United Nations Millennium Declaration).

Lahirnya Deklarasi Mileneum merupakan hasil perjuangan panjang negara-negara berkembang dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia, yang belum pernah terjadi sebelumnya, untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi, dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi MDGs. Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut indikatornya. MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan serta memiliki tenggat waktu dan kemajuan terukur. MDGs didasarkan atas konsensus dan kemitraan global, sembari menekankan tanggungjawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut.

Secara ringkas, arah pembangunan disepakati secara global mencakup: (1) menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat; (2) mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; (3) mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan maternal; (6) melawan penyebaran HIV/AIDS, dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa); (7) menjamin keberlangsungan lingkungan; dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Khusus menyangkut perumahan dan permukiman, pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 900 juta orang tinggal di daerah kumuh. Indonesia telah menargetkan perbaikan berarti dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada 2020 merupakan bagian dari pencapaian pelaksanaan pembangunan masyarakat bersifat konservasi terhadap salah satu unsur lingkungan hidup. Target ini dipantau dengan menggunakan indikator proporsi rumah tangga memiliki dan menyewa rumah (%), yang dalam dokumen pedoman MDGs disebut sebagai ”jaminan bermukim (secure tenure), bermakna sebagai rumah tangga memiliki atau menyewa rumah baik secara pribadi maupun kelompok.

UUD 1945: Hak Dasar Bagi Setiap Warga
Pada tingkat negara bangsa (nasional), terkait soal hak setiap warga atas rumah atau tempat tinggal, secara filosofis telah tertuang di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28 C dan Pasal 28H. Pasal 28C ayat (1) berbunyi: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pasal 28C ini kemudian dipertegas pada Pasal 28H ayat (1) menyebutkan, “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Makna Pasal ini adalah perumahan dan permukiman merupakan hak dasar bagi setiap Warga negara Indonesia. Selanjutnya Pemerintah juga terikat dengan amanat UU N0. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 40 menegaskan,”setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berpenghidupan yang layak”. Pemerintah bertanggungjawab untuk membantu masyarakat agar bertempat tinggal serta melindungi dan meningkatkan kualitas permukiman dan lingkungannya.

Sesuai amanat UUD 1945, telah diterbitkan Undang-undang Nomor 16 tahun 1955 tentang Rumah Susun dan Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, di mana tujuan kedua UU tersebut adalah sebagai dasar pengaturan bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan rumah, baik dalam bentuk rumah tinggal maupun rumah susun. Pasal 5 UU No. 4 tahun 1992 menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur (ayat 1). Pasal 5 ini juga menetapkan, setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tangggung jawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman (ayat 2).

Tentang peran serta masyarakat ini dipertegas pada pasal 29:
(1)Setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.
(2)Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dapat dilakukan secara perorangan atau dalam bentuk usaha bersama.
Indonesia telah menetapkan dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945 bahwa setiap orang memiliki hak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tingal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pada tanggal 10 Agustus 2002, MPR merampungkan amandemen UUD 1945 keempat untuk pertama kali memasukkan hak atas perumahan sebagai hak azasi manusia Indonesia. Pasal 28H ayat (1) berbunyi: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ayat (4) menyebutkan, setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapun. Dengan ditetapkannya hak asasi atas rumah dan lingkungan oleh UUD 1945, tidak ada alasan tidak meratifikasi berbagai kesepakatan internasional mengandung hak asasi perumahan layak tersebut.

Pasal 28H UUD 1945 ini menyerupai pasal 25 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). Sedang pertama kali merekomendasikan tentang perumahan (Buruh), yakni ILO dengan Rekomendasi No. 115 (1961) dan dilanjutkan dengan mengusulkan luas minim rumah buruh sebesar 5,1 m2 per kapita. Ini kemudian dipakai untuk menentukan luas rumah inti di banyak negara seperti rumah inti, RSS dan sejenisnya. Dalam UU No. 4 Tahun 1992 Pasal 5 berbunyi: (1) Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan sehat, aman, serasi dan teratur. Ayat (2) Setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tangungjawab untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman.

Dengan merunjuk pada pasal 5 UU No. 4 tahun 1992 di atas, maka pasal 28H UUD 1945 lebih mudah ditemukan kaitannya dengan berbagai kesepakatan internasional, sebagian besar disponsori PBB. Untuk mengulas pasal 28H tersebut, beberapa acuan dipakai, antara lain Basic Human Rights and The Human Rigth to Adequate Housing terbitan UN Centre for Human Rights di Geneva, Legal Resources for Housing Rights (2000) diterbitkan oleh Escuela Tecnica Superior de Arquitecture de Valladolid, Espapana.

Oleh karenannya, rumah sebagai wadah tempat tinggal perseorangan ataupun dalam entitas sosail baik dalam bentuk keluarga atau lainnya merupakan hak setiap orang. Secara fungsional rumah dijadikan sebagai wadah untuk berlindung dari tantangan alam dan ancaman binatang, sekaligus wadah interaksi sosial keluarga dan pada kasus tertentu mewadahi aktivitas ekonomi penghuninya. Hak perumahan secara nasional didefinisikan sebagai hak bagi setiap orang untuk mendapatkan akses menghuni rumah yang layak dalam suatu komunitas yang aman dan bermartabat secara berkelanjutan. Lebih jauh kelayakan didefinsiikan sebagai kelengkapan rumah dengan jaminan keamanan dan hukum, jaminan perolehan prasarana, sarana dan utilitas umum (PSU), akses pada pembiayaan, dan atau hal lain untuk memenuhi martabatnya sebagai manusia. Menghuni rumah layak berarti pengakuan status legal kependudukan membuka identitas sosial, akses pada program peningkatan kesejahteraan serta peluang usaha membutuhkan kredibilitas hunian.

Berdasarkan perspektif filosofis dan legalitas/hukum di atas, maka dapat disimpulkan Setiap warga negara Indonesia yang berhak untuk bertempat tinggal serta berpenghidupan yang layak. Pemerintah Indonesia bertanggungjawab untuk membantu masyarakat agar bertempat tinggal serta melindungi dan meningkatkan kualitas permukiman dan lingkungan masyarakat bersangkutan.

Definisi Rumah Tangga Kumuh
Permukiman kumuh di perkotaan memiliki beragam bentuk, besaran, sejarah dan budaya politik, serta terdapat beragam istilah juga digunakan untuk menyebutnya. UN-HABITAT sendiri mendefinisikan rumah tanga kumuh sebagai ”kelompok orang yang hidup di bawah satu atap di kota, dan tidak memiliki satu atau lebih dari lima kondisi” berikut:
a.Rumah dari bahan permanen di lokasi tidak rawan banjir.
b.Area huni layak, sehingga tidak lebih dari tiga orang berbagai kamar.
c.Akses ke air bersih mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam harga terjangkau.
d.Akses ke sanitasi layak.
e.Kepemilikan lahan aman dan legal sehingga tidak rawan penggusuran.
Di beberapa tempat, permukiman kumuh dan ilegal dibedakan melalui:
a.Permukiman kumuh
Biasanya istilah ini digunakan untuk menunjukkan area dengan kualitas perumahan buruk, infrastruktur tidak memadai dan kondisi lingkungan terus menurun. Akan tetapi, penghuni biasanya memiliki kepemilikan lahan terjamin, baik sebagai pemilik, penghuni atau penyewa resmi atas tanah tsb.
b.Permukiman ilegal
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan area di mana terdapat penduduk mendirikan rumah di atas lahan bukan miliknya atau tidak memiliki ijin mendirikan atau menyewakan bangunan, dan biasanya membangun tanpa mengikuti aturan tata kota berlaku.
Beragam pendapat telah muncul tentang sebab-sebab adanya permukiman kumuh dan ilegal. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa permukiman kumuh dan ilegal ada karena kaum miskin tidak mampu atau dapat menjangkau bahkan perumahan minimum yang disediakan oleh pasar lahan dan perumahan formal. Banyak yang menghadapi hambatan dalam mengakses perumahan dan lahan karena keberadaan waktu, birokrasi dan kesulitan.
Salah satu realitas obyektif kita jumpai di perkotaan adalah kemiskinan ditandai dengan di samping tingkat pendapatan, juga bentuk aset antara lain, rumah tempat tinggal, keahlian kerja, kesehatan baik, tanah, aksesibilitas ke pelayanan umum, tabungan dan kelompok kredit serta beragam bentuk jaringan pengaman sosial. Karakteristik kemiskinan di perkotaan dapat dilihat dari keterbatasan:
a.Finansial (tingkat pendapatan).
b.Ketidakmampuan untuk memiliki penghasilan cukup dan stabil serta tidak adanya kepemilikan terhadap aset produktif.
c.Tidak adanya aksesbilitas ke perumahan aman dan terjamin kepemilikannya.
d.Tidak adanya aksesibilitas ke pelayanan infrastruktur dan publik.
e.Tidak adanya aksesibilitas ke jaringan pengaman sosial dan perlindungan terhadap hak-hak legalnya.
f.Ketidakmampuan untuk memliki kekuasaan, berpartispasi dan mendapatkan rasa hormat dari orang lain.
Kawasan Kumuh di Indonesia
Di Indonesia dari masa ke masa, keberadaan masyarakat miskin atau kemiskinan di perkotaan dan kawasan permukiman kumuh semakin meluas. Sebuah Sumber menyebutkan, pada tahun 2000 saja diestimasikan telah terdapat kawasan kumuh seluas 47.000 ha pada 10.000 lokasi. Lingkungan kumuh di perkotaan semakin meningkat terlihat dari realitas obyektif tahun 2004 (54.000 Ha) meningkat pada tahun 2009 menjadi 59.000 Ha. Sementara itu, Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan, Dirjen Cipta Karya, Kementerian PU, mengungkapkan bahwa masih adanya sekitar 47 ribu Ha permukiman kumuh tersebar di berbagai kota (sekitar 10.000 lokasi) terutama kota metro dan besar; dihuni oleh sekitar 17,2 juta jiwa dan 14,5 juta rumah tidak layak huni. Bahkan Rekomendasi Diskusi Lintas Pelaku Pemberdayaan Komunitas dalam Penyediaan Perumahan dan Permukiman MBR di DKI Jakarta, di daerah DKI Jakarta saja masyarakat daerah kumuh mencakup 40 % penduduk.
Luas lahan perkotaan terbatas tidak mampu menampung desakan pertumbuhan penduduk dan pada akhirnya kerap memunculkan permukiman tidak teratur, kumuh, dan tidak layak huni. Penanganan permukiman kumuh belum holistik menyebabkan kondisi kekumuhan tidak dapat diatasi bahkan cenderung mengalami peningkatan luas. Hasil penelitian United Nation Development Programme (UNDP) mengindikasikan terjadinya perluasan permukiman kumuh mencapai 1,37% setiap tahun, sehingga pada tahun 2009 luas permukiman kumuh diperkirakan menjadi 57.800 ha dari kondisi sebelumnya yakni 54.000 ha pada akhir tahun 2004.
Sebagaimana diungkapkan di atas, tingginya kebutuhan masyarakat akan rumah baru mencapai tidak kurang dari 800.000 unit per tahun serta masih cukup besarnya kesenjangan pemenuhan kebutuhan perumahan (backlog) yang pada tahun 2004 mencapai 5,8 juta unit. Lingkungan perumahan juga cenderung mengalami penurunan kualitas khususnya di kawasan permukiman kumuh di kota-kota besar.
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan nasional terkait dengan kawasan permukiman kumuh sebagai suatu masalah utama telah tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025. Ditetapkan bahwa sasaran pokok pembangunan perumahan dan permukiman jangka panjang adalah terpenuhi rumah layak huni dan terjangkau dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan memadai didukung oleh sistem pembiayaan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien, dan akuntabel untuk mewujudkan kota tanpa kumuh. Bahkan sebagaimana diungkapkan oleh Bambang Susantono, Wakil Menteri Perhubungan RI pada februari 2010, Program PPP (Kemitraan Pemerintah-Swasta) dalam Infrastructure Strategies 2010-2014 telah mencanangkan akan melaksanakan salah satu kegiatan strategis, yakni ”penanganan kawasan kumuh di perkotaan antara lain melalui pembangunan Rumah Susun”.
Pada tingkat Kemenpera (Kementerian Perumahan Rakyat) RI, kebijakan Pemerintah terkait dengan kawasan permukiman kumuh telah mengambil sasaran strategis yakni terlaksana penataan lingkungan permukiman kumuh seluas 655 Ha dengan jumlah penduduk terfasilitasi sebanyak 130.000 jiwa. Pada bagian kawasan permukiman yang secara fisik tidak layak huni/kawasan kumuh penanganan dilakukan melalui pendekatan peningkatan kualitas kawasan yang lokasinya bisa berada pada persil- persil kawasan permukiman yang tersebar.
Kemenpera telah mencanangkan kebijakan PLP2PK-BK (Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan). Kebijakan ini berdasarkan UU No. 17 No. 2007 dan RPJPN Tahun 2025 bebas kawasan permukiman kumuh, dan MDG”s Indonsia Target 7 tujuan: ”meningkatkan kualitas lingkungan kumuh”. Lingkungan permukiman kumuh meningkat di perkotaan (54 ribu Ha pada 2004 menjadi 59 ribu Ha pada 2009. PLP2K-BK menggunakan pendekatan penanganan: a. Tri daya (berbasis pemberdayaan masyarakat/community action Plan); b. Skenario rencana 10 tahun (berkelanjutan); c. Mengintegrasikan multi sektor; dan, d. Pemda/Masyarakat sebagai pelaku utama. Berdasarkan penanganan itu, kegiatan penaganan mencakup: a. bantuan stimulan (PSU) perumahan dan permukiman; b. Bantuan stimulan formal (Rusunawa/mi); c. Bantuan stimulan perumahan swadaya; d.Bantuan pembiayaan (fasiltasi likuiditas); e. Kegiatan sektor lainnya (pendidikan, ke-PU-an, dll.). Kriteria penanganan berdasarkan : a. Tingkat kekumuhan, b. Kesesuaian & kesiapan lokasi, dan c. Kesiapan Pemda (APBD).
Kemenpera telah merencanakan dan mengkordinasikan dengan Pemda lokasi-lokasi penanganan kawasan kumuh (PLP2K-BK) tahun angaran 2011 mencapai lebih 20 lokasi, sementara stimulasi fisik mencapai 10 lokasi. Sedangkan untuk tahun 2011, direncanakan untuk sekitar 35 lokasi dan masih dalam proses dengan stimulasi fisik mencapai 11 lokasi, ditambah untuk sekitar 15 lokasi masih dalam proses. Alokasi dana tahun 2010 mencapai Rp. 75 miliyar, sedangkan tahun 2011 jauh meningkat mencapai Rp. 160 miliyar.
Cerminan Pelanggaran HAM
Komitmen global dan amanat konstitusi UUD 1945 dan beberapa UU di Indonesia mengharuskan Pemerintah bertanggungjawab dan berkewajiban menghilangkan kawasan kumuh dari tanah air ini. Kawasan kumuh secara filosofis dan bahkan konstitusional mencerminkan pelanggaran HAM. Karena itu, Pemerintah harus sungguh-sungguh membangun dan mengembangkan perumahan dan permukiman yang layak huni, sehat, aman, nyaman, dan teratur serta berkesinambungan.
Konsekuensinya, Pemerintah harus memprioritaskan pembiayaan dan pendanaan untuk penegakan hak warga atas rumah tempat tinggal yang layak, bukan kumuh. Pemerintah SBY, bagaimanapun, masih tergolong Pemerintah pelanggar HAM dalam tinjauan filosofis dan konstitusional ini. Tidak ada tanda-tanda atau fakta menunjukkan Pemerintah SBY telah mengurangi kawasan kumuh, malah yang terjadi semakin bertambah. Kita bisa lihat, pertambahan kawasan kumuh di perkotaan Pulau Jawa khususnya.

Sabtu, 20 November 2010

MENGAPA ANGGOTA DPR-RI KORUPSI?

OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




PERTANYAAN POKOK

Pertanyaan Pokok “Mengapa Anggota DPR-RI Korupsi?” ini membutuhkan jawaban kausalitas (sebab-akibat), tidak saja bersifat personal tetapi juga structural (kelompok kepentingan) di mana anggota tersebut menjadi anggota/kader. Anggota DPR-RI dimaksud adalah anggota legislative nasional hasil Pemilu dan anggota salah satu Parpol peserta Pemilu bersangkutan. Perilaku korupsi anggota DPR ini sesungguhnya beragam modus, mulai dari sebagai pelaku tidak langsung tapi menentukan pada “pengadaan barang/jasa Pemerintah” terutama tingkat nasional (dana APBN) hingga pelaku pendukung pembuatan keputusan politik dalam bentuk Undang-undang yang menguntungkan atau berpihak pada kepentingan pelaku usaha/korporasi baik nasional maupun internasional sebagaimana disebut sebagai “korupsi sandera negara”.

Sudah banyak data dan fakta hukum dan keputusan pengadilan membuktikan perilaku korupsi anggota DPR. Juga berbagai opini publik melalui survei menunjukkan lembaga penyelenggaraa negara ini termasuk lembaga paling korup, setelah Parpol. Sesungguhnya realitas obyektif masih menunjukkan fenomena anggota DPR korup dan opini publik tentang DPR semacam itu masih terus berlangsung.

KELOMPOK JAWABAN

Beragam jawaban atau alasan atas pertanyaan pokok di atas telah diajukan oleh berbagai pengamat politik dan juga aktivis anti korupsi di Indonesia. Terdapat perbedaan-perbedaan jawaban, namun terdapat juga kesamaan-kesamaan yang dipilih. Dari semua jawaban dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1.Rekruitmen politisi di internal Parpol yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang. Hubungan loyalitas anggota dan Parpol berdasarkan setoran uang. Model rekruitmen yang “high cost precedure” dalam Parpol menjadi pintu awal praktik korupsi di tubuh DPR. Tiadanya jenjang karir yang jelas dalam politik. Untuk bisa duduk di DPR, sekarang lebih ditentukan kedekatan dengan pimpinan Parpol dan dana yang dimiliki serta bukan prestasi. Ini membuat sebagian anggota DPR mencari harta sebanyak-banyaknya.

2.Sumber pendanaan untuk Parpol maupun anggota DPR itu sendiri.

3.Mahalnya ongkos politik bagi Politisi yang menjadi pejabat publik akan mengembalikan investasi politik yang dikeluarkannya kemudian menggunakan sumber daya pulik yang dikuasainya untuk kelanggengan kekuasaan. Dana yang besar dalam politik antara lain dibutuhkan untuk memperjuangkan nomor urut dan daerah pemilihan saat Pemilu, memelihara pemilih dan mengamankan posisi di Parpol. Hal ini diperkuat adanya aturan mengenai pendanaan Parpol yang dilarang memiliki unit usaha dan hanya menghandalkan pendanaannya dari iuran anggota. Kebutuhan akan biaya politik yang tinggi dan hasrat untuk mempertahankan kekuasaan kian mendorong terjadinya perselingkungan yang keji antara kelompok bisnis dan politik-birokrasi.

4.Transparansi dan akuntabilitas DPR sangat rendah. Hampir tidak ada mekanisme yang dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas itu dijalankan. DPR tidak menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik dalam berbagai pengambilan keputusan sehingga terjadi kongkalikong atau politik dagang sapi. DPR melakukan pengawasan sampai pada satuan tiga atau proyek, tidak hanya tahap program saja. Hal ini diperkuat kagi dengan tidak transparannya atau tertutupnya rapat pembahasan anggaran oleh Panitia Anggaran DPR dan Pemerintah. Banyaknya “ruang gelap” yang bisa dimainkan DPR.

5.Lemahnya posisi kontrol masyarakat dan konstituen untuk mengendalikan perilaku anggota DPR. Sementara itu, posisi lembaga legislatif pada saat ini sangat kuat dan tingginya ambisi anggota DPR dan elite Parpol untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan dengan gaya hidup “konsumerisme” dan “hendonisme” keluarga anggota DPR dimaksud.

6.Masyarakat lebih menghormati hal-hal yang bersifat kebendaan; lebih menghargai nilai sumbangan sosial keagamaan yang diberikan oleh mereka; dan tutup mata terhadap asal-usul derma. Dengan perkataan lain, koruptor bisa demikian terhormat di masyarakat yang dapat merangsang dan mendorong orang korupsi.

7.Kewewenangan DPR kegemukan, semua hal bermuara di DPR mulai dari pembahasan anggaran, rekruitmen pejabat publik, perizinan hutan dan sebagainya. Tidak mengherankan anggota DPR bisa mempejualbelikan kewenangan untuk kepentingan individu. DPD (Dewan Perwakilan Daerah) yang semula diadakan untuk menyeimbangi kewenangan DPR yang luar biasa itu ternyata tidak berkutik. Sistem bikameral yang diciptakan UUD 45 Perubahan (Amandemen) ternyata tidak berjalan baik. Kewenangan DPD tidak ada apa-apanya di mata DPR kecuali hanya sebagai instansi formalitas belaka.

8.Sebagai konsekuensi dari politik berbiaya tinggi yang muncul karena dua alasan, yakni sistem rekkruitmen dan promosi Parpol yang tidak berdasarkan kriteria keunggulan. Selain itu, calon anggota DPR dibiasakan dengan iming-iming materi sejak memperkenalkan diri sampai meminat dukungan suara. Di samping itu, mereka terjebak keinginan untuk menaikkan status sosial dengan ukuran materi. Wakil rakyat meyakini kenaikan status itu dapat diperoleh bila nilai kejayaan dan gaya hidup mereka naik. Karena memaknai kenaikan status sosial seperti itu, mereka terjebak ke dalam hidup berbiaya tinggi bersama keluarga dan terdorong untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya.

9.Struktur kekuasaan DPR telah begitu meluas sehingga dapat dikatakan, hitam-putihnya negeri ini ditentukan Parpol-parpol di DPR. Pengalihan locus fungsi legislasi dari Presiden ke DPR melalui amandemen konstitusi memberikan peluang bagi DPR untuk memperoluas otoritasnya melebihi yang seharusnya dimiliki parlemen dalam skema sistem presidensial. Pengangkatan pejabat publik, mulai anggota komisi negara, hakim agung, pimpinan KPK, pimpinan BPK dan pimpinan BI kini menjadi otoritas DPR sehingga fungsi presiden sekadar pengusul nama, lalu mengabsahkan melalui surat keputusan presiden (Kepres).

10.Pemerintah cenderung membiarkan terbangunnya relasi bersifat politik transaksional dengan DPR ketimbang relasi bersifat institusional. Transaksi tertutup berlangsung saat Presiden dan DPR bersepakat melalui rapat-rapat konsultasi akhirnya meredam usul hak interpelasi atau hak angket DPR. Hak angket impor beras, misalnya, kandas setelah berlangsung lobi setengah kamar antara pemerintah dan pimpinan fraksi DPR di Hotel Dharmawangsa. Transaksi paling terlanjang dialami para pejabat eselon I (sekjen atau setama) saat berhadapan dengan Panitia Anggaran DPR dalam menegoisasi alokasi anggaran masing-masing departemen dalam struktur APBN. Sedangkan transaksi skala kecil berlangsung hampir di setiap pekan di lobi atau kafe-kafe hotel berbintang di jakarta antara DPR dan pejabat daerah untuk mengurus dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil atau “biaya sosialisasi” terkait pemekaran daerah.

11.Pendangkalan pemahaman para wakil rakyat terhadap esensi politik, Parpol, parlemen dan hakikat keterlibatan mereka dalam kehidupan politik nasional. Politik didistorsikan secara konkreat sekedar sebagai kekuasaan sehingga perdebatan tentang moralitas atau etika, hati nurani, dan keberpihakan pada penderitaan rakyat tidak lagi relevan bagi sebagian politikus DPR. Parpol cenderung dipraktikkan sebaai tempat untuk “mengambil” ketimbang wadah untuk mengabdi bagi Ibu Pertiwi seperti diteladani para pendiri bangsa ini. Berbagai UU bidang politik yang selalu direvisi menjelang Pemilu cenderung dirancang melestarikan realitas obyektif yang tidak pro rakyat ini.


SUMBER MASALAH BAGI RAKYAT

Parpol sebagai pilar demokrasi sesungguhnya tipe ideal atau sebagai realitas subyektif sehingga dapat berfungsi menciptakan iklim yang kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. Iklim demokrasi diharapkan dapat menciptakan kehidupan ekonomi rakyat lebih baik dan makmur. Dengan iklim demokrasi dipercaya akan membawa dampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena itu, Parpol sebagai pilar demokrasi suatu keharusan.

Namun, dalam kenyataannya, justru Parpol telah berfungsi sebagai pencipta iklim korupsi anti demokrasi yang menyebabkan tidak terciptanya iklim yang kondusif dilaksanakan bagi program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. Jika Parpol sudah bertindak sebagai anti demokrasi dan berprilaku korup, maka Parpol dapat disimpulkan telah menjadi salah satu pilar sumber masalah bagi upaya dan mensejahterakan rakyat dan juga bagi upaya menghentaskan kemiskinan rakyat selama ini. Realitas obyektif kepartaian ini terus berlangsung, maka cita-cita reformasi tidak terwujud, malah sebaliknya reformasi telah menghasilkan elite kekuasaan, terutama anggota Parpol di eksekutif dan legislatif, anti demokrasi dan pro korupsi.

Upaya negara mensejahterakan atau menghentaskan kemiskinan rakyat hanya wacana tanpa pelaksanaan program konkrit. Rakyat tidak akan berubah menjadi lebih sejahtera, bahkan sebaliknya kemiskinan dan keterbelakangan semakin meningkat. Perilaku politik Parpol bukan lagi sebagai pilar demokrasi “pemecah masalah”, tetapi “sumber masalah” bagi rakyat.

Bisa disimpulkan, jika tidak boleh dikatakan justru mempunyai “penyebab negatif”, Parpol era reformasi tidak mempunyai “pengaruh positif berarti” terhadap penghentasan kemiskinan dan keterbelakangan rakyat. Asumsi-asumsi dasar dari kalangan kader Parpol bahwa kiprah Parpol dalam pemerintahan untuk merealisasikan cita-cita dan tujuan reformasi, apalagi kesejahteraan rakyat, adalah suatu “utopia” belaka. Asumsi-asumsi itu sesungguhnya dibeberkan baik di media massa maupun forum-forum publik hanyalah sebagai upaya justifikasi dan penguatan “kesadaran palsu” yang selama ini berkembang masyarakat madani, khususnya masyarakat politik Parpol.

Kesimpulan lain adalah sistem multipartai yang secara teoritis dapat membuat pemerintahan menjadi demokratis, namun lebih menguntungkan elite politik dan sebaliknya rakyat tidak mendapatkan banyak keuntungan. Sistem multipartai dalam perjalanan politik kartel, ternyata tidak mampu memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Banyak Parpol memang mengesankan demokratis, namun keuntungan hanya dinikmati elite politik, termasuk pengusaha dari konco-konco orang Parpol. Rakyat tetap tidak mengalami perubahan lebih baik.

REGULASI BARU PARPOL

Permasalahan kepartaian ini perlu dipecahkan, terutama menyangkut sumber pendanaan Parpol. Membenai Parpol memecahkan masalah korupsi di Indonesia karena proses rekruitmen terhadap pejabat publik dimulai dari Parpol. Parpol harus bersih agar proses kaderisasi pejabat publik menjadi tidak korup. Salah satu sebab Parpol sebagai pusat korupsi berawal dari kegagalan Parpol dalam menggalang dana dari publik. Parpol tidak mampu memiliki sumber pendanaan secara mandiri.

Salah satu cara pemecahan yakni negara (eksekutif dan legislatif) melakukan regulasi baru atau menerbitkan Undang-undang Parpol baru yang mengharuskan rekonstruksi sumber pendanaan Parpol yang tidak menyebabkan anggota Parpol baik di parlemen maupun di eksekutif melakukan tindak pidana korupsi atau mengambil uang negara secara ilegal. Tanpa rekonstruksi sumber pendanaan, kiprah Parpol dalam realitas obyektif melakukan politik kartel anti demokrasi dan pro korupsi akan terus berlangsung dan pada gilirannya membawa dampak negatif terhadap upaya penciptaan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan/keterbelakangan rakyat.

Di samping masalah sumber pendanaan Parpol, satu masalah lain juga sangat penting dipecahkan adalah pelaksanaan secara konsisten dan konsekuensi fungsi Parpol untuk percepatan proses demokratisasi, bukan anti demokratisasi yang selama ini berlaku. Dalam era reformasi Parpol harus memperjuangkan demokratisasi, namun dalam kenyataan obyektif, Parpol tidak melakukan kegiatan-kegiatan di kehidupan sehari-hari. Hasil jajak Pendapat Litbank Kompas (26-27 Mei 2010) dengan 781 responden 17 tahun keatas di 57 kota Indonesia mempertegas realitas obyektif dimaksud, yakni 58,9 % responden tidak puas tentang Parpol memperjuangkan demokratisasi, hanya 35,1 % yang puas. Jajak Pendapat juga mengungkapkan, lebih ari separuh (54 %) responden mengemati bahwa selama ini tidak ada aktivitas organisasi yang berarti dari Parpol-parpol yang ada diwilayahnya. Sebagian besar responden tiak pernah mngetahui kegiatan maupun aktivitas Parpol seperti dalam hal perekruitan anggota, pendidikan politik, penggalaman dana, maupun dalam pendampingan-pendampingan saat situasi krisis berlangsung di wilayah mereka. Sebagian besar responden tidak merasakan kehadiran Parpol di kehidupan sehari-hari.

Untuk itu, perlu dipecahkan melalui regulasi yang mengharuskan Parpol menjalankan fungsi sebagaimana mestinya terutama bisa menciptakan sistem keanggotaan sistemik berdasarkan meritokrasi sebagai salah satu prinsip demokrasi. Regulasi dimaksud juga harus dapat memaksa Parpol untuk melaksanakan prinsip kedaulatan anggota/konstituen, bukan kedaulatan uang dan elite Parpol.

Minggu, 14 November 2010

Karakteristik Kartel Kepartaian: Menghilangkan Peran Ideologi hingga Menghindari Penyingkapan Korupsi

OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Jika kita bermaksud mengkaji fenomena kepartaian era reformasi sekarang ini, ada dua pertanyaan mendasar yang harus dapat kita jawab . Pertama, apa karakteristik politik kartel kepartaian? Kedua, mengapa kehidupan kepartaian mengarah pada politik kartel, bukan politik kerakyataan atau kepentingan konstituen? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan pertama mengenai karakteristik politik kartel kepartaian.

Para pengguna teori politik kartel telah menunjukkan setidaknya lima karakteristik politik kartel kepartaian, yakni a. menghilangkan peran ideologi, b.mengutamakan koalisi, bukan oposisi, c. janji-janji tidak direalisasikan, d.memperoleh dana ilegal, e. menghindari penyingkapan korupsi. Berikut ini akan diuraikan satu per satu karakteristik politik kartel dimaksud.

1.MENGHILANGKAN PERAN IDEOLOGI

Karakteristik pertama adalah menghilangkan peran cita-cita (ideologi) Parpol sebagai penentu perilaku politik Parpol dalam kehidupan sehari-hari baik dalam pemerintahan maupun masyarakat. Ideologi hanya digunakan untuk kampanye Pemilu, tetapi menjadi tidak relevan saat berperilaku pada pasca Pemilu di legislatif (parlemen) dan eksekutif (pusat dan daerah). Menghilangkan peran cita-cita (ideologi) Parpol sebagai salah satu karakteristik politik kartel kepartaian di Indonesia era reformasi dapat dilihat dari realitas obyektif koalisi Parpol di pemerintahan setelah Pemilu yang tidak didasari kesamaan ideologi, bahkan berbeda satu sama lain.

Pada level daerah (lokal), peristiwa Pilkada acapkali terdapat koalisi/gabungan Parpol pendukung pasangan Calon Gubernur/Bupati/Walikota yang ideologi mereka saling berbeda dan bahkan saling bertentangan satu sama lain. Kesamaan motip politik kekuasaan atau perolehan dana, bukan ideologis, mewarnai Parpol pendukung suatu pasangan calon tertentu dalam Pilkada.

Karakteristik menghilangkan peran ideologi dapat juga dibuktikan dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas (17-19 Maret 2010) tentang ideologi 9 (sembilan) Parpol di DPR (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PPP, PAN, PKB, Gerindra dan Hanura). Ada 1.097 responden dari 33 Ibukota provinsi se Indonesia menjadi sasaran jajak pendapat.

Di mata masyarakat Indonesia Parpol tertinggi konsisten mempertahankan ideologi adalah Demokrat, namun hanya sekitar 35 % responden, diikuti PDI-P (sekitar 25 %) dan PKS (sekitar 17 %), Golkar ( sekitar 12 %), Gerindra (sekitar 2 %), PAN (sekitar 1.5 %), PPP (sekitar 1 %), HANURA (0.6 %) dan PKB (sekitar 0.4 %). Tiga tertinggi tingkat konsistensi adalah Partai Demokrat, PDIP dan PKS. Secara umum di mata masyarakat, kiprah Parpol era reformasi ini adalah rendah tingkat konsistensi mempertahankan ideologi (cita-cita) mereka sendiri. Hasil jajak pendapat responden berdasarkan klasifikasi (1) pendidikan rendah menengah dan (2) pendidikan tinggi. Pada umumnya responden menilai Partai Demokrat adalah paling konsisten (tertinggi) mencapai 40.7 %-29.6%, diikuti PDIP 23.5 %-27.4%, dan PKS 13.2%-25.2%. PAN yang mengaku Parpol reformis ternyata di mata masyarakat memiliki tingkat konsistensi sangat rendah, yakni hanya 1.5%-0.9%, masih di bawah Parpol baru, Gerindra, yang mencapai 2.8%-3.5%.

Kiprah Parpol di era reformasi ini di mata masyarakat baik strata pendidikan rendah menengah maupun pendidikan tinggi lebih dominan menunjukkan, rendah tingkat konsistensi Parpol mempertahankan ideologi (cita-cita) mereka sendiri. Hal ini memperkuat penilaian sebagian besar pengamat bahwa perilaku Parpol cenderung berdasarkan pragmatisme, kalau tidak boleh disebut “ultra-oportunisme”.


2.MENGUTAMAKAN KOALISI, BUKAN OPOSISI

Karakteristik kedua yakni lebih mengutamakan politik “koalisi” dengan Parpol pemegang kekuasaan, kurang kompetitif dan tidak mengambil peran “oposisi” dalam hubungan dengan kekuasaan eksekutif. Parpol-parpol peserta Pemilu jika tidak berhasil memperoleh mayoritas anggota legislatif atau kekuasaan eksekutif, lebih mengutamakan koalisi, bukan oposisi. Prilaku oposisi menjadi tidak populer dan acapkali dianggap “merugikaan” karena tidak memperoleh kesempatan atau kekuasaan sebagai sumber dana bagi kepentingan Parpol.

Sebagai contoh, kepartaian pasca Pamilu 2009, sebagian besar dari sembilan Parpol yang mempunyai kursi di DPR, sekalipun berbeda ideologi dengan Partai Demokrat (Parpol SBY), berkoalisi dengan motip perolehan kekuasaan di Kabinet (jabatan Menteri). Mereka yang berkoalisi dengan SBY (Partai Demokrat) adalah Golkar, PPP, PAN, PKB, dan PKS. Padahal, ideologi PPP, PAN, PKB dan PKS (Islam) sesungguhnya berbeda dengan ideologi Partai Demokrat (sekuler).

Golkar semula tidak mendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009. Golkar mendukung Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, saat Jusuf Kala sebagai Ketua Umum Golkar. Namun, kekalahan Pasangan Jusuf Kalla-Wiiranto dalam Pilpres tidak menyebabkan Golkar juga kehilangan kekuasaan di eksekutif. Golkar berubah sikap menjadi mendukung kekuasaan SBY-Boediono sehingga mendaptkan beberapa jabatan Menteri dalam Kabinet hasil Pilpres 2009. Maksudnya, sekalipun mengalami kekalahan dan lawan politik meraih kemenangan, namun Golkar tetap saja berupaya memproleh kekuasaan melalui keanggotaan Koalisi pendukung SBY-Boediono. Posisi Golkar tidak menjadi kekuatan oposisional, melainkan kekuatan koalisi.

Karakteristik politik kartel di mana elite Parpol mengutamakan koalisi, bukan oposisi, sekalipun tergolong kalah dalam pertarungan perolehan suara dalam Pemilu legislatif, dapat dicontohkan pengalaman PAN saat penentuan dukungan terhadap calon Presiden RI dalam Pilpres 2009. Amien Rais adalah seorang aktor sangat menentukan keputusan DPP PAN terutama politik kekuasaan seperti penentuan rekruitmen politik anggota PAN di eksekutif dan juga legislatif. Jabatan formal Amin Rais di PAN saat itu adalah Ketua MPP (Majelis Penasehat Partai) DPP PAN, bukan sebagai Ketua Umum DPP PAN.

Menjelang Pemilu 2009, Amien Rais mengarang buku berjudul, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta, PPSK Press, 2008). Di dalam buku ini, Amien menilai:

a.Indonesia dewasa ini telah semakin dalam menjadi subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional, yang jelas-jelas menguras habis-habisan kekayaan Indonesia. Korporatokrasi adalah sebuah jaringan ekonomi, keuangan, politik, militer, intelektual dan media massa yang dibangun oleh kekuatan-kekuatan kapitalis dan demokrasi liberal Barat. Kedaulatan nasional kita justru tergadaikan ke berbagai korporasi asing.

b.Pemerintah Indonesia telah menjadi pelayan kepentingan asing, yang diberi payung hukum dengan perundang-undangan dan berbagai keputusan politik. State capture corruption (korupsi sandera negara), yang paling berbahaya semakin menjulang. Sejauh ini Pemerintah SBY tidak menunjukkan kemauan dan komitmen politik untuk memberantas korupsi sungguh-sungguh.

c.Pemerintah SBY pada dasarnya telah menjadi “broken gevernment’, pemerintahan yang kucar kacir, pecah koordinasi dan kepentingan rakyat banyak tidak dilayani, misalnya antrian minyak tanah, makan nasi aking dan raskin, listrik mati di Jawa dan luar Jawa, kenaikan harga BBM sampai lebih dari 100%, kondisi infrastruktur jalan parah penuh berlubang besar.

Berdasarkan beberapa penilaian di atas antara lain, Amien lalu mengajak pembaca untuk tidak lagi memberi kesempatan kepada SBY memimpin Indonesia. Dikatakannya, bila kepemimpinan SBY, atau model kepemimpinan SBY diberi kesempatan memimpin Indonesia 5 tahun lagi sesudah 2009, penjajahan ekonomi asing semakin luas dan mendalam sehingga negeri ini agaknya tidak punya harapan untuk bangkit kembali dan kondisi multi-dimensional semakin terpuruk. Jenis “korupsi sandera negara” menjadi semakin sistematik, melembaga, mengakar makin mendalam dan desktruktif.

Buku Amien Rais ini menjadi populer di kalangan kader PAN dan telah dibedah di bebebapa kota yang dihadiri dominan kader PAN. Karena itu, apa yang terkandung di dalam buku ini menjadi acuan bagi para politisi PAN untuk membangun opini positif terhadap PAN baik menjelang maupun saat kampanye Pemilu legislatif tahun 2009 berlangsung. Namun, kandungan buku ini tidak konsisten dipertahankan segera setelah Pemilu legislatif tahun 2009 usai.

Amien mendahului Keputusan DPP PAN dipimpin Ketua Umum Soetrisno Bachir, menyampaikan sepihak pernyataan mendukung SBY menjadi Calon Presiden. Dikesankan, pernyataan ini sebagai keputusan pertemuan silahturahim MPP DPP PAN di Rumahnya sendiri, Yogyakarta. Pernyataan dukungan tidak dihadiri oleh beberapa petinggi DPP PAN, termasuk Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Intinya, dukungan terhadap SBY bukanlah bermula dari prakarsa atau gagasan DPP PAN, melainkan Amien Rais peribadi dikesankan sebagai hasil keputusan MPP DPP PAN.

Setelah Ketua MPP DPP PAN menyatakan dukungan politik itu, terjadilah rekayasa politik internal untuk mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) sepihak di Yogyakarta untuk menjustifikasi/memperkuat pernyataan. Keputusan Rakernas tidak ditandatangani oleh Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Konflik antara kedua tokoh PAN ini (Amien dan Soetrisno) sempat mencuat. Bahkan Soetrisno sempat menyatakan hendak mundur. Proses pengambilan keputusan harus domain DPP PAN telah diambialih oleh Amien sang Ketua MPP DPP PAN.

Alasan yang disampaikan Amien kepada publik mendukung SBY yakni Partai Demokrat telah menjadi Parpol pemenang Pemilu dan SBY masih berpeluang besar untuk menang. Itu setidaknya menjamin pemerintahan ke depan akan lebih kuat dan stabil. “Berkoalisi dengan the losing side, bukan the winning side, itu sebuah kemubaziran,” kilah Amin. Padahal sebelumnya, Amien dikenal publik sebagai pengkritik tajam model kepemimpinan SBY yang pro korporasi asing.

Kritikan terhadap perilaku politik Amien mendukung SBY datang dari kalangan kader PAN maupun luar PAN. Pendukung Soetrisno menganggap Amien tidak melaksanakan kesepakatan dengan Ketua Umum Sutrisno Bachir. Sesuai dengan kesepakatan, nama tokoh dan arah koalisi belum ditetapkan dan akan dibahas kembali dalam rapat kerja nasional di Jakarta. Selanjutnya, kelompok mengatasnamakan Komunitas Muda Pencinta Buku Amien Rais (Kompibar) akhir April 2009 mendatangani Rumah PAN di Jl. Warung Buncit Jakarta. Mereka sangat kecewa, kesal dan marah atas tindakan Amien yang meminta kader PAN mendukung SBY. Menurut Kompibar, tindak tanduk Amien sangat bertentangan dengan prinsip anti neoliberalisme yang digembor-gemborkannya selama ini. Inilah salah satu sebab mungkin, mengapa masyarakat menilai, tingkat konsistensi PAN mempertahankan ideologi (cita-cita) sangat rendah.

Koalisi sejumlah Parpol mendukung SBY ini telah secara terang-terangan membentuk suatu wadah/institusi dengan nama Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Parpol pendukung Pemerintahan SBY. Wadah ini dibentuk di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Kamis malam, 6 Mei 2010, dipimpin langsung Presiden SBY (Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat), sementara Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian dan Syarif Hasan (elite Partai Demokrat dan Menteri Koperasi & UKM) sebagai Sekretaris. Kantor Setgab berlokasi di Jl. Diponegoro No. 42 Jakarta Pusat.

Pada rapat yang pertama kali dipimpin oleh Aburizal Bakrie akhir Mei 2010, terlihat hadir sejumlah Menteri, antara lain Menteri Agama Suryadarma Ali, Menteri PDT Helmy Faisal, Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan. Di samping itu, hadir juga Ketua Fraksi PKB di DPR, Marwan Djafar. Sesuai rapat, Ical memberikan keterangan kepada wartawan. Katanya, Setgab bukanlah sebuah upaya melakukan menghambat aspirasi masing-masing anggota Setgab. Hal yang paling penting dari rapat-rapat ini, terdapat kesepakatan bahwa Setgab akan menjadi garda terdepan dalam mengupayakan penyelesaian berbagai persoalan krusial. Contoh masalah yang bisa diselesaikan dalam rapat Setgab antara lain pemilihan Kapolri dan UU APBNP.

“Setgab ini akan lebih banyak turun dalam menyikapi masalah-masalah krusial yang berdampak secara nasional dalam pembangunan berbangsa dan bernegara. Berbagai masalah krusial yang terjadi dari waktu ke waktu, contohnya soal UU APBNP, penetapan Kapolri dan lain sebagainya,” ujar Ical. Sembari menambahkan, posisi Setgab saat ini solid.

Ical juga berkilah, Setgab bukanlah alat negara, sehingga salah alamat jika ada pernyataan yang menyampaikan bahwa Setgab akan mengeleminir fungsi-fungsi lembaga negara tertentu. “Ini bukan lembaga negara. Sejak awal Setgab ini adalah koalisi yang sudah lama terbentuk. Di dalam politik, power harus disatukan. Kalau kita sepakat menjadi majority, maka kekuatan majority harus terjaga dengan baik”, ungkapnya.

Sebelumnya, Ical mengakui, perubahan format koalisi ini dilatarbelakangi perbedaan sikap Parpol Koalisi dalam kasus Bank Century. Sikap Parpol Koalisi terbelah, antara anggota koalisi yang menilai pemberian dana talangan senilai Rp. 6,7 triliyun itu benar dan tidak melanggar hukum dengan anggota sebaliknya menilai kebijakan itu salah dan melanggar hukum. Perbedaan sikap itu tidak terjadi jika dalam format koalisi, Parpol-parpol koalisi diajak berbicara dalam setiap pengambilan kebijakan. “Tanpa langkah itu, anggota koalisi sulit untuk mengamankan kebijakan pemerintah”, kilah Aburizal (Seputar Indonesia, 10 Mei 2010).

Senada dengan Ical. Sekjen Golkar Idrus Marham menambahkan, format Setgab lebih fokus pada sebuah forum komunikasi yang membahas masalah-masalah krusial nasional dan mencarikan jalan keluar atas berbagai masalah krusial itu. “Ini adalah forum komunikasi ide, gagasan dari masing-masing anggota,”ujar Marham. Sebelumnya, Marham (Kompas, 12 Mei 2010) menguraikan Koalisi Parpol ini memiliki tiga jenis rapat:

Pertama, rapat tertinggi yang langsung dipimpin Presiden SBY sebagai Ketua Setgab. Rapat ini membicarakan berbagai gagasan strategis dan penting.

Kedua, rapat yang dipimpin Ketua Harian Setgab, Aburizal Bakrie. Rapat untuk membahas kebijakan ini dihadiri pimpinan Parpol, Ketua fraksi, dan atas izin Presiden, juga dapat dihadiri menteri.

Ketiga, rapat operasional yang dipimpin Sektretaris Setgab, Syarif Hasan.

Masih dari politisi Golkar, Agun Gunanjar Anggota Fraksi Golkar di DPR, memprediksi, Setgab tidak mungkin menjadi satu Parpol besar karena ideologi dan platformnya tidak sama. Selain itu, Gunanjar menilai, Setgab juga dibentuk bukan untuk menyeragamkan anggota koalisi. Hal ini juga ditegaskan Aburizal Bakrie, Setgab dibentuk bukan untuk menyeragamkan pemikiran atau sikap anggota. Enam Parpol anggota koalisi diperbolehkan memiliki sikap sendiri. Kebijakan yang diambil di tiap Parpol dipastikan akan tetap disesuaikan dengan kehendak anggota Parpol sebagai pemilik kedaulatan.

Lebih lanjut, Agun Gunandjar menilai, Setgab hanya bisa menjadi lembaga yang memosisikan diri dan mengambil alih fungsi Parpol pendukung pemerintah dalam sistem presidensial. “Dalam sistem presidensial itu hanya ada dua kekuatan, yakni kekuatan parpol pendukung pemerintah dan Parpol di luar pemerintah. Setgab memosisikan diri sebagai kekuatan pendukung pemerintah,”ujarnya. Sembari mengingatkan, Setgab tidak mencederai nilai-nilai demokrasi, terutama kesetaraan. Semua anggota Setgab harus bisa menghargai kedaulatan tiap-tiap Parpol.

Selanjutnya, Pengusung hak Angket Bank Century dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo, meminta untuk menghentikan salah tafsir atas Setgab, agar Polri, Kejaksanan Agung dan KPK lebih responsif dan konsisten memproses Bank Century. Kesungguhan itu menjadi bukti bahwa Setgab tidak berniat menutup-nutupi dugaan tindak pidana kasus Century.

Pembelaan pembentukan Setgab kebanyakan datang dari Parpol koalisi. Salah satunya, Marwan Djafar menegaskan (Harian Kompas, 26 Mei 2010), tuduhan berkembangnya oligarki politik dengan pembentukan Setgab merupakan tuduhan spekulatif dan terlalu berlebihan. “Itu justru memutarbalikkan persepsi publik”, katanya. Sembari berkilah, Setgab justru akan mendorong koalisi menjadi lebih solid dan bermartabat serta memperlancar komunikasi antar Parpol. Kelancaran komunikasi itu merupakan modal untuk melaksanakan pembangunan demi kepentingan rakyat.

Sebelumnya, melalui Harian Rakyat Merdeka (24 Mei 2010), Ketua DPP PKB ini, menolak pandangan Setgab sebagai monster politik yang menakutkan. Tetapi, harus dimaknai untuk menyamakan persepsi, visi dan misi untuk menciptakan pemerintahan yang solid dan tetap mempertahankan “check and balances”, terutama mengenai fungsi-fungsi parlemen. Tudingan bahwa Setgab untuk mempertahankan oligarki politik, menurut Marwan, adalah sangat spekulatif dan berlebihan, serta memutarbalikan persepsi publik. Justru dengan adanya Setgab, komunikasi politik antar Parpol koalisi menjadi lancar dan menghndari kesalahpahaman yang selama itu terjadi. “Setgab untuk mendorong koalisi lebih solid, bermartabat, dan untuk tujuan akselearsi pembangunan yang strategis demi cita-cita Indonesia yang mengedepankan kepentingan rakyat.”

Menurut Ketua Fraksi PKB di DPR ini, Setgab koalisi justru menjadi jembatan emas untuk memaksimalkan program-program pemerintah dengan dimusyawarahkan secara bersama-sama anggota parlemen. “Setgab adalah katalisator kepentingan rakyat yang dilembagakan dalam bentuk perumusan hal-hal yang fundamental dan strategis, demi perbaikan dan kebaikan bangsa dan negara”, kilahnya.

Pembelaan lebih kuat datang dari Partai Demokrat, partainya SBY. Salah satunya, Syarief Hasan yang juga Sekretaris Setgab, menekankan bahwa dalam aplikasinya Setgab tidak mereduksi peran individual para anggota DPR. Setgab justru memberikan ruang untuk memaknai “chekcs and balances”. Karena setiap anggota DPR pasti mempunyai pandangan berbeda. Jika ada perbedaan pandangan antara Parpol koalisi soal program atau kebijakan Pemerintah, maka didiskusikan di Setgab. Perbedaan itu didiskusikan untuk mencari jalan keluarnya sehingga ada kesamaan atau titik tentu antar Parpol koalisi.

Lebih jauh, Kader senior Partai Demokrat ini menegaskan, Setgab bertujuan untuk mengkomunikasikan dan mendukung program pemerintah. Setgab bukan pengambilan keputusan, melainkan forum diskusi dan komuniikasi antar Parpol koalisi untuk menyampaikan persepsi politik. Forum untuk memfasilitasi agar terbangun dukungan bagi program pemerintah dengan tetap menggunakan asas bersamaan dan “checks and balances”. Bukan forum pengambil keputusan! Penambilan keputusan adalah lembaga eksekutif. Dengan adanya Setgab, maka gejolak politik antar Parpol di DPR dalam menyikapi program dan pemerintah bisa ditekankan seminimal mungkin. Jadi supaya tidak ada gejolak di DPR, semua dikomunikasikan dulu di Setgab. “Tapi kalau disepakati di Setgab di DPR harus kompak”, tandas Menteri Koperasi dan UKM ini.
Politisi Partai Demokrat lain, Marzuki Alie menilai pembentukan Sekretaris Gabungan Partai Politik Koalisi bukan bertujuan untuk menggantikan peran pemerintah. Mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat ini pun membantah pembentukan Setgab sebagai taktik Partai Golkar. "Jadi, Setgab Parpol Koalisi ini bukan menggantikan pemerintahan. Ada pengamat yang mengatakan kalau hal ini melanggar konstitusi. Kalau berbicara tentang koalisi, itu pun tidak ada di dalam konstitusi. Jadi, mengapa dikait-kaitkan. Setgab ini di luar pemerintahan," kilah Ketua DPR RI ini kepada wartawan di Jakarta (Detik News, Jumat 15 Mei 2010). Marzuki juga membantah, bila pembentukan Setgab itu sebagai taktik dari Partai Golkar. Semua parpol anggota koalisi ikut ambil bagian dan duduk bersama di dalam Setgab untuk membuat kesepakatan terhadap kebijakan atau isue-isue yang disikapi pemerintah dan parlemen.

Menurut Marzuki, Setgab Parpol Koalisi bukanlah hal baru, tapi sudah diwacanakan sejak Pemilu 2009 lalu. Setgab Parpol Koalisi ini sebagai wadah komunikasi komunikasi di antara Parpol koalisi menjadi lancar. "Tujuan Setgab itu supaya komunikasi di antar Parpol koalisi tidak missed. Kebijakaan-kebijakan yang krusial bisa dibicarakan di forum ini, seperti masalah kenaikan BBM. Tetapi, kalau bukan kebijakan krusial, tidak perlu dibicarakan," jelasnya Sembari menekankan, dalam kontrak politik Parpol koalisi pendukung SBY memang telah disepakati semacam lembaga Sekretariat Gabungan. Sayangnya, koalisi parpol yang terbentuk selama ini kurang mendapat peran sebagai forum komunikasi. Baru ketika muncul kasus Bank Century, Presiden SBY kembali diingatkan agar segera mewujudkan Setgab tersebut sesuai dengan kontrak politik koalisi Parpol itu. "Jadi, kalau ada perbedaan pandangan dibahas di Setgab. Dengan demikian, kebijakan atau isu itu tidak menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan kalau langsung dibawa ke parlemen," kilah salah seorang Calon Ketua Umum pada Kongres II Partai Demokrat.
Sementara itu, sekalipun PKS tergabung di dalam Setgab, politikus PKS Mahfudz Siddik memberi penilaian kritis. Baginya, pembentukan Setgab masuk di piagam koalisi yang didukung oleh seluruh Parpol yang mendukung pasangan SBY-Boediono. Namun, langkah mendirikan wadah itu sudah terlambat (Republika, 10 Mei 2010). Bahkan Ketua Mahfud Siddiq melihat Setgab sebagai bayi yang dilahirkan dengan efek kontaminasi. "Ibarat bayi, Setgab dilahirkan mestinya setelah pemerintah SBY-Boediono terbentuk, tapi kalau dilahirkan hampir setahun kemudian, bayi ini ya sudah biru-biru karena sudah terkontaminasi racun," ungkap Mahfud dalam sebuah diskusi mingguan sekitar Mei 2010. Menurutnya, kontaminasi pertama adalah kasus Bank Century, kontaminasi kedua adalah ketika SBY menghendaki ketua harian Setgab adalah Aburizal Bakrie, dan kontaminasi ketiga adalah ketika Setgab dibentuk sesaat setelah Sri Mulyani mundur.
PAN adalah Parpol anggota koalisi pendukung SBY. Namun, penilaian anggota Fraksi PAN di DPR tidak harus mendukung begitu saja pembentukan Setgab sebagai misal Wakil Ketua Komisi II DPR dari fraksi PAN Teguh Juwarno. Satu media intenet membeberkan bahwa Teguh Juwarno menyesalkan pembentukan Setgab usai kasus Century dan kemunduran Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia pun menegaskan pembentukan Setgab ini merupakan bukti telah terjadinya politik transaksional dalam pemerintahan SBY. "Sangat kita sesalkan. Ini adalah pembelajaran politik yang buruk bagi masyarakat. Kita lihat bagaimana dijalankan politik transaksional, bagaimana Golkar yang awalnya sangat kencang mengkritisi SBY terkait Century, targetnya hanya Sri Mulyani yang head to head dengan Ical (Aburizal Bakrie, Ketua Harian Setgab)," paparnya.
Ia pun melihat pembentukan Setgab ini sangat tiba-tiba dan sudah melukai masyarakat. "Setelah Sri Mulyani dan kasus Century, sekonyong-konyong dan tiba-tiba, dibentuk Setgab. Setgab benar-benar melukai publik." Lebih jauh lagi, Teguh mengatakan seharusnya pemerintah tidak perlu menggembar-gemborkan pembentukan Setgab ini. Pasalnya, koalisi dinilainya cukup untuk fungsi koordinatif saja dan cukup di dalam saja peranannya.
Teguh Juwarno sesungguhnya meragukan masa depan Setgab ini. Setgab ini hanya untuk kepentingan kedua partai saja, bukan untuk kepentingan rakyat seperti yang digembar-gemborkan selama ini. "Saya meragukan ke depannya. Dari awal kebenaran sudah menjadi transaksional. Ini terlihat dari Golkar yang menyatakan kasus Century sudah selesai. Ini sudah tidak sejalan dengan kepentingan rakyat," pungkasnya.
Berbagai penilaian kritis atas Setgab bermunculan bukan saja dari kalangan politisi Parpol non Setgab, pengamat politik, tetapi juga media massa. Mereka pada umumnya menilai Setgab sebagai praktik politik transaksional elite dan kartelisasi yang tidak mempresentasikan kepentingan rakyat. Salah seorang di antaranya, yakni politisi PDIP Ganjar Pranowo. Ia menggunakan pendekatan politik kartel tatkala menilai keberadaan Setgab. Baginya, pendirian Setgab ini akan menimbulkan kartelisasi politik nasional. Lewat kartelisasi ini, Pemerintah diduga akan mengamankan kebijakan-kebijakannya. Apalagi, ujar Ganjar, yang terpilih menjadi Ketua Harian adalah Aburizal Bakrie, Ketua Umum DPP Partai Golkar. Aroma kartelisasi ini, lanjut Ganjar, sudah tercium lama. Pertama kali terendus ketika skandal Bank Century masuk gedung DPR, hampir semua politikus berbicara keras, termasuk anggota koalisi Pemerintah. Belakangan, ketika Menteri Sri Mulyani dan Wakil Presiden Boediono diimbau mundur, tidak ada satupun mundur. Ini berlanjut ketika skandal Bank Century ditangani KPK. “Pada intinya, proses kartelisasi ini bertujuan untuk mengamankan banyak hal”, lanjut Ganjar.

Penilaian kritis Ganjar Pranowo juga telah dibeberkan di Harian Rakyat Merdeka (24 Mei 2010), menilai pembentukan Setgab sebagai bagian proses kartelisasi antara mereka yang melakukan negoisasi politik. Konteksnya sebenarnya hanya pragmatisme. “Jika memang alasan dibentuknya Setgab untuk membangun komunikasi, “bukankah sejak awal koalisi bisa melakukan komunikasi? “, tanya Ganjar. Kalau alasan dasar Setgab sebagai alat kontrol Parpol koalisi, “bukankah sudah asa semacam kontrak politik untuk mengontrol?” kilahnya. Sembari menekankan, jika ikuti ritme tertentuknya Setgab akan ada titik yang menunjukkan Setgab sebagai kartelisasi.

Beberapa indikator diajukan Ganjar untuk menjustifikasi penilaian Setgab sebagai kartelisasi. Pertama, ketika kasus Bank Century bergulir. Kalau pencopotan itu dilakukan ketika DPR menghimbau kepada Sri Mulyani (Menkeu) mundur maka kesan yang muncul tentu baik karena Presiden mendengarkan keinginan DPR. Kalau Sri Mulyani dianggap Menteri baik, semestinya Presiden meminta agar Sri tidak mengundurkan diri. Karena dia dibutuhkan bangsa ini. Logika Ganjar, Anggito saja (bukan Menteri) ketika ingin mengundurkan diri, Menko Ekuin Hatta Rajasa langsung merespon, ingin Anggito tidak mundur karena dianggap masih dibutuhkan. “Kenapa tidak dilakukan terhadap Sri Mulyani? “, tanya Ganjar Sembari menjawab pertanyaan, Parpol mana yang terlibat dalam kartelisasi politik, yakni semua Parpol koalisi.

Kartel itu, lanjut Ganjar, kekuasaan yang berkumpul menjadi satu untuk menentukan arah secara bersama sama. Ketika Sri Mulyani mundur, Setgab terbentuk. Dari teori politik cukup mudah dianalisis, kalau dahulu koalisi dikordinir Hatta Rajasa lalu kini di Setgab dikordinir Golkar. Rumusannya mudah, yakni yang kuat harus diajak bergabung. Selama ini Golkar merupakan Parpol yang paling keras, mengkritik kasus Century, bahkan sebelum Setgab terbentuk, politik Golkar ikut menandatangani penggunaan Hak Menyatakan Pendapat di DPR, meskipun belum semua orang Golkar tandatangan. Tetapi, lanjut Ganjar, ketika Sri Mulyani mundur, rencana penggunaan Hak Menyatakan Pendapat dianggap belum penting oleh politisi Golkar. Bahkan, ada yang menyatakan, sebaiknya kasus Century dipetieskan. “Semua fakta itu tentu mengusik akal sehat kita semua. Fakta-fakta itu telah mendistorsi demokrasi kita,” tandas anggota DPR ini.

Penilaian Setgab sebagai kartelisasi juga datang dari Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani (Harian Seputar Indonesia, Akhir Mei 2010) mengungkapkan, kesan forum baru itu menjadi saluran kepentingan jangka pendek cukup kuat. Muzani memprediksi keberlangsungan Setgab tidak akan lama. Wadah itu hanya akan efektif sebatas kepentingan masing-masing parpol di dalamnya terpenuhi. “Jika tidak, saya yakin ini akan rontok karena memang bangunan dasarnya kepentingan jangka pendek” ungkapnya. Bahkan, lanjut Muzani, Setgab nantinya akan berantakan jika masing-masing Parpol sudang mengusung tema yang dianggap populis untuk kepentingan penambahan suara pada Pemilu 2014. “Karena, Parpol pasti tidak akan mempertaruhkan masa depannya hanya untuk kepentingan koalisi”, tandasnya.

Di media cetak yang sama, Ketua DPP Hanura Yuddy Chrisnandi juga senada dengan penilai kritis sebelumnya. Menurutnya, masyarakat tidak membutuhkan Setgab karena forum yang mewadahi Parpol koalisi pendukung pemerintah itu tidak membangun demokrasi di Indonesia. Dalam perspektif ini, lanjut Chrisnandi, keberadaan Setgab tidak akan membantu masyarakat. Bahkan, Setgab juga dapat mengancam otoritas Parpol untuk bersikap secara obyektif ketika menghadapi suatu persoalan, dan hanya menjadi tempat bagi kalangan elite politik untuk melakukan tawar-menawar kepentingan. Mantan kader Golkar ini juga tidak sepakat apabila ada pendapatan yang menyatakan Setgab akan mengurangi otoritas SBY selaku Presiden.
Masih PDIP, politikus Arief Budimanta (Harian Kompas, 15 Mei 2010) menilai, Setgab itu merupakan model baru kroni kapitalisme pada era reformasi. “Ini adalah new model crony capitalism yang sebenarnya pernah terjadi pada era pemerintahan Soeharto. Saat itu Golkar punya peranan besar”, kata Ketua DPP PDIP ini. Sembari menekankan, pengukuhan koalisi Parpol pendukung pemerintahan itu akan mempertajam dikotomi oposisi dan koalisi pemerintah di parlemen, sebagai kutub pro rakyat dan kutub pro kekuasaan. Dilanjutkannya, keberadaan Setgab ini justru sebagai ancaman demokrasi dan demokratisasi. “Proses demokrasi yang kaitannya dengan kesetaraan dan keterbukaan tidak akan terwujud. Karena akan ada satu kelompok yang mengetahui informasi (kebijakan pemerintah) lebih dahulu, lebih banyak dan lebih dalam dibadingkan kelompok lain”, kilahnya.

Berikutnya, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Desmond Junaidi, mengingatkan pembentukan Setgab jelas mengindikasikan kekuasaan Presiden SBY mulai rapuh. Penyelidikan skandal bailout Rp. 6,7 triliun kepada Bank Century dianggap sebagai awal kegagalan koalisi. Buktinya, Parpol koalisi tidak satu suara dalam memndang kasus ini. Desmon juga memperkirakan, pembentukan Setgab hanya bersifat sementara. “Ini perkawinan sementara saja. Pasti ada perbedaan pandangan. Jika tidak cocok, pasti cerai. Mendekati tahun 2014 pasti akan ribut-ribut lagi,” katanya (Harian Kompas, 12 Mei 2010)

Sementara itu, Pakar politik LIPI Ikrar Nusabhakti menilai adanya Sekretariat tersebut menunjukkan paling tidak dua hal (Harian Seputar Indonesia, 11 Mei 2010):n Pertama, Sekretariat ini merupakan kamar kedua dari Kabinet karena setiap kebijakan pemerintah amat krusial harus disetujui dan direkomendasikan oleh parpol-parpol koalisi. Kedua, sebagai Presiden dipilih langsung oleh rakyat, SBY akan tidak lagi memiliki otoritas penuh dalam mengendalikan pemerintahan. Mengacu penilaian Ikrar ini, Pemerintah SBY tidak lagi memiliki otoritas penuh, dan bergantung pada kompromi politik yang dihasilkan di dalam forum Sekretariat tersebut. Akibatnya, berbagai upaya penegakan hukum terhadap pelaku ilegal anggota Parpol koalisi dalam memperoleh uang negara atau tindak pidana korupsi akan selalu mendapatkan tantangan dari koalisi karena hal itu akan merugikan Parpol koalisi. Melalui Sekretariat ini akan lebih mudah untuk menghindari penyingkapan korupsi para anggota Parpol koalisi.

Pakar politik LIPI lain, Syamsudin Haris menilai, pembentukan Setgab dengan Aburizal sebagai pelaksana hariannya merupakan kemenangan besar Golkar karena memang itu yang diinginkan Golkar. Apa yang dilakukan Golkar ketika Hak Angket Bank Century, memang bertujuan untuk mendapatkan posisi seperti ini. “Ini menunjukkan watak asli Golkar. Jangan salah. Golkar kemarin kencang pada waktu hak angket memang untuk mendapatkan posisi seperti sekarang ini,” ujar Syamsudin (Harian Sinar Harapan, 12 Mei).

Melalui Harian Seputar Indonesia (24 Mei 2010), Syamsudin Haris juga mempertegas penilaiannya, antara lain: Setgab ini berpotensi melahirkan kolusi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan strategis. Karena itu, ia mengajak semua kalangan harus pro aktif mengawasi kebijakan pemerintah jika nantinya DPR hanya menjadi tukang setempel kebijakan. Sebab mengharapkan kekuatan oposisi sangat tidak efektif karena hanya PDIP yang memiliki kekuatan signifikan. “Harapannya ya publiklah yang menjadi oposisi agar pemerintahan ini tetap berjalan sesuai harapan. Masyarakat sipil dan media sangat berperan dalam menjaga arah demokrasi ke depan agar sesuai harapan”, ujar ilmuwan pro reformasi dan demokrasi ini.

Senada dengan Harris, Lili Romli juga pakar politik LIPI mempertanyakan hubungan Setgab dengan Pemerintah sembari mengingatkan cikal bakal Setgab itu Parpol sehingga tidak memiliki garis komando dengan pemerintah yang berkuasa. “Prinsipnya, Setgab itu bukan negara, jadi harus menjaga jarak dengan pemerintah,” ujar Lili. Dia mengingatkan, Setgab ini bukanlah hasil pemilu, sehingga tidak memiliki kewenangan terlalu jauh, apalagi memanggil menteri. Sedangkan, pemerintah memiliki legitimasi karena merupakan hasil pemilu. Untuk membuat garis pemisah yang tegas antara pemerintah dengan Setgab, maka SBY harus meninggalkan Setgab. Hal itu diperlukan agar ada garis yang jelas agar Setgab dan pemerintah. “SBY harus tetap fokus pada tugasnya sebagai Presiden”, tandas Lili.
Menurut Lili, ada empat hal yang harus dilakukan Satgas agar keberadaanya lebih jela: pertama, SBY harus keluar dari struktur Setgab; kedua, tidak boleh ada kewenangan memanggil menteri; ketiga, posisi ketua harian harus digilir; keempat, terakhir, Setgab tidak boleh mengeluarkan keputusan yang sifatnya kebijakan publik. Dari sudut pandang akademis, keberadaan Setgab atau gabungan partai koalisi di sebuah negara ini memang bisa dimengerti. Apalagi di negara yang menganut sistem multipartai seperti Indonesia. “Namun, seharusnya tidak ada posisi untuk Presiden atau Perdana Menteri di dalamnya,” ujar Lili.
Jika Setgab memiliki kewenangan lebih, seperti mengeluarkan kebijakan atau memanggil Menteri, maka hal itu akan membuat pemilu menjadi tidak berarti lagi. Menurut Lili, Setgab ini sebenarnya tidak perlu dibentuk jika Parpol memiliki fatsun politik yang jelas dalam berkoalisi. Setgab idealnya hanya untuk menjalin komunikasi saja.
Pakar Politik lain, khususnya dari Perguruan Tinggi, dapat diambil penilaian Maswadi Rauf (Dosen Fisip UI). Ia berpendapat, keberadaan Setgab bisa membatasi kekuasaan Presiden SBY karena keputusan harus disepakati lebih dulu anggotanya. "Kalau koalisi mau efektif, harus ada forum komunikasi apa pun namanya, seperti Sekber atau Setgab, itu harus ada. Sekretariat Gabungan inilah yang membicarakan pada tahap awal kebijakan-kebijakan yang akan dibuat oleh Presiden," ujarnya saat menjadi pembicara dalam satu diskusi di Gedung DPD Jakarta pada 15 Mei 2010. Kebijakan Presiden itu, menurut Rauf, harus dibicarakan dengan anggota fraksi sehingga dicapai sebuah kebijakan yang disetujui oleh semua anggota fraksi.
Rauf juga mengakui, keberadaan Setgab itu memang akan membatasi kekuasaan Presiden karena dia tidak bisa lagi membuat keputusan menurut dirinya sendiri, karena harus mendengarkan pula pandangan fraksi setiap Parpol yang menjadi anggota koalisi.
I Wayan Sudhirta adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), bukan anggota DPR dan kader Parpol. Ia menilai senada dengan kader Parpol non koalisi seperti PDIP, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Bagi Sudhirta, pembentukan Setgab parpol Koalisi SBY akan menyuburkan kolusi politik dan terjadinya politik transaksional yang merugikan rakyat dan antidemokrasi. Oleh karena itu, jika praktik politik yang demikian itu berlanjut, rakyat makin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan DPR sehingga akan memunculkan gerakan politik jalanan. “Saya lihat Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie lebih kuat ketimbang Presiden Yudhoyono dalam mengendalikan Setgab. Sebagai contoh benar tidaknya lihatlah kasus Century. Apakah hak menyatakan pendapat dan kasus pajak akan terus berlanjut di DPR? Skandal Century saja sudah akan dipetieskan. Jadi, Setgab lebih banyak negatifnya dan membingungkan rakyat. Kalau DPR mati suri, rakyat pasti akan bergerak,” kata Anggota DPD dari daerah pemilihan Bali ini.
Beberapa Pakar Hukum Tata Negara yang menilai kkritis mkeberadaan Setgab yakni Refly Harun dan Irmanputra Sidin. Melalui Harian Suputar Indonesia (24 Mei 2010), Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menilai Setgab merupakan manuver politik yang bertujuan untuk bagi-bagi kekuasaan. Bahkan, Setgab akan memperarah kerusakan sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia. “Sejak awal sistem presidensial telah rusak, Setgab ini kemudian merusak sistem presidensial lebih parah. Harun mengkhawatirkan, pembentukan Setgab nantinya akan menjadi pintu masuk intervensi kekuasaan dalam pemilihan komisioner beberapa Komisi negara seperti KPK, KPU dan Komisi lainnya. Jika itu terjadi, lanjut Harun, independensi Komisi dan beberapa lembaga akan terancam. “Kita menyesalkan jika untuk jangka pendek, untuk ranah jabatan publik, seperti Ketua KPK, KPU, Bawaslu dan lain-lain”, tandasnya.

Di lain pihak, Irmanputra Sidin menilai pembentukan Setgab merupakan langkah politik sembrono dan meniadakan konstitusi. Konstitusi telah mengatur jelas bahwa tiap lembaga memiliki tugas sendiri-sendiri. Karena itu, lanjut Irmanputra, Setgab bisa mengaburkan lembaga kepresidenan dan DPR. Dengan adanya Setgab, lembaga kepresidenan dan DPR bisa jadi kabur karena Presiden dan Ketua Parpol, Menteri, maupun anggota Parpol masuk Setgab itu. Setgab secara tidak langsung akan meniadakan fungsi eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan dan fungsi legislaif sebagai pengawasan (Harian Media Indonesia, 12 Mei 2010)

Editorial Harian Media Indonesia (24 Mei 2010) tergolong media massa cetak yang sangat kritis terhadap eksistensi Setgab ini. Menurut Editorial, negara ini segera memasuki era pelumpuhan fungsi lembaga-lembaga negara. Sebab berbagai kewenangan institusi negara akan diambil alih Setgab (Sekber) Parpol Koalisi. Setgab ini menjadi instrumen yang sangat perkasa dan berkuasa; bisa memanggil Menteri, memetieskan kasus seperti kasus Bank Century; menentukan siapa yang menjadi pimpinan lembaga tertentu. Editorial mengutip pengakuan Sekjen PKB (anggota Setgab) Edy Lukman tentang adanya agenda untuk mengisi posisi di lembaga-lembaga negara. Setgab membidik siapa pejabat yang harus memegang kendali di KPK, KY (Komisi Yudisial), MA (Mahkamah Agung) dan Gubernur Bank Indonesia. Semua lembaga ini kini sedang menjaring pemimpin. Karena Sekber menguasai 75 % suara di DPR, Editorial percaya, segenap kemauan pemerintah akan mudah dikabulkan di parlemen. Enam Parpol koalisi bergabung dalam Setgab akan menjadi “abdi dalam” yang setia dan penopang paling masif bagi kebijakan pemerintah. Sebaliknya, hanya dengan 25 % suara, serangan kubu oposisi tidak bisa membuat pemerintah harus mendengarkannya, apalagi kelimpungan karenanya. “Terjadilah tirani mayoritas yang disetir satu markas komando...” tandas Editorial.

Dengan kekuasaan yang mutlak, ujar Editorial ini, Setkab menempatkan diri sebagai lembaga “superpower”. Adapun lembaga-lembaga negara yang sah, yang eksistensinya termaktub dalam konstitusi, justru ditempatkan di bawah ketiak Setgab. Kekuasaan terpusat di tangan Setgab, jelas menjungkirbalikkan semua nilai yang ditegakkan “founding fathers”. Kekuasaan yang sentralistis di Setgab itu sekaligus merupakan penghinaan terhadap konstitusi dan lembaga-lembaga negara. Sebab, kilah Editorial, institusi-institusi negara menjadi “aksesori” atau sekedar pelaksana keputusan-keputusan Setgab.

Lebih jauh, Editorial memprediksi, kekuasaan Setgab yang mutlak ini akan menahan laju pemberantasan korupsi. Tebang pilih penanganan kasus korupsi akan mudah dijumpai. Sahabat, meskipun salah dan korup, akan dibela. Sebaliknya, yang benar dan jujur, tetapi karena lawan dan musuh, bisa-bisa harus dibui. “Kita perihatin karena demokrasi akan dipukul mundur rezim ... sang superpower...”, tutup Editorial ini.

Di fihak lain, fenomena mengutamakan koalisi meminimalkan atau mengabaikan oposisi. Fenomena mengutamakan koalisi dan mengabaikan oposisi sesungguhnya dapat menjadi satu masalah utama bagi proses percepatan demokratisasi di Indonesia. Oposisi, beroposisi, oponen, oposisional merupakan konsep bentukan dari kata kerja “oppose”, bermakna menolak, melawan dan menentang. Secara umum oposisi dapat dipahami sebagai kelompok kekuatan yang menolak, melawan dan menentang serta berperan sebagai pengontrol dan penyeimbang pelaksanaan pemerintahan sehingga tidak terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu komponen negara demokrasi yang membedakan dengan negara bukan demokrasi adalah keberadaan kekuatan oposisi. Oposisi adalah salah satu elemen penting untuk membangun negara demokrasi yang kuat. Peran oposisi tetap harus hadir agar demokrasi tetap dalam lajur benar, yakni demokrasi mengabdi kepada kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara. Fungsi oposisi tetap harus dihadirkan bukan saja peran oposisi terhadap pemerintah tapi juga terhadap entitas politik di legislaif. Tanpa adanya oposisi, pemerintah menjadi tidak terkontrol dan dapat melakukan apapun dikehendaki tanpa hambatan berarti. Dalam konteks ini mempertahankan oposisi sejatinya sama dengan mempertahankan demokrasi.

Kekuasaan mempunyai kecenderungan bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat tetapi juga memusatkan dirinya. Karena itu, pemikiran demokratis tentang kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan keseimbangan kekuasaan. Oposisi dibutuhkan pertama-tama sebagai kritik kepada kekuasaan dan pengawasan terhadap Pemerintah agar tidak semena-mena. Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap kemungkingan salah kebijakan atau salah tindakan tetapi juga menunjukkan apa harus dilakukan dan apa tidak harus dilakukan. Adalah kewajiban oposisi untuk melakukan kualifikasi apakah sesuai harus atau tidak harus dilakukan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik terbuka dan publik. Adalah naif, masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasehat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan.

Oposisi berkewajiban mengemukan titik-titik lemah dari suatu kebijakan Pemerintah sehingga apabila kebijakan itu diterapkan, segala sesuatu yang dapat meruakan efek samping merugikan sudah lebih dahulu ditekan/dikelola seminal mungkin. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasar, apa pula tujuan dan urgensi dan dengan cara bagaimana kebijakan itu akan diterapkan.

Sesunggunya perilaku oposisi dalam era reformasi ini dijamin di dalam UUD 45 Perubahan (Amandemen), khususnya Pasal 20A yang mengatur fungsi dan tugas-tugas`DPR, antara lain memiliki ”hak interpelasi”, ”hak angket” dan ”hak menyatakan pendapat”. Bahkan setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Selain itu, pentingnya kehadiran oposisi di DPR juga untuk mengamankan dan mewujudkan hak-hak rakyat sesuai dengan Pasal 23, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34.

Dalam kenyataannya, kebanyakan Parpol yang berhasil menempatkan anggota di DPR cenderung menghindari perilaku oposisional terhadap Pemerintah atau kekuasaan eksekutif. Hampir seluruh kekuatan politik di DPR diserap oleh Pemerintah. Semua Parpol besar dan menengah menempatkan wakil di jajaran Kabinet. Parpol terjebak pragmatisme, tidak memerlukan pemikiran matang dan ideologi kokoh. Pragmatisme hanya memperhitungkan keuntungan praktis. Uang dan kursi kekuasaan sering kali menjadi tawaran menarik bagi kaum pragmatis. Hal ini diperkuat lagi proses rekruitmen/penempatan anggota Parpol belum memadai, di samping kualitas pengetahuan sumber daya manusia (SDM) masih rendah dalam politik atau ”miskin” pengalaman politik, dan juga keterbatasan memahami fungsi dan tugas-tugas DPR. Di samping itu, tingkat loyalitas anggota DPR lebih tinggi terhadap kepentingan Parpol ketimbang kepada konstituen/rakyat. Parpol masih memegang kendali kuat atas anggota-anggota Parpol tersebut di DPR.

Ketidakhadiran oposisi politik di DPR akan membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi, yakni watak rezim kekuasaan eksekutif mengarah otoriterianisme. Segala kebijakan Pemerintah akan mudah diterima sekalipun kebijakan berpotensi merugikan kepentingan rakyat. Mengacu pada sebagian pengamat politik di Indonesia, ketidakhadiran oposisi yang terlembaga bermakna rezim kekuasaan tidak demokratis, bahkan tergolong negara diktatorial. Karena itu, Parpol tidak dapat ikutserta melakukan upaya percepatan proses demokratisasi.

Sesungguhnya pengalaman Indonesia telah menunjukkan kehadiran oposisi sebagai kekuatan penggerak perubahan sejarah. Sejak awal, Indonesia mengenal oposisi, baik di lingkungan politik, birokrasi dan masyarakat. Pada dasawarsa 50-an tatkala Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer, posisi kelompok oposisi atau penyeimbang dinilai sangatlah penting. Sebagai contoh, Masyumi, PNI, NU maupun PKI pernah mengalami dua fungsi yang berbeda. Tatakala satu Parpol diberi mandat membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol tersebut berfungsi sebagai kekuatan yang memerintah. Sebaliknya, tatakala Parpol tertentu tidak dilibatkan dalam membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol dimaksud menjadi kekuatan oposisi atau penyeimbang, melakukan fungsi ”checks and balances”. Bahkan, peristiwa G30S/PKI dapat digolongkan sebagai gerakan oposisi.

Kehadiran Parpol oposisional ini menjadi sirna dalam kancah perpolitikan Indonesia sejak tampilnya kekuasaan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Selalu hanya Golkar yang menjadi kekuatan yang memerintah dan dua kekuatan politik lain seperti PPP dan PDI tidak diberi kesempatan untuk ikut memerintah. Namun, dua parpol ini juga tidak pernah berperan sebagai kekuatan oposisi atau penyeimbang. Pada masa Orde Baru ini, Pemerintah dan legislatif merupakan kekuatan politik konspiratif yang saling mendukung. Konpirasi itu ternyata belum menghilang di era reformasi ini. Pemerintah dan legislatif saling mendukung tanpa adanya kekritisan (penolakan, perlawanan atau penentangan) dalam konteks fungsi pengawasan.

Untuk menjustifikasi realitas obyektif ini, para petinggi Orde Baru dan juga sebagian petinggi era reformasi menegaskan bahwa budaya politik Indonesia tidak mengenal oposisi, yang bermakna tidak mengenal Parpol oposisional. Mereka juga menyimpulkan, sistem presidensial Indonesia tidak mengenal pelembagaan oposisi. Kalangan intelektual tahun 70-80an mengimplementasikan ajaran masyarakat integralistik di dalam ruang perpolitikan Indonesia. Persatuan dan kesatuan bangsa dan simbol negara kesatuan merupakan tiga kualitas dasar berharga mati ajaran itu. Yang menimbang dan menafsirkan ketiga kualitas dasar itu adalah pemangku kekuasaan negara. Setiap perbedaan dengan timbangan dan tafsiran itu dianggap musuh persatuan dan kesatuan bangsa dan musuh negara kesatuan. Penolakan, perlawanan dan penentangan terhadap kekuasaan identik dengan penghinaan jabatan anugerah Tuhan. Karena itu, perilaku oposisi bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Di era reformasi ini, kita juga masih dapat menemukan kalangan intelekjtual dan politisi m memberikan ajaran-ajaran anti oposisi

3.JANJI-JANJI TIDAK DIREALISASIKAN

Karakteristik ketiga politik kartel yang melanda kepartaian era reformasi adalah janji-janji kampanye Parpol tidak direalisasikan secara konsisten dan konsekuen di legislatif atau eksekutif. Acapkali terjadi “pengkhianatan” Parpol terhadap konstituen. Kepentingan konstituen dan elite Parpol terputus. Elite Parpol cenderung melayani diri sendiri.

Setiap Parpol didirikan pasti memiliki cita-cita dan tujuan pendirian, dan berupaya menjamin terlaksananya cita-cita dan tujuan pendirian tersebut. Namun, tatkala cita-cita dan tunjuan pendirian sudah dicapai sebagaimana diakui sudah menjadi Parpol, sudah diakui negara, sudah menjadi peserta Pemilu, mendapatkan kursi di legislatif bahkan jabatan Menteri, maka setiap Parpol cenderungan menjadi tujuan dalam dirinya sendiri dilengkapai dengan sasaran-sasaran dan kepentingan sendiri. Pada gilirannya, Parpol melepaskan diri dari massa anggota/konstituen yang diwakili. Kepentingan massa anggota/konstituen menjadi sesuatu yang menghilang dan sirna !

Terjadi keterputusan antara kehendak konstituen dan elite Parpol. Saat akan mendulang suara konstituen, Parpol berupaya mendengung-dengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen atau calon pemilih, misalnya sentimen keagamaan, kelas atau cita-cita politik demokrasi, dll. Namun, usai memperoleh suara konstituen, elite Parpol pun cenderung mengejar kepentingan diri sendiri, dan kemudian bersama-sama elite Parpol lain bernegosiasi untuk memenuhi kepentingan sesama elite Parpol yang berbeda-beda. Sebagai contoh, setiap usai Pemilu legislatif era reformasi, para elite Parpol yang menang maupun kalah, melakukan negoisasi tentang siapa yang akan menjadi Ketua dan Wakil Ketua DPR, Ketua dan Wakil Ketua Komisi di DPR, bahkan Ketua dan Wakil Ketua MPR. Lebih jauh lagi, tingkat penyusunan kabinet di eksekutif, para elite Parpol ini bernegosiasi tentang siapa menduduki posisi Menteri. Semuanya hasil “tawar-menawar” antar elite Parpol.

PDIP, contohnya, sekalipun secara vokal menyatakan dirinya Parpol “oposisi” atau “penyeimbang” terhadap Pemerintahan SBY, namun Parpol ini juga di legislatif telah memperoleh posisi Ketua atau Wakil Ketua Komisi di DPR hasil negoisasi elite Parpol dimaksud. Posisi Ketua Komisi XI (Keuangan dan Pebankan) yang digunjingkan kalangan anggota DPR sebagai “Komisi basah” dipegang oleh seorang kader PDIP. Pada saat pembentukan pimpinan MPR hasil Pemilu 2009, bahkan Taufik Kemas (elite penting PDIP) mendapatkan posisi tertinggi Ketua MPR juga hasil negosiasi sesama elite Parpol.

Satu indikator lain untuk karakteristik ini adalah hasil Pemilu Legislatif 2009. Sebanyak 49.677.076 orang (29,01%) pemilih terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) tidak menggunakan hak pilihnya. Jumlah itu lebih besar dari perolehan suara Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu yaitu 21.703.137 suara. Data dan angka ini menunjukkan, masyarakat tidak mudah percaya dengan janji-janji seperti penghentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran, biaya pendidikan dan kesehatan gratis, atau peningkatan jaminan sosial, apalagi janji penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap janji-janji Parpol dapat ditunjukkan dari hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas lain ( 17-19 Maret 2010) dengan 1.097 responden di 33 ibukota Provinsi seluruh Indonesia. Hasilnya, sebagian besar responden (sebanyak 54.9 %) tidak percaya terhadap Parpol sebagai penyalur aspirasi politik dan sosial mereka. Hanya 39.9 % yang percaya, dan 5.2 % tidak tahu/tidak menjawab. Responden lebih memilih media massa sebagai penyalur aspirasi, yakni 42,4%.

Pada 26-27 Mei 2010 Litbang Kompas juga melakukan jajak pendapat tentang tingkat kepuasan responden terhadap kinerja Parpol. Tidak jauh berbeda dengan hasil sebelumnya, Litbank Kompas juga menyimpulkan, kepercayaan publik responden terhadap Parpol relatif rendah dibandingkan terhadap lembaga-lembaga lain. Parpol hanya menduduki peringkat keempat (9,5%) setelah media massa (35,5 %), dan lembaga agama (22 %), dan lembaga swadaya masyarakat (14 %) sebagai lembaga yang paling dipercaya menyalurkan aspirasi (kebutuhan) masyarakat. Jajak pendapat juga menghasilkan, 68,9 % publik responden tidak puas atas kinerja Parpol dalam hal penyeluran dan perjuangan aspirasi rakyat. Juga terdapat 68,6% publik responden tidak puas aterhadap Parpol sehubungan fungsinya melakukan pendidikan politik keada masyarakat; 60,9% tidak puas atas kegiatan Parpol melakukan pengawasan terhadap kinerja Peemrintah; 55,4 % tidak puas atas kegiatan Parpol menggalang partisipasi masyarakat dalam politik.

4.MEMPEROLEH DANA ILEGAL

Karakteristik keempat yakni agar dapat mempertahankan kesinambungan eksistensi Parpol, para elite berusaha mendapatkan dana/uang bersumber dari negara/pemerintahan melalui “perburuan rente” dengan cara bersaing merebut jabatan politik di parlemen dan eksekutif/kabinet. Kecenderungan anggota Parpol melakukan tindakan ilegal memperoleh dana/uang negara (tindak pidana korupsi) menjadi berlaku baik untuk keperluan Parpol maupun perubahan pola hidup yang semakin “mewah” anggota Parpol itu sendiri. Akibatnya, Parpol yang diharapkan anti korupsi menjadi pro korupsi. Salah satu sebab tindakan ilegal ini adalah ketidakmandirian Parpol menggalang dana dari anggotanya.

Menjelang Pemilu 2009, DPR telah menerbitkan UU No. 2 tahun 2008 tentang Parpol. UU ini juga mengatur sumber keuangan Parpol dan besaran sumbangan. Sementara, dana kampanye diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tengang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun, ketentuan UU itu tidak mudah dilaksanakan atau kurang efektif. Harian Kompas (Maret 2010) pernah mewawancarai pimpinan atau bendahara sembilan Parpol, menyimpulkan bahwa hampir tidak ada yang dapat menjelaskan secara rinci kondisi keuangan Parpol. Mereka hanya mengungkapkan sumber dana Parpol sesuai ketentuan diatur UU No. 2 Tahun 2008. Penerimaan dana Parpol berasal dari iuran anggota; dari sumbangan; dan, dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sumber dana dari hasil tindak pidana korupsi anggota tidak pernah diakui oleh pimpinan atau pengurus Parpol ke publik.

UU No. 2 Tahun 2008 dimaksud juga sangat minim mengatur hal-ikhwal akuntabilitas (pertanggungjawab) publik dan transparansi Parpol. Akibatnya, praktik pendanaan Parpol tidak akuntabel dan transparan menjadi berkelanjutan. UU ini memberi kelonggaran dalam pengelolaan keuangan yang menjadi urusan internal Parpol.

UU ini sangat mengecilkan makna akuntabilitas publik. Publik tidak memiliki kesempatan untuk mengetahui berapa sebenarnya jumlah sumbangan yang masuk ke Parpol, terutama dari pihak lain selain Pengurus dan kader Parpol bersangkutan. Kualitas pengaturan keuangan Parpol lebih buruk UU No. 2 Tahun 2008 ketimbang UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol. UU No. 2 Tahun 2008 tidak lagi mewajibkan Parpol melaporkan hasil audit dana Parpol bersangkutan setiap tahun ke KPU. UU ini memberi peluang lebih besar bagi Parpol untuk menerima dana ilegal. Hal ini diperkuat lagi, UU No. 2 Tahun 2008 meniadakan audit eksternal yang selama ini dijalankan oleh akuntan publik. Akibatnya, tidak ada standar baku model pencatatan, pelaporan dan audit keuangan Parpol. Pasal 39 UU No. 2 Tahun 2008 menggeser urusan standar pengelolaan keuangan Parpol menjadi hanya urusan internal Parpol lewat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Parpol itu sendiri. Parpol tidak wajib diaudit oleh ouditor eksternal terkait sumbangan individu atau perusahaan. Yang diaudit hanya dana subsidi anggaran negara oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Bahkan, Paket UU Politik yang dirancang untuk mengatur Pemilu 2009 (disebut sebagai UU Bidang Politik) secara umum tidak bicara banyak hal-ikhwal pendanaan politik dan persyaratan dalam hal akuntabilitas dan transparansi. Parpol tidak di bawah pengawasan publik dalam hal pendanaan kampanye dan dana yang digunakan oleh Parpol.

Anggota Parpol baik di legislatif maupun di eksekutif setelah Pemilu usai harus tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagai realitas subyektif. Pimpinan Parpol secara formal telah menandatangani “Piagam Deklarasi Antikorupsi Partai Politik”, 25 Februari 2009, di Gedung KPK Jakarta. Ada 38 Parpol nasional, beberapa di antaranya Parpol lokal Aceh, peserta Pemilu 2009 yang menandatangani Piagam Deklarasi. Kandungan Piagam dimaksud sebagai berikut:

“Dengan rahmat Tuhan Yang Maha esa, Kami partai politik Indonesia menyadari: Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang mnghancurkan bangsa dan menyengsarakan rakyat Indonesia.

Kami, partai politik Indonesia bertekad: Mewujudkan kehidupan berpolitik Indonesia yang bebas praktik korupsi dan menjadikan Indonesia sebagai negeri yang bersih dari korupsi.

Kami partai politik Indonesia berjanji: berperan serta secara aktif dalam gerakan pemberantasan korupsi dan tidak melakukan korupsi.”

Jakarta, 25 Februari 2009.

Penandatangan Piagam ini dapat bermakna sebagai antara lain:

1.Dukungan terhadap KPK yang menangani perkara korupsi selama proses Pemilu 2009.
2.Komitmen Parpol untuk melaksanakan Pemilu yang bersih dan pemberantasan korupsi.
3.Pencegahan terjadinya korupsi dan menciptakan pemilu yang sehat.
4.Komitemen Parpol agar saat berkuasa akan menjalankan pemerintahan yang bersih.
5.Salah satu bentuk kepedulian mereka atas terciptanya pemerintahan anti korupsi dan pemilu yang sehat.

KPK yang memprakarasi acara ini meminta Parpol menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama yang harus diusung dalam Pemilu 2009. “Bangsa ini perlu Parpol yang bersih dari korupsi” ujar Ketua KPK Antasari Azhar saat menyampaikan sambutan di hadapan perwakilan Parpol pada acara pendandatangan Piagam Deklarasi itu. Saat ini KPK tengah menangani sejumlah kasus korupsi yang melibatkan tokoh Parpol. Pelajaran ini yang dipetik KPK agar di musim Pemilu tidak ada lagi tokoh Parpol terlibat korupsi karena menggunakan uang negara un tuk kepentingan politiknya. “Parpol harus punya komitmen agar Pemilu nanti bersih”, tandas Antasari. Sembari menekankan, Pemilu merupakan momen sangat rawan politik uang. Karenannya, KPK merasa perlu untuk menegaskan bahwa yang menjadi ranah KPK adalah ketika yang digunakan uang negara. “Jika sumber dana yang diberikan kepada konstituen berasal dari APBD atau APBN, KPK akan menindak”, sambungnya. Ia menambahkan, kalai memberi sesuatu terhadap konsituen masuk delik Pemilu, dan KPK tidak akan masuk di wilayah ini.

Acara Penendatangan Piagam Deklarasi Anti Korupsi ini dihadiri antara lain Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, Presiden PKS Tifatul Sembiring, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Ketua Umum Partai Patriot Yapto Suryosumarno, Ketua Umum PBR (Partai Bintang Reformasi) Bursa Zarnubi, Ketua dan Sekjen DPP Partai Demokrat masing-masing Amir Syamsudin dan Marzuki Ali, Ketua Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Roy BB Janis, Ketua Umum PKPI Meutia Hatta, Ketua Umum PBB MS Kaban, dan sejumlah elite Parpol lainnya.

Dalam kesempatan itu, para elite Parpol yang hadir menyatakan dukungan atas deklarasi tersebut. Bahkan mereka dengan semangat berlomba-lomba memberikan usulan dan pemikiran tentang pemberantasan korupsi. Misalnya, Agung Laksono, Wakil Ketua Umum Partai Golkar menegaskan pihaknya siap mendukung upaya KPK” Deklarasi ini harus didukung sepenuhnya hingga tidak ada tensi politik”, ujar Agung Sembari menekankan, tidak ada lagi resistensi politik, termasuk di kalangan legislatif, eksekutif bahkan fraksi di Dewan. Sementara itu, Sekjen PDIP Pramono Anung menyatakan tidak akan menoleransi kader partai yang terlibat korupsi. “PDIP takkan melindungi kadernya yang terlibat korupsi. Sanksi dari internal partai tetap akan diberikan”. Pramono kemudian menekankan, tidak ada lagi klaim politik soal kesuksesan KPK, meskipun pembentukan KPK di tahun 2002 dilakukan saat pemerintahan Presiden Megawati. “Jangan ada yang klaim kesuksesan KPK merupakan keberhasilan partai tertentu,” tandasnya.

Selanjutnya, Ketua DPP Partai Demokrat Amir Syamsudin menegaskan, membasmi korupsi itu jangan pandai berorasi dan beretorika, tapi kita melaksanakan. “Membasmi korupsi itu tidak karena kita pandai berorasi, yang perlu dilakukan adalah tindakan nyata” ujar Amir. Ia juga mendukung soal pembuktian terbalik merupakan suatu ide cerdas.

Yang lebih kocak datang dari pidato Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir. “PAN itu sejak dulu antikorupsi. PAN, Partai Anti Norupsi (no korupsi), “ ujarnya disambut gelak tawa hadirin.

Ketua Umum Partai Hanura Wiranto juga menyampaikan juga pidato. “Saya datang ke acara deklarasi ini, berarti saka setuju. Yaitu setuju untuk melawan tindak korupsi”, ujarnya.

Di lain fihak, di tempat yang sama, Ketua Umum PBB MS Kaban mengingatkan semua pihak agar perlawanan terhadap korupsi bukan hanya seremonial. Ia berharap, ada strategi dan arah yang jelas untuk membumihanguskan perilaku korup para pejabat publik. “Jadi jangan hanya banyak bicara tanpa ada realisasi, “ kilahnya Sembari mengingatkan, ada yang menilai deklarasi melawan korupsi ini tidak relevan.

Berbagai tanggapan positif bermunculan di publik atas penandatangan Piagam Deklarasi Anti Korupsi ini, namun beberapa di antaranya menunjukkan nada pesimistik. Belum sampai sebulan Piagam Deklarasi ditandatangani, salah satu kader Parpol justru tertangkap basah oleh KPK, yakni Abdul Hadi Djamal. Kasus ini mencoreng deklarasi. Bersama Kabag Umum Distrik Navigasi Tanjung Priok Darmawati dan Komisaris PT Kurniadjaya Wirabhakti Surabaya, Hontjo Kurniawan, Abdul Hadi ditangkap KPK sekitar pukul 22.12 WIB, 2 Maret 2009. Abdul adalah anggota DPR Komisi V dari Fraksi PAN.

Sementara itu, terdapat nada kritis negatif menekankan acara penandatangan Piagam Deklarasi ini sekedar acara seremoni. Ada kekhawatiran acara itu justru menjadi kampanye gratis Parpol menjelang Pemilu 2009. Nada kritis ini kemudian mengingatkan, bukan hanya sekedar deklarasi, janji dan kata-kata saja yang diperlukan, tapi tindakan konkrit dan nyata yang lebih mengena untuk mengaet suara rakyat. “Rakyat butuh bukti, bukan acara seremonial.” Mereka berharap, acara itu tidak menjadi sekedar klaim pemberantasan dari Parpol menjelang Pemilu. Parpol harus menunjukkan komitmen mengingat masih lemahnya pengaturan mekanisme keuangan Parpol dalam UU No. 2 tahun 2008 tentang Parpol.

Anggota DPR yang notabenenya anggota Parpol juga, harus tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagai realitas obyektif dapat juga digunakan argumentasi acara pengucapan sumpah/janji. Setiap anggota DPR pasti mengikuti acara pengucapan sumpah/janji yang dipimpin oleh Ketua MA (Mahkamah Agung). Acara pengucapan sumpah/janji tersebut dilakukan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Sumpah dan janji yang diucapkan memiliki tanggungjawab yang besar terhadap seluruh bangsa dan negara Indonesia sesuai dengan amanat dari Pancasila dan UUD 1945. Sumpah/janji merupakan sumpah/janji terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan kepada manusia yang harus ditepati dengan segala keikhlasan dan kejujuran . Intinya, sumpah/janji jabatan yang diucapkan anggota Parpol ketika dilantik menjadi anggota DPR adalah setia dengan Pancasila dan UUD 1945. Setia dengan Pancasila dan UUD bermakna tidak akan melakukan korupsi dan memperoleh dana negara secara ilegal. Anggota DPR juga harus taat dan mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang di bawahnya seperti UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pancasila dan UUD 45 sama sekali tidak mengendaki perilaku korup, bahkan melarang setiap pejabat dan penyelenggara negara temasuk anggota DPR untuk menerima uang yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku.

Bahkan, perilaku gratifikasi juga dilarang sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor. Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Pasal 12 B UU itu menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Dalam kenyataannya, Parpol di era reformasi tidaklah terbebas sama sekali dari perilaku koruptif atau memperoleh dana ilegal. Data dan fakta tentang perolehan dana ilegal anggota DPR dapat diperoleh dari pengakuan terdakwa atau saksi anggota DPR dan juga pernyataan Tim Jaksa Penuntut di sidang-sidang pengadilan Tipikor, Jakarta. Sebagai misal, pengakuan anggota DPR Yusuf Erwin Faisal (kader PKB) yang didakwa terlibat korupsi alih fungsi hutan di Sumatera Selatan. Yusuf Erwin Faisal menjadi terdakwa dugaan aliran cek senilai Rp. 5 miliar kepada sejumlah anggota DPR. Aliran cek itu bertujuan agar DPR memberikan rekomendasi terhadap permohonan alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Sumatera Selatan untuk dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-api. Ia mengakui, para anggota DPR seringkali terbebani kewajiban untuk mencarikan dana guna membiayai keperluan Parpol. “Salah satu sebabnya adalah maraknya kompromi dan adanya pusaran politik. Ekspektasi Parpol terhadap kader sangat tinggi untuk mencari sponsor untuk kepentingan partai”, ujar Yusuf Erwin Faisal yang didakwa menerima suap Rp. 5 miliar saat membacakan pembelaan di Pengadilan Tipikor, jakarta, 23 Maret 2009. Pusaran politik yang bermuara ada Parpol, lanjut Erwin, sangat sulit dikendaliakan oleh anggota DPR. Beberapa anggota DPR lantas menyiasati hal itu dengan mencari sumber dana dari pihak ketiga atau swasta untuk menghindari kerugian negara. Semua anggota DPR mengetahui kode etik yang melarang anggota DPR menerima uang dari rekan kerja. Karena itu, menurut Erwin, biasanya uang langsung mengalir ke organisasi massa atau Parpol.

Fenomena rentannya Parpol terhadap perolehan dana ilegal dapat dilihat dari banyaknya kader Parpol yang terkait dengan kasus korupsi. Beberapa kasus terkait dengan anggota DPR dapat ditunjukkan sebagai berikut:

1.Andiwarsita Adinugroho, jabatan: Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (HPHI) dan Anggota DPR periode 1999-2004 dari Fraksi Golkar. Andiwarsita menjadi tersangka kasus APHI dan dituntut oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan 8 tahun penjara. Ia dituduh merugikan keuangan negara Rp. 9,5 miliar. Pada 12 November 2005 Pengadilan memvonis 6 tahun.
2.Al Amin Nur Nasution, jabatan: Anggota Komisi IV DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi PPP. Kasus dugaan suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia ditangkap KPK pada 9 April 2008.
3.Sarjan Taher, jabatan: Anggota Komisi IV DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi Partai Demokrat. Kasus dugaan suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ditahan 2 Mei 2008. Status tersangka pada Sarjan Taher diputuskan KPK pada 27 Februari 2008.
4.Saleh Djasit, jabatan: Anggota Komisi VII DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi Partai Golkar. Kasus dugaan korupsi pengadaan 20 alat pemadam kebakaran Pemrov Riau yang merugikan negara sekitar Rp. 4,7 miliar. Status vonis.
5.Hamka Yandhu, jabatan: Anggota Komisi XI DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar. Kasus Aliran Dana BI ke DPR. Vonis. Sudah diperiksa oleh Badan Kehormatan DPR.
6.Anthony Zeidra Abidin, jabatan: Anggota Komisi XI DPR Periode 1999-2004. Saat jadi tersangka, posisinya sebagai Wakil Gubernur Provinsi Jambi. Kasus Aliran Dana BI ke DPR. Status Vonis.
7.Noor Adenan Razak, jabatan: Anggota Komisi VIII DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi Reformasi (PAN). Kasus suap bagi perubahan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) untuk Pembangunan Pusdiklat Bapeten sebesar Rp. 250 juta dan bilyet giro sebesar Rp. 1.227.272.000,-
8.Bulyan Royan, jabatan: Anggota Komisi V DPR Periode 2004-2009 dari Fraksi PBR. Kasus Pengadaan Kapal Patroli di Dirjen Perhubungan Laut-Dephub. Status Vonis.
9.Hamka Yandhu, jabatan: Anggota Komisi XI DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar. Kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Status vonis.
10.Dudhie Makmun Murod, jabatan: Anggota DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi PDIP. Kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Status vonis.
11.Udju Djuhaeri, jabatan: Anggota DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi TNI/Polri. Kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Status vonis.
12.Endhin Soefihara, jabatan: Anggota DPR Periode 1999-2004 dari Fraksi PPP. Kasus penerimaan cek perjalanan/pelayat terkait pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Status vonis.

Untuk memperoleh data dan fakta sehubungan dana ilegal ini, dapat digunakan dari pengakuan terdakwa pada sidang perkara korupsi anggota legislatif (DPR-RI) yang lain. Salah satu adalah sidang perkara terdakwa Mantan Direktur Hukum BI. Dalam sidang dengan terdakwa mantan Direktur Hukum BI (Bank Indonesia) Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI Rusli Simanjuntak di Pengadilan Khusus Tipikor, Jakarta 28 Juli 2008. Hamka Yandhu YR (kader Golkar), mantan Ketua Sub Komisi Keuangan di Komisi IV DPR saat diperiksa sebagai saksi mengungkapkan, semua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dari sembilan fraksi berjumlah 52 orang menerima dana dari BI dengan nilai total Rp. 21,6 miliar. Nama penerima dana itu dibacakan Majelis Hakim satu persatu sesuai fraksi masing-masing, yang kemudian dibenarkan Hamka. Pembagian dana berdasarkan fraksi, diberikan secara tunai tanpa tanda tangan, dan tidak ada pertanggungjawaban. Dana dari BI diterima Hamka untuk diiberikan pada Komisi IX dalam empat tahap: pertama, Rp.2 miliar, diterima Hamka Rp. 1,8 miliar; kedua, Rp. 5,5 miliar, diterima Hamka Rp. 4,95 miliar; ketiga, Rp. 10,5 miliar, diterima Hamka Rp. 9,45 miliar; keempat, Rp. 6 miliar, diterima Hamka Rp. 5,4 miliar. Keluruhan Rp. 24 miliar, diterima Hamka total Rp. 21,6 miliar.Terdapat 13 anggota Fraksi Golkar, Sembilan anggota Fraksi PDIP, tiga anggota Fraksi PPP, lima Fraksi PKB, lima Fraksi Reformasi, seorang angota Fraksi TNI/Polri, dua anggota Fraksi KKI, dan seorang anggota Fraksi PBB Untuk Fraksi Reformasi, ada empat anggota lain yang juga menerima aliran dana BI, namun nama-nama tidak terungkap. (Kompas, 28 Juli 2008, dan “Catatan Buruk Akuntabilitas Partai Politik”, Public Accountability—Indonesia Corruption Watch, Seri-Korupsi Politik dalam WWW.antikorupsi.org. Untuk gambaran ini, ICW menggunakan sumber dokumen pemeriksanaan Hamka Yandhu, Harian KORAN TEMPO, 1 Juli 2008).

Data dan fakta perilaku koruptif anggota DPR dapat dikumpulkan dari kesaksian Max Moeis pada sidang perkara pemberian cek pelayat/perjalanan kepada anggota Komisi IX DPR (Keuangan dan Perbankan) periode 1999-2004 di Pengadilan Tipikor terkait dengan kasus Pemilihan Deputi Bank Indonesia, Miranda Gultom. Ia mengaku menerima cek di ruang komisi dari seorang yang tidak bisa dipastikannya. Cek pelayat itu baginya adalah dana dari Parpol untuk mendukung kampanye pemilihan Presiden di daerah pemilihannya, Kalimantan Barat. Uang itu habis untuk kampanye tanpa ada pertanggungjawaban (Harian Kompas, 20 Maret 2010). Pengakuan Max Moein ini dapat menunjukkan, dana yang diperoleh seorang kader Parpol bisa berasal dari tindak pidana korupsi.

Selanjutnya, pada sidang perkara tersangka Hamka Yandu (kader Golkar) masih terkait dengan kasus pemberian cek pelayat, Hakim Hendra Yospin pernah mencecer Hamka mengenai kebiasaan suap di DPR dalam pemilihan pejabat. “Apakah mekanisme pemilihan pejabat lembaga tinggi negeri ini kalau tidak ada duitnya (calonnya) bisa tersingkir? Perilaku itu sudah dari dulu atau baru kali ini?” tanya Yospin. Hamka menjawab, “Hal itu biasa”. (Harian Kompas, 28 April 2010).

Anggota DPR memperoleh dana ilegal mewakili hampir semua Parpol. PAN sebagai kekuatan reformasi yang dulu getol mengangkat issue KKN Orde Baru, juga memiliki anggota dan bahkan salah seorang Ketua DPP PAN periode 2004-2009, Abdul Hadi Djamal. Ia adalah anggota Komisi V DPR dan Panitia Anggaran DPR, telah menjadi terpidana kasus suap Rp. 3 miliar dengan vonis penjara tiga tahun dan denda Rp. 150 juta subsider empat bulan kurungan seperti yang dijatuhkan di Pengadilan Tipikor, November 2009. Politikus PAN yang terbukti menerima suap Rp. 3 miliar untuk memuluskan dana stimulus fiskal itu tidak mengajukan banding dan kasasi, tetapi langsung PK (Peninjauan Kembali). Abdul harus gigit jari. Pada 10 Mei 2010 MA (Mahkamah Agung) memutuskan, tidak dapat menerima (niet ontvankelijk verklaard) permohonan PK Abdul Hadi Djamal. Ia didakwa telah menerima uang berturut-turut sebesar 80 ribu dolar US, Rp. 32 juta, 70 ribu dolar US, 90 ribu dolar US dan Rp. 54,5 juta. Menurutnya, uang tersebut rencananya akan diserahkan kepada Jonny Allen Marbun selaku Pimpinan Panitia Anggaran di DPR. Ia menjelaskan uang itu digunakan untuk memuluskan proyek pembangunan dermaga dan bandara di Indonesai Bagian Timur. Pengakuan Abdul Hadi Djamal dalam pemeriksaan KPK telah menyeret nama anggota DPR lain, antara lain Rama Pratama (kader PKS) dan Jhonny Allen Marbun (kader Partai Demokrat). KPK juga memeriksa Enggartiasto Lukito (kader Golkar) dan Emir Moeis (kader PDIP) sebagai saksi.

Sementara itu, masih terdapat sejumlah anggota DPR lain yang sudah divonis karena tindak pidana korupsi, antara lain Bulyan Royan (kader Partai Bintang Reformasi, PBR) dan Al Amin Nur Nasution dan Endin AJ Soefihara (kader PPP), keduanya anggota DPR periode 2004-2009. Dikhabarkan, Bulyan Royan yang mantan anggota Komisi Kelautan di DPR, telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 1,68 miliar dalam kasus pengadaan kapal patroli di Departemen Perhubungan. Ia tertangkap tangan di Plaza Senayan, sekitar pukul 17.00, oleh Tim KPK. Ketika tertangkap, KPK menemukan uang sebesar 66 ribu dolar US, dan 5.500 euro atau sekitar Rp. 607,2 juta (asumsi 1 dolar= Rp. 9.200) dan Rp. 79,75 juta (asumsi 1 euro=Rp. 14.500) dari tangan Bulyan Royan. Menurut KPK, uang itu terkait dengan posisi Bulyan Royan saat menjadi anggota Komisi V DPR. Satu sumber menyebutkan, pemberian uang adalah fee yang biasa diberikan sebelum tender, besarannya 7-8 % dari nilai tender. “Fee diberikan kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat Dephub”.

Al Amin Nur Nasution tertangkap tangan terkait alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Al Amin tertangkap tangan, KPK mengembangkan penyelidikan hingga akhirnya kembali menahan Sarjan Tahir (anggota DPR, kader Partai Demokrat) terkait kasus pengalihan fungsi hutan bakau menjadi pelabuhan di Banyuasin, Sumatera Selatan. Sarjan Tahir tidak tertangkap tangan, tetapi berdasarkan penyelidikan KPK di lapangan mereka menemukan adanya keterlibatan Sarjan dalam kasus korupsi. Sebelum Al Amin, Sarjan Tahir dan Bulyan Royan, KPK sudah menahan Saleh Djasit, tapi penahanannya tidak terkait tugas Dewan, tetapi saaat menjabat sebagai Gubernur. Hampir dua minggu setelah Al Amin, KPK menahan Hamka Yandhu dan mantan anggota DPR Anthony Zeidra Abidin (kader Golkar) terkait kasus Aliran Dana BI.

Endin AJ Soefihara terkait kasus cek perjalanan/pelayat sehubungan pemilihan pejabat tinggi BI. Yang diajukan ke pengadilan Tipikor terkait dengan kasus cek perjalanan ini hanya empat orang anggota DPR Periode 1999-2004, yakni Endin (Fraksi PPP) Hamka yandhu (Fraksi Partai Golkar), Dudhie Makmun Murod (Fraksi PDIP), Udju Djuhaeri (Fraksi TNI/Polri). Diberitakan di media massa akhir Mei 2010, keempat mantan anggota DPR itu dinyatakan terbukti bersalah menerima cek perjalanan yang patut diduga terkait pemilihan Miranda S. Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Endin dihukum satu tahun tiga blan penjara, Hamka (2,5 tahun), serta Dudhie Makmun Murod dan Udju Djuhaeri masing-masing dipidana dua tahun penjara.

Data dan fakta perolehan dana ilegal dapat juga digunakan dari pernyataan Jaksa tatkala mengajukan tuntutan terhadap Dudhie Makmun Murod (kader PDIP) di Pengadilan Tipikor di Jakarta (26 April 2010). Ada 16 anggota DPR dari Fraksi PDIP menerima cek pelawat (traveler’s cheque). Mereka adalah William Tutuarima, Sutanto Pranoto, Agus Condro Prayitno, Muh. Iqbal, Budiningsih, Poltak Sitorus, Aberson M. Sihalolo, Rusman Lumban Toruan, Max Moein, Jeffrey Tongas Lumban, Matheos Pornes, Engellina Pattiasina, Suratal H.W, Niluh Mariani Tirtasari, Soewarno, Panda Nababan, Sukardjo hardjosoewirjo, dan Izedrik Emir Moeis (Harian KORAN TEMPO, 23 April 2010).

Kasus korupsi di DPR ibarat fenomena gunung es. Publik meyakini kasus-kasus korupsi anggota DPR yang mengemuka hanya sebagian kecil saja, kasus-kasus tertutup dan terlindungi jauh lebih banyak. Sebanyak 56, 7 % responden jajak pendapat Litbang Kompas meragukan kasus-kasus korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPR akan dapat dituntaskan secara hukum. Citra buruk DPR di mata publik terus meningkat selama empat tahun terakhir. Pada 2005, sebanyak 58,8 % responden menilai buruk citra DPR. Dalam jajak pendapat bulan April 2008, sekitar tujuh dari sepuluh responden menyatakan citra DPR buruk dan dalam jajak pendapat kali ini, publik yang menilai buruk citra DPR meningkat lagi menjadi 81,3 % responden.

Data dan fakta perolehan dana ilegal anggota DPR dapat juga diperoleh dari sidang perkara Hamka Yandhu di pengadilan Tipikor Jakarta. Tim Jaksa Penuntut menyebutkan sebanyak 12 anggota Fraksi Golkar menerima cek perjalanan dengan total Rp. 7,35 miliar. Menurut Tim Jaksa, cek perjalanan yang berasal dari BII itu diberikan oleh Nunun Nurbaetie, Istri Komjen Pol (Purn.) Adang Daradjatun, Mantan Wakapolri. Adang kini menjadi anggota DPR dari Fraksi PKS, dan pernah menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta atas dukungan PKS.

Belakangan ini, issue publik korupsi di DPR lain telah muncul tekait dengan pernyataan La Ode, Wakil Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah) di Yogyakarta. Dikahabarkan, menurut La Ode, telah terjadi kasus korupsi besar di tubuh DPR, bahkan kasus ini lebih besar dibandingkan penggelapan pajak yang dilakukan Gayus Tambunan, pegawai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan. Pelakunya, lanjut La Ode, memiliki posisi seperti dia, yaitu di tingkat wakil. Pelaku itu adalah salah satu pimpinan di lembaga legislatif pusat. “Kasus ini merugikan keuangan negara hampir Rp. 100 miliar. Perampokan uang negara ini berlangsung menjelang musyawarah nasional (Munas) salah satu partai politik.” La Ode berjanji akan membukanya.

Sementara itu, dikhabarkan juga, Mahfud MD Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) juga menyatakan, telah memiliki data yang dapat membuktikan, telah terjadi korupsi dengan nilai lebih besar dibandingkan kasus Gayus Tambunan. Mahfud mengaku, data berasal dari anggota DPR yang menyatakan telah terjadi semacam penyalahgunaan wewenang sehingga mengakibatkan keluarnya uang secara tidak prosedural.

Fenomena korupsi anggota legislatif bukan saja di pusat tetapi juga di daerah. Sebagai gambaran pelaku korupsi legislatif (mantan, anggota DPR, DPRD dan MPR) Sumber ICW, Seri-Korupsi, WWW.antikorupsi.org menunjukkan tahaun 2005, terdapat 40 orang pelaku korupsi terdiri dari mantan.anggota DPR, DPRD dan MPR; tahun 2006 terdapat 35 orang mantan, anggota DPR, DPRD, MPR; tahun 2007 terdapat 162 anggota DPRD; dan tahun 2008 terdapat 178 anggota DPRD.

Masyarakat juga tidak percaya tentang jumlah dana yang diterima Parpol menjelang Pemilu sama besar seperti yang dinyatakan dalam iklan. Jajak Pendapat Litbang Kompas (17-19 Maret 2010) dengan 1.079 responden di 33 Ibukota Provinsi seluruh Indonesia menunjukkan, sebesar 73,3 % responden tidak percaya, hanya 11,2 % percaya, 1.7% tidak tahu dan 0.8 % tidak jawab. Intinya, di mata masyarakat, Parpol tidak menegakkan prinsip transparansi tentang penerimaan dana.

Korupsi penyakit terparah bangsa ini, telah menjadi wabah di semua institusi negara. Bahkan legislatif/parlemen yang berisi para wakil rakyat yang mengemban aspirasi dan kedaulatan rakyat justru menjadi sarang korupsi. Sudah banyak anggota DPR yang masuk bui karena suap dan manipulasi atau tindak pidana korupsi. Banyak pula anggota legislatif di pusat dan daerah masih aktif kini menjadi saksi dan berkelit di persidangan suap tanpa merasa bersalah.

Menurut data ICW, pada 2009 anggota DPR menempati urutan pertama pejabat yang menjadi tersangka korupsi. Setelah itu, disusul oleh pejabat Departemen. Anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka atau terpidana korupsi sebanyak 18,95 %, kemudian disusul oleh pejabat eselon/pimpro 17, 89%, Duta Besar/Pejabat Konsulat/Imigrasi 13,68 % dan Kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) 12,63 %. Sisanya ada pejabat di level Komisi Negara, Dewan Gubernur, BUMN, Aparat Hukum dan BPK, prosentase sebaran tersangka hanya di bawah 10 %. Hasil pengamatan ICW juga menunjukkan, dari 11 Komisi di DPR periode 2004-2009, hampir semuanya dijadikan sumber korupsi. Komisi yang dinilai rentan adalah Komisi VI (Bidang Perdagangan dan Industri), Komisi VII, Komisi VIII (Agama), Komisi X (Pendidikan) dan Komisi bidang Keuangan dan Perbankan.

Untuk perbandingan Indonesia dengan negara-negara lain, dapat digunakan hasil Survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diadakan setiap tahun oleh “Transparency International tahun 2009. Hasilnya menunjukkan IPK Indonesia memperoleh skor 2,8, lebih baik daripada skor pada 2008 (mencapai 2,6). Indonesia termasuk negara tingkat korupsi sangat parah dan di kawasan ASEAN masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Semua upaya Pemerintah SBY ternyata tidak mampu mengubah persepsi negatif .

Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) adalah suatu perusahaan konsultan yang berbasis di Hongkong mengeluarkan hasil studi tahunan tentang tingkat korupsi di negara-negara tujuan investasi di kawasan Asia Pasifik. Hasil studi PERC tahun 2007 menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia atau sejajar dengan Thailand. Hasil studi ini menunjukkan, Indonesia naik satu perinkat dari posisi sebelumnya yang menempati peringkat pertama negara terkorup di Asia. Studi ini dilaksanakan pada Januari dan Februari, melibatkan 1.476 pelaku bisnis asing (responden) di 13 negara Asia. Hasil studi ini kemudian digunakan untuk membuat peringkat mengenai persepsi terhadap tindakan korupsi dan penanganannya di Asia, menggunakan sistem skor 0-10. Negara yang dinilai bersih dari korupsi mendapat skor 0, sedangkan yang paling buruk mendapat skor 10. Indonesia bersama Thailand menduduki peringkat kedua dengan skor 8,03, setingkat di bawah Filipina yang mendapat nilai 9,40. Bagi Indonesia, hasil ini sedikit lebih baik setelah tahun lalu. Indonesia mendapat nilai 8,16.

Meski sudah mengindikasikan hasil positif, namun pada hasil studi PERC Maret 2009, memposisikan Indonesia naik ke peringkat teratas kembali sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 8,32 dari nilai 10. Sementara Thailand memproleh skor 7,63, disusul Kamboja dengan skor 7,25, India 7,21 dan Vietnam 7,11. Sedangkan Filipina yang menjadi negara terkorup tahun 2008 mendapatkan skor 7,0 atau menempati peringkat enam sebagai negara terkorup di Asia. Sementara Singapura (1,07), Hongkong (1,89) dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih, meskipun ada dugaan kecurangan sektor privat. Amerika Serikat menempati urutan keempat dengan skor 2,89.

Hasil studi PERC tahun 2010 tetap memposisikan Indonesia sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu. Studi ini mencakup 2.174 responden eksekutif bisnis tingkat menengah dan senior di Asia, Australia dan Amerika Serikat. Hasil studi PERC dimaksud memposisikan Indonesia kembali terpuruk dalam peringkat korupsi antara negara. Dari 16 negera sasaran studi, menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup, diikuti Kamboja di urutan kedua, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, Australia dan Singapura. Skor Indonesia adalah 9,27 dalam skala 0-10 di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 sangat korup, turun cukup signifikan dari skor tahun lalu, yaitu 8,32. Pada tingkat Asean, Indonesia tingkat korupsi hampir sempurna dan lebih buruk daripada Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06), Thailand (7,60), malaysia (6,47) dan Singapura (1,42).

Studi ini melihat bagaimana korupsi berdampak pada berbagai tingkat kepemimpinan politik dan pamong praja serta lembaga-lembaga utama. Studi ini juga mencakup penelitian tentang pengaruh korupsi terhadap lingkungan bisnis secara keseluruhan. Menurut PERC, dengan merajalelanya korupsi di semua level di Indonesia, perang korupsi yang dilakukan Presiden SBY telah terhambat politisasi issue yang dilakukan pihak yang merasa terancam oleh aksi yang dilakukan SBY. “(Hasil) korupsi digunakan oleh para koruptor untuk melindungi mereka sendiri dan untuk melawan reformasi. Seluruh perang terhadap korupsi terancam bahaya”, ujar Laporan PERC.

Mirip dengan penilaian Laporan PERC, sebelumnya Reuters melihat bahwa kasus Bank Century merupakan pertarungan antara kubu reformasi dan anti-reformasi. Menkeu Sri Mulyani telah melakukan reformasi birokrasi untuk membersihkan para pejabat korup di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang berada di bawah kementerian yang dipimpinnya. Dengan mengutip seorang investor AS di Indonesia, Reuters membeberkan, para investor sangat khawatir dengan para politisi Indonesia yang lebih tertarik untuk bertarung memperebutkan kekuasaan daripada mendukung proses reformasi. “Kehilangan seorang reforman akan membuat investor khawatir bahwa Indonesia akan kembali ke kapitalisme kroni, yang akan sangat menyakitkan bagi para investor dan sebagian besar bangsa Indonesia, setidaknya bagi mereka yang bukan dari bagian para taipan atau secara politis berhubungan baik ataupun keduanya”, ungkap Investor tersebut.

Menurut PERC, Indonesia adalah negara terkorup dibandingkan negara-negara lain yang distudi. Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi Pemerintahan SBY untuk lebih serius dalam usaha pemberantasan korupsi. Turunnya skor Indonesia dalam studi PERC, dikhawatirkan menjadi kecenderungan bagi studi-studi lain yang mengukur kinerja dan performa pemberantasan korupsi di Indonesa, tatkala tahun 2009 dapat dikatakan memang mengalami keterpurukan akibat beragam persoalan antara lain: Cicak vs. Buaya, politisasi kasus Bank Century, dan usaha-usaha kriminalisasi dan pelemahan KPK.

Untuk perbandingan antar lembaga pemerintahan dan masyarakat sipil, dapat digunakan hasil studi lembaga Transparency International Indonesia (TII) dalam beberapa tahun terakhir. Hasilnya masih menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga terkorup di negeri ini. Korupsi sudah merusak cara berpikir anggota DPR sedemikian rupa. Kasus-kasus korupsi yang dihadapi anggota DPR memperlihatkan penjarahan uang negara tidak dilakukan secara individual, tetapi beramai-ramai. Artinya korupsi di DPR dilakukan sistemik dan melembaga. Selama empat tahun (2003,2004, 2007 dan 2008) menempatkan Parpol dan parlemen pada peringkat ketiga besar lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesai.

Hasil studi TII tahun 2003 menempatkan Parpol pada posisi kedua sebagai lembaga terkorup di negeri ini setelah lembaga peradilan. Hasil studi TII tahun 2004 menempatkan Parpol dan Parlemen menjadi lembaga terkorup pertama. Bahkan pada tahun sama, Transparency International (TI) mengumumkan, sebanyak 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan Parpol adalah lembaga terkorup. Hasil studi TII tahun 2007 menempatkan Parpol menjadi membaik, berada di urutan ketiga setelah Kepolisian dan lembaga Peradilan. Sementara, Parlemen menjadi terkorup pertama. Hasil studi TII tahun 2008 menunjukkan posisi Parpol menurun kembali, berada di urutan kedua sebagai lembaga terkorup setelah Parlemen.

Resistensi atau penolakan anggota DPR cukup kuat terhadap terutama hasil survei TII tahun 2007 yang memotret persepsi publik tentang korupsi di lembaga-lembaga negara. Banyak anggota DPR, termasuk sang Ketua, mengaku tersinggung atas hasil yang menyebutkan lembaga tempat mereka “mengabdikan diri” sebagai lembaga yang paling banyak korupsinya. Namun, kalangan pengamat Parpol, berdasarkan hasil studi TII ini, sepakat bahwa Parpol sebagai fihak paling bertanggungjawab dalam menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini. Diandaikan, korupsi politik seperti lingkaran setan dan Parpol berada di titik pusatnya. Dengan perkataan lain, Parpol sebagai sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi “episentrum” korupsi. Di dalam Parpol koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk melakukan korupsi berjemaah!

Resistensi anggota DPR juga cukup kuat terhadap kritik-kritik keras yang dialamatkan kepada mereka. Pada 2006, DPR rupayanya dibikin “gerah” oleh kritik pedas yang disuarakan Kelompok Musik Slank lewat lagu yang berjudul “Gosip Jalanan”. “Mau tau gak mafia di Senayan?” Kerjanya tukang buat peraturan. Bikin UUD, ujung-ujungnya duit.” Petikan syair itulah yang membikin para wakil rakyat gerah. Bahkan, Badan Kehormatan DPR sempat berniat memperkarakan kelompok musik Slank ini dan pencipta lagunya, meski kemudian dibatalkan.


5.MENGHINDARI PENYINGKAPAN KORUPSI

Karakteristik kelima politik kartel Parpol adalah sesama elite Parpol dalam koalisi baik di legislatif maupun eksekutif menghindari penyingkapan praktek penggunaan dana negara secara ilegal (tergolong tindak pidana korupsi). Parpol berperan penting dalam memperlambat pemberantasan korupsi di Indonesia. Mereka khawatir pemberantasan korupsi yang masif akan mengancam kader-kader Parpol. Karena itu, pemberantasan korupsi harus dimulai dari pembersihan Parpol.

Penilaian semacam ini muncul dari berbagai pengamat politik dan juga perilaku korupsi di Indonesia. Arif Nur Alam, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Centre (IBC), misalnya, telah muncul memberi penilaian bahwa Parpol memiliki kepentingan besar untuk menghambat pemberantasan korupsi secara masif di negeri ini. Salah satu sebab, bagi Arif, hampir semua kasus korupsi besar melibatkan kader-kader Parpol. Indikasi ini bisa dilihat dari perilaku Parpol yang saling memberi perlindungan terhadap kader-kader mereka yang terlibat kasus korupsi. Bahkan, lanjut Arif, banyak orang bermasalah yang sengaja masuk ke Parpol untuk mencari tempat perlindungan dari proses hukum. “Parpol hanya akan mendorong penuntasan kasus korupsi sepanjang itu tidak menyinggung kader-kader mereka,” katanya (Harian Kompas, 8 Juli 2010).

Pengamat lain, Teten Masduki mengatakan, perilaku korupstif di aprpol ini bersumber pada tiadanya independensi dalam pembiayaan Parpol. “Dana Parpol hampir semuanya berasal dari sumber yang korup,” ujar Sekretaris Jenderal Transparansy International Indonesia ini. Pada kesempatan yang sama, juga Kordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmi Badoh mengatakan, selama ini sumber pendanaan perorangan banyak diterima dari politisi. Sumbangan perorangan itu diterima dari potongan gaji politisi. Politisi itu kemudian mencari, sumber dana tambahan.

Lebih jauh, Ibrahim menegaskan, dukungan dana dari pengusaha untuk Parpol biasanya bertujuan untuk membangun patron. Tujuannya, agar penguasaha ini mendapatkan proteksi dan akses terhadap anggaran publik. Kader Parpol di Dewan kemudian menjadi broker proyek atau terjun ke proyek itu. Ibrahim mencontohkan kasus yang menjerat mantan anggota Dewan, Bulyan Boyan, yang tersangkut kasus suap dalam proses lelang pengadaan kapal patroli Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan yang lalu. “Kasus lain, misalnya, dugaan adanya anggota DPR yang memiliki bisnis pemondokan dan katering haji,” ujar Ibrahim (Harian Kompas, 8 Juli 2010)

Terkait dengan karakteristik kelima ini, di mata masyarakat keterlibatan Parpol masih tergolong kecil dalam mendukung gerakan anti KKN (Korupsi, Kolusi dan nepotisme). Sebagaimana telah ditunjukkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 26-27 Mei 2010, terdapat 51,2 % publik responden merasa tidak puas atas kinerja Parpol dalam mendukung gerakan anti KKN. Hanya 44,3 % yang merasa puas, dan 1,5% tidak tahu/tidak jawab.

Untuk data dan fakta adanya penghindaran penyingkapan praktek penggunaan dana negara secara ilegal di lembaga legislatif (DPR), dapat ditunjukkan pada beberapa pengalaman berupa permintaan anggota DPR kepada penegak hukum untuk menutup kasus korupsi yang dilakukan anggota Parpol.

Kasus pertama yakni sebuah rapat Badan Musyawarah DPR (3 Oktober 2006) gabungan Komisi II dan III DPR, meminta agar Presiden menegur keras Jaksa Agung karena tidak tepat menggunakan dasar hukum dalam menangani sejumlah kasus korupsi melibatkan anggota DPRD (Kabupaten atau Kota) terkait dengan APBD (Anggaran Pembangun dan dan Belanja Daerah). Karena tekanan itu, kasus-kasus korupsi APBD dimaksud menghilang begitu saja. Kalaupun ada kasus yang dilimpahkan ke pengadilan, putusan Majelis Hakim cenderung membebaskan para pelaku. Alasan pokok yang digunakan DPR untuk mendesak menghentikan kasus korupsi atas anggota DPRD ini yaitu “kriminalisasi politik kebijakan pemerintahan daerah”.

Kasus kedua berikutnya terjadi dalam acara RDP (Rapat Dengar Pendapat) antara Komisi III DPR dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Harian Koran JAKARTA (3 Mei 2010) mengkhabarkan, pada hari pertama (Rabu, 28 April 2010), RDP tersebut hanya sedikit yang membahas skandal Bank Century yang menghabiskan uang negara Rp. 6,7 triliyun. Sebagian anggota Komisi Hukum tersebut hanya mempertanyakan mengapa Sri Mulyani dan Boediono tidak diperiksa di gedung KPK. Yang lebih memperhatinkan, ujar Koran JAKARTA, adalah kasus BLBI tidak menjadi perhatian sama sekali. Perkembangan kasus BLBI memang masuk draft pertanyaan. Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto menjawab pendek dan normatif, semua anggota DPR terlihat puas.

RDP hari kedua, Kamis 29 April 2010, makin terlihat aneh. RDP yang dimulai sekitar pukul 20.00 WIB bahkan tidak membahas kasus Bank Century sama sekali. Tidak ada seorang pun anggota DPR yang menanyakan hasil pemeriksaan KPK terhadap Sri Mulyani dan Boediono baru saja dilangsungkan. Namun, di penghujung rapat, setelah mencecar kinerja KPK, Komisi III DPR meminta KPK menghentikan penanganan sejumlah kasus korupsi yang melibatkan rekan mereka dari sejumlah Parpol. Situasi rapat digambarkan Harian Koran JAKARTA, sebagian anggota Komisi III DPR terlihat asyik mempermasalahkan tindakan KPK menahan Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo. Anggota Fraksi Demokrat Ruhut Sitompul yang pertama kali mempermasalahkan hal tersebut pada siang hari sebelumnya.

Yusak Yaluwo adalah kader Partai Demokrat. Yusak Yaluwo sebagai Bupati Kabupaten Bouven Digul dijadikan tersangka oleh KPK karena diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 49 miliyar terkait dengan penyalahgunaan dana otonomi khusus APBD 2005-2007 Kabupaten Boven Digul. Menurut Wakil Ketua KPK Chandra Martha Hamzah, kasus korupsi APBD Boven Digul yang disangkakan kepada Yusak Yaluwo telah diselidiki KPK sejak tahun 2008. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, KPK telah memanggil Yusak Yaluwo untuk diperiksa. Namun, Yusak Yaluwo telah mangkir dari panggilan, karena itu KPK kemudian menangkap Yusak ketika sedang berada di Bandara Soekarno-Hatta. KPK menduga Yusak akan lari ke luar negeri.

Dalam RDP antara Komisi III dan KPK itu, Wakil Ketua KPK Chandra membantah bermain politik dalam penanganan perkara itu. Walaupun dia telah memberikan penjelasan, beberapa anggota Komisi III DPR tetap memprotes penangkapan tersebut. Menurut pantauan Harian Koran JAKARTA, anggota Komisi III DPR tersebut di antaranya Nasir Djamil (Fraksi PKS), Setia Permana (Fraksi PDIP), Nudirman Munir dan Azis Syamsuddin (Fraksi Fraksi Golkar), Pieter Zulkifli dan Edi Ramly Sitanggang (Fraksi P.Demokrat), Ahmad Yani (Fraksi PPP), dan Syarifuddin Sudding (Fraksi P. Hanura). Mereka mengulang-ulang pertanyaan dan pernyataan yang menilai KPK telah melakukan intervensi politik terhadap Pilkada dalam menangkap Yusak. Bahkan beberapa orang sempat menyatakan Boven Digul akan rusuh apabila Yusak tidak dibebaskan.

Selanjutnya, Komisi III DPR mempersoalkan tindakan KPK terhadap Syamsul Arifin, Gubernur Sumatera Utara, yang kini Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Sumatera Utara. Azis Syamsuddin (Fraksi Golkar) angkat bicara, mempersoalkan kasus dugaan korupsi APBD Langkat dengan tersangka Syamsul Arifin ini. Aziz mempersoalkan KPK hanya menyidik Syamsul Arifin dan menyerahkan tersangka lainnya ditangani oleh kejaksanaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara.

KPK telah menetapkan Syamsul Arifin sebagai tersangka tindak pidana korupsi atas dugaan penyelewenangan APBD Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pada tahun 2000-2007. Korupsi terjadi saat Syamsul menjabat Bupati Kabupaten Langkat. Jumlah dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus ini semula Rp. 102.7 miliyar. Tapi, dalam proses pengusutan, konon Syamsul mengembalikan uang sekitar Rp. 61 miliar sehingga kerugian negara menjadi sekitar Rp. 41 miliyar. Syamsul yang selama ini telah menjadi kader Golkar diusung oleh PKS, PPP, PBB dan sejumlah partai kecil, terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara pada Juni 2008. Pada tahun 2009 ia merapat ke Partai Golkar dan terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sumatera Utara.

Komisi III saat itu juga mempersoalkan kasus pengadaan sapi impor, mesin jahit dan sarung di Kementerian Sosial dengan tersangka mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, seorang politikus senior PPP. Anggota Komisi III DPR dan Fraksi PPP Ahmad Yani menilai penetapan Bachtiar, yang merupakan politikus senior PPP, sebagai tersangka tidak sah.

Bachtiar dijadikan tersangka oleh KPK pada Februari 2010. Saat sebagai Menteri Sosial diduga pada tahun 2006-2007 telah melakukan tindak pidana korupsi atas tiga kasus, yakni 1. kasus pengadaan sarung tahun 2006-2007; 2. kasus pengadaan sapi impor tahun 2006; dan, 3. kasus pengadaan mesin jahit tahun 2004. Untuk kasus pengadaan sapi impor dan mesin jahit, diduga Bachtiar Chamsyah telah merugikan keuangan negara Rp. 37,8 miliyar. Untuk kasus pengadaan sarung, KPK masih menghitung angka kerugian negara. Bachtiar Chamsyah adalah seorang anggota elite terpuncak PPP, dan tatakala dijadikan tersangka menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PPP.

KPK telah memeriksa anggota DPR Amrun Daulay dari Fraksi P. Demokrat dalam kaitan dengan kasus yang menimpa Bachtiar Chamsyah. Amrun Daulay diperiksa sebagai saksi dalam kapasitas sebagai Direktur Jenderal Jaminan dan Bantuan Sosial Departemen Sosial saat Bachtiar sebagai Menteri di Departemen tersebut.

Dalam RDP itu Komisi III DPR juga mendesak KPK menghentikan skandal penyuapan dan gratifikasi pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom. Sejumlah anggota DPR diduga telah terlibat, beberapa sudah dan sedang diproses di pengadilan Tipikor, yakni Hamka Yandhu (kader Golkar), Dudhie Makmun Murod (kader PDIP), Udju Djuhaeri (mantan anggota Fraksi TNI/Polri) dan Endhin Soefihara (kader PPP). Hamka Yandhu mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar dalam suatu sidang pengadilan Tipikor Jakarta (11 Mei 2010) menyampaikan pembelaan. Ia mengaku, telah menerima sepuluh lembar cek perjalanan/pelayat dan membagi-bagikan kepada teman-temannya di Fraksi Golkar. “Saya akui menerima cek perjalanan senilai Rp. 1,5 miliar dibagi-bagikan ke teman-teman.” Anggota DPR menilai bahwa lebih baik menyelesaikan kasus Bank century terlebih dahulu, baru kemudian kasus-kasus lainnya.

RDP antara Komisi III DPR dengan KPK ini telah mengundang kritikan dan kecaman dari berbagai fihak, termasuk aktivis demokrasi dan media massa. Menurut Koran JAKARTA (3 Mei 2010), Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman menilai, tindakan sejumlah anggota Komisi III DPR meminta KPK menghentikan sejumlah kasus sudah merupakan bentuk makelar kasus. “Patut diduga ada titipan pada pertanyaan-pertanyaan para anggota DPR tersebut. Kalau satu partai jelas memiliki kepentingan. Kalau beda partai, diduga titipannya uang”, kata Boyamin.

Sementara itu, Editorial Harian Media Indonesia (3 Mei 2010) antara lain mengecam, pembelaan terhadap tersangka kasus korupsi itu semakin memperlihatkan DPR bukan hanya lembaga terkorup, sebagaimana penilaian yang dilansir oleh “Transparancy International Indonesia” pada 2009, tetapi juga lembaga “bunker” bagi maling uang negara. “Kasus-kasus korupsi yang dihadapi anggota DPR memperlihatkan penjarahan uang negara tidak dilakukan secara individual, tetapi beramai-ramai dilakukan anggota DPR,” tandas Editorial ini.

Penilaian negatif atas perilaku Komisi III DPR di atas umumnya terkait dengan intervensi politik DPR terhadap KPK yang melanggar peraturan perundang-undangan antara lain UU No. 30 tahun 2020 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal 3; dan, UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR,DPR, DPD dan DPRD, khususnya pasal 69. Disadari atau tidak, anggota DPR sedang melakukan intervensi politik terhadap KPK yang dikhawatirkan dapat menjadi preseden buruk di DPR. Padahal, UU No. 30 tahun 2002,pasal 3, menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Karena itu, intervensi dalam bentuk apapun terhadap KPK bertentangan dengan UU.

Di lahin pihak, DPR telah melewati batas keweanngan sebagai pengawas. UU No. 27 tahun 2009, pasal 68 ayat 1 dengan jelas menyatakan tiga fungsi DPR, yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Pelaksanaan fungsi ketiga inilah menjadi sorotan publik, mengkhawatirkan sebagai justifikasi untuk intervensi atau campurtangan yang belebihan. Intervensi DPR terhadap KPK soal penanganan kasus korupsi ini pada dasarnya sudah keluar dari jalurnya. DPR telah melewati batas kewenangannya sebagai pengawas.

Data dan fakta lain karakteristik perolehan dana ilegal dalam perspektif politik kartel adalah kasus pengambilan keputusan DPR tentang skandal korupsi Bank Century. Sesungguhnya Indonesia terus tercatat sebagai “juara” di antara negara-negara yang tingkat korupsinya tinggi di dunia. Bahkan, fenomena “state capture corruption”, korupsi sandera negara, telah mengambil tempat semakin meluas, terutama di bawah era reformasi ini. Jenis korupsi yang “paling berbahaya” ini sedang melumpuhkan kemampuan bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Kekuasaan negara seperti Pemerintah (eksekutif), DPR (legislatif) dan Mahkamah Agung (yudikatif) secara sadar atau tidak telah membuat keputusan-keputusan yang merugikan negara dan publik (korupsi) dalam rangka menghamba pada kepentingan korporasi lokal maupun asing (korporatokrasi internasional). Dengan perkataan lain, sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing (korporatokrasi internasional) lewat pemerintah yang sedang berkuasa mampu membeli peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah, mendiktekan kontrak harga di bidang-bidang seperti perbankan, pertambangan, pertanian, kehutanan, pendidikan, pertahanan, dll. Akibatnya pemerintah sendiri hanya sekedar kepanjangan tangan korporasi-korporasi besar dan asing.

Menelaah secara cermat skandal korupsi aliran dana publik dari dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) ke Bank Century dapat menyimpulkan bahwa skandal ini tergolong “state capture corruption”, korupsi sandera negara, terjadi dalam era pemerintahan SBY (tahun 2004-2009). Sebagai tergolong korupsi raksasa, bagaimanapun, telah melibatkan sejumlah ‘aktor”, termasuk aktor-aktor tertentu dalam pemerintahan (terutama eksekutif dan legislatif), disamping korporasi lokal dan asing. Kebijakan pemerintah tentang aliran dana publik dari LPS ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliyun tanpa persetujuan DPR-RI dan dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Masalah ini, disamping terkait dana Rp. 6,7 triliyun, menurunkan masalah lain yakni tindak pidana korupsi dalam proses pelaksanaan kebijakan. Diduga, dana tersebut mengalir kepada fihak-fihak yang sesungguhnya tidak berhak untuk menerima. Bahkan dalam sorotan publik diduga sebagian dana “talangan” itu telah digunakan untuk keperluan kampanye pasangan SBY-Boediono dalam Pemilu Pilpres 2009.

Tindak lanjut issu Bank Century ini terbentuk suatu Pansus Bank Century di DPR, yang mengundang sorotan publik paling besar sepanjang tahun 2009 dan awal 2010. Puncaknya adalah pemungutan suara rapat paripurna DPR untuk menentukan dua opsi, yakni opsi A dan opsi C.

Opsi A adalah kebijakan ‘bail out” dan aliran dana tidak bermasalah.
Opsi C adalah kebijakan “bail out” dan aliran dana diduga terdapat penyimpangan sehingga diserahkan kepada proses hukum.

Hasil “voting “ rekomendasi DPR menunjukkan pemilih opsi C lebih banyak ketimbang pemilih opsi A, yakni OPSI A 212 suara (Demokrat, PAN, PKB); oopsi B 325 suara (Golkar, PDIP,PKS,PPP, PKB,Gerindra, Hanura). Hasil pemungutan suara anggota DPR menentukan pilihan yang pada prinsipnya tidak satu pun kader Parpol tertuang dalam catatan hasil rekomendasi sebagai sasaran penegakan hukum.

Mereka telah dan akan diperiksa oleh penegak hukum hanyalah pejabat birokrasi, dominan pegawai Bank Indonesia yang notabenenya bukan kader Parpol. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wapres Boediono sebagai sasaran penegakan hukum sebagaimana rekomendasi DPR bukan juga anggota Parpol. Padahal, sebelumnya beberapa anggota Pansus mengungkapkan, adanya dugaan kader Parpol telah menggunakan dana bailout Bank Century. Dugaan sebagian dana “talangan” telah digunakan untuk keperluan kampanye pasangan SBY-Boediono dalam Pemilu Pilpres 2009 menjadi tidak ada jalan untuk membuktikannya karena memang tidak ada kader Parpol pendukung SBY-Boediono direkomendasikan DPR untuk diperiksa oleh penegak hukum (KPK, Kepolisian dan Kejaksanaan). Dengan perkataan lain, DPR berupaya menghindar dari penyingkapan keterlibatan kader Parpol dalam skandal korupsi Bank Century ini. Bagaimanapun, politik kartel telah mewarnai proses pengambilan keputusan DPR tentang skandal korupsi Bank Century.

Setelah skandal korupsi Bank Century mencuat di publik dan DPR mengambil keputusan melalui sidang paripurna terkait dengan rekomendasi/opsi pemecahan masalah, persoalan penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi yang menimpa kalangan anggota DPR dari Koalisi Parpol pendukung Pemerintah SBY dan juga PDIP nampaknya kurang mencuat ke publik. Kalaupun ada, menyangkut kasus anggota DPR dari Fraksi PKS, Misbakhun dan salah seorang dari 9 (sembilan) penggagas Pansus Hak Angket Bank Century di DPR. Misbakhun diduga melakukan penyelewengan dokumen melalui LC fiktif terkait dengan Bank Century. Sementara kasus-kasus lain melibatkan kalangan anggota DPR jauh lebih besar dan penting bagi negara seperti “Cost Recovery PT. Pertamina EP yang merugikan negara Rp. 21,85 triliun” dan dugaan korupsi keberangakatan haji nyaris tak terdengar lagi. Jika dibandingkan kasus Bank Century, hanya Rp. 6,7 triliun, maka kasus cost recovery ini jauh lebih besar merugikan negara dan melibatkan bukan saja kalangan eksekutif dan korporasi, tetapi juga anggota DPR yang terlibat membuat keputusan sehingga negara dirugikan. Juga harus dapat memaksa Parpol untuk mengelola diri berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi (good governance).

Kasus Cost Recovery PT. Pertamina EP telah dianalisis dan disimpulkan oleh Marwoto Mitrohardjono (Almarhum), Anggota DPR RI dari Fraksi PAN sebagai berikut:

1.Klaim cost recovery PT. Pertamina EP sebesar Rp. 21,85 triliun untuk tahun 2004 sampai dengan 2008 tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara akuntansi maupun secara legalitas (hukum) sehingga merugikan negara sebesar Rp. 21,85 triliun. Menurut Marwoto, temuannya tentang kesalahan akuntansi ini telah diakui baik oleh wakil-wakil dari Departemen Keuangan, Departemen ESDM, BP Migas maupun PT Pertamina (Persero) dalam rapat Panitia Anggaran DPR pada waktu itu.

2.Cost recovery yang telah dibayarkan melalui APBN tahun anggaran 2004, 2005, 2006 dan 2007 dengan perhitungan sejak penetapan aktiva PT Peramina (Persero) perposisi tanggal 17 September 2003 yang belum diaudit/unaudited sampai dengan 31 Desember 2007 mencapai sebesar US$ 2,327 juta (dua miliyar tiga ratus dua puluh tujuh juta dolar). Terkait dengan masalah ini, Marwoto mengusulkan agar cost recovery telah terlanjur dibayarkan sebesar US$ 2,327 juta tersebut segera ditarik kembali ke APBN secepatnya. Tetapi, menurut Marwoto, usulannya ini tidak mendapat persetujuan sepenuhnya dalam rapat Panitia Anggaran DPR.

3.Tidak tertutup kemungkinan penyimpangan akuntansi maupun legalitas (hukum) dalam masalah klaim cost recovery oleh KPS-KPS lain selain PT Pertamian EP potensial bisa merugikan negara. Untuk ini, Marwoto menganggap perlu dilakukan audit investigasi juga.

Issue dugaan korupsi keberangkatan haji sudah muncul menimpa DPR belum usai suasana lebaran Oktober 2008. Salah seorang anggota DPR, Soeripto, membeberkan issue ini kepada wartawan Detikcom (Oktober 2008). Menurut Soeripto, korupsi untuk masalah haji ini terbilang dahsyat. Selain nominalnya besar, paling utama para pelakunya tidak mempunyai belas kasihan terhadap rakyat kecil yang sudah susah mengumpulkan uang. Kasus korupsi ini telah melibatkan anggota DPR, dilakukan secara besar-besaran setiap tahunnya. “Saya menilai ini sudah keterlaluan sekali karena menipu rakyat yang sudah mengumpulkan uang demi kepingin berangkat haji”, tandas Anggota Komisi III DPR periode 2004-2009 dari Fraksi PKS ini sembari ingin mengetuk pintu hati kawan-kawan anggota DPR di Komisi VIII untuk tidak tergoda dengan permainan mafia haji.

Soeripto menyatakan, korupsi ini terjadi di Komisi VIII karena komisi tersbut merupakan pengawas pelaksanaan haji. Data korupsi ini hanya untuk ONH (Ongkos Naik haji) saja, bukan ONH Plus. Ada 187 ribu orang yang menunaikan ibadah haji. Jika ONH saja dikenakan Rp. 40 juta, berapa yang mereka terima jika sebenarnya harga ONH tersebut hanya separuhnya?. Untuk lebih jelasnya, Soeripto mengajak untuk membandingkan dengan Malyasia. Karena ONH di Malaysia tidak berbeda jauh dengan di sini namun karena banyak catutan maka jadi membengkak dua kali lipat. “Kalau tidak salah di Malaysia untuk ONH sekitar Rp. 20 juta”, kilahnya. Hingga kini, issue korupsi penyelenggaraan haji yang melibatkan anggota Komisi VIII sebagaimana dimaksud Soeripto masih juga belum tekuak di pengadilan atau ditangani penegak hukum.

Data dan fakta di atas menunjukkan DPR menerapkan standar ganda. Di satu sisi, sangat keras menuntut agar kasus korupsi dibongkar, tetapi di sisi lain cenderung menjadi “pembela” koruptor. DPR sangat gencar mendorong KPK mengusut Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani, tetapi dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader Parpol, DPR cenderung membela, bahkan secara resmi meminta KPK menghentikan pengusutan kasus korupsi yang melibatkan anggota Parpol. Sikap DPR semacam ini oleh sebagian pengamat politik, memperlihatkan parlemen masih menjadi bungker koruptor dari Parpol.

Sikap resistensi sejumlah fraksi di DPR menjadikan aktor paling menghambat pemberantasan korupsi yakni pihak DPR. Hasil pencatatan dan pengamatan ICW dari tahun ke tahun menunjukkan setidaknya enam argumen yang mendukung pernyataan ini:

Pertama, sikap serangan balik dan bahkan rencana revisi kewenangan penyadapan pada UU KPK pasca mulai banyak anggota DPR yang diperiksa dalam kasus korupsi. Kedua, penghapusan eksistensi Hakim Ad Hoc pada revisi kedua UU Mahkamah Agung. Ketiga, soal BPK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan audit. Keempat, sikap pro status quo mayoritas ftaksi untuk memperpanjang usia pensiun Hakim Agung menjadi 70 tahun, yang sama saja sebagai sikap anti perubahan, anti regenerasi dan perbaikan kekuasaan kehakiman. Kelima, upaya mempertahankan klausal kewajiban adanya izin pemeriksanaan bagi anggota MPR,DPR, DPD dan DPRD dalam proses pemeriksaan tindak pidana. Berlindung di balik logika “imunitas legislatif” sikap itu justru menganulir asas semua orang dianggap sama di depan hukum dan mengarah pada strategi kebal hukum. Keenam, lembatnya pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).