Selasa, 09 Februari 2010

KIPRAH PAN :PELANGGARAN CITA-CITA, TUJUAN PENDIRIAN, AD/ART DAN KETENTUAN PAN

KIPRAH PAN:
PELANGGARAN CITA-CITA, TUJUAN PENDIRIAN, AD/ART DAN KETENTUAN PAN

--------------------------------------------------------------------------------
CATATAN: Sejumlah Pendiri PAN telah menilai bahwa DPP PAN periode 2005-2010 melakukan pemalsuan AD/ART hasil Kongres II PAN Semarang. Hal ini sesuai dengan Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka juga menilai Kongres PAN III di Batam, kepulauan Riau, Januari 2010, tidak sah atau ilegal. Sejumlah Pendiri PAN ini sedang melakukan perjuangan “meluruskan PAN” dan mengambil kangkah-langkah hukum agar keberadaan PAN tidak ilegal dalam hubungannya dengan pemerintahan/negara. Ada dua alasan utama mereka ajukan. Pertama, karena AD/ART PAN “palsu” maka hubungan PAN dengan negara tidak berdasarkan peraturan prundang-undangan (khususnya UU Parpol). Kedua, mereka menilai kiprah PAN selama ini telah jauh menyimpang dari cita-cita dan tujuan pendirian PAN. Tulisan ini merupakan uraian ringkas alasan kedua dimaksud.
---------------------------------------------------------------------------------
I. PENGANTAR
Pada 5-6 Agustus 1998 di Mega Mendung, Bogor, para pendiri MARA sepakat membentuk Partai dengan beberapa alternatif nama Partai Amanat Bangsa (PAB), Partai Amanat Rakyat (PAR) atau Partai Amanat Nasional (PAN), yang kemudian melalui voting dipilih nama Partai Amanat Nasional (PAN) dan dideklarasikan pada 23 Agustus 1998. Tanggal ini selanjutnya diperingati “hari kelahiran” PAN sebagai partai reformis, demokratis dan kader. Pendirian PAN ini sesungguhnya merupakan salah satu episode dari keseluruhan ikhtiar untuk menuntaskan agenda reformasi dicanangkan oleh rakyat Indonesia dimotori oleh pemuda dan mahasiswa.
Realitas obyektif menunjukkan bahwa PAN dalam perjalanannya tidak konsisten dan tidak konsekuen melaksanakan konstitusi, ketentuan, cita-cita dan tujuan pendirian PAN. Arah kiprah PAN menjadi partai elitis, oligarkis, transaksional, kontraktual bahkan mulai terindikasi ”kartel”. Arah kiprah ini juga menunjukkan PAN tidak menegakkan sungguh-sungguh prinsip demokrasi seperti partisipasi, kesetaraan (nondiskriminatif, nonsekterian), transparansi (keterbukaan), akuntabilitas publik dan aturan main (rule of law).
Arah kiprah partai PAN semacam itu dapat ditunjukkan dengan berbagai peristiwa penting sangat mempengaruhi kinerja dan perilaku politik PAN dalam hubungannya dengan negara/pemerintahan: Pemilu legislatif, Pendukungan SBY sebagai calon Presiden, Penetapan Anggota Legislatif, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang AD/ART PAN, dll. Semua peristiwa politik ini telah menunjukkan bahwa DPP PAN baik di bawah kepemimpinan Amien Rais dan Hatta Radjasa (2000-2005) maupun Soetrisno Bachir dan Zulkifli Hasan (2005-2010) telah gagal menjadikan PAN sebagai partai reformis dan demokratis.


II. SITUASI SOSIAL POLITIK PENDIRIAN PAN
1. Gelombang Reformasi dan Demokratisasi
Proses demokratisasi di Indonesia semakin terlihat sejak terjadinya gelombang tuntutan reformasi sekitar tahun 1997/1998, dimotori kelompok aksi dan aktor-aktor pro demokrasi. Realitas obyektif di Indonesia saat itu dapat digambarkan sebagai berikut:
1.Adanya lembaga kepresidenan terlalu dominan di hampir semua kehidupan politik di tanah air.
2.Tidak adanya kesetaraan (equity) di antara lembaga tinggi negara, antara lain MPR tidak jelas sebagai lembaga legislatif.
3.Rekruitmen politik serba tidak terbuka (tertutup), tidak ada penegakan prinsip meritokrasi.
4.Birokrasi berfungsi sebagai “badan pelaksana” kebijakan diambil eksekutif, tidak jarang hanya untuk memperkuat posisi eksekutif.
5.Kebijakan publik tidak transparan.
6.Sentralisasi kekuasaan demikian kuat berada di satu tangan sehingga tidak berlebihan punya one man show politics, semua kembali kepada Soeharto.
7.Penegakan HAM masih sangat rendah dan lembaga peradilan kurang independen.
Gelombang tuntutan reformasi di Indonesia sebagai bagian dari proses demokratisasi telah mencanangkan agenda reformasi sebagaimana telah dirumuskan oleh kelompok mahasiswa, yakni:
1.Amandemen UUD 1945
2.Hapuskan KKN
3.Adili Soeharto
4.Hapuskan Dwifungsi ABRI
5.Otonomi Daerah
6.Penegakan Hukum
7.Pertanggungjawaban Orde Baru.
Sementara itu, terdapat juga tuntutan reformasi dari kelompok-kelompok lain terumsukan sebagai agenda reformasi total, yakni reformasi politik, reformasi ekonomi dan reformasi hukum. Gelombang reformasi dan demokratisasi akhirnya menyebabkan runtuhnya kekuasaan rezim otoriter Soeharto (1997/98). Segera setelah kekuatan reformasi dan pro demokrasi berhasil meruntuhkan kekuasaan otoriter rezim Soeharto, terjadi perubahan cepat di dalam berbagai bidang, terutama politik. Banyak Parpol pro demokrasi bermunculan, satu di antaranya Partai Amanat Nasional (PAN). Para pendiri telah sepakat menjadikan PAN sebagai “partai kader”.
2. Refomasi dan Demokratisasi Pemerintahan
Reformasi dan demokratisasi menuntut harus dilakukan pembaruan (reformasi) tata pengaturan kehidupan negara bangsa berdasarkan good governance (GG) Konsep GG ini menjadi sangat populer di negara-negara sedang dan telah menuju masa transisi demokrasi, termasuk Indonesia. Sedangkan sasaran utama tuntutan demokratisasi pada dasarnya bukan saja ditujukan kepada negara bangsa pada tingkat global, tetapi juga pada tingkat individual (satu negara) seperti Indonesia. Pada tingkat individual, pada umumnya terdapat 3 (tiga) sasaran demokratisasi, yakni 1). Pemerintahan, 2). Dunia Usaha, dan 3) Warganegara (Civil Society).
Reformasi dan demokratisasi pemerintahan mengharuskan reformasi/pembaruan tata pengaturan pemerintahan, mengandung pengertian bahwa institusi-institusi seperti legislatif, yudikatif dan eksekutif harus mendapatkan reformasi atau pembaruan dalam pengaturan baik (good governance). Pada negara demokratis, institusi pemerintahan atau negara menegakan setidaknya 4 (empat) prinsip GG, yakni (1) partisipasi, (2) transparansi, (3) akuntabilitas dan (4) kesetaraan. Di samping itu, terdapat pemilu kompetitif, bebas dan jujur. Sementara pada negara otoriter, peranan institusi pemerintahan (negara) sangat dominan dan tidak menegakan 4 (empat) prinsip GG di atas, dan juga tidak terdapat pemilu kompetitif , bebas dan jujur.
Demokratisasi menuntut perubahan dari pemerintahan tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel bagi publik (warganegara) ke arah partisipatif, transparan dan akuntabel bagi publik dan, dari pemilu tidak kompetitif, tidak bebas dan tidak jujur ke arah kompetitif, bebas dan jujur.
Secara kelembagaan, pengaturan sektor publik ini mencakup perimbangan kekuasaan antara Dewan Eksekutif (Presiden), lembaga legislatif (Parlemen) dan lembaga Yudikatif. Pembagian kekuasaan sangatlah penting untuk mengatur lembaga-lembaga publik di atas baik pada tingkat pusat dan maupun daerah.
Demokratisasi menuntut reformasi hubungan Pusat dan Daerah dalam pemerintahan melalui pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya. Otonomi daerah merupakan upaya harus dilakukan untuk memperbaiki pelayanan masyarakat (public services) tersebar secara geografis dan peningkatan partisipasi politik warganegara dalam proses pengambilan keputusan di daerah. Arti penting pelaksanaan otonomi daerah terletak pada proses desentralisasi vertikal pemerintahan dikelola secara sentralistik. Ada beberapa alasan tuntutan reformasi hubungan Pusat dan Daerah melalui pelaksanaan otonomi daerah:

Pertama, pelaksanaan pembangunan selama ini dikelola secara sentralistik, walaupun telah mencapai prestasi tertentu dalam pertumbuhan ekonomi per tahun, namun telah membawa biaya sosial mahal karena telah terjadi ketimpangan sosial dan ketimpangan perkembangan antar daerah.
Kedua, pemerintahan dikelola secara sentralistik telah melahirkan tingkat responsivitas rendah dalam proses pengambilan keputusan politik sehingga solusi dari Pusat sering tidak sesuai dengan kondisi daerah menjadi sasaran pengambilan keputusan tersebut.
Ketiga, kesulitan Daerah cenderung semakin tergantung pada Pusat (ditandai oleh rasio semakin rendah antara PAD terhadap total penerimaan Daerah), diperlukan desentralisasi wewenang kepada Daerah untuk mencari cara-cara dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan kondisi Daerah tersebut.
Karena pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu cara menyeimbangkan kekuasaan antara Pusat dan Daerah serta memunculkan pusat-pusat kekuasaan baru tersebar secara geografis, maka otonomi daerah berarti juga merupakan pelaksanaan nilai-nilai demokrasi. Dengan perkataan lain, tidak ada demokrasi tanpa otonomi daerah.
Karena pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya memberikan kemungkinan terhadap penguatan rakyat pada tingkat grassroot (akar rumput), sedangkan demokrasi mengandaikan adanya partisipasi masyarakat secara sukarela (outonomous participation) terhadap kehidupan bernegara, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan memberikan landasan kokoh terhadap kehidupan demokrasi.
3. Demokratisasi Dunia Usaha
Reformasi dan demokratisasi dunia usaha menuntut reformasi tata pengaturan dunia pelaku bisnis baik perusahaan swasta dalam negeri, milik negara, multi-nasional, organisasi non-profit, dll. Kegiatan bisnis industri, misalnya harus berdasarkan kontrak disepakati bersama. Selanjutnya, perusahaan sebelumnya berbentuk “shareholder democracy“ harus berubah ke arah “stakeholder democracy”.
Perusahaan berbentuk “shareholder democracy” memiliki karakteristik antara lain:
1.Para pemilik modal (owners) atau shareholders memiliki kekuasaan dominan dalam pengawasan dan pengaturan berjalannya perusahaan; termasuk dalam menentukan kebijakan investasi.
2.Pengaturan perusahaan semata-mata disesuaikan dengan kepentingan dan perusahaan itu harus berjalan sesuai dengan kerangka kepentingan para pemilik modal atau shareholders.
3.Kalaupun terdapat kebijakan shareholders menunjuk para Manajer (Kelompok Dalam) untuk bertindak sebagai pengawas dalam pengaturan berjalannya perusahaan, namun kebijakan itu masih dalam kerangka mewakili kepentingan pemilik modal (shareholders).
Di lain pihak, perusahaan berbentuk “stakeholder democracy” memiliki karakteristik sangat berbeda dibandingkan “shareholder democracy”. Beberapa karakteristik stakeholder democracy, yakni:
Kecuali para pemilik modal (owners) atau shareholders dan para Manajer (Kelompok Dalam), fihak-fihak lain (Kelompok Luar) juga harus terlibat dalam penentuan investasi, dan memiliki kekuasaan relatif setara dalam pengawasan dan pengaturan berjalannya perusahaan.
Pengaturan perusahaan tidak hanya disesuaikan dengan kepentingan “kelompok dalam” (shareholders dan para manajer), tetapi juga “kelompok luar” seperti “kepentingan nasional”, “kepentingan lingkungan”, pekerja/buruh, kreditor, konsumen, masyarakat lokal/setempat, pemasok (suppliers) dll.
Demokratisasi dipengaruhi oleh globalisasi ekonomi ini menuntut juga perubahan dari sektor tradisional ke arah sektor moderen/maju. Sektor tradisional, bagaimana pun, harus menghadapi tantangan dan kendala berat, yakni perubahan dari “comparative advantage” ke arah “competitive advantage”. Cepat atau lambat sektor tradisional akan digeser oleh sektor moderen/maju, dan dalam batas-batas tertentu usaha tradisional nasional dapat digantikan oleh usaha moderen internasional.
Bagi negara-negara sedang mengalami perubahan dari otoriter ke demokratis (menuju masa transisi demokrasi), diperlukan adanya perubahan perusahaan nasional dan global negara bersangkutan (baik sektor profesi, perdagangan maupun industri), dari bentuk shareholder democracy menjadi stakeholder democracy. Salah satu caranya adalah melakukan pembaruan tata pengaturan perusahaan nasional dan global baik berdasarkan penegakan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG).
Perusahaan nasional tidak mengacu pada bentuk “stakeholder democracy” akan ditekan dan dipinggirkan oleh berbagai institusi/lembaga internasional sebagai aktor globalisasi dan transformasi demokrasi, seperti WTO, ILO, OECD, GATT, IMF dan Bank Dunia. Intinya, globalisasi, transformasi demokrasi atau demokratisasi menuntut reformasi (pembaruan) tata pengaturan dunia usaha baik baik sektor profesi, perdagangan maupun industri, termasuk industri telekomunikasi.
4. Reformasi dan Demokratisasi Warganegara (Civil Society)
Kecenderungan kekuasaan negara otoriter, semakin birokratis dan masif membuat masyarakat menjadi tidak berdaya terhadap negara. Ini adalah ciri masyarakat tanpa demokrasi. Bila proses militerisasi berlangsung di dalam suatu negara otoriter, maka masyarakat semakin tidak berdaya terhadap negara. Dalam perspektif demokratisasi, negara otoriter, birokratis dan militeristis semacam ini harus direformasi melalui jalur penyeimbangan hubungan antara negara dan masyarakat dengan cara demokratisasi warganegara (civil society).
Demokratisasi warganegara (civil society) sesungguhnya mengandung penjelasan tentang pembentukan, pengembangan dan penguatan civil society dalam batas-batas hubungan “negara” dan “warganegara”. Demokratisasi warganegara mengharuskan reformasi tata pengaturan civil society berdasarkan pelaksanaan dan penegakan prinsip-prinsip GG (good governance).
Civil society memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
1.Terdapat suatu ruang kehidupan kelompok warganegara dapat bergerak dan menegakkan eksistensinya, terbebas dari perilaku militeristik dan kekerasan negara.
2.Kelompok warganegara ini saling bekerjasama dalam membangun masyarakat madani berkeadilan sosial dan menghormati hak-hak orang lain.
3.Di dalam ruang kehidupan tersebut, hubungan warganegara dan negara ditandai dengan adanya kelompok-kelompok masyarakat otonom dalam mengartikulasikan kepentingan dan keyakinan mereka berbeda dengan institusi-institusi negara.
4.Terdapat perangkat jaringan hubungan kerjasama (relational networks) terbentuk berdasarkan keluarga, kepercayaan, kepentingan, dan ideologi terpisah dari negara.
5.Adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan negara, pada hakekatnya memberikan kemungkinan terhadap penguatan rakyat pada tingkat “akar rumput” (grass-root), dan memberikan landasan kokoh terhadap kehidupan demokrasi.
6.Terdapat suasana kebebasan warga negara untuk berpartisipasi dalam membangun kebudayaan dan peradaban, termanifestasi dalam bentuk partisipasi aktor demokrasi seperti partai politik, pers/media massa, organisasi non-pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan organisasi-organisasi masyarakat, keluarga, perkumpulan, asosiasi, dll. memungkinkan hubungan berdaya terhadap negara.
7.Individu dan kelompok aksi sebagai institusi demokrasi relatif berkembang dan kuat. Langsung atau melalui institusi demokrasi ini warganegara memiliki hak-hak sipil dan politik, dan tanpa rasa takut berhak mengeskpresikan diri tentang masalah-masalah politik ekonomi, termasuk mengkritik pejabat, pemerintah, rezim, tatanan socioekonomi, dan bahkan ideologi berlaku.
8.Para warganegara berhak dan bebas untuk membentuk asosiasi dan organisasi relatif independen dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka.
9.Pada kondisi civil society masih menuju masa transisi demokrasi, diperlukan pengembangan dan penguatan institusi, aktor dan kelompok aksi demokrasi berdaya terhadap perilaku militeristik dan kekerasan negara.

III. CITA-CITA DAN TUJUAN PENDIRIAN PAN
Dalam kondisi gelombang reformasi sangat tinggi dengan tuntutan sesuai agenda reformasi dan proses demokratisasi dipengaruhi juga proses globalisasi dan pada akhirnya terjadi keruntuhan kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto (1997/98), sejumlah kaum reformasi mengatasnamakan MARA memprakarsai pendirian sebuah partai baru. Pada 5-6 Agustus 1998 di Mega Mendung, Bogor, para pendiri MARA sepakat membentuk Partai Amanat Nasional (PAN), dideklarasikan pada 23 Agustus 1998.
PAN bertugas memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, kemajuan dan keadilan sosial. Cita-cita PAN berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan. Sedangkan prinsip dianutnya adalah non-sekterian dan non-diskriminatif. Dalam hal pembangunan masyarakat, PAN mencita-citakan suatu masyarakat Indonesia demokratis berkeadilan sosial, mandiri dan cerdas. PAN disebutkan lahir sebagai bagian dari sebuah ikhtiar besar, yakni usaha membangun sebuah masyarakat madani bisa bertahan dari cengkraman birokrasi sipil serta militer, dan bisa tangguh dihadapan desakan modal besar. Melalui proses politik demokratis, PAN ingin membangun sebuah Indonesia terdiri dari individu-individu mandiri, organisasi-organisasi rakyat kuat dan satuan-satuan administrasi otonom.
Sesuai AKTA Notaris Chufran Hamal SH, Jakarta, tertanggal 11 Nopember 1998 No. 24 tentang Perkumpulan “Partai Amanat Nasional”, tujuan pendirian PAN adalah menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material dan spiritual. Untuk mencapai tujuan ini, maka PAN menjalankan usaha antara lain:
•Membangun masyarakat Indonesia baru, berdasarkan moral agama, prinsip-prinsip demokrasi dan HAM.
•Membangun masyarakat madani yang bebas dari kesengsaraan, rasa takut, penindasan dan kekerasan.
•Mengujudkan manusia Indonesia yang berdaulat, memiliki jati diri, cerdas, berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
•Membangun manusia Indonesia yang mampu menguasai dan mengaplikasikan Iptek (ilmu Pengetahuan dan Teknologi) bidang Pertahanan dan Keamanan (HANKAM), tunduk pada hukum, konstitusi dan kontrol publik.
•Mengupayakan agar setiap Warga Negara memiliki akses langsung pada penguasaan dan pemilikan tanah, pengakuan hak ulayat, dan mengembalikan fungsi sosial yang melekat pada tanah.
•Mengusahakan persamaan hak perempuan secara proporsional sebagai insan yang harus dihormati dengan memberikan kemampuan yang sama di mata hukum, sosial, ekonomi dan politik.
•Mewujudkan kesejahteraan sosial lewat pemerataan yang berlandaskan moralitas agama serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
•Memperjuangkan pemberian kesempatan yang sama bagi semua pelaku ekonomi untuk mewujudkan segala potensi yang dimiliki bagi penguatan daya saing nasional.
•Meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan nasional yang mampu meningkatkan SDM yang merangsang kemandirian dan kreatifitas.
•Memperjuangkan perlindungan kelestarian SDA dan lingkungan hidup dari keserakahan manusia untuk menjamin keadilan antargenerasi.
•Memperjuangkan kebijakan ekonomi yang memihak kepada yang lemah dan mendukung terciptanya keadilan bagi masyarakat luas.
•Memperjuangkan berjalannya pemerintahan yang bersih, efektif, bebas dari KKN.
Di samping itu, PAN juga menginginkan tatanan memungkinkan setiap anggota masyarakat dapat mengembangkan keperibadiannya dalam suasana kebebasan. Setiap anggota masyarakat dapat berperan serta dalam kehidupan politik, ekonomi dan budaya dan berperan serta dalam usaha-usaha mengembangkan kemanusiaan.
Dalam hal pemerintahan, PAN menentang segala bentuk kediktatoran, totalitarianisme dan otorterianisme karena bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, memasung kebebasan dan menghancurkan hukum. PAN menjunjung tinggi demokrasi dan berjuang untuk mewujudkan tatanan sosial dan politik memungkinkan suburnya kehidupan masyarakat madani untuk mengawasi kekuasaan sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya penetrasi kekuasaan negara berlebihan terhadap individu. PAN berjuang untuk berperan sebagai suplemen dan komplemen terhadap kewajiban dan peran negara.
Dalam hal dunia usaha (ekonomi), PAN ingin mewujudkan kesejahteraan sosialo melalui pertumbuhan ekonomi berkeadilan dengan belandaskan moralitas menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak mengenal perbedaan ras, suku dan agama, serta memberikan perhatian kepada kelompok-kelompok masyarakat rentan dan mengalami marginalisasi dari proses pembangunan. PAN memperjuangkan pemberian kesempatan sama bagi semua faktor untuk mewujudkan semua potensi dimiliki bagi penguatan daya saing nasional. Peran pemerintah harus lebih ditekankan pada penciptaan jaringan pengaman dan kebijakan menyetarakan peluang dari berbagai pelaku dunia usaha dengan meperhatikan asas keadilan.

IV. PELANGGARAN TERHADAP CITA-CITA, TUJUAN PENDIRIAN DAN ATURAN MAIN PAN (AD/ART DAN KEPUTUSAN).
Jika kita membandingkan cita-cita dan tujuan pendirian PAN sebagai realitas simbolik (apa seharusnya) dan realitas obyektif (apa adanya), dapat disimpulkan bahwa PAN baik di bawah kepemimpinan M. Amien Rais maupun Soetrisno Baghir mengalami penyimpangan cita-cita dan tujuan pendirian. Fenomena prilaku politik PAN baik di masyarakat madani, parlemen dan eksekutif berlaku kontra reformasi dan demokrasi, yakni prilaku elitis, oligarkis, transaksional dan kontraktual, bahkan “kartel”.
Fenomena oligarkis yang begitu kental di PAN merupakan warisan otentik dari struktur otoriter Orde Baru yang mengharamkan partisipasi anggota/kader dan sebaliknya, menghalalkan mobilisasi sekelompok kecil elite partai (elitis). Hal sangat terlihat pada proses pencalonan legislatif Pemilu 2004 dan 2009, penempatan kader di parlemen dan pemerintahan (cabinet). Hanya satu dua orang pelaku/aktor pimpinan partai yang menentukan kebijakan-kebijakan strategis khususnya tentang rekruitmen politik, dalam hal ini Ketua DPP PAN dan Ketua MPP DPP PAN.
Meski Soeharto dan oligarki negara ala Orde Baru telah runtuh, para politisi senior PAN terperangkap ke dalam kecenderungan oligarkis baru melalui partai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosio-kultural daerah (hubungan patron-client = bapak-anak buah). Akibatnya, kesempatan bagi anggota/kader untuk menjadi faktor determinan dalam proses politik PAN yang telah dibuka melalui gerakan reformasi dan pro demokrasi acapkali terbelenggu oleh struktur masyarakat yang cenderung patrimonial dan feodalistik. Sementara itu, berbagai instrumen demokratis yang direkayasa untuk meningkatkan partisipasi anggota/kader dalam proses politik PAN pada akhirnya hanya menjadi proforma birokratis yang justru menjustifikasi berulangnya praktik oligarkis dalam kehidupan PAN. Pelembagaan politik reformis dan demokratis dalam tubuh partai tidak bias berlangsung. PAN di tingkat daerah, merupakan kepanjangan dari struktur partai yang sentralistik di tingkat nasional, akhirnya menjadi wadah akomodasi bagi re-tradisionalisasi politik karena untuk sebagian kasus, faktor budaya –tradisional (hubungan patron-client) lebih berpengaruh dalam proses seleksi para kader di legislatif dan eksekutif ketimbang faktor kapasitas dan kompetensi politik para kader bersangkutan.
Belakangan ini fenomena politik kartel juga begitu kental di PAN. Indikasi-indikasi fenomena ini terlihat dari setidaknya enam ciri dalam partai ini, yakni:
1.Hilangnya peran cita-cita dan tujuan pendirian PAN sebagai penentu prilaku politik partai di masyarakat madani, parlemen dan eksekutif.
2.Sikap lebih mengutamakan koalisi yang kurang kompetitif (menyerupai kartel politik) ketimbang oposisi dalam kehidupan kepartaian.
3.Menurunnya perolehan suara PAN dalam Pemilu hampir sama sekali tidak berpengaruh terhadap perilaku politik partai di parlemen maupun di eksekutif. Acapkali terjadi penghianatan partai terhadap konstituen, karena janji-janji partai ketika berkampanye tidak dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Adanya keterputusan kehendak/kepentingan konstituen dan elite partai yang cenderung melayani diri sendiri.
4.Agar tetap hidup, para elite PAN percaya, partai berusaha mendapatkan dana bersumber dari negara/pemerintahan melalui “perburuan rente” dengan cara bersaing merebut jabatan politik di parlemen maupun di eksekutif/kabinet.
5.Para elite politik PAN cenderung menjaga kekompakan sesama elite politik dalam koalisi di parlemen maupun eksekutif dengan menghindari adanya penyingkapan terhadap praktek penggunaan dana ilegal baik oleh para elite politik PAN itu sendiri maupun partai lain (bagaikan korupsi bancakan atau berjemaah).
Fenomena prilaku oligarkhis dan politik kartel ini menyebabkan PAN mengabaikan penegakan prinsip demokrasi berupa partisipasi, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas publik dan supremasi hukum (rule of the game). Hal ini sangat terlihat ketika kita menelaah hubungan PAN dengan negara/pemerintahan seperti terkait dengan:
•Keputusan Pengadilan Tata Usaha (PUTN) tentang PAW (Pergantian Antar Waktu) Angg.DPR-RI Pemilu legislatif 2009.
•Pemilu Presiden 2009.
•Penetapan Anggota Legislatif (pencalegan dini dan prinsip suara terbanyak).
•Penggunaan Hak Angket di DPR-RI.
•Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
•Permintaan Departemen Hukum dan HAM tentang AD/ART PAN asli, dll.
Bahkan, juga dapat terlihat tatkala kita menelaah sejumlah pelanggaran elite PAN itu sendiri terhadap aturan main PAN (AD/ART dan keputusan/ketentuan partai).
1.Badan Perwakilan Partai (BPP)
Berdasarkan AD PAN hasil kongres I PAN di Yogyakarta (Februari 2000), Bab VII, Pasal 6, DPP PAN harus membentuk Badan Perwakilan Partai (BPP) adalah badan yang berfungsi : Mengawasi kinerja pimpinan partai sesuai dengan jenjangnya berdasarkan hasil Kongres, Muswil, Musda, Muscab; menyalurkan aspirasi anggota; dapat memberikan rekomendasi pada pimpinan partai untuk melakukan resuffle kepengurusan.
Ketetapan AD ini ternyata tidak dilaksanakan, dalam arti DPP PAN di bawah kepemimpinan Amien Rais dan Hatta Radjasa tidak membentuk Badan Perwakilan Partai (BPP) sehingga tidak ada kekuatan di luar DPP PAN yang bisa mengawasi kinerja kepemimpinan Amien Rais dan Hatta Radjasa. Karena itu, DPP PAN periode 2000-2005 tergolong telah melanggar konstitusi.
2.Mundurnya 16 anggota DPP PAN Periode 2000-2005
Pada Januari 2001, 16 anggota DPP PAN secara resmi menyatakan pengunduran diri dari PAN. Mereka antara lain Faisal Basri (Ketua DPP PAN), Sindhunata (Anggota MPP DPP PAN), Bara Hasibuan, serta 13 Anggota DPP PAN lain.
Mundurnya 16 kader PAN ini sesungguhnya karena mereka kecewa terhadap kiprah PAN yang tidak mematuhi banyak norma dan aturan partai. Sering kebijakan partai berlawanan dengan platform partai serta tidak sejalan dengan agenda reformasi. Mereka juga menegaskan bahwa mereka mundur karena mereka merasa PAN bukan lagi organisasi politik yang tepat dan efektif bagi mereka untuk memperjuangkan reformasi dan agenda-agenda reformasi.
3. Penempatan/Rekruitmen Kader di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)
Pemilu Presiden/Wakil Presiden tahun 2004 telah mengantarkan kemenangan SBY dan Jusuf Kalla (JK) untuk menjadi pimpinan tertinggi di Eksekutif. Mereka menyusun kabinet disebut sebagai Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Dua kader PAN telah dijadikan sebagai Menteri, masing-masing Bambang Sudibyo sebagai Menteri Pendidikan Nasional dan Hatta Radjasa sebagai Menteri Perhubungan.
Dalam penempatan/rekruitmen dua kader ini, sesungguhnya tidak melalui mekanisme partai yang disepakati sebelumnya, yakni forum pleno yang diperluas, bukan atas inisiatif atau keputusan pribadi Ketua Umum DPP PAN. Dalam kenyatannya, penempatan/rekruitmen dua kader ini berdasarkan inisiatif dan keputusan pribadi Ketua Umum DPP PAN, Amien Rais. Tindakan Amien Rais ini pada gilirannya menyebabkan Ketua MPP (Majelis Penasehat Partai), Prof. Dr. Ir. M. M. Amien Aziz, mengundurkan diri dari jabatan Ketua MPP tersebut.
4. PAN Tidak Taat Hukum
DPP PAN periode 2000 -2005 tidak melaksanakan beberapa Keputusan Pengadilan a.l. Keputusan PTUN tentang kasus Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI (2000 – 2005). Ini menunjukkan bahwa PAN sebagai partai yang menyandang predikat partai reformis telah dibelokkan tidak taat hukum oleh Pengurus DPP periode ini yang berwatak sentralistik dan oligarkis.
5. Pemilu Legislatif 2009: Pencalegan Dini
Untuk menghadapi Pemilu 2009, PAN telah mengeluarkan berbagai keputusan menyangkut tata pengelolaan pencalegan dini, termasuk syarat-syarat untuk menjadi Caleg PAN dan menduduki nomor urut kecil, sebagai misal nomor urut 1. Terkesan menegakkan prinsip demokrasi berupa partisipasi, kesetaraan (non-diskriminatif), transparansi, akuntabilitas publik, dan supremasi hukum. PAN membuat ketentuan dikenal sebagai “pencalegan dini” selama sekitar 1 (satu) tahun sebelum penentuan Caleg Sementara. Berbagai kriteria/norma dalam pencalegan dini ditetapkan sebagai dasar untuk menentukan seorang kader atau tokoh masyarakat menjadi Caleg PAN termasuk nomor urut di Dapil (Daerah Pemilihan) dipilih.
Logika ketentuan pencalegan dini adalah setiap kader memiliki peluang sama tanpa diskriminatif untuk menjadi Caleg nomor urut 1. Penentuan nomor urut tergantung keberhasilan Caleg untuk memenuhi berbagai syarat dalam bentuk kegiatan baik di Dapil dipilih sendiri maupun di DPP PAN. Karena itu, para kader berharap dapat menjadi caleg nomor urut kecil melakukan berbagai kunjungan calon konstituen, misalnya, dan berbagai kegiatan memperkenalkan diri (sosialisasi diri) di masyarakat pemilih Dapil dipilih.
Tetapi, DPP PAN di bawah Soetrisno Bachir dan Zulkifli Hasan secara terang-terangan mengabaikan ketentuan itu. Satu bukti, yakni dalam realitas obyektif DPP PAN menetapkan setiap personil pimpinan harian DPP PAN menjadi Caleg nomor urut 1. Kecuali mereka, juga ada beberapa Ketua Departemen juga menduduki nomor urut 1 tanpa dilakukan penilaian berdasarkan ketentuan pencalegan dini. Akibatnya, penetapan Caleg nomor urut 1 tidak demokratis, tetapi diskriminatif, nepotisme, dan melanggar aturan main dibuat sendiri (rule of the game). Ke publik dikesankan PAN demokratis dan menganut suara terbanyak, tetapi dalam kenyataannya semua personil pengurus harian DPP PAN menduduki nomor urut 1. Jika memang prinsip suara terbanyak mau ditegakkan konsisten dan konsekuen, mengapa semua personil DPP PAN itu menduduki nomor urut 1 tanpa melalui proses pencalegan?
Bukti selanjutnya, yakni penetapan seorang anak pendiri PAN ( menjabat Ketua MPP DPP PAN) sebagai Caleg PAN nomor urut 1 untuk DPR-RI di salah satu Dapil di Jawa Tengah. Dia bukan pimpinan DPP PAN, belum juga mengikuti latihan kader PAN, bahkan tergolong masih muda sekali, tidak mengikuti proses pencalegan dini, tiba-tiba menduduki nomor urut 1. Padahal ada kader senior anggota DPR RI dan bahkan Pendiri PAN (Junaedi), telah terbukti jauh lebih banyak berbuat untuk PAN, atas`alasan rasional apapun seharusnya sangat layak menduduki nomor urut 1 di Dapil itu tetapi DPP PAN mendudukannya sebagai nomor urut 2 di bawah anak Ketua MPP DPP PAN. Penetapan ini sungguh bersifat nepotis, diskriminatif, tidak transparan, melanggar aturan main. Hanya karena bapaknya seorang Ketua MPP DPP PAN, dapat menyingkirkan seorang pendiri PAN untuk meraih nomor urut 1. Sangat tragis bagi sebuah partai kader!
6. Pemilu Presiden 2009: Mendukung SBY
Kasus berikutnya terkait kebijakan DPP PAN menentukan Calon Presiden, sempat mengundang polemik kader dan perhatian publik. Sebagai partai reformis dan demokratis, tentu saja aturan main dan etika politik sangat penting untuk ditegakkan dalam tata pengaturan partai. Lazimnya, DPP PAN memiliki wewenang pengambilan keputusan partai lebih tinggi ketimbang keputusan pribadi Ketua MPP DPP PAN.
Dalam kenyataannya, Ketua MPP DPP PAN, mendahului Keputusan DPP PAN dipimpin Soetrisno Bachir. Ketua MPP ini menyampaikan sepihak pernyataan mendukung SBY menjadi Calon Presiden. Dikesankan, pernyataan ini sebagai keputusan pertemuan silahturahim MPP DPP PAN di Rumahnya sendiri, Yogyakarta.
Setelah Ketua MPP DPP PAN menyatakan dukungan politik itu, terjadilah rekayasa politik internal untuk mengadakan Rakernas sepihak di Yogyakarta untuk menjustifikasi/memperkuat pernyataannya. Proses pengambilan keputusan harus domain DPP PAN telah diambilalih oleh Ketua MPP DPP PAN. Pernyataan dukungan tidak dihadiri oleh beberapa petinggi DPP PAN, termasuk Ketua Umum Soetrisno Bachir. Intinya, dukungan terhadap SBY bukanlah bermula dari prakarsa atau gagasan DPP PAN, melainkan Amien Rais pribadi dikesankan sebagai hasil keputusan MPP DPP PAN. Indikasi transaksional dan kontraktual menjadi semakin terlihat saat dan setelah Pilres berlangsung.
7. Penetapan Anggota Legislatif: Suara Terbanyak
Perubahan mendasar Pemilu 2009, penentuan caleg berhak menduduki kursi legislatif hasil penetapan kursi berdasarkan perolehan suara terbanyak caleg, bukan nomor urut sebagaimana berlaku pada Pemilu 2009. Perubahan ini sungguh terjadi bukan karena kehendak pembuat UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, melainkan kehendak Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara sosiologis desakan penegakan prinsip suara terbanyak ini sebagai konsekuensi dari asumsi dasar bahwa penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut tidaklah demokratis dan lebih mengutamakan kepentingan elite partai. Asumsi dasar ini terbentuk dari pengalaman Pemilu 2004. Juga, diperkirakan jika nomor urut masih diberlakukan, maka caleg akan bekerja mencari pemilih hanya mereka duduk di nomor urut kecil, terutama nomor urut 1 dan 2. Sementara caleg di nomor urut 3 dan seterusnya akan tidak berpartisipasi. Itulah sebabnya semangat pemberlakuan suara terbanyak dan keputusan MK tentang suara terbanyak mendapat dukungan luas dari kalangan bakal caleg dan kader partai berkepentingan untuk menjadi anggota legislatif.
Sesungguhnya PAN telah memiliki aturan tersendiri tentang penentuan Calon Terpilih anggota DPR berdasarkan metode ”suara terbanyak” wajib ditaati dan dilaksanakan seluruh Calon Anggota Legislatif dari PAN. Sesuai Amanat Kongres PAN 2005 di Semarang dan dalam Rapat Kerja Nasional III berlangsung di Surabaya 29-31 Mei 2008, PAN memutuskan metode ”suara terbanyak” menjadi ketentuan para Caleg PAN mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi hingga Nasional. Ketentuan utama tertera di dalam Anggaran Dasar PAN Bab X Pasal 21 ayat 5 berbunyi: anggota PAN menjadi anggota legislatif terpilih adalah memperoleh suara terbanyak dalam setiap tingkatan. Ketentuan konstitusional ini ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan DPP PAN Nomor: PAN/A/Kpts/KUSJ/075/V/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Terpilih Berdasarkan Suara Terbanyak PAN pada Pemilu 2009.
SK DPP PAN No. PAN/A/Kpts/KUSJ/075/V/2008 ini dimaksudkan untuk memberikan arah dan petunjuk kepada pengurus dan kader partai mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Tata Cara Penetapan Suara Terbanyak masing-masing Calon dalam satu Dapil. Tindak lanjut Surat Keputusan DPP PAN tersebut yakni seluruh Calon Anggota Legislatif dari PAN telah menandatangani 2 (dua) Surat Pernyataan: (1). Surat Persetujuan Suara Terbanyak; (2). Surat Pernyataan Pengunduran Diri dan Ketidakbersediaan untuk dilantik dan disumpah sebagai Calon Terpilih Anggota DPR-RI Periode 2009-2014 apabila tidak memperoleh suara terbanyak.
Kebijakan ini menjadikan PAN sebagai ”Pelopor” penerapan metode suara terbanyak, dan perjuangan PAN mendapat hasil dengan dukungan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan penggunaan suara terbanyak dalam menentukan siapa akan duduk di kursi legislatif. Penggunaan metode suara terbanyak ini juga diperkuat oleh Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 Pasal 88 ayat 4 jo. Pasal 218 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Penggantian Calon Terpilih mempertimbangkan suara terbanyak peringkat berikutnya. Kebijakan suara terbanyak ini telah mempengaruhi para kader dan tokoh masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai Caleg dalam Pemilu 2009. Ada sejumlah tokoh masyarakat, bahkan seorang mantan Dirjen Binapenta Depnakertrans, mendaftarkan diri menjadi Caleg di PAN. Di bawah ”iming-iming” suara terbanyak, para kader PAN dan tokoh masyarakat sebagai Caleg berkerja semaksimal mungkin mempromosikan dan mengkampanyekan diri agar dipilih masyarakat pemilih sesuai Dapil masing-masing.
Setelah Pemilu legislatif memasuki tahap penetapan siapa duduk di kursi milik PAN, ternyata DPP PAN tidak menegakkan prinsip suara terbanyak sesuai SK 75 di atas. Ironisnya, mereka dirugikan karena tidak konsisten dan konsekuen, bukan saja kader kelas pengurus DPW (Propinsi) atau DPD (Kabupaten/Kota) atau tokoh masyarakat, petinggi PAN di DPP seperti Didik Rachbini (Ketua) dan Zulkifli Halim (Wakil Sekjen) juga mengalami. Didik telah memperoleh suara terbanyak dibandingkan semua caleg PAN untuk DPR RI di Propinsi Jawa Barat, seharusnya dia menduduki kursi perolehan PAN hasil putaran ke tiga di Jawa Barat. Namun, mendudukinya justru kader lain dekat secara personal dengan Ketua Umum DPP PAN. Sementara Zulkifli Halim, memperoleh suara terbanyak dibandingkan semua Caleg PAN untuk DPR-RI di Kalimantan Selatan, tetapi bukan dia menduduki kursi perolehan PAN putaran ketiga.
Di tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota, puluhan kader sekalipun meraih suara terbanyak sesama kader PAN di daerahnya, tetapi tidak ditetapkan oleh Pengurus PAN setempat menduduki kursi legislatif bersangkutan. Secara nasional PAN sesungguhnya telah melanggar konstitusi dan SK No. 75, suatu bukti tidak konsisten dan konsekuen melaksanakan supremasi hukum. Penetapan internal Caleg PAN menduduki kursi PAN lebih dominan berdasarkan relasi nepotisme, tidak reformis dan demokratis.
8. Hak Angket Beras: PAN tak Memihak Kaum Petani
Usulan penggunaan hak angket dan hak interpelasi untuk menolak kebijakan pemerintah mengizinkan impor beras diajukan sejumlah anggota DPR pada Januari 2006, kandas dalam sidang paripurna dewan. Voting hak angket dan hak interpelasi merupakan penolakan kedua, setelah sebelumnya di akhir 2005, DPR RI menolak rencana pemerintah menaikkan BBM. Pimpinan rapat mengajukan empat opsi terhadap usulan penggunaan hak angket dan hak interpelasi yaitu setuju hak angket, setuju hak interpelasi, menolak hak angket dan interpelasi, serta abstain. Dari 452 anggota DPR hadir dalam rapat paripurna berlangsung sejak pagi hari, jumlah anggota menolak mencapai 184 anggota, setuju hak angket sebanyak 151 anggota, setuju interpelasi sebanyak 107 anggota, serta tidak ada anggota yang menyatakan abstain. Penolakan terhadap penggunaan hak angket dan hak interpelasi dilakukan semua anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar (112), Fraksi Partai Demokrat (52), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (11), dan Fraksi Bintang Reformasi (sembilan).
Sementara setuju hak angket dari FPDIP (98 anggota), FPKS (39 anggota), dari FPAN (sembilan), dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (lima anggota). Sedangkan setuju dengan hak interpelasi berasal dari FPPP (36 anggota), FPAN (33 anggota), FPKB (32 anggota), dan FPDS (enam anggota).
Sembilan anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) terancam dikenai sanksi recall, karena memilih opsi hak angket saat rapat paripurna soal impor beras. Dalam rapat paripurna itu, suara Fraksi PAN terbelah. Sembilan anggota mendukung penggunaan hak angket, sedangkan 33 lainnya mendukung hak interpelasi.
Kesembilan orang yang mendukung hak angket adalah Dradjat H Wibowo, Alvin Lie, AM Fatwa, Cecep Rukmana, Hilman, Tubagus Rizon, Patrialis Akbar, Latifah Iskandar, dan Tris Tanti. Sembilan orang ini terancam sanksi recall. Sebab, kabar yang beredar di kalangan wartawan dalam rapat Fraksi PAN yang dihadiri Ketum PAN Soetrisno Bachir berlangsung alot. Saat itu, sekitar 70 persen anggota yang datang mendukung penggunaan hak angket. Namun Soetrisno Bachir meminta fraksi mendukung hak interpelasi. Alasannya sederhana, Presiden SBY sudah banyak membantu, sehingga giliran PAN membantu.
Perilaku fraksi PAN dan alasan Ketum DPP PAN meminta fraksi mendukung hak interpelasi, bukan hak angket, menunjukkan PAN tidak memihak kepada kepentingan kaum petani (rakyat kecil), melainkan memihak pada kekuasaan pemerintah dan pengusaha impor beras. Hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita dan tujuan pendirian PAN. Kasus hak angket lain menunjukkan pemihakan PAN terhadap pengusaha (dunia usaha), yakni Panitia Angket BBM pada 2008 dipimpin Zulkifli Hasan, Sekjen PAN. Tidak ada tindak lanjut berarti dari hasil kerja Panitia Angket BBM ini. Hak angket merupakan usul beberapa anggota DPR RI tentang Presiden Telah Melakukan Pelanggaran Terhadap UU Nomor 41 Tahun 2008 tentang APBN 2009.
9. Pemalsuan AD/ART PAN
Atas gugatan Hamid Husein, Seorang Pendiri PAN dan anggota Badan Arbitrase DPP PAN, Pengadilan Negeri Jaksel menggelar pengadilan perkara perdata pada peradilan tingkat pertama. Pengadilan mengabulkan gugatan Hamid, menyatakan Akta Notaris No. 1 Juni 2005 bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Putusan ini diucapkan Selasa, 20 Januari 2009, dalam persidangan terbuka untuk umum, dan dituangkan ke dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1129/PdtG/2008/PNJktSel tanggal 5 Februari 2009. Karena itu, AD/ART PAN didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM tidak sama dengan AD/ART hasil Kongres II PAN di Semarang tahun 2005. Pengadilan telah membuktikan adanya penambahan dan perubahan di sana sini AD/ART PAN hasil Kongres II tahun 2005 Semarang, butir-butir pemalsuan: 6 (enam) ayat pada tiga pasal di AD serta 22 pasal di ART.
Setelah Pengadilan Negeri Jaksel dikeluarkan, Departemen Hukum dan HAM, A.n. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Direktur Tata Negara, DR. Aidir Amin Daud, SH, MH, mengajukan Surat kepada DPP PAN (01 Juni 2009). Departemen ini minta DPP PAN agar mengirimkan AD/ART PAN hasil Kongres II April 2005 di Semarang telah dituangkan dalam Akta Notaris, untuk diproses sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Namun DPP PAN mengabaikan, belum menyerahkan AD/ART hasil Kongres asli. Apa sebabnya? Konon, jika diserahkan asli, maka pelaku pemalsu (diduga Ketum, Sekjen, dan team Formatur hasil Kongres II Semarang) akan terkena hukuman tindak pidana.
Para kader kritis menilai, sejak 5 Februari 2009 PAN tidak memiliki AD/ART karena itu tidak bisa melakukan ”perbuatan hukum” apapun sebelum AD/ART palsu/dipalsukan diganti dengan syah sesuai ketetapan Kongres II PAN Semarang. Bahkan, dokumen AD/ART dipalsukan itulah mengantarkan PAN ikut Pemilu April 2009 dengan meraih 43 kursi DPR-RI dan ratusan atau ribuan kursi di legislatif lokal. Para pengurus DPP PAN bersekongkol untuk menutupi masalah pemalsuan ini, bagaikan perilaku ”kartel” tentunya.
UU N0. 2 Tahun 2008, Pasal 5 (1) menetapkan, perubahan AD/ART harus didaftarkan ke Departemen paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut. Pasal 2 menetapkan, pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1), menyertakan akta notaris mengenai perubahan AD/ART. Karena itu, kedudukan anggota Dewan dari PAN tidak sesuai dengan aturan hukum berlaku. Maka bisa muncul pertanyaan: Landasan hukum apa yang mendasari DPP PAN di bawah Soetrisno Bachir dan Zulkifli Hasan melaksanakan Kongres III PAN di Batam Januari 2010 ?
Tindak lanjut putusan Pengadilan, upaya untuk mempidanakan perkara dugaan pemalsuan AD/ART PAN, antara lain pembuatan akte notaris perubahan AD/ART dan kepengurusan DPP PAN periode 2005-2010 tidak ditandatangani pimpinan sidang pleno III Kongres II PAN tahun 2005, Semarang. Berdasarkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) tertanggal 28 April 2009 dari Polda Metro Jaya, penyidik sudah memeriksa dan membuat berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap 8 (delapan) saksi dari kalangan pengurus dan mantan pengurus PAN, serta saksi ahli. Saksi menjalani pemeriksaan, yakni Hamid Husein (Pendiri PAN dan anggota Badan Arbitrase PAN), Benny Muharam (Staf Pimpinan PAN), Muhammad Suwardi (Mantan Wakil Ketua Badan Arbitrase PAN), Prof. Moh. Askin (Mantan Ketua Badan Arbitrase PAN), Suwarno Adiwijoyo (Mantan Wakil Ketua Badan Arbitrase PAN), Viva Yoga Mauladi (Wakil Sekjen DPP PAN), Notaris Muhammad Hanafi dan saksi ahli Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo.
Ada desakan kader kritis agar Polda Metro Jaya memeriksa Ketua Umum DPP PAN, Sutrisno Bachir terkait pemalsuan AD/ART ini. Walaupun Polda Metro Jaya telah dua kali memanggil Sutrisno Bachir (pertama 16 Februari 2009 dan kedua 26 Februari 2009) guna diperiksa dan didengar keterangannya dalam kapasitas sebagai saksi, tetapi ia tidak memenuhi panggilan penyidik tanpa alasan patut dan wajar. Bahkan, hingga awal Nopember 2009, menurut sebuah sumber, terhadap bersangkutan belum dilakukan pemeriksaan per BAP. Sutrisno adalah salah seorang petinggi DPP PAN mendaftarkan akte AD/ART diduga palsu itu ke Departemen Hukum dan HAM.
Pemalsuan AD/ART ini sungguh bertentangan dengan penegakan prinsip demokrasi berupa supremasi hukum (rule of game), dan sangat tidak reformis dan demokratis. Ada kritikus bilang, kalau AD/ART milik partai sendiri dipalsukan, kalau kader PAN jadi pejabat dalam pemerintahan, bisa saja menjadi pelaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), anti reformasi dan anti demokrasi, suatu prilaku bertentangan dengan cita-cita dan tujuan pendirian PAN.

V. PEMECAHAN MASALAH
Bagaimana cara mengembalikan kiprah PAN ke arah cita-cita dan tujuan pendirian PAN, sebuah pertanyaan harus dijawab oleh para Pendiri PAN. Para Pendiri PAN tidak boleh ”lepas tangan”, harus bertindak memecahkan masalah kiprah PAN ”elitis”, ”oligarkis”, ”transaksional”, ”kontraktual”, bahkan belakangan ini terindikasi ”kartel”. Prospek ke depan, sebuah strategi alternatif harus diambil para Pendiri PAN untuk mengembalikan PAN dalam alur semangat dan gelombang reformasi dan demokratisasi saat pendirian tahun 1998.
Sudah mulai ditegakkan seharusnya prinsip partisipasi, kesetaraan (non-diskriminatif), transparansi, akuntabilitas publik, supremasi hukum (rule of the game) di dalam tubuh PAN itu sendiri. Jika tidak, PAN sebagai partai reformis dan demokratis, bisa jadi, semakin kencang ke arah partai transaksional, kontraktual, bahkan kartel, yang tentu saja sangat bertentangan dengan nilai-nilai reformasi dan demokrasi. Para Pendiri PAN harus mengembalikan kiprah PAN sesuai dengan cita-cita dan tujuan pendirian PAN.

Kamis, 04 Februari 2010

PERTARUNGAN DI KONGRES PAN BATAM

PERTARUNGAN DI KONGRES PAN BATAM




Kongres III PAN merupakan arena pertarungan kekuatan Muhammadyah di bawah pimpinan M. Amien Rais yang menjagokan Drajat Wibowo sebagai Calon Ketum dan kekuatan non Muhamamdyah di bawah pimpinan Hatta Radjasa sekaligus Calon Ketum DPP PAN. Penggalangan pendukung masing-masing kekuatan telah dilakukan berbulan-bulan sebelum Kongres januari 2010.

Kongres PAN di Batam menunjukkan runtuhnya pengaruh Amien Rais sekaligus pengaruh kelompok Muhammadyah tingkat nasional PAN. Hal ini semakin terlihat dengan terpilihnya Sekjen DPP PAN bukan anak Amien Rais, yakni Hanafi Rais, yang sebelumnya ambisius jadi Sekjen sekalipun belum pernah menjadi pengurus DPP PAN atau tingkat nasional

Sesungguhnya kekuatan non Muhamamdyah (Hatta Radjasa) dengan pendekatan politik ekonomi jauh mengunguli kekuatan Amien Rais dengan pendekatan kultural. Saya perkirakan, kekuatan Amien Rais paling maksimal meraih 20 % suara. Berbagai upaya telah dilakukan kekuatan Amien Rais, termasuk pendekatan personal Amien dengan para peserta saat Konges berlangsung di Batam. Karena Amien Rais takut terbuka di publik bahwa pendukung dan pengaruhnya telah sangat menurun di PAN dan hanya bisa meraih paling banyak 20 % suara, maka beliau membatalkan pencalonan Drajat Wibowo. Dengan demikian, tidak terjadi voting (pemungutan suara). Tidak ada pemungutan suara, membantu Amien Rais menutu-nutupi kenyataan bahwa pendukung dan pengaruh Amien Rais di PAN telah sangat menurun. Padahal semala ini beliau masih mendefinsikan dirinya tokoh panutan utama dan sangat menentukan kiprah politik PAN.

Bersamaan dengan itu, telah muncul gagasan di kalangan kekuatan Hatta Radjasa agar Amien Rais dinobatkan sebagai ”Bapak Bangsa” sehingga tidak layak untuk duduk sebagai Ketua MPP DPP PAN. Hal ini membuat Amien Rais semakin khawatir akan keruntuhan kekuasaannya di PAN, sehingga jalan satu-satunya menghilangkan perilaku voting di Kongres. Jika penentuan Ketum DPP PAN cukup dengan ”aklamasi” dan Hatta Radjasa otomatis ajd Ketum DPP PAN, maka untuk penentuan Ketua MPP DPP PAN juga aklamasi yang pada gilirannya otomatis Amien Rais berhasil menduduki jabatan itu kembali.

Berbeda dengan Kongres II di Semarang tahun 2005, Kongres III di Batam ini posisi PAN sudah menjadi anggota Koalisi Pendukung SBY (Penguasa). Karena itu, kekuatan non Muhammadyah di bawah pimpinan Hatta Radjasa merupakan kekuatan koalisi Pendukung SBY. Kali ini, Amien Rais tak berdaya melawan kekuatan Koalisi ini. Kalau di Semarang, pertarungan murni sesama kekuatan internal, tidak melibatkan kekuatan eksternal, terutama kelompok penguasa pemerintahan. Amien memenangkan pertarungan tatakala mengusung Soetrisno Bachir saat itu. Lawan Amien , yakni Fuad bawazier, tidak terkait dengan kekuasaan di pemerintahan. Fuad Bawazier sunguh-sungguh menggalang kekuatan internal partai dengan kemampuan diri sendiri.

Sekalipun Hatta Radjasa berhasil gemilang memenangkan pertarungan sebagai Ketum DPP PAN, namun beliau harus menghadapi sejumlah masalah utama, terkiat hububungan PAN dan negara (pemerintahan):

Pertama, apakah atau bagaimana legalitas kader PAN yang berhasil menduduki kursi di legislatif hasil Pemilu 2009 jika dalam kenyataannya Pengadilan Negeri Jaksel memutuskan bahwa AD/ART PAN yang digunakan untuk Pemilu 2009 bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum?

Kedua, apa yang menjadi landasan hukum DPP PAN untuk melaksanakan Kongres III di Batam (Januari 2010)?

Ketiga, jika Kongres III tetap saja diberlakukan, apakah produk kongres berupa perubahan AD/ART Kongres III Batam mendatang dapat didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM sementara perubahan AD/ART hasil Kongres II Semarang (2005) sebelumnya yang didaftarkan dinyatakan Pengadilan Negeri sebagai bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum?

Keempat, implikasi lebih jauh, apakah perubahan AD/ART hasil Kongres III Batam (2010) telah sesuai peraturan perundang-undangan dapat dijadikan salah satu persyaratan bagi PAN untuk menjadi kontestan (peserta) atau ikut dalam Pemilu 2014 mendatang?