Minggu, 04 April 2010

KETUA MPP DAN DPP PAN ILEGAL

Informasi Buku:

KETUA MPP DAN DPP PAN ILEGAL



----------------------------------------------------------------------------
Penulis : Muchtar Effendi Harahap
Moh Adi Rusdianto
Penerbit : Pustaka Fahima, Yogyakarta
X + 200 hlm, 140 mm x 200 mm
Cetakan I : April 2010.
------------------------------------------------------------------------------------------------------

Partai Amanah Nasional (PAN) kini sedang menghadapi dua masalah pokok. Pertama, DPP PAN telah melakukan pemalsuan AD/ART hasil Kongres II, Semarang, 2005. Kedua, kiprah PAN telah menjauh dari garis cita-cita dan tujuan pendirian PAN.

Buku berjudul “Ketua MPP dan DPP PAN Ilegal” ini mencoba membuka tabir kedua masalah tersebut secara ringkas syarat dokumen dan data penunjang. Bagi para Penulis buku ini, jika kedua masalah ini tidak segera dipecahkam, maka PAN akan menghadapi masalah lebih rumit lagi, yakni kesempatan untuk menjadi peserta Pemilu 2014 dan semakin berkurangnya pendukung dan pemilih PAN.

Buku ini bermula dari gambaran situasi politik di sekitar pendirian PAN yang diwarnai gelombang reformasi dan demokratisasi, yang mengharuskan pemerintahan, dunia usaha dan warga negara sebagai sasaran utama. Juga diungkapkan cita-cita dan tujuan pendirian PAN sebagai dasar untuk menilai kiprah PAN yang telah menjauh dari garis cita-cita dan tujuan pendirian PAN.

Beberapa indikator diajukan untuk menjustifikasi penilaian tentang kiprah PAN ini, antara lain: tidak dibentuknya Badan Perwakilan Partai (BPP) tertuang dalam Anggaran Dasar (AD) PAN, mundurnya 16 anggota DPP PAN (2000-2005), penempatan kader di kabinet, pencalegan dini, dukungan terhadap SBY, penentuan yang duduk di kursi legislatif berdasarkan perolehan suara terbanyak, kasus hak angket beras di DPR, pemalsuan AD/ART PAN dan juga pelaksanaan kongres III di Batam yang ilegal karena menggunakan AD/ART palsu. Indikator-indikator ini menunjukan kecenderungan DPP PAN yang tidak taat hukum formal maupun aturan main yang dibuat sendiri.

Salah satu indikator tidak taat hukum itu paling dominan adalah pemalsuan AD/ART oleh DPP PAN Periode 2005-2010. Bukti pemalsuan ini sangat jelas jika kita melihat Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menyatakan Akta Notaris No. 1 tertangal 1 Juni 2005 tentang AD/ART PAN Notaris Muhammad Hanafi, SH, adalah bertentangan dengan hukum. Juga dinyatakan, akta tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Karena itu, AD/ART yang dicatatkan di negara (Departemen Hukum dan HAM) menjadi tidak sah atau ilegal.

Berdasarkan keputusan ini, Departemen Hukum dan HAM menyurati DPP PAN agar mengirimkan AD/ART hasil Kongres II Semarang yang telah dituangkan dalam Akta Notaris untuk diproses sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Menurut UU Partai Politik ini, setiap partai harus menyerahkan AD/ART-nya ke Departemen Hukum & HAM. Hingga kini DPP PAN tidak pernah menyerahkan AD/ART sesuai surat Departemen Hukum dan HAM tsb. Karena itu, PAN tidak bisa memenuhi ketentuan UU Partai Politik, sehingga dapat dinilai segala kegiatan bertentangan dengan hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum (ilegal).

Atas dasar itu pula dinilai kongres III PAN di Batam awal Januari 2010 lalu tergolong ilegal, dan konsekuensinya status Amien Rais sebagai Ketua MPP dan Hatta Radjasa sebagai Ketua DPP menurut Kongres III Batam itu, tergolong ilegal !

Buku ini kemudian mempertanyakan eksistensi anggota legislatif hasil Pemilu 2009 dari PAN, apakah mereka itu legal atau ilegal? Karena, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diterbitkan tanggal 5 Februari 2009, sementara pelaksanaan Pemilu pada April 2009. Artinya, saat Pemilu dilaksanakan, PAN tidak memiliki AD/ART yang sah dalam perspektif hubungan PAN dan negara. Sementara Pemilu adalah peristiwa politik terkait dengan hubungan partai dan negara.

Buku ini terdepan menguak tabir pemalsuan AD/ART dan juga mempertanyakan legalitas hasil kongres Batam. Sesungguhnya, menurut sumber yang dapat dipercaya, Amien Rais sudah sangat mengetahui bahwa DPP PAN telah melakukan pemalsuan AD/ART dan kongres Batam ilegal. AD/ART yang dijadikan dasar pelaksanaan Kongres Batam juga AD/ART yang palsu, bukan yang asli. Namun, Amien Rais nampaknya melakukan ”politik pembiaran”, suatu sikap yang tidak bijak sebagai seorang yang menganggap dirinya tokoh atau pemimpin ummat.

Buku ini dilengkapi dokumen dan data untuk menguatkan penilaian, yakni AD/ART PAN yang asli, AD/ART PAN yang dipalsukan, Keputusan Pengadilan Jakarta Selatan, Surat Departemen Hukum dan HAM, dan juga Surat Pelimpahan Laporan dari Mabes Polri ke Polda Metoro Jaya dan Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Polda Metro Jaya tentang dugaan terjadinya tindak pidana terkait dengan pemalsuan AD/ART PAN.

Para penulis juga mengajukan solusi atas kedua masalah pokok PAN, yakni para pendiri PAN harus segera bertindak, tidak boleh ’berlepas tangan”. Maknanya, tidak membiarkan kiprah PAN semacam ini terus berlangsung di tangan Amien Rais dan beberapa kader di sekitarnya. Untuk memperlancar tindakan para pendiri dimaksud, seyogyanya Amien Rais, karena tidak mampu menjaga kiprah PAN yang sesuai cita-cita dan tujuan pendirian PAN, meninggalkan arena PAN dan kembali ke kampus UGM Yogyakarta sebagai dosen yang konsisten dan konsekuen. Biarkan masalah PAN diselesaikan oleh sejumlah pendiri PAN yang selama ini tidak terlibat langsung dengan kegiatan politik kekuasaan PAN (Iwan Kushendro).

IMPLIKASI IMPEACHMENT DALAM KONTEKS SISTEM PRESIDENSIAL

------------------------------------------------------------------------------------\
Keterangan Redaksi:
Pada hari Kamis, 11 Maret 2010, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) IARMI (Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia) telah menyelenggarakan Seminar Nasional di Hotel Kartika Candra, Jakarta. Salah satu topik seminar adalah "Implikasi Impeachment dalam Konteks Sistem Presidensial".Tulisan ini merupakan Acuan Seminar untuk topik ini (Muchtar Effendi Harahap)
-------------------------------------------------------------------------------------



I. MAKNA IMPEACHMENT
Polemik seputar impeachment atau pemakzulan Presiden RI di Indonesia terus berjalan seiring dengan perjalanan Panitia Angket DPR-RI tentang Skandal Bank Century dan dinamika politik yang relatif ”tinggi” khususnya setelah Kabinet Indonesia Bersatu II dibentuk oleh Presiden SBY. Sangat penting untuk mencoba mencari jawaban lebih argumentatif dan lengkap dalam perspektif hukum, politik dan sosiologis melalui dialog/diskusi dan penelitian seksama. Pertanyaan lanjut seyogyanya diajukan sebagai berikut: apa yang dapat menjadi justifikasi hukum, politik dan sosiologis atas pemakzulan (impeachment) Presiden RI? Jika terjadi impeachment, apa implikasinya terhadap sistem presidensial yang secara konstitusional berlaku di Indonesia?
Impeachment atau sangat popular diterjemahkan sebagai pemakzulan adalah sebuah proses dari sebuah badan legislatif yang secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Impeachment bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan jabatan, tetapi hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga hanya merupakan langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan. Saat pejabat tersebut telah diimpeach (dimakzulkan), ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian menyebabkan pemecatan sang pejabat.
Di banyak Negara, kata pemakzulan berlaku di bawah konstitusi seperti Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Filipina dan juga Indonesia.
Di Indonesia, konstitusi (UUD 45) tidak mengenal kata pemakzulan. Yang dikenal kata “pemberhentian”. Walaupun begitu, kata “pemberhentian” dalam UUD 45 memiliki makna yang sama dengan kata pemakzulan (impeachment).
II. IMPEACHMENT DALAM UUD 45 PERUBAHAN
Sekalipun telah terjadi beragam pemikiran/pendapat, namun terdapat kesamaan bahwa berdasarkan UUD 45 Perubahan, terutama Pasal 7B ayat (1), di Indonesia memungkinkan terjadinya pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden dapat ”dilengserkan” dengan dua sebab:
Pertama, melakukan pelanggaran hukum (lima jenis). Kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Lima jenis pelanggaran hukum dimaksud yakni:
1. Pengkhianatan terhadap negara..
2. Korupsi.
3. Penyuapan.
4. Tindak pidana berat lainnya, atau
5. Perbuatan tercela.
Sesungguhnya jenis pelanggaran hukum tidak terlalu memunculkan masalah, kecuali frasa ”perbuatan tercela” karena sangat interpretative atau multitapsir.

Masalah utama dalam polemik publik yakni: “mungkinkah Presiden RI dimakzulkan?” Masalah utama ini telah mendapat jawaban, yang berdasarkan pertimbangan politik kekuasaan, menyatakan “tidak mungkin”. Salah satu alasannya, sekarang mekanisme pemakzulan Presiden tidak semudah masa Gus Dur masih menjadi Presiden. Pasalnya? Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, mekanisme pemakzulan berubah. Jika ditemukan pelanggaran dari Pemerintah atas kebijakan tertentu, DPR bisa menggunakan “hak menyatakan pendapat”. Level hak menyatakan pendapat ini jauh lebih tinggi ketimbang hak angket. Sebagaimana Tata Tertib DPR mengatur, tindak lanjut atas keputusan DPR tentang penggunaan hak angket ialah menyampaikan ”hak menyatakan pendapat” atas keputusan hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket.
Dengan perkataan lain, telah diatur hak menyatakan pendapat untuk menduga, ”Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Untuk menggunakan hak menyatakan pendapat, DPR akan membentuk Pansus lagi dan menyatakan bakal memakzulkan Presiden.
Tapi, dalam memutuskan pemakzulan atau tidak, masih menunggu rekomendasi MK (Mahkamah Konstitusi). MK telah mengesahkan tata cara pemakzulan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Hukum Acara Pemakzulan pada 31 Desember 2009. Dalam aturan ini dijelaskan pemakzulan terhadap Presiden maupun Wakil Presiden dapat dilakukan secara terpisah atau bersama-sama.
Peraturam Mahkamah Konstitusi (PMK) itu mengatur bahwa pemakzulan diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Mahkamah Konstitusi (MK), baik secara langsung atau melalui wakil yang ditunjuk. Akan tetapi, keputusan MK dalam hal ini hanya menyatakan Presiden atau Wakil Presiden termakzul bersalah atau tidak. MK tidak punya wewenang memberi sanksi maupun melepas jabatan. Wewenang itu sepenuhnya berada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Terdapat dua pokok penting dalam PMK tentang Hukum Acara Pemakzulan tersebut. Pokok pertama adalah proses hukum pidana kepada pihak termakzul tetap dapat berlangsung selama proses pemakzulan berlangsung di MK. Seperti keputusan lainnya, proses pemakzulan di MK paling lama memakan waktu 90 hari. Hal ini karena proses pemakzulan dan proses hukum pidana merupakan dua jalur yang berbeda. Pemakzulan merupakan proses hukum tatanegara yang merupakan keputusan politis dan tidak berkaitan dengan hukum pidana maupun perdata.
Adapun pokok penting kedua, yakni maupun Wakil yang sedang dalam proses pemakzulan dapat diwakilkan. Apabila proses pemakzulan berakhir dengan pencopotan jabatan, maka MPR harus segera menunjuk gantinya paling lama dalam waktu 60 hari.
Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 sesungguhnya belum pernah dipraktekkan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Kalau pendapat DPR bahwa benar hal itu terjadi maka MK yang harus memutuskan apakah pendapat itu terbukti atau tidak. Kalau MK memutuskan memang terbukti, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul pemakzulan dan/atau Wakil kepada MPR (Pasal 7B ayat 5 UUD 1945 juncto Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR).
Faktor sangat menentukan pemakzulan adalah proses politik di sidang majelis MPR. Sekalipun investigasi Panitia Angket DPR berhasil mengajukan data dan fakta, lalu MK memutuskan bahwa telah melanggar hukum sesuai dengan UUD 1945, terutama Pasal 7B ayat (1), namun bisa saja proses politik di MPR memutuskan tidak memakzulkan/mencopot . Alasan berikutnya diajukan berkaitan dengan UUD, pemakzulan sulit didasarkan pada “pengambilan kebijakan”.
III. SISTEM PRESIDENSIAL DALAM UUD 45 PERUBAHAN
Dalam dunia akademis, suatu negara dapat menganut sistem pemerintahan
parlementer atau presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial, terdapat pemisahan dan perimbangan kekuasaan eksekutif dan legislatif atau parlemen. Sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer, kekuasaan parlemen lebih tinggi dari eksekutif atau sering disebut sebagai supremasi parlemen.

Sesungguhnya penerapan sistem presidensial atau parlementer berbeda-beda antara satu negara dan negara lain. Di Indonesia, sebelum amandemen UUD 45, sistem pemerintahan Indonesia dinilai tidak tegas menganut presidensial apalagi parlementer. Keadaan ini mulai berubah sejak adanya kesepakatan dasar dalam Pembukaan UUD 45 oleh MPR pada Sidang Umum MPR 1999, yakni ”sepakat untuk mempertegas sistem presidensial.

Tindak lnjut kesepakatan dasar terwujud melalui perubahan ketentuan terkait dengan kekuasaan Presiden dan parlemen dalam UUD 45. Terjadi perubahan mendasar, yakni konstruksi konsep kedaulatan dan kelembagaan MPR yang mengakibatkan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Presiden tidak lagi merupakan mandataris MPR dan tidak lagi dipilih MPR, tapi dipilih langsung oleh rakyat. Karena itu, Presiden bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilu periode berikutnya, dan tidak bertanggungjawab kepada MPR.

Dalam UUD 45 Perubahan, sistem presidensial terlihat dari kedudukan sederajat Presiden dan DPR. Perimbangan kedudukan diwujudkan dalam ketentuan, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 45 (Pasal 4 ayat 1), sedangkan DPR memegang kekuasaan membentuk UU (Pasal 20 ayat 1). Kedudukan presiden tidak tergantung pada perlemen sepertri sistem parlementer.

DPR atau MPR tidak dapat dengan mudah memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya kecuali karena melakukan pelanggaran hukum tertentu yang harus diputuskan terlebih dahulu melalui mekanisme hukum dalam forum Makamah Konstitusi (MK). Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan karena kebijakan yang diambil seperti pembubaran kabinet dalam sistem parlementer. Di samping itu, Presiden dan Wakil Presiden mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat sehingga memiliki hak untuk menentukan kebijakan apa yang akan dijalankan. Kebijakan dan program itulah yang menjadi pertimbangan rakyat memilihnya menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

IV. IMPLIKASI IMPEACHMENT

Sebagaimana telah diuraikan, menurut UUD 45 Perubahan memungkinkan untuk dilakukan impeachment terhadap Presiden RI. Namun, di lain fihak, UUD 45 Perubahan itu pula mempertegas pemberlakuan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Berdasarkan sistem presidensial ini, DPR atau MPR tidak dapat dengan mudah memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya kecuali karena melakukan pelanggaran hukum tertentu yang harus diputuskan terlebih dahulu melalui mekanisme hukum dalam forum Makamah Konstitusi (MK).

Namun, jika terjadi juga impeachment terhadap Presiden RI karena skandal Bank Century misalnya, apa implikasinya dalam konteks sistem presidensial berlaku di Indonesia menurut UUD 45 Perubahan? Mungkinkah impeachement di dalam sistem pemerintahan presidensial?

Di harapkan Seminar Nasional Sesi Ketiga ini dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara seksama sehingga diperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang impeachement/pemakzulan dan sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 45 Perubahan.

NEOLIBERALISME VERSUS PEREKONOMIAN RAKYAT DALAM UUD 45 PERUBAHAN

OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




I. PENGANTAR
Pada hari Kamis, 11 Maret 2010 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) IARMI (Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia) telah menyelenggarakan seminar nasional. Salah satu topik seminar, yakni: “’Neoliberalisme versus Perekonomian Rakyat dalam UUD 45 Perubahan”. Tulisan ini merupakan Acuan Seminar dengan Topik dimaksud.ACUAN SEMINAR ini hanyalah sebagai referensi awal bagi peserta Seminar agar berhasil mencapai kesimpulan-kesimpulan relevan dengan maksud dan tujuan Seminar (MUCHTAR EFFENDI HARAHA.


II. DEMOKRASI EKONOMI DALAM UUD 45 PERUBAHAN
Amandemen UUD 45, disebut sebagai UUD 45 Perubahan, sesungguhnya realisasi dari Agenda Reformasi yang dicanangkan mahasiswa dan kekuatan pro-reformasi sekitar 1997/98. Berdasarkan UUD 45 Perubahan, terjadi perubahan politik dan ekonomi nasional. Dalam bidang politik, sejumlah perubahan kelembagaan pemerintahan

Dalam era UUD 45 Perubahan ini, paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara telah mengubah, yakni “dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi langsung”. Bahkan telah memasukkan Bab khusus tentang HAM, terdiri dari 10 pasal. Komisi independent sebagai komponen demokrasi telah terbentuk, antara lain Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), KPU (Komisi Pemilihan Umum), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dll. Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota yang semula dipilih oleh lembaga legislatif, kini langsung dipilih rakyat.

Sekalipun diakui ada perubahan politik nasional di sana-sini dalam era UUD 45 Perubahan lebih mengarah kehidupan demokratis dan penegakan HAM, namun kalangan pengkritik menekankan, perubahan politik itu tidak sejalan perubahan ekonomi nasional, terutama kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat kebanyakan. Kebijakan perekonomian dalam era UUD 45 Perubahan bukanlah pro rakyat dalam pengertian pengurangan berarti kelompok kaum miskin dan pengangguran. Bahkan, kecenderungan perekonomian pro asing atau korporasi asing semakin terlihat jelas jika kita menjadikan keadaan antara lain pasar domestik, perbankan, struktur usaha (korporasi, menengah dan mikro), utang luar negeri, minyak, sumber daya alam (SDA) lainnya dan pelayaran sebagai indikator.

Tatkala Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 45. M. Hatta berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam ”konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan lebih baik. Pasal 33 UUD 45 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa bangunan perekonomian sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUD 45 tersebut diatur pula di samping koperasi, peranan BUMN dan Swasta.
Memasuki era reformasi (UUD 45 Perubahan), Indonesia tetap mengusung azas demokrasi ekonomi, sekalipun kabur karena adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 45. Pikiran di belakang ayat baru itu, oleh pengkritik, adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme. Kata “koperasi “ dalam UUD 45 Perubahan telah hilang. Hilangnya kata ”koperasi” sebagai bentuk operasional perekonomian rakyat atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 45, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal 4, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan, bagi pengkritik, jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa neoliberalisme.

Pasal 33 UUD 45 seharusnya tidak dapat dibaca hanya sebagai salah satu penggalan kepentingan perekonomian rakyat. Kemakmuran ekonomi rakyat bukan hanya perwujduan pasal 33 UUD 45. Pasal 33 hanya salah satu bagian dari seluruh kehendak rakyat Indonesia yang holistik yaitu menginginkan kesejahteraan sosial, ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta mewujudkan harkat martabat manusia.

Tahun 2010 ini masih menggunakan UUD 45 Perubahan, yang bermakna dasar hukum tertinggi mengatur pengelolaan perekonomian Indonesia. Karena itu, secara konstitusional pengelolaan perekonomian Indonesia haruslah mengacu pada UUD 45 Perubahan, yang didasari Pancasila sebagai identitas asli perekonomian. UUD 45 Perubahan mengharuskan perekonomian Indonesia mengacu pada ketentuan mengutamakan koperasi sebagai sokoguru dan demokrasi ekonomi sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 UUD 45.


III. PEREKONOMIAN RAKYAT.

Tugas utama negara INDONESIA, memerdekakan warga dari kemiskinan. Pasal 27 UUD’45 menegaskan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian. Artinya, tiap2 warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak. Juga UUD’45 memerintahkan agar fakir miskin dan anak2 terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34).

Setiap rezim pemerintahan, baik masa Gus Dur, Megawati maupun SBY, selalu mengklaim kebijakan perekonomian yang diambil adalah pro rakyat. Mereka acapkali menekankan perekonomian rakyat berdasarkan UUD 45 baik sebelum maupun setelah amandemen. Saat kampanye pasangan Presiden/Wakil Presiden pada Pilpres 2009, semua pasangan mengklaim jika terpilih akan mengambil kebijakan perekonomian pro rakyat.

Prinsip perekonomian rakyat dipercaya dapat membawa Indonesia keluar dari krisis karena bertumpu pada sektor kekuatan ekonomi rakyat yang semuanay dijalankan oleh Pemerintah. Pemerintah memegang peranan dalam prinsip ekonomi ini.

Secara akademis, perekonomian rakyat seperti ekonomi Pancasila versi Mubyarto, suatu sistem ekonomi Pancasila yang bermoral, manusiawi, nasionalistik, kerakyatan/demokratis, dan bertekad mewujudukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, penghisapan oleh pemodal dan manapun termasuk pemodal nasional harus ditolak. Ekonomi Pancasila melawan ekonomi yang menghisap (eksploitatif). Ekonomi Pancasila bersifat partisipatif yang lebih menghargai manusia dibandingkan alat atau teknologi, lebih-lebih modal uang.

Mengacu pada UUD 45 Perubahan dan ekonomi Pancasila sebagaimana dikembangkan Mubyarto, perekonomian Indonesia harus berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila, yaitu moral agama, kemerataan sosial, nasionalisme ekonomi, kerakyatan, dan keadilan sosial. Ekonomi Pancasila melawan ekonomi menghisap (eksploitasi), bersifat partisipatif yang lebih menghargai manusia dibandingkan alat atau teknologi, lebih-lebih modal uang. Ekonomi Pancasila yang pro rakyat ini sesungguhnya bukan sekedar rumah tangga konsumen, melainkan rumah tangga produksi, tentu saja mampu melakukan investasi.

Karena itu, perekonomian rakyat bermakna memberikan ruang bagi tumbuhnya usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM) serta koperasi . Pemerintah dalam era UUD 45 Perubahan selalu memberikan dukungan kelembagaan terhadap UMKM serta koperasi, mulai dari Kementerian Koperasi dan Usaha Menengah Kecil, Departemen Perindustriaan, Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Lembaga-lembaga ini bekerja untuk pertumbuhan usaha menengah dan kecil sesuai wewenanga masing-masing. Juga beragam lembaga masyarakat dalam bentuk LSM dam asosiasi pemberdayaan usaha kecil tidak kurang memberikan berbagai program untuk trumbuhynya usaha menengah dan kecil. Telah diterbitkan berbagai kebijakan, sebagai misal kewajiban penyisihan dana keuantungan BUMN 1%-5% untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi (SK Menku), berbagai aturan BI untuk penyaluran kredit bagi usaha kecil dan menengah, serta puluhan program pengutan usaha kecil.

Gambaran perekonomian rakyat dapat ditunjukkan melalui data BPS, 2006, yakni usaha menengah kecil dan mikro mencapai 49,93 juta unit (99,9%) dari total pelaku usaha nasional. Dari jumlah itu, 26,2 juta unit di antaranya bergerak di sektor perdagangan, hotel, dan restoran (58 % atau 13 juta unit usaha). Pada 2006 sektor UMKM menyumbang 53,28 % produk domestik bruto nasional, 15,44% dari total penyerapan tenaga kerja nasional (Kom,pas, Februari 2008). Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, sektor UMKM sebagian besar di wilayah informal mampu menjadi pengaman perekonomian nasional denganm menyediakan lapangan kerja dan output yang besar.

Sampai akhir tahun 2008, menurut Kementerian Negara Kopearsi dan UKM (Juli 2009), sampai akhir 2008 telah terwujud 42.267 unit koperasi berkualitas yang tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Koperasi sebagai sokoguru adalah menifestasi dari demokrasi ekonomi sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 UUD 45. Dalam demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Meskipun kenyataan tersebut masih jauh cari cita-cita, namun semangat untuk menjadikan koperasi sebagai tuan rumah di negeri sendiri tidak akan pernah padam. Masyarakat koperasi bertekad dan berkeinginan untuk eingkatkan peran dan kontribusi terhadap ketahanan perekonomian nasional dalam dinamika peruabahan global, dengan lebih bersungguh-sunguh, kuat, dan profesional di berbagai sektor sehingga mampu memenuhi kepentingan ekonomi anggota dan masyarakat lingkungannya. Prinsip-prinsip koperasi mengharuskan koperasi sebagai pengejawantahan institusional dari gerakan anti kapitalisme, yang merupakan anak kandung globalisasi. Karena itu, membesarkan koperasi berarti membendung efek negatif globalisasi.

Uraian di atas menunjukkan, perekonomian Indonesia harus berdasarkan Pancasila dan UUD 45 Perubahan. Dalam perspektif ekonomi Pancasila, peran perekonomian rakyat sangat strategis. Namun, apakah dalam realitas obyektif kebijakan perekonomian rakyat telah mengambil tempat khususnya dalam era UUD 45 Perubahan? Indikator kemiskinan dan pengangguran, pendapatan rakyat, barang kebutuhan pokok rakyat, dapat menjadi pertimbangan untuk menjawab pertanyaan di atas.

a.Kemiskinan dan Pengangguran

Pada awal menjadi Presiden, SBY menjanjikan penurunan jumlah orang miskin dan pengangguran dalam lima tahun. Mereka menargetkan angka kemiskinan menjadi 8 % dari jumlah penduduk pada 2009. Sedangkan angka pengangguran 5,1 % dari jumlah penduduk. Namun, janji itu telah gagal ditepat. Jika digunakan definisi Bank Dunia (miskin jika berpenghasilan kurang 2 dollar AS/hari), maka jumlah orang miskin mencapai 49,5% dan jumlah penganggur lebih 40 juta orang. Versi BPS, Jumlah penduduk miskin tahun 2009 sekitar tercatat sekitar 14 % dari total penduduk. Pada 2009 Jumlah penggangguran masih tergolong tinggi yakni sekitar 8,14 %.

Jajak Pendapat Litbang Kompas (6-7 Mei 2008) dengan 871 responden berdomisli di 11 kota, menunjukkan bahwa 75 % responden menyatakan kondisi kesejahteraan rakyat saat ini jauh lebih buruk dibanding 10 tahun lalu. Setiap 8 dari 10 responden juga menyatakan, kondisi perekonomian lebih buruk dibanding satu dekade lalu. Sebanyak 50,4 % responden menganggap reformasi telah gagal membawa perubahan positif di bidang perekonomian, dan 16,5 % menilai gagal memperbaiki kondisi sosial dan kesejahteraan

Gambaran kondisi kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat kini tak dapat dipungkiri.. Pertumbuhan eonomi meningkat hanya pada sektor yang banyak dinikmati kelas menengah ke atas, sedangkan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak cenderung menurun. Peningkatan devisa negara dikarenakan masuknya investasi asing ke Indonesia mencapai hingga 70 %. Kebijakan Pemerintah masih belum dapat mengurangi tingkat kemiskinan yang mendera rakyat. Menurut Faisal Basri, Kompas,29 Des. 2007,. selama tahun 2007 ketimpangan ekonomi meningkat dari 0,34 % menjadi 0,37 %. Pertumbuhan orang kaya per tahun mencapai 16 %. Ketimpangan ini menununjukkan melebarnya jurang kemiskinan.

Selanjutnya ECONIT’s Economic Outlook 2008 menunjukkan, selama tiga tahun terakhir, pengeluaran untuk program anti-kemiskinan naik 2,8 kali, tetapi jumlah orang miskin nyaris tidak berkurang (40 juta jiwa). Kontradiski ini menunjukkan dua hal penting: pertama, efektivitas program anti-kemiskinan sangat rendah; kedua, proses pemiskinan struktural akibat kebijakan jauh lebih cepat dan ganas dibandingkan dengan program anti-kemiskinan. Beberapa contoh akibat kebijakan dimaksud sbb: 1. Ketidakmampuan Pemerintah melakukan stabilisasi harga kebutuhan pokok sejak dua tahun terakhir, telah mengakibatkan kemerosotan daya beli dan peningkatan kemiskinan jutaan orang. 2. Kebijakan pro-pasar bebas ugal-ugalan dalam bentuk pembebasan ekspor rotan mentah oleh Menteri Perdagangan telah mengakibatkan ratusan pengusaha kerajinan rontan bangkrut dan mengakibatkan ratusan ribu orang menganggur. 3. Keputusan Menteri Perdagangan yang memberikan izin peningkatan alokasi ekspor pupuk telah mengakibatkan kebaikan harga pupuk 40 % di beberapa daerah dan banyaknya pupuk palsu. Kebijakan ini akan menurunkan produktivitas dan pendapatan petani.

Di lain fihak Laporan Kompas, 11 Februari 2008 menunjukkan, dari jumlah penganggur yang terdata, penganggur dari kalangan terdidik menunjukkan kecenderungan meningkat. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2007 oleh BPS menunjukkan, angka pengangguran terbuka berkurang menjadi 9,75 % dibandingkan dengan periode Agustus 2006 sebesar 10,28%. Meskipun menurun, menurut Kompas, jumlah penganggur dari kalangan perguruan tinggi justru meningkat. Jika Agustus 2006 penganggur dari kalangan ini sebanyak 673.628 orang atau 6,16 %, setengah tahun kemudian jumlah ini naik menjadi 740.206 atau 7,02 %. Tren kenaikan ini sudah terlihat sejak tahun 2003. Padahal, tahun-tahun sebelumnya penganggur terdidik sempat berkurang setelah pada tahun 1999 mencapai angka tertinggi, yakni 9,2 %. Sedangkan status pekerjaan lulusan perguruan tinggi dominan buruh, karyawan pegawai (75,29 %).

Data BPS (Mei 2008) menunjukkan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian sebenarnya relatif tidak banyak berubah dalam tiga tahun terakhir. Pada Februari 2006, pertanian menyerap 42,32 juta tenaga kerja, sedangkan Februari 2007 terdapat 42,61 juta orang masih bekerja di sektor pertanian. Pada Februari 2008. sektor pertanian yang lebih banyak bersifat informal menyerap 42,69 juta tenaga kerja dari total penduduk yang bekerja (102,05 juta orang); hanya sekitar 28,52 juta (sekitar 25 %) sebagai buruh/karyawan di sektor formal. Industri adalah penyedia lapangan kerja formal terbesar.

Akhir Mei 2008 terjadi kenaikan harga BBM. Akibatnya, menurut LIPI (Harian TEMPO, 29 Mei 2008), jumlah penduduk miskin 2008 akan bertambah 4,5 juta orang. Total orang miskin diperkirakan mencapai 41,7 juta jiwa atau 21,92 % dari total penduduk, jauh lebih tinggi ketimbang perkiraan pemerintah sebesar 14,8 – 15 %. Jumlah penduduk miskin tahun lalu tercatat 37,2 juta jiwa (sekitar 16,58 % dari total penduduk). Kenaikan harga BBM juga akan menambah terbuka baru, sehingga akhir 2008 jumlahnya akan mencapai 9,7 juta jiwa (8,6%) dari total penduduk. Angka pengangguran ini lebih tinggi dari kondisi Februari 2008, yakni 8,43 %.

Sesungguhnya Indonesia masih belum dapat keluar dari krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 (era Orde Baru). Pengangguran masih relatif besar dan belum dapat dikurangi secara berarti; sekitar 27 %. Bahkan diperkirakan, 40 % penduduk Indonesia masih tergolong miskin (versi Bank Dunia, minimal 2 $ US per hari pendapatan). Kini telah terjadi peningkatan kemiskinan yang drastis. Pengangguran juga semakin meningkat, bahkan kini penangguran dari kalangan terdidik telah meningkat: sekitar 800 ribu orang.

Sementara itu, harga barang kebutuhan pokok terus meningkat ke tahun (2005, 2006, 2007, 2008). Sedangkan daya beli masyarakat masih belum terangkat. Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) dan Friedrich Ebert Stiftung (FES) telah melaksanakan survei, Januari-April 2008, dengan 910 pekerja (responden) dengan tingkat upah di bawah Rp. 1 juta hingga di atas Rp.15 juta per bulan di Jakarta, Medan, Surabaya dan Bandung (Kompas, 2 Mei 2008).

b. Pendapatan Rakyat.

Hasil survei menunjukkan pendapatan pekerja tak mencukupi. Upah minimum pekerja masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi inti. Rata2 pekerja mencukupi kebutuhannya dengan berutang. Di sisi lain, kepercayaan terhadap kepastian kerja relatif rendah. Kondisi upah yang bahkan nyaris tidak mampu menutupi kebutuhan paling pokok: makan. Hal ini tergambar pada indeks daya beli dan indeks persepsi pekerja. Rata2 upah minimum yang ditetapkan di empat kota tsb Rp. 900.000,- per bulan. Angka ini jelas defisit bagi pekerja karena, misalnya, survei indeks daya beli menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi inti, seseorang pekerja lajang yang mengontrak rumah membutuhkan biaya minimum Rp. 1,82 juta per bulan. Sementara pekerja berkeluarga yang mencicil rumah membutuhkan upah minimum Rp. 3,12 juta sebulan. Indeks daya beli tersebut menunjukkan, upah minimum yang ditetapkan di keempat kota tsb tidak sesuai dengan pemenuhan kebutuhan riil minimum.

Lebih jauh dilaporkan, ekspektasi pekerja untuk memiliki tempat tinggal, memenuhi kebutuhan transportasi, pangan, kesehatan, pendidikan, kepastian kerja, dan jaminan sosial. Indeks terendah terdapat pada ekspektasi terhadap kepastian kerja, disusul pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Kenaikan harga pangan dan biaya transportasi akan sulit ditanggung pekerja karena alokasi terbesar pendapatan pekerja sudah diperuntukkan bagi dua komponen pengeluaran tersebut.

Sebelumnya, hasil Jajak Pendapat Litbank Kompas (20-30 April 2008) dengan 622 responden berdomisili di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado, dan Jayapura (Kompas, 5 Mei 2008) menunjukkan bahwa penetapan upah minimum masih menguntungkan pengusaha (80,3%), pekerja (10,9%), tidak tahu (8,8%). Selanjutnya, Aturan/kebijakan di bidang ketenagakerjaan juga menunjukkan yang sama, yakni mentuntungakn pengusaha (86,7%), pekerja (7,8%) dan tidak tahu (6,1%).

Sementara itu, pengangguran terdidik menunjukkan kecenderungan meningkat. Jika tahun 1998 hanya sekitar 450.000 orang, meningkat pada Agustus 2006 menjadi 673.628 orang, kemudian setengah tahun kemudian naik menjadi 740.206.

Pengangguran menurut jenjang pendidikan tinggi selama kurun 2004-2007 menunjukkan pengangguran sarjana mencapai lebih dari 50 % jika dibandingkan dengan pengangguran lulusan diploma I/II dan akademi /diploma III. Lebih dari 80% sarjana memilih karyawan, dan hanya sekitar 6 % yang bekerja sendiri (Kompas, 11 Nov. 2008).

c. Barang Kebutuhan Pokok Rakyat.

Indikator lain terkait dengan harga barang kebutuhan pokok rakyat. Dari tahun ke tahun, setidaknya sejak tahun 2005 ke 2007, harga 26 barang kebutuhan pokok justru mengalami kenaikan yang tinggi sehingga memperberat beban kehidupan rakyat. Kenaikan harga kebutuhan pokok ini terus berlanjut hingga tahun 2009. Gambaran kenaikan harga kebutuhan pokok dari 2005 s/d 2007 sbb (Sumber: DISPERINDAG DEPARTEMEN PERDAGANGAN RI):

KENAIKAN HARGA KEBUTUHAN POKOK
NO. NAMA BARANG SATUAN RATA2 RATA2 RATA2
2005 2006 2007
1 Beras Kg 3.333 4.375 5.071
2 Gula Pasir Impor Kg 5.714 6.339 6.634
3 Gula pasir Lokal Kg 5.675 6.319 6.636
4 M.Goreng Kemasan 620 ml 5.158 5.299 6.914
5 M.Goreng Curah Kg 5.145 5.335 8.116
6 Daging Sapi Kg 39.988 45.952 50.036
7 Daging Ayam Broiler Kg 14.136 15.183 16.649
8 Daging Ayam kampung Kg 24.760 26.171 30.078
9 Telor Ayam Ras Kg 9.133 9.424 10.623
10 Telor Ayam Kampung Kg 21.118 20.914 24.207
11 Susu kental manis 397 gr 5.951 6.116 6.851
12 Susu Bubuk 400 gr 18.467 18.358 20.186
13 Jagung Pipilan Kg 2.151 2.338 2.864
14 Garam Beryodium (bata) buah 538 550 565
15 Garam yodium (halus) Kg 1.966 2.120 2.243
16 Tepung Terigu Kg 3.970 4.115 4.905
17 Kacang Kedelai Impor Kg 4.593 4.748 5.199
18 Kacang Kedelai Lokal Kg 4.881 5.082 5.406


Selama reformasi berlangsung, perubahan politik ternyata tidak sejalan dengan perubahan ekonomi, terutama kesejahteraan rakyat kebanyakan. Yang terjadi justru semakin miskin dan banyaknya pengangguran dan dominasi asing atas sumberdaya ekonomi Indonesia. Indonesia semakin tidak bermartabat, kepentingan modal/perusahaan asing lebih diutamakan ketimbang kepentingan rakyat. Bisa jadi kondisi ekonomi nasional yang tidak membaik ini akibat perubahan struktur kekuasaan yang tidak mendapatkan tekanan publik baik dari dalam maupun luar struktur kekuasaan.

Pertanyaan berikutnya: apakah Pemilu 2009 akan menghasilkan perubahan ekonomi nasional, terutama tingkat kemiskinan, pengangguran dan hargabarang kebutuhan pokok rakyat? Lima tahun pasca Pemilu 2009 tidak akan terjadi perubahan ekonomi, terutama kesejahteran ekonomi rakyat. Bisa jadi, tingkat kemiskinan semakin menaik dan jumlah pengangguran semakin banyak

Kemiskinan dan pengangguran itu diperkuat lagi dengan utang luar negeri sudah sangat besar hingga nilainya nyaris dengan PDB (2001-2005). Kewajiban pembayaran utang Indonesia dari tahun ke tahun telah menguras devisa. Bunga utang telah terakumulasi hingga menyita 1/3 pembayaran utang sehingga menjadi beban tersendiri. Dalam 20 tahun terakhir, cicilan pokok dan bunga utang telah menyedot hampir ½ pengeluaran rutin dalam anggaran pembangunan. Untuk menutupi defisit APBN Rp. 73,4 triliyun (2007), Pemerintah telah mengeluarkan obligasi yang diperdagangkan. Negara asing telah memiliki obligasi dimaksud dalam setahun meningkat Rp.23,7 triliyun dari Rp. 54,9 triliyun akhir 2006 menjadi 78,6 triliyun pada 2007. Sementara itu, belum juga dilaksanakan secara konsekuen Pasal 31, Ayat 4 UUD hasil Amandemen, yakni sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD untuk pengelolaan pendidikan nasional.

Situasi buruk ini diperkuat lagi dengan kebijakan alokasi anggaran baik APBN maupun APBD, memperlihatkan oligarki elite lebih mementingkan pembiayaan politiknya daripada pemenuhan hak-hak dasar orang miskin sebagaimana dilaporkan Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Arif Nur Alam (Rakyat Merdeka, 19 Sep.2008). Menurut perhitungan FITRA, bantuan seluruh APBD selama 5 tahun anggaran di 33 propinsi dan 434 kabupaten/kota untuk partai politik berdasarkan kursi telah menyedot anggaran sebesar Rp. 306 miliyar per tahun atau Rp. 1,5 triliyun selama 5 tahun. Sedangkan untuk APBN sebesar Rp., 57 miliyar selama 5 tahun. Sehingga total anggaran APBD dan APBN selama 54 tahun yang digrogoti partai politik sekitar Rp. 1,59 tiliyun.

Dana bantuan untuk partai sekitar Rp. 1,59 trilyun pada umumnya dipakai oleh orang partai untuk membangun infrastruktur partai seperti pembangun dan penyewaan gedung atau operasionalisasi kantor partai. Bagi FITRA, seharusnya partai menggunakan dana tersebut untuk memberikan pendidikan politik kepada para konstituen.

Lebih jauh FITRA menunjukkan, separuh APBD 2008 (52%) di daerah habis untuk membiayai belanja pegawai dan 3 % -nya untuk belanja bantuan sosial yang nota bene belanja politik. Sementara belanja modal yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 22 %. Tidak berbeda dengan potret APBN, 13 % dialokasikan untuk pegawai, sementara belanja modal hanya 8 %.

Alokasi anggaran yang tidak pro rakyat tersebut mengakibatkan hak dasar rakyat memperoleh pendidikan dan kesehatan masih terabaikan. Berdasarkan temuan FITRA pada APBD 2008, rata2 belanja langsung pendidikan baru mencapai 7 % (termauk DAK pendidikan). Sementara belanja langsung kesehatan mencapai 9 % (termasuk DAK).


IV. PEREKONOMIAN NEOLIBERALISME

Menurut ECONIT, Econimic Outlook 2010, pemulihan ekonomi Indonesia telah menganut Washington Censencus. Hal ini menghancurkan tahapan industrialisasi tengah berjalan selama ini. Privatisasi, liberalisasi, stabilitas makro, dll menggeser arah kebijakan ekonomi Indonesia dari ekonomi yang menuju kemandirian menuju ekonomi liberal yang penuh ketergantungan. Gabungan kebijakan monetaris yang menyelessaikan berbagai masalah perekonomian dengan pendekatan moneter dan kebijakan neoliberal telah membawa industrialisasi di Indonesia tidak hanya mendeg tetapi berantakan. Sebagai contoh, asset produktif negara justru dijual lewat privatisasi yang membabi buta. Sektor energi adalah sektor strategis yang semestinya menjadi sumber daya saing Indonesia, namun dipriotitaskan untuk diprivatisasi. Biaya transportasi paling ekonomis adalah kereta api, tetapi Indonesia justru memprivatisasi BUMN yang terkait dengan transportasi kereta api dalam waktu bersamaan yakni Karakatau Steel, PT Inka dan PT. KAI

Fenomena ini diwarnai liberalisasi ekonomi atau oleh pengkritik disebut sebagai neoliberalisme, telah dilakukan sejak 25 tahun terakhir, sekalipun belum dilakukan amandemen UUD 45. Liberalisasi di Indonesia bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau kekuatan ekonomi nasional, tetapi sebagai langkah kesepakatan internasional yang terlepas dari kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat luas. Istilah neoliberalisme tetap dipakai untuk menunjukkan kinerja ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang lebih ektrim. Para ekonom pasar liberal ini justru diyakini memiliki kemampuan mengurus dirinya sendiri tanpa adanya intervenmsi dari negara dalam mengurusi perekonomian. Neoliberal tidak lebih dari kumpulan pemikiran anti intervensi pemerintah dalam perekonomian. Semua kontrol ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar (fihak swasta), termasuk keluar masuk devisa. Negara tidak perlu membatasi, semua berdasarkan hukum permintaan dan penawaran.

Kaum pengeritik menuduh perekonomian neoliberal selama ini sebagai sistem yang tidak pro job, pro rakyat, tidak pro kemiskinan, tetapi lebih condong kepada pengurus orang kaya, kaum kapitalis, dan para pelaku rente ekonomi ketimbang memajukan kesejahteraan masyarakat.

a. Pasar Domestik Dikuasai Asing

Kepemilikan atau dominasi pemodal asing atas industri nasional semakin kuat, yang dapat menyebabkan perekonomian nasional pincang dan pertumbuhan ekonomi stagnan atau bahkan terpuruk dan pada gilirannya akan membawa dampak negatif/masalah terhadap kehidupan sosial. Sektor2 yang didominasi asing terutama adalah retail, terlihat dari menjamurnya pasar swalayan skala besar dan pusat belanja baru milik investor asing di berbagai kota. Selain itu, industri rokok dan batik yang dulu dikuasai industri lokal, kini dikuasai asing.

Dominasi asing itu terjadi karena antara lain regulasi pemerintah yang membuka peluang terlalu besar dan kurang selektif dalam memberikan izin investasi. Investor asing lebih memilih investasi yang padat modal dan teknologi, bukan padat karya. Akibatnya, investasi itu tidak membuka lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.

Keberadaan pasar tradisional beberapa tahun belakangan ini semakin tergilas oleh maraknya hipermarket dan minimarket yang tumbuh subur. Kondisi pasar tradisional lagi sekarat, harus berhadapan dengan pasar moderen,hipermarket, hypermart, dan sejenisnya demikian perkasa, tidak hanya dalam modal, teknologi, sistem dan jaringan, tetapi juga lobi2 ke pembuat keputusan. Di Jakarta, misalnya, sekitar 80% pedagang tradisional saat ini tidak mampu tumbuh, bahkan tidak untung, karena kalah bersaing dengan pasar moderen. Bahkan, beberapa pasar regional, kota dan wilayah saat ini dikuasai produk impor.

Data konsentrasi pasar retail di Indonesia masih langka. Namun, karena retail transnasional seperti Carrefour dan Giant (Hongkong) sudah operasi lama di negeri ini, mereka menjadi jawarah pasar. Indikatornya, banyaknya produk impor yang dijual di retail moderen. Menurut Bank Dunia, tidak ada supermarket di manbapun di dunia begitu bergantung pada produk impor seperti di Indonesia. Sekitar 60% sayur sayuran dan buah-buahan yang dijual di jaringan supermarket di Indonesia berasal dari impor (Natawidjaja, 2006). Angka ini 2-3 kali lebih besar dari produk impor di supermarket di Thailand, Meksiko, Cina dan Guatemala.

Ironi tergambar nyata ketika dengan bangga Pemerintah menunjukkan angka ekspor komoditas primer yang melimpah di negeri ini, sementara industri pengolahan yang bertahan justru terhantam kelangkaan bahan baku atau menjerit karena ketergantungan pada bahan baku impor. Sesungguhnya Indonesia mengalami ketergantungan pada impor semakin meningkat. Pertumbuhan impor melaju lebih cepat dari pertumbuhan. Pada Januari-Oktober 2007 nilai impor meningkat 19, 31% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Khusus untuk komoditas nonmigas, pertumbuhan impor melaju hingga 26, 12%. Sementara total nilai ekspor tumbuh 13,36 % ( 17,31%) khusus untuk ekspor nonmigas. Ketergantungan industri pengolahan pada bahan baku impor demikian besar. Industri kramik, misalnya mengimpor tanah lihat hingga bahan pelapis. Lebih dari 90 % kapas untuk industri tekstil juga diimpor. Industri sepatu yang diandalkan untuk menyerap tenaga kerja pun membutuhkan kulit impor.

Ketergantungan impor juga terjadi pada besi, baja, plastik, produk turunan minyak bumi, dan permesinan. Industri makanan dan minuman olahan juga masih bergantung pada impor tepung gandum, susu, produk daging, kedelai, hingga gula. Untuk komoditas primer yang melimpah di negeri ini, seperti gas, kayu dan rotan sekalipun, industri pengolahannya masih meneriakkan kelangkaan bahan baku. Sebaliknya, industri kayu dan rotan di Cina dan Vietnam yang tidak memiliki sumber bahan baku justru maju pesat.

Daya saing yang rendah dari produk manufaktur nasional akan mendorong percepatan deindustrialisasi dan banjirnya produk impor yang lebih kompetitif. Produk Indonesia tidak hanya kalah bersaing di pasar ekspor tetapi juga di pasar domestik. Tidak hanya untuk produk manufaktur dengan teknologi yang tidak lagi kompetitif tetapi juga produk dengan teknologi rendah. Tidak heran bila bukan hanya produk elektronik sepertti handpone dll yang membanjiri pasar domestik tetapi juga produk seperti bawang putih, bawang merah, apel, jeruk, dll., selama ini menjadi pasar bagi usaha mikro dan kecil.

b. Kepemilikan Perbankan di tangan Asing

Dalam era UUD 45 Perubahan, perbankan nasional swasta telah dihegemoni oleh pemodal/investor asing. Pada tahun 2007 saja sudah sekitar 65% kepemilikan perbankan swasta nasional di tangan asing. Porsi kepemilikan asing pada industri perbankan nasional (ditambah kepemilikan asing pada Bank Asing dan campuran) menjadi 43,07 %, dan terus meniingkat dari tahun ke tahun. Adapun kepemilikan Pemerintah tinggal 35 %. Dominasi asing ini bisa membawa resiko terhadap perekonomian, misalnya pelarian dana ke luar negeri.


DAFTAR BANK YANG DIMILIKI FIHAK ASING*
NO. KELOMPOK BANK ASING NO. KELOMPOK BANK CAMPURAN
1 ABN Amro Bank 1 ANZ Panin Bank
2 American Express Bank Ltd. 2 Bank BNP Paribas Indonesia
3 Bank of America NA 3 Bank Capital Indonesia
4 Bank of China Limited 4 Bank China Trust Indonesia
5 The Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ Ltd. 5 Bank Commonwealth
6 Citibank NA 6 Bank DBS Indonesia
7 Deutsche Bank AG 7 Bank Finconesia
8 The Hongkong & Shanghai BC 8 Bank KEB Indonesia
9 JP Morgan Chase Bank MA 9 Bank Maybank Indocorp
10 Standard Chartered BAnk 10 Bank Mizuho Indonesia
11 The Bangkok Bank Company Ltd. 11 Bank Multicir Tbk
12 BCA 12 Bank OCBC Indonesia
13 Danamon 13 Bank Rabobank Int.Ind.
14 BII 14 Bank Resona Perdana
15 Niaga 15 Bank Sumitomo Mitsui Ind.
16 Lippo 16 Bank UOB Indonesia
17 NISP 17 Bank Woori Indonesia
18 Permata 18
*Belum termnasuk kelompok Bank jenis lainnya.
Sumber: Indonesian Banking Directori 2007-2008


c. Struktur Usaha: Lebih Memihak Korporasi

Kucuran kredit dalam era UUD 45 Perubahan lebih memihak kepada usaha korporasi ketimbang usaha mikro. Tabel di bawah ini menunjukkan, struktur usaha berdasarkan kuucuran kredit di Indonesia (Data INDEF, Agustus 2006) yang mengutamakan korporasi ( Rp. 630 triliun), UKM (Rp. 120 triliun), dan mikro (hanya Rp. 3 triliyun). Padahal daya serap (orang) korporasi hanya 280 ribu , UKM 12 juta, dan mikro 120 juta orang.


STRUKTUR USAHA DI INDONESIA
URAIAN KORPORASI UKM MIKRO
Jumlah (Unit) 2.234 61,89% 42,3 Juta
Persentase 0.001% 0,01 % 99,9%
Kucuran Kredit Rp. 630 triliun Rp. 120 triliun Rp. 3 triliun
Daya Serap (Orang) 280 ribu 12 Juta 120 juta
Sumbangan ke PDB 46% 54 %
NPL 8% 1,2 %
Suku Bunga 13% - 16 % 17%-19%
Daya Serap Kredit 100 % 30% 1%

Sumber: INDEF Agustus 2006.

Bank semakin jauh dari kredit UMKM yang sifatnya produktif. Kredit UMKM terdiri dari kredit menengah (pinjaman Rp. 500 juta-Rp. 5 miliar), kredit kecil (Rp. 50 juta-Rp. 500 juta), dan kredit mikro (di bawah Rp. 50 juta). Data BI (Bank Indonesia) per akhir Desember 2007 menunjukkan, posisi kredit UMKM secara nasional mencapai Rp. 502,79 triliyun (50,2 %) terhadap total kredit perbankan nasional sebesar Rp. 1.000,02 triliyun. Porsi kredit UMKM menurun, sementara perbankan agresif menyalurkan kredit untuk korporasi. Dari 45 juta pelaku UMKM di negeri ini, baru sekitar 15 juta yang mendapatkan pembiyaan dari Bank Dalam setahun terakhir, kredit korporasi tumbuh lebih cepat mencapai 30,2 % dibandingkan dengan kredit UMKM yang meningkat 22,5%.(Kompas, 25-02-08).

d. Utang Luar Negeri

Utang luar negeri Indonesia sudah sangat besar hingga nilainya nyaris dengan PDB (2001-2005). Kewajiban pembayaran utang dari tahun ke tahun telah menguras devisa. Bunga pinjaman telah terakumulasi hingga menyita 1/3 pembayaran utang sehingga menjadi beban tersendiri. Dalam 20 tahun terakhir CICILAN POKOK dan BUNGA UTANG telah menyedot hampir 1/2 pengeluaran rutin dalam anggaran pembangunan. Namun, Pemerintah telah gagal mengurangi utang luar negeri, bahkan membuat semakin banyak. Dalam menutupi defisit APBN Rp. 73,4 triliyun ( 2007), Pemerintah mengeluarkan obligasi yang diperdagangkan.

Negara asing telah memiliki obligasi dimaksud dalam setahun meningkat Rp. 23,7 triliyun, dari Rp. 54,9 triliyun pada akhir 2006 menjadi 78,6 triliyun pada Des. 2007 Kepemilikan SUN (surat utang negara) oleh asing hingga akhir Des. 2007 mencapai 16,36 % dari total SUN yang diperdagangkan (Rp. 477,75 triliyun). Sebelumnya, Nov. 2007, SUN yang dimiliki asing Rp. 76,68 triliyun, atau 16, 15 %, dari total SUN yang diperdagangkan.

Bahkan tahun 2009 ini, Pemerintah menunjukkan peningkatan berarti. Utang Pemerintah sampai Januari 2009 meningkat 31 % dalam 5 tahun terakhir. Posisi Utang pada Desember 2003 sebesar Rp. 1.257 triliyun. Adapun posisi Utang Januari 2009 sebesar Rp. 1.667 triliyun atau naik Rp. 392 triliyun. Total utang Pemerintah hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700 triliyun, yakni pinjaman luar negeri Rp. 732 triliyun dan SBN (Surat Berharga Negara) Rp. 968 triliyun. Jumlah ini meningkat ketimbang 2008 yang hanya Rp. 1.636 triliyun dan SBN Rp. 906 truliyun (Kompas, 15 Juni 2009). Tahun 2004 Utang perkapita Indonesia Rp. 5,8 juta per kepala, pada Februari 2009 utang per kapita menjadi Rp. 7,7 juta per kepala. Pemerintah semakin bersikap anti subsidi. Pada 2004 jumlah subsidi masih sebesar 6,3 % dari PDB, namun sampai 2009 jumlah subsidi kepentingan rakyat tinggal 0,3 % dari PDB.

e. Indonesia Sudah Menjadi Pengimpor Minyak

Pemerintrah gagal mempertahankan Indonesia sebagai pengekspor (Mentah dan Produk) minyak. Kini Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak melain sudah menjadi negara pengimpor minyak, mudah terkena dampak negatif kenaikan harga minyak dunia.

TRADE BALANCE OF OIL AND OIL PRODUCTS (MILIYAR US $)

2002 2003 2004 2005 2006 Jan-Jun 2006 Jan-Jun 2007
Crude Oil
Exports 5,228 5,621 6,241 8,146 8,169 4,199 4,069
Imports 3,217 3,928 5,831 6,797 7,853 3,954 3,833
(X - M) 2,011 1,694 410 1,349 316 245 236
Oil Products
Exports 1,308 1,548 1,654 1,932 2,837 1,017 977
Imports 3,309 3,583 5,892 10,646 11,093 5,069 5,470
(X - M) -2,001 -2,035 -4,238 -8,714 -8,256 -4,052 -4,493
Total
Exports 6,535 7,169 7,896 10,078 11,006 5,216 5,046
Imports 6,526 7,510 11,724 17,443 18,945 9,023 9,303
(X - M) 10 -342 -3,828 -7,365 -7,939 -3,807 -4,257


Sistem Kontrak Karya dengan Korporasi Asing tidak adil dan merugikan harta negara. 89 % produksi ( eksplorasi dan eksploitasi) Migas dikuasai asing, sisanya hanya 11 % dikuasai kontraktor nasional , termasuk Pertamina. Penguasaan investor asing akan sumber daya alam takterbarukan Indonesia, semakin banyak seiring dibukanya keran liberalisasi. Diperkirakan keterpurukan Indonesia akan migas bakal berlangsung lama.

Data Petro Energy Semester Pertama 2007, perusahaan migas asal AS, Chevron Pasific Indonesia (CPI) menempati peringkat pertama dengan total pproduksi mencapai 412,10 juta barel minyak per hari (million barrel oil perday/mbopd). Selain Chevron, enam perusahaan asing menempati peringkat atas, yakni Conoco Philips (AS), Total Indonesie (Perancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Kodeco) dari Korea Selatan dan Chevron Indonesia Company. Sisanya, tiga poerusahaan lokal, yakni Pertamina Eksploirasi dan Produksi (EP), Medco EP Indonesia, dan Badan Operasi Pusako-Pertamina.

Hingga akhir 2008, sebanyak 89 % sumber minyak di Indonesia telah dikuasai asing. Sekitar 60 Kontraktor Migas yang menguasai ladang migas di Indonesia. Ke-60 kontraktor tersebut dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, super major, terdiri dari Exxon Mobile, Total Fina ELF, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70 % dan gas 80% Indonesia. Kedua, major, terdiri dari Conooco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadngan minyak 18 % dan gas 15 %. Ketiga, perusahan independen, menguasai cadngan minyak 12 % dan gas 5%.

Dengan dikuasainya sumber minyak oleh asing ini, membuktikan Pemerintah masih tunduk terhadap pemilik modal asing. Persoalannya, Pemerintah Indonesia masih menganut paham ekonomi neo liberal. Sebanyak 329 lebih blok migas di tangan asing. Jika diletakkan titik-titik pada peta Indonesia, maka Indonesia sudah digadaikan. Indonesia tidak berkedaulatan lkagi did alam sektor migas. Telah terjadi kolonialisasi di dalam sektor energi di Indonesia, dan Pemerintah Indonesia sungguh2 dibawah kontrol korporasi melalui ADB, World Bank, maupun USAID.

Pemerintah tidak punya kedaulatan dalam rangka pengelolan perusahaan-perusahaan asing itu. Ladang-ladang minyak itu harus segera direvitalisasi dengan menggerakkan, akses dan di bawah kontrol rakyat. Menasionalisasikan tapi yang mengawasi pemerintah sama saja seperti BUMN, yang disebut komprador.

Produksi migas lebih ditujukan untuk ekspor. Lebih 58% produksi gas diekspor, baik dalam bentuk LNG maupun pipa. Kelangkaan dan defisit gas di dalam negeri mencapai 2.036,64 MMSCFD (Berdasarkan neraca gas Ditjen Migas 2007). Lebih dari 40 % produksi minyak mentah masih diekspor, padahal kebutuhan dalam negeri yang mencapai 1,4 juta barel per hari sudah jauh melebihi kemampuan produksi yang hanya 1 juta per hari dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Masih terpeliharanya perburuan rente ekonomi yang merugikan kepentingan migas nasional. Indonesia mengekspor minyak mentah tetapi nengimpornya kembali dengan harga 0,38 – 3,95 USD/barel lebih mahal. Impor minyak mentah sebenarnya tak perlu dilakukan seandainya ekspor tak dilakukan. Produksi minyak mentah KPS dapat dibeli pemerintah dan dapat diolah di kilang dalam negeri. Biaya pengadaan BBM dalam negeri menjadi mahal. Negara dirugikan Rp. 3-4 triliun per tahun.

Sub-sektor MINERBA, dominasi perusahaan asing dalam eksplorasi dan eksploitasi . Produksi Minerba lebih ditujukan untuk ekspor. Penerimaan negara dari sub-sektor Minerba relatif kecil (tidak signifikan). Rata-rata kurang 3% dari total penerimaan negara (Data: DESDM). Lebih kecil dibandingkan penerimaan dari devisa (remittance) TKI, mencapai Rp. 30 triliun pada 2006 (Data Depnakertrans). Divisa dari minerba hanya Rp. 20,9 triliun (Data DESDM).

PT Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara menguasai 100% produksi konsentrat tembaga di Indonesia. Dua perusahaan ini menguasai lebih 86% produksi emas dan perak. Royalti emas dan perak (utk Freeport) hanya 1% dari gross revenue, sedang royalti tembaga (untuk Freeport) hanya 3,5 % (Data PT FI). Lebih 67% produksi batubara dihasilkan oleh kontraktor batubara asing (Arutmin,Adaro, Kaltim Prima Coal, Kideco). Lebih 95% produksi beragam mineral diekspor. Lebih 95% produksi beragam mineral diekspor. Lebih 70% produksi batubara diekspor juga.

f. Minyak Sawit Mentah (CPO): Pelayan Luar Negeri

Pemerintah lebih melayani permintaan luar negeri minyak sawit mentah (CPO) ketimbang kepentingan dalam negeri. Demi melayani permintaan CPO Eropa yang terus naik, tahun lalu, 53 % CPO diekspor ke Eropa. Akibatnya, minyak goreng langka dan harga di dalam negeri melonjak. Potret ini wujud ketidakadilan di tingkat negara hingga petani.

Kasus CPO ini dapat dijadikan indicator bahwa ekspor bahan baku dan bahan mentah sudah terlihat dengan porsi ekspor Indonesia yang didominasi oleh ekspor komoditas primer. Dengan menurunnya daya saing produk manufaktur, maka produk ekspor Indonesia yang memiliki daya saing tinggi hanyalah sumber daya alam. Bila terus berlanjut, maka akhirnya akan mendorong Indonesia kembali focus spesialis eksportir berbagai sumber daya alam sebagai bahan baku untuk industri Negara ini.

g. Perusahaan Pelayaran Dominan Milik Asing

Seluruh Pelabuhan dan kapal Indonesia dinilai tidak aman sehingga terancam DIBOIKOT ASING (Peringatan US Coast Guard). Hal ini disebabkan adanya penilaian bahwa masih banyak perusahaan pelayaran dan pelabuhan di Indonesia yang belum melakukan kode keamanan maritim ISPS CODE (harus diimplementasikan sejak 1 Juli 2004). Disamping itu, tidak akan ada kapal asing memasuki pelabuhan di Indonesia. Dalam perhitungan volumen lalu lintas barang, Resiko ini jadi hambatan bagi ekspor dan impor sebesar 400 juta ton/ thn.

Kepemilikan saham/modal, perusahaan pelayaran di Indonesia dominan oleh Pihak Asing. Kepemilikan dan/atau penguasaan kapal dominan oleh korporasi asing (Perusahaan Pelayaran Asing). Sejak dikeluarkannya Inpres No. 5 Thn 2005, terjadi peningkatan jumlah kapal nasional. Data per 31 Desember 2005: jumlah armada laut naional naik dari 6.041 kapal menjadi 6.689 kapal (naik 10,7 %). Inpres ini juga menegaskan setiap barang dibiayai APBN atau barang BUMN wajib menggunakan kapal berbendera Indonesia. Namun, kini jasa angkutan laut antar pulau (lokal dan interinsuler) maupun tujuan mancanegara masih didominasi kapal bendera asing yang dioperasikan perusahaan pelayaran mancanegara.

Pelayaran nasional tidak berdaya dalam peta kekuatan transportasi laut yang didominasi oleh korporasi asing (pelayaran asing) baik dalam rute luar negeri maupun dalam negeri. Thn 2005, pangsa kapal nasional untuk angkutan dalam negeri bagi 13 komoditi utama hanya 55,47 % dari jumlah muatan 206, 335 juta ton. Sementara untuk muatan angkutan laut tujuan luar negeri 94,95% dikuasai kapal asing. Sisanya, 5,05 % ditangani kapal bendera nasional dari total muatan tujuan luar negeri sebesar 492,97 juta ton.


V. NEOLIBERALISME ATAU PEREKONOMIAN RAKYAT ?

Dalam era UUD 45 Perubahan telah banyak terjadi perubahan politik dan ekonomi, menuju masyarakat demokratis. Namun, dalam perekonomian, perubahan terjadi terutama sejak 25 tahun adalah liberalisasi ekonomi, acapkali disebut oleh pengkritik sebagai neoliberalisme.

Pertanyaan dalam era UUD 45 Perubahan: apakah perekonomian Indonesia lebih mengutamakan kepentingan nasional dan rakyat kebanyakan (pro rakyat) sunguh-sungguh ditegakkan? Atau, sebaliknya, perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan sesuai dengan perspektif neoliberalisme yang mengutamakan kepentingan korporasi atau negara asing?

Dengan perkataan lain, satu pertanyaan utama perlu mendapat jawaban lebih seksama: “apakah perekonomian Indonesia dalam era UUD 45 Perubahan berdasarkan paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme, tidak lagi berdasarkan demokrasi ekonomi di mana koperasi sebagai sokoguru?” Diharapkan di dalam Sesi Kedua Seminar Nasional ini, pertanyaan utama di atas mendapat jawaban lebih seksama dari para peserta Seminar.

Kembali ke UUD 45: Kemajuan atau Kemunduran?

KEMBALI KE UUD 45: KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN?

-------------------------------------------------------------------------------------
Pengantar Redaksi:
Pada Pada hari Kamis, 11 Maret 2010, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) IARMI (Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia) telah menyelenggarakan seminar nasional dengan topik: “Kembali ke UUD 45: Kemajuan atau Kemunduran?” Tulisan ini merupakan Acuan Seminar topik dimaksud.
-------------------------------------------------------------------------------------


I. PENGANTAR
Salah satu peristiwa politik besar menyangkut kehidupan bangsa Indonesia dalam era reformasi adalah Amandemen UUD 1945 oleh MPR-RI hasil Pemilu tahun 1999. Sebelum Amandemen, acap kali muncul penilaian kritis tentang UUD 1945, antara lain “Presiden dan MPR terlalu berkuasa” sehingga kekuasaan mereka perlu dikurangi.

Pada mulanya dekumen UUD 1945 terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Amandemen menghasilkan Pembukaan tetap, Batang Tubuh berubah di sana-sini, dan Penjelasan ditiadakan. Proses Amandemen ini sendiri mencakup 4 (empat) tahap perubahan, pertama (1999); kedua (2000); ketiga (2001); dan keempat (2002). Dari sekian banyak materi ketentuan dirumuskan dalam naskah konsolidasi (consolidated text) UUD, ada beberapa materi masih asli, namun sebagian besar telah berubah secara mendasar jika dibandingkan naskah aslinya. Agenda Amandemen selama 4 (empat) tahun dapat dituntaskan dengan disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 dalam Sidang Tahunan (ST) MPR, Agustus 2002.

Paling tidak terdapat 3 (tiga) perspektif dalam menilai Amandemen UUD 1945. Pertama, perspektif penilaian pada dasarnya pro (mendukung) Amandemen dalam beragam argumentasi, namun mempunyai kesepakatan tentang masih perlunya penyempurnaan di sana-sini. Kedua, perspektif penilaian pada dasarnya kontra (menolak) Amandemen UUD 1945. Mereka pada umumnya menyetujui perubahan namun cukup ditampung melalui Undang-undang. Perspektif ini pada dasarnya menuntut “kembali ke UUD 1945”. Ketiga, perspektif penilaian tidak keduanya (tidak pro, tidak kontra), lebih menekankan proses pengambilan keputusan atas Amandemen itu sendiri. Menurut Perspektif ketiga ini, perdebatan atau polemik tentang Amandemen ini riil dan berpotensi melemahkan untuk menentukan pilihannya secara langsung atas konstitusi mereka sendiri. Karena itu, perlu diadakan “referendum” menanyakan langsung kepada rakyat untuk memilih UUD 1945 versi mana, yang asli atau hasil Amandemen.

II. KEMBALI KE UUD 1945
Sidang Tahunan (ST) MPR Tahun 2002 menunjukkan munculnya kelompok kontra Amandemen UUD 1945, mencakup anggota dan bukan anggota MPR. Kelompok ini menjadi suatu kekuatan menuntut agar “Kembali ke UUD 1945”. Mereka tergolong perspektif kedua, yakni menolak Amandemen UUD 1945, menyetujui perubahan melalui Undang-undang.

Sikap kontra Amandemen bermula dari 199 anggota MPR lintas fraksi (7 November 2001), bermula menolak masuknya DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dalam pemerintahan, dan mengklaim ada usaha sengaja mengubah sistem bikameral dalam bentuk DPD. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar UUD 1945 hanya mengenal mono-kameral. Bagi mereka, tugas MPR dalam Sidang Tahunan, lanjut mereka, untuk menyempurnakan UUD 1945 dalam rangka memperkukuh NKRI sesuai tuntutan reformasi, tidak merombak UUD 1945, tidak membentuk UUD baru, tidak merubah hal-hal sangat mendasar, seperti merubah sistem pemerintahan negara. Kalau mau merubah, harus meminta izin lebih dahulu dari rakyat. Atas alasan ini, mereka menolak dan menyatakan tidak bertanggungjawab atas usaha perombakan UUD 1945.

Kelompok penolak Amandemen lain, Forum Pembela Negara Kesatuan RI (FP-NKRI). Sekitar 110 anggota menandatangani pernyataan penolakan Amandemen. Menurut kelompok ini, MPR tidak memiliki kewewenangan konstitusional untuk mengubah dan menetapkan UUD karena telah dihasilkan dan telah berlaku serta merta sejak 9 November 2001 perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”. Kekuasaan negara tertinggi tidak lagi di tangan MPR pasca perubahan ketiga. Pada dacarnya, Kedompok ini tidak menietujui dilaksanakannyA perubahan/Amandemen UUD 1945 tahap IV.

Perilaju kontra Amandemen juga ditandai beberapa `eristi7a intrupsi saat Sidang Paripurna PR. Sebagai misal, Sukono (Wak.Sak. Fraksi PDIP MPR), menegaskan dalam instrupsinya( kalau sidang tahunan mau dilaksanakan PR, maka Amand%men ketiga harus Dicabut. Cebab Pasal&1 ayat (2) dihasilkan Amandemen ketiga lalu sudah mengubah fungsi MPR. Senada dengan Sukono, Amin Arjoso menilai Amandemen sudah kebablasan dan konyol. Ia berkilah, mereka tidak menolak Amandemen an sich, tetapi menolak proses Amandemen kebablasan. Amandemen malah membuat masalah baru. Banyak terjadi kekonyolan dan akhirnya malah akan menciptakan krisis konstitusi.

Beberapa bulan sebelum ST MPR (Agustus 2002), sejumlah kecil anggota DPR tergolong politisi senior dari FPDIP telah menyuarakan penolakan Amandemen UUD 1945 baik melalui media massa maupun konferensi press di Gedung DPR/MPR. Senada dengan pernyataan sikap 18 DPD di atas, kelompok kecil ini pada dasarnya menolak diberlakukannya sistem pemilihan Presiden langsung dan bertahan dengan sistem pemilihan lama, yakni melalui MPR. H. Amin Aryoso, salah seorang anggota, kerap mengklaim, “Amandemen sudah kebablasan”.

Di luar MPR, sekitar 200 purnawirawan jenderal militer tergabung di dalam Front Pembela Proklamasi secara terbuka dan tegas menolak Amandemen. Mantan ketua DPR/MPR, Syaiful Sulun, bertindak sebagai Sekjen Front ini, menyatakan secara tertulis, rumusan Amandemen UUD 1945 telah menyimpang dari cita-cita Proklamsi 17 Agustus 1945, mengubah drastis sistem dan struktur ketatanegaraan serta tidak berlandaskan lagi pada Pancasila, melainkan pada liberalisme individualisme. Dalam proses perumusannya merupakan hasil “konspirasi sistematis dengan elemen liberalisme kapitalisme” di Indonesia.

Aksi kontra Amandemen semakin mendapatkan dukungan dari komponen PDIP. Pada 18 Juli 2002, saat berlangsung rapat pimpinan nasional DPP PDIP di Denpasar, Bali, sebanyak 18 DPD PDIP membuat pernyataan sikap menolak Amandemen. Kelompok ini berasal antara lain dari Provinsi Sumbar, Irian Jaya, Kalsel, NTT, Kaltim, Lampung, Jabar, banten, NTB, DIY, Sultra, Aceh, Sulteng, Kalbar, Sumut dan Sulut. Menurut mereka, kewewenangan MPR makin menyempit sehingga tidak merefleksikan lagi kedaulatan rakyat dan pemilihan Presiden langsung bertentangan dengan Sila IV Pancasila. Namun, aksi 18 DPD ini tidak berhasil mempengaruhi keputusan rapat. Diputuskan, DPP PDI mendukung Amandemen.

Jumlah anggota FPDIP di MPR menentang Amandemen telah mencapai 109 orang, sekitar 75 % dari total 153 anggota. Sekalipun mayoritas mutlak anggota kelompok kontra Amandemen berasal dari FPDIP, namun formalitas bukan merupakan sikap FDIP. Munculnya berkembangnya kelompok kontra Amandemen ini merupakan suatu realitas obyektif bertentangan dengan realitas subyektif dalam pengertian bahwa Amandemen telah menjadi tuntutan demokratisasi dan reformasi konstitusi telah disepakati dan menjadi agenda kekuatan reformasi 1997/98.

Untuk kelompok kontra Amandemen, suatu pertanyaan dasar menarik untuk dicari jawaban : mengapa mereka menolak Amandemen UUD 1945?

Segera setelah berakhirnya Pemilu 2004 dan ditetapkannya Pasangan SBY-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, dan awal 2005 mulai muncul lagi suara kontra Amandemen baik melalui buku, media cetak maupun diskusi publik. Amandemen UUD 1945 masih menimbulkan polemik atau kontroversi, terutama masih munculnya suara-suara kontra berkepanjangan. Beberapa aktor tergolong masih pada posisi kontra, yakni Muhamad Achadi, Amin Aryoso (Yayasan Kepada Bangsaku), ASS Tambunan, Ali Sadikin, dll. Kerangka berfikir Muhamad Achadi dan Amin Aryoso melalui karya mereka, Demokrasi Model Barat & Amerika Serikat Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia? (Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, Januari 2005):

1.UUD 1945 sebagai dasar untuk pengaturan negara dan pemerintahan untuk melaksanakan cita-cita Proklamasi tidak bisa dirubah mengarah dan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Mukadimah dan Pancasila.
2.Amandemen dilaksanakan demi kejelasan pasal-pasal diperlukan bagi pelaksanaannya serta Amandemen hanya bisa dilakukan dalam rangka menerapkan pasal-pasal untuk disesuaikan dengan perkembangan bagi suksesnya pelaksanaan dan pasal-pasal tsb.
3.Amandemen kelewat batas-batas tsb. perlu dicabut karena akan membahayakan arah dan cita-cita Proklamasi.

Selanjutnya, ASS Tambunan dalam karnyanya, Demokrasi Indonesia (Jakarta: Yayasan Kepada bangsaku, Januari 2005):

1.Pengertian Barat mengenai demokrasi bersifat formal.
2.Pengertian bangsa Indonesia tentang demokrasi bukan hanya bersifat formal atau prosedural, tetapi bersifat materiil, bukan cuma proses saja tetapi juga substansial sehingga meliputi isi dan tujuannya.
3.Pengertian bangsa Indonesia tentang demokrasi terlukis pada Sila IV, yaitu “kerakyatan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Kerakyatan berarti “kebersamnaan” atau “kekeluargaan” at`u “gotongroyong”, terkandung di dalamnya asas toleransi, saling menghArgai dan saling memberi, kerjasama atau koPerasi.
4.MPR telah merUbah UUD 1945 menj`di UUD 2002, menibu AS mengenai pengertian knnstitusi., yakni sistematika UUD dirombak, sekalipun Pembukaan UUD 1945 sacara resmi mAsih tetap diperThankan, namun hanya secara harafiah karena isI UUD seharusnya merupakan pelaksanaan atau terjemahan dari Pembukaan sudahþsama sekali lain.
5.PR iembuat Andonesia tidak lagi berdasarkan Pancasila tetapi dengan mencontoh AS, yakni berdasarkan HAM dan kebebasan.
6.Kita bukan lagi “negara kebangsaan” seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi telah berubah menjadi suatu “corporate state”.
7.Tujuan negara sekarang ini bukan lagi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
8.Ekonomi kekeluargaan diidam-idamkan sudah terperangkap arus globalisasi disponsori AS.
9.Untuk dapat menyelamatkan bangsa dan negara ini dari kehancuran, maka kita harus meninggalkan “UUD 2002” lahir dari kebudayaan asing, kembali kepada UUD 1945 lahir dari rahim kebudayaan bangsa sendiri.
10.Semua tindakan diambil setelah UUD 1945 dirubah dan merugikan bangsa dan negara harus dibatalkan.
11.Semua perundang-undangan ada sekarang harus dikaji ulang dan dibuatlah UU pelaksanaan UUD 1945 dibutuhkan.
12.Pengorganisasian pemerintahan mirip dengan AS, yakni (1) pemisahan kekuasaamn, 2). Kekuasaan membentuk UU berada di tangan DPR, 3) MPR terdiri dari dua kamar a) DPR dan b) DPD, 4). Hak-hak manusia, 5). Anggota DPR, DPD, Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
13.Adanya dan diberikannya kepada DPD wewenang untuk mencampuri pembuatan UU menyangkut daerah seperti otonomi daerah maupun urusan keuangan, anggaran, opajak daerah, maka pada hakekatnya negara sudah bersifat federal setidaknya ke arah negara federal.

Ali Sadikin di lain fihak, mengakui rumusan UUD 1945 perlu dilengkapi dan disempurnakan, tetapi tidak boleh mengubah filosofi dasar menjadikan landasan pokok UUD 1945. Baginya, rumusan bersifat melengkapi dan menyempurnakan batang tubuh UUD 1945 hanya bersifat adendum, bukannya mengubah filosofi dan karakter dasar dari pembukaan UUD 1945. Karena itu, harus dilakukan pelurusan kembali UUD 1945 dengan terlebih dahulu “Kembali ke UUD 1945 seperti disahkan oleh PPKI, 19 Agustus 1945”. Sesudah itu, baru dipikirkan tahap selanjutnya, jika diperlukan adanya penyempurnaan UUD 1945. Ia juga berkilah, tuntutan Amandemen UUD 1945 disuarakan mahasiswa dahulu tidak pernah menuntut perubahan UUD 1945 menjadi seperti sekarang. Tuntutan utama mahasiswa sebenarnya, lanjut Sadikin, adalah pembatasan masa jabatan Presiden (Tabloid Cita-Cita, Edisi 11, Juni 2005, hal. 12).

Ada juga alasan terkait tidak sinkronnya Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal diamandemen. Amandemen tanpa mempelajari sejarah dan konsep berdirinya NKRI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Amandemen itu berdasarkan ”emoosi sesat” akibat gerakan reformasi kebablasan, telah menurunkan nilai-nilai kemerdekaan NKRI. Akibatnya fatal, yakni hilangnya kedaulatan politik dan ekonomi NKRI.

Fenomena kontar amandemen berikutnya menggunakan realitas obyektif Indonesia sebagai alasan:

Pertama, amandemen telah menghilangkan peran MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, mengubah system MPR menjadi bicameral, yang terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih lewat pemilihan langsung sehingga dianggap mengarah pada federalisme dan menghilangkan eksistensi utusan golongan dan utusan daerah.

Ketiga, hilangnya eksistensi MPR dianggap sebagai upaya mengubah sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

Keempat, alasan paling populer terkait Pasal 33 UUD 1945 yang didalamnya tercantum tiga ayat disusun sebagai satu kesatuan, yaitu:

(!) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Menurut kontra amandemen, cita-cita ekonomi kerakyatan dalam UUD 1945 ini pelan-pelan telah berubah wujud menjadi system ekonomi neoliberal, telah berhasil melahirkan konglomerasi besare dengan cepat dan rakus mengakumulasi modal dan kekayaan guna mengeksploitasi sumber daya alam. Pengertian “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” bergeser menjadi sangat sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalty yang ditarik oleh Pemerintah. Cita-cita ekonomi kerakyatan, bermakna rakyat menggerakkan perekonomian, telah berubah makna, yaitu konglemerat menggerakkan perekonomian. Ini dibuktikan dengan kenyataan penguasaan asing dominant atas minyak NKRI.


III. PERTANYAAN UNTUK KONTRA
Khusus suara kontra, telah menyajikan sejumlah argumentasi dan alasan, dapat mengundang pertanyaan sebagai berikut:

1.Mengapa muncul kembali suara kontra Amandemen UUD 1945, padahal penetapan/keputusan telah diambil oleh MPR hasil Pemilu 1999 diakui masih berdasarkan Pancasila, bukan mencontoh AS?

2.Demokrasi Barat berdasarkan individualisme, pengertiannya bersifat formal saja, sementara Indonesia formal dan materiil. Mengapa pengertian demokrasi menurut Barat tidak bersifat materiil? Apakah prinsip Good Governance (GG) atau Good Corporate Governance (GCG) seperti partisipasi, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas publik, supremasi hukum, orientasi konsensus, dll. dalam demokrasi Barat bukan bersifat materiil?

3.Keputusan rapat dalam bangsa Barat diambil berdasarkan suara terbanyak, yakni 50 % + 1 saja sudah menjadi penentu, mengalah yang 49 %. Suara yang 49 sama sekali tidak dihargai. Bukan kebersamaan diutamakan tetapi kepentingan orang perorangnya. Apakah hanya bangsa Barat saja mengenal keputusan rapat berdasarkan suara terbanyak? Apakah masyarakat Indonesia tidak mengenal keputusan semacam itu?

4.Kekuasaan rakyat di bidang kenegaraan dan pemerintahan di Eropa Barat dipelopori dan dikendalikan oleh penguasa-penguasa kekuatan ekonomi (Business Corporation). Apakah dalam perspektif sejarah dan batas-batas tertentu fenomena semacam ini juga tidak berlaku di Indonesia?

5.Budaya dan peradaban Indonesia adalah gotong royong, kerakyatan, kebersamaan terkandung toleransi, saling menghargai dan memberi, kerjasama dan kekeluargaan sebagai prinsip serta cara-cara melaksanakan maupun menyelesaikan persoalan. Apakah budaya dan peradaban Barat tidak melaksanakan prinsip “gotong royong” atau “kebersamaan” semacam itu?

6.Mekanisme membela kebersamaan hendaknya berbentuk musyawarah untuk mufakat dan bukan pengambilan voting. Partisipasi dalam pemerintahan hendaknya diikuti golongan-golongan fungsional sehari-hari bergulat dengan bidang-bidang kekaryaannya, misalnya buruh tani, guru, cendikiawan, nelayan,dll. Dalam kenyataannya, siapa sesungguhnya wakil golongan fungsional tsb, bukan elite kekuasaan, ekonomi dan militer?


IV.KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN ?
Terakhir, sebuah pertanyaan mendasar bagi kontra amandemen, yakni: jika Indonesia kembali ke UUD 1945, apakah langkah itu bermakna kemajuan atau kemunduran?

Bagi kelompok kontra amandemen, sumber masalah bangsa Indonesia baik aspek sosial ekonomi, sosial politik, maupun sosial budaya karena amandemen UUD 1945. Karena itu, agar bisa dipecahkan sesuai dengan cita-cita Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945, maka harus kembali ke UUD 1945. Karena itu, jika kembali ke UUD 1945, bangsa Indonesia akan mengalami kemajuan !

Dilain fihak, kelompok pro amandemen menilai kembali ke UUD 1945 berarti kemunduran dengan beragam alasan:

Pertama, kembali ke UUD 1945 berarti kita kembali ke era lama, zaman susah, tidak realistis, mustahil, setback, bertentangan dengan agenda reformasi, kembali ke era sentralisasi kekuasaan tidak terkendali, zaman otoriter, nostalgia atau sindrom pada kekuasaan otoriter dan totaliter pernah dinikmati di masa lampau dan merasa ”kehilangan” atau tidak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan politik. Dunia ini berputar dan berubah, tiada sesuatu yang tetap kecuali Tuhan. Amandemen harus berkelanjutan dan sesuatu keniscayaan.

Kedua, kembali ke UUD 1945 akan berdampak terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia karena akan menghapus pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung, Pilkada, Komisi Konstitusi (MK), DPD, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung yang mandiri terlepas dari Departemen Kehakiman, dll. Tidak ada pilihan lain selain melanjutkan agenda reformasi apalagi sebagian agenda reformasi itu sudah berhasil dikerjakan termasuk mengamandemen UUD 1945.

Ketiga, sekalipun mengandung beberapa kelemahan, UUD 1945 hasil amandemen jauh lebih demokratis ketimbang UUD 1945 lama; menghasilkan check and balances; menghilangkan sentralisasi kekuasaan; memberikan jaminan HAM yang lebih lengkap; jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka, pemilihan presiden secara langsung dll.

Keempat, kembali ke UUD 1945 telah melawan semangat zaman dan juga menolak adanya pembaruan dalam praktik ketatanegaraan, membalik roda zaman kepada kehadiran sistem pemerintahan otoriterian-birokratik. Yang harus diupayakan bukan kembali ke UUD 1945 tetapi melanjutkan perubahan untuk menyempurnakan hasil amandemen UUD 1945. Tuntutan kembali ke UUD 1945 tidak beralasan karena proses amandemen pertama sampai keempat UUD 1945 dilakukan secara terbuka dengan melibatkan para pakar dari dalam dan luar negeri serta berbagai elemen masyarakat, termasuk unsur LSM.