Senin, 18 Januari 2010

MEMBONGKAR GURITA CIKEAS

MEMBONGKAR GURITA CIKEAS


---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Keterangan Redaksi: Forum Aktivis 77/78, 8 Januari di suatu Cafe, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, telah menggelar Diskusi Publik bertajuk 'Membongkar Gurita Cikeas'. Berikut ini adalah Kesimpulan Diskusi Publik domaksud, disusun oleh Sukmadji Indro Tjahyono (Ketua Forum).

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------


1. Beberapa sejarah perubahan sosial di dunia menunjukkan bahwa rezim terakhir yang berkuasa biasanya hanya mungkin bertahan dengan mengandalkan pada kecurangan. Pada kesempatan tersebut legitimasi moral, sosial dan politik-nya semakin menipis, karena rakyat nyaris sudah tidak percaya. Rezim-rezim despotis praktis hanya memiliki citra "baik" di media massa, namun tidak pada opini publik yang sebenarnya.

2. Keadaan semacam itulah yang terjadi pada saat Orde Baru akan jatuh pada 1997. kendati perolehan suara Golongan Karya pada PEMILU mendekati angka 70 persen dan disusul dengan pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden, namun tidak lama tuntutan reformasi dan agar Soeharto mundur justru menguat. Kemenangan rezim Soeharto didukung dengan sistem otoriter yang mengendalikan semua lembaga kekuasaan, tidak diakui oleh masyarakat yang terus menekan dengan aksi-aksi massal (people power).

3. Kemenangan rezim Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mirip dengan kemenangan yang diperoleh rezim Soeharto yakni dicapai melalui kecurangan. Kecurangan yang dilakukan SBY dan Soeharto juga menghadapi aksi penelanjangan (desclosure action) yang sangat dramatis walau dengan isu berbeda.

4. Soeharto jatuh setelah aksi penculikan para aktivis dibongkar serempak oleh laporan-laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang ditulis oleh organisasi pembela HAM dari dalam maupun luar negeri. Gurita bisnis Soeharto juga ditulis oleh ilmuwan asing dalam buku berjudul "The Rise of Capital". Sedangkan rezim Soekarno mengalami hal sama dengan terbitnya "Dokumen Gillsricht". Kejatuhan SBY kemungkinan akan terjadi setelah pengungkapan kasus Bank Century (Century Gate) dan berbagai aksi konspirasi yang dilakukan oleh partai penguasa, yakni kegiatan yang dikutuk oleh arus utama internasional yang menginginkan terwujudnya good governance (pengelolaan yang bersih) dan anti korupsi.

5. Terbitnya buku "Membongkar Gurita Cikeas" yang ditulis oleh George Aditjondro adalah suatu bentuk aksi penelanjangan (desclosure action) yang akan mendelegitimasi rezim SBY dari segi moral, sosial dan politik. Namun begitu kelemahan-kelemahan dan ketidakmampuan internal rezim SBY sebenarnya sudah berlangsung lama dan terlalu banyak daripada yang ditulis oleh
buku itu sendiri. Buku tersebut sebenarnya juga hanya merupakan manifestasi dari tuntutan masyarakat agar rezim SBY segera mundur sebagaimana terbitnya dokumen skandal Water Gate di Amerika Serikat. Kini tinggal ada 2 (dua) pilihan bagi rezim SBY, apakah akan mundur dengan cara-cara konstitusional yg rumit atau dimundurkan melalui proses ekstra-konstitusional?

6.Sukarno "mundur" setelah menandatangani Supersemar. Soeharto telah memilih mundur secara terhomat (lengser keprabon) atas inisiatifnya sendiri. Apakah yang akan ditempuh SBY?. Mungkin hanya rakyat yang akan dapat memperjelas jawaban melalui gerakan-gerakan sosial berikutnya

Sabtu, 09 Januari 2010

Kejahatan Sistematis di balik Bank Century

Kejahatan Sistematis di balik Bank Century

Pengantar Redaksi: Ketua Nasional Forum GEMA 77/78, Indro Tjahyono, telah mengeluarkan Pers Realease tentang Bank Century. Pers Release ini dikeluarkan bagi Forum GEMA 77/78 terkait semakin mendesaknya waktu bagi Pansus DPR-RI dalam menyelesaikan kasus Skandal Bank Century. Melalui press release dengan judul "Kejahatan Sistematis di Balik Bank Century" ini, Forum GEMA 77/78 ikut berpartisipasi dengan memberikan support. (Jakarta, 21 Desember 2009).
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah adanya pengungkapan oleh BPK dan PPATK tentang skandal Bank Century, semakin terbukti adanya kejahatan sistematis di belakang skandal tersebut. Kejahatan sistematis ini merupakan pengaturan yang terintegrasi untuk memanipulasi fungsi lembaga-lembaga strategis (Presiden, Pemerintah, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, Bank Indonesia, LPS, dan seterusnya). Operasionalisasi kejahatan sistematis ini menimbulkan tanda-tanya, inikah operasi atau revolusi senyap yang disebut-sebut oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang merupakan kunci kemenangan Partai Demokrat dalam PEMILU 2009 dan PILPRES 2009. Operasi ini diperkirakan meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1.Mencari uang dari bank yang bobrok untuk dijadikan lokasi dalam memanipulasi kebijakan bail-out, sehingga sejumlah dana bisa dirampok melalui kebijakan ini. Setelah gagal dengan Bank Indover, Bank Century kemudian dijadikan targetnya.
2.Menggunakan Polri dan Kejaksaan Agung serta menunjuk pejabat tertinggi di kedua lembaga ini untuk mengamankan segala sesuatunya, jika manipulasi tersebut pada akhirnya terbongkar.
3.Melakukan pembubaran atau sekurang-kurangnya pelemahan KPK sebagai lembaga yang potensial dapat mengendus kejahatan sistematis tersebut, karena KPK memiliki fasilitas penyadapan tercanggih seharga 28 miliar. Selain itu KPK beserta aparatnya terlalu independen dan sulit dikontrol oleh pihak eksekutif.
4.Membangun koalisi partai politik pendukung pemerintah yang berbasiskan pada pembagian dana yang direncanakan diambil dari hasil kejahatan sistematis tersebut (7 trilyun rupiah). Koalisi ini mengharapkan baik sebagai individu maupun anggota DPR mereka dapat mengamankan operasi ini (lewat Pansus DPR).
5.Menunjuk maestro pendanaan operasi senyap ini, dalam hal ini Gubernur Bank Indonesia Boediono, sebagai Wakil Presiden. Dengan mensubordinasikan Wakil Presiden di bawahnya, maka semua manipulasi yang terjadi dapat diselimuti oleh Presiden secara langsung.
6.Mengatur kembali kewenangan penyadapan oleh KPK, karena kewenangan penyadapan ini berpotensi untuk digunakan secara ”liar” jika KPK tidak berhasil dilemahkan atau dibubarkan. Penyadapan bisa dilakukan justru pada epilog dari kejahatan sistematis ini. Ingat apa yang sedang dilakukan Menkominfo saat ini.
7.Menyiapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai instrumen untuk mengamankan kejahatan di sektor perbankan termasuk melindungi dari tuntutan hukum bagi para operatornya. Kedua adalah Perppu untuk menghadapi KPK, jika kriminalisasi KPK mengalami kejanggalan.
8.Menugaskan Kejaksaan Agung untuk mentargetkan dan mendaftarkan para Kepala Daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi atau kriminal. Mereka akan dikeluarkan ijin penyelidikan dan penyidikannya jika tidak memenangkan partai politik tertentu pada PEMILU 2009 di daerahnya. Dari lebih 500 pengajuan ijin pemeriksaan yang diajukan oleh pihak Kejaksaan Agung, yang dikabulkan Presiden hanya 100 ijin.
9.Menggunakan BLT sebagai satu bentuk ”money politics” yang legal dan formal untuk melakukan pemenangan pemilu secara terstruktur.
10.Melakukan pemenangan dalam PEMILU 2009 dalam berbagai bentuk manipulasi seperti pada DPT, IT, PPK, sistem pencoblosan (tanda gambar dan nama), dan KPU.
Perkiraan keterkaitan skandal Bank Century dengan revolusi senyap (quite revolution) sudah selayaknya dibongkar, mengingat hal ini sudah dipersiapkan sejak 2005. Pembongkaran ini diharapkan dapat meretas secara permanen keterkaitan korupsi dengan politik publik dalam berbagai bentuk termasuk penggelapan pajak. Kampanye anti-korupsi ini perlu diperingati untuk menutup Akhir Tahun 2009 ini.

Selasa, 05 Januari 2010

HATTA TALIWANG CALON KETUM KONGRES PAN AD/ART ASLI, APRIL 2010, JAKARTA

PERNYATAAN PERS
HATTA TALIWANG SIAP JADI CALON KETUM
KONGRES PAN SESUAI AD/ART ASLI, APRIL 2010 - JAKARTA



I.PAN (Partai Amanat Nasional) dideklarasikan pada 23 Agustus 1998 merupakan partai produk situasi pertentangan antara kekuatan reformasi dan demokratisasi di satu pihak dan kekuatan “status qou” Orde Baru di lain fihak. Pendirian PAN berada di dalam kekuatan reformasi dan demokratisasi, dan merupakan salah satu episode dari keseluruhan ikhtiar untuk menuntaskan agenda reformasi dimotori oleh mahasiswa. PAN berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan, berprinsip nonsekterian dan nondiskriminatif, mencita-citakan suatu masyarakat Indonesia yang demokratis berkeadilan sosial, mandiri dan cerdas.

Dalam Bidang kemasyarakatan, PAN berusaha membangun sebuah masyarakat madani bisa bertahan dari cengkraman birokrasi sipil serta militer, tangguh di hadapan desakan modal/kapital besar. PAN menginginkan tatanan memungkinkan setiap anggota masyarakat dapat mengembangkan keperibadian dalam suasana kebebasan. Setiap anggota masyarakat dapat berperan serta dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya dan dalam usaha-usaha mengembangkan kemanusiaan.

Dalam Bidang pemerintahan, PAN menentang segala bentuk kediktatoran, totalitarianisme dan otorterianisme karena bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, memasung kebebasan dan menghancurkan hukum. PAN menjunjung tinggi demokrasi dan berjuang untuk mewujudkan tatanan sosial dan politik yang memungkinkan suburnya kehidupan masyarakat madani untuk mengawasi kekuasaan sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya penetrasi kekuasaan negara berlebihan terhadap warganegara. PAN berjuang untuk berperan sebagai suplemen dan komplemen terhadap kewajiban dan peran negara.

Selanjutnya dalam Bidang dunia usaha/ekonomi, PAN ingin mewujudkan kesejahteraan sosial melalui pertumbuhan ekonomi berkeadilan berlandaskan moralitas menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak mengenal perbedaan ras, suku dan agama, serta memberikan perhatian kepada kelompok masyarakat rentan dan mengalami marginalisasi dari proses pembangunan. PAN memperjuangkan pemberian kesempatan sama bagi semua fihak untuk mewujudkan semua potensi dimiliki bagi penguatan daya saing nasional. Peran pemerintah harus lebih ditekankan pada penciptaan jaringan pengaman dan kebijakan menyetarakan peluang dari berbagai pelaku dunia usaha dengan memperhatikan asas keadilan.

II.Setelah lebih dari 10 tahun perjalanan PAN, realitas obyektif menunjukkan semakin menyimpang dari cita-cita dan tujuan pendirian PAN. Prinsip demokrasi supremasi hukum atau rule of game acapkali diabaikan atau tidak ditegakkan. Sebagai contoh:
1.Telah terjadi “pemalsuan” AD/ART hasil Kongres II PAN Semarang 2005, dan juga tidak dilaksanakannya kebijakan suara terbanyak dalam penentuan calon anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak sesuai Surat Keputusan No. PAN/A/Kpts/KU-SJ/O75/V/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan tata Cara Penetapan Calon Anggota DPR,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Terpilih Berdasarkan Suara Terbanyak Partai Amanat Nasional Pada Pemilu 2009.
2.Tidak konsisten dan konsekuen terhadap aturan main atau ketentuan yang dibuat sendiri, terbukti dari ketentuan “Pencalegan Dini” dalam menentukan Caleg menduduki “Nomor Urut”. Dalam kenyataannya, ketentuan ini tidak berlaku, terbukti kader yang minim pengalaman di PAN tanpa mengikuti ketentuan “Pencalegan Dini”, tiba-tiba menduduki Nomor Urut 1 di DPR-RI. Juga tanpa melaksanakan konsisten dan konsekuen ketentuan “Pencalegan Dini”, seluruh pengurus harian DPP PAN menduduki Nomor Urut 1 dalam Pemilu 2009.
3.Telah terjadi perlakuan diskriminatif dalam penentuan Nomor Urut di PAN dalam Pemilu 2009. Disamping itu, dana-dana yang diperoleh DPP PAN dari sumber yang tidak jelas (diduga dana hasil Korupsi??) telah disalurkan kepada Caleg-caleg PAN Nomor urut 1. Kebijakan ini merugikan Caleg yang bukan No.Urut 1.
4.Dalam penentuan peserta latihan perkaderan reguler, terutama LKAU (Latihan Kader Amanat Utama), DPP PAN tidak konsisten sesuai kualifikasi kader dan penjenjangan latihan perkaderan. Seorang anggota PAN tanpa pernah mengikuti jenjang latihan sebelumnya, bisa menjadi peserta LKAU. Bahkan, suatu institusi harus tertuang dalam Pedoman Perkaderan PAN, yakni Dewan Instruktur Nasional, tidak pernah dibentuk. Padahal PAN sebagai partai kader, eksistensi dan tugas Dewan Instruktur Nasional sangat strategis, yakni mengelola, membina, membimbing dan meningkatkan kualitas instruktur. Akibatnya, selama ini sangat rendah partisipasi dan pemanfaatan Instruktur Nasional di dalam peningkatan kualitas perkaderan PAN.
5.Peran Ketua MPP DPP PAN, Amien Rais, mendahului Keputusan DPP PAN yang dipimpin Soetrisno Bachir. Ketua MPP ini menyampaikan sepihak pernyataan mendukung SBY menjadi Calon Presiden. Dikesankan, pernyataan ini sebagai keputusan pertemuan silahturahim MPP - DPP PAN di kediamannya , di Yogyakarta. Setelah Ketua MPP DPP PAN menyatakan dukungan politik itu, terjadilah rekayasa politik internal untuk mengadakan Rakernas sepihak di Yogyakarta untuk menjustifikasi/memperkuat pernyataan tersebut. Proses pengambilan keputusan yang seharusnya menjadi domain DPP PAN telah diambilalih oleh Ketua MPP DPP PAN. Pernyataan dukungan tidak dihadiri oleh beberapa petinggi DPP PAN, termasuk Ketua Umum Soetrisno Bachir. Intinya, dukungan terhadap SBY bukanlah bermula dari prakarsa atau gagasan DPP PAN, melainkan Amien Rais pribadi dikesankan sebagai hasil keputusan MPP DPP PAN. Indikasi transaksional dan kontraktual menjadi semakin terlihat saat dan setelah Pilpres berlangsung.
6.Prinsip akuntabilitas dan transparansi tidak ditegakkan dalam pengelolaan Partai terutama manajemen keuangan Partai, sebagai misal: perolehan dan pengeluaran dana PILKADA, Pilpres, dan Pemilu Legislatif, hingga hari ini tidak pernah dapat diketahui dan dipertanggungjawabkan.

III.Fenomena oligarkis terus merasuki PAN, ditandai putusnya hubungan antara wakil dan yang diwakili, pemegang mandat dan pemberi mandat, pemilih dan yang dipilih, bahkan hubungan kader yang telah dilatih/dididik dengan pimpinan PAN itu sendiri. PAN tidak pernah bisa mengidentifikasi jumlah anggota keseluruhan.

Bahkan setelah diakui menjadi partai peserta Pemilu, mendapatkan kursi, anggota parlemen, anggota Kabinet, para elite PAN tidak lagi konsisten dan konsekuen memperjuangkan cita-cita dan tujuan pendirian partai, tetapi telah disimpangkan menjadi tujuan, sasaran dan kepentingan diri sendiri. PAN telah melepaskan diri dari kelompok masyarakat yang diwakilinya. PAN sudah tidak bisa lagi merumuskan keinginan dan kehendak masyarakat madani, kecuali untuk elite partai dan kekuasaan dalam pemerintahan. PAN memposisikan dirinya semakin jauh dari kontak dengan massa (publik), dan semakin tinggi tingkat keterpisahannya dari massa. Fenomena birokratis, oligarkis (keputusan diambil oleh segelintir elit partai), transaksional (jual-beli jabatan) bahkan kontraktual (kesepakatan untuk saling menguntungkan dengan membohongi publik) kian melembaga di dalam PAN.

IV.Menurut DPP PAN, pada 7 – 9 Januari 2010 akan diselenggarakan Kongres III PAN di Batam. Sebagian Pengurus PAN mengancam akan menggelar Kongres Tandingan April 2010 di Jakarta. Alasannya, Kongres III PAN di Batam menggunakan AD/ART Ilegal (Palsu). Mereka akan mengadakan Kongres di Jakarta sesuai dengan AD/ART Asli berdasarkan hasil Kongres II PAN di Semarang, 2005.

Berdasarkan pemikiran di atas, dengan ini saya M. Hatta Taliwang sebagai Salah Seorang Pendiri PAN, menyatakan :
1.Menentang keras penyelenggaraan Kongres III di Batam dan untuk itu harus dihentikan karena tidak sesuai dengan cita-cita dan pendirian PAN.
2.Bersama-sama para Pendiri dan “kaum reformis sejati” kader PAN, mengembalikan PAN sesuai cita-cita dan tujuan pendirian PAN sebagaimana dicanangkan 10 tahun silam.
3.Siap untuk menjadi Calon Ketua Umum DPP PAN Periode 2010-2015 melalui Kongres PAN di Jakarta, April 2010.”

Dengan ini, saya memohon segenap kaum reformis baik di luar maupun di dalam PAN agar memberikan doa restu dan dukungan kepada saya.


Jakarta, 5 Januari 2010



M. HATTA TALIWANG
CALON KETUA UMUM DPP PAN

Minggu, 03 Januari 2010

PENILAIAN KRITIS PAN

PENILAIAN KRITIS PAN
PARTAI REFORMIS DAN DEMOKRATIS

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP

Berakhirnya tahun 2009 dan memasuki tahun 2010 mendorong saya melakukan penilaian kritis kiprah PAN tingkat nasional sepanjang tahun 2009 di bawah kepemimpinan Soetrisno Bachir (Ketua Umum) dan Zulkifli Hasan (Sekretaris Jenderal). Sebagai standar penilaian kritis, saya menggunakan latar belakang, cita-cita dan tujuan pendirian PAN, 23 Agustus 1998, dan konstitusi, ketentuan atau aturan main sebagai partai ”reformis”, ”demokratis” dan kader”. Penilaian kritis difokuskan pada realitas obyektif PAN, tidak konsisten dan konsekuen akan cita-cita, tujuan, konstitusi dan ketentuan. Arah kiprah PAN menjadi partai elitis, oligarkis, transaksional, kontraktual bahkan mulai terindikasi ”kartel”.
Tahun 2009 menjadi sangat penting untuk mendeskripiskan kiprah PAN karena tahun itu banyak peristiwa penting sangat mempengaruhi kinerja dan perilaku politik PAN dalam hubungannya dengan negara/pemerintahan: Pemilu legislatif, Pendukungan SBY sebagai calon Presiden, Penetapan Anggota Legislatif, keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tentang AD/ART PAN, dll. Semua peristiwa politik ini telah menunjukkan bahwa PAN di bawah kepemimpinan Soetrisno Bachir dan Zulkifli Hasan telah gagal menjadikan PAN sebagai partai partai reformis dan demokratis. Fenomena kian berlaku pada diri PAN adalah transaksional dan kontraktual, sangat bertentangan dengan penegakan prinsip partisipasi, kesetaraa, transparansi, akuntabilitas publik dan juga supremasi hukum. PAN telah melanggar konstitusi, keputusan dan aturan main sendiri.
Gelombang Reformasi dan Demokratisasi.
Proses demokratisasi di Indonesia semakin terlihat sejak terjadinya gelombang tuntutan reformasi sekitar tahun 1997/1998, dimotori kelompok aksi dan aktor-aktor pro demokrasi. Realitas obyektif di Indonesia saat itu dapat digambarkan sebagai berikut: 1.Adanya lembaga kepresidenan terlalu dominan di hampir semua kehidupan politik di tanah air.2. Tidak adanya kesetaraan (equity) di antara lembaga tinggi negara, antara lain MPR tidak jelas sebagai lembaga legislatif. 3.Rekruitmen politik serba tidak terbuka (tertutup), tidak ada penegakan prinsip meritokrasi.
4.Birokrasi berfungsi sebagai “badan pelaksana” kebijakan diambil eksekutif, tidak jarang hanya untuk memperkuat posisi eksekutif.
5.Kebijakan publik tidak transparan.6. Sentralisasi kekuasaan demikian kuat berada di satu tangan sehingga tidak berlebihan punya one man show politics, semua kembali kepada Soeharto.7.Penegakan HAM masih sangat rendah dan lembaga peradilan kurang independen.

Gelombang tuntutan reformasi di Indonesia sebagai bagian dari dari proses demokratisasi telah mencanangkan agenda reformasi sebagaimana telah dirumuskan oleh kelompok mahasiswa, yakni: 1.Amandemen UUD 1945 2.Hapuskan KKN 3.Adili Soeharto 4.Hapuskan Dwifungsi ABRI 5.Otonomi Daerah 6.Penegakan Hukum 7. Pertanggungjawaban Orde Baru.
Sementara itu, terdapat juga tuntutan reformasi dari kelompok-kelompok lain terrumsukan sebagai agenda reformasi total, yakni reformasi politik, reformasi ekonomi dan reformasi hukum. Gelombang reformasi dan demokratisasi akhirnya menyebabkan runtuhnya kekuasaan rezim otoriter Soeharto (1997/98). Segera setelah kekuatan reformasi dan pro demokrasi berhasil meruntuhkan kekuasaan otoriter rezim Soeharto, terjadi perubahan cepat di dalam berbagai bidang, terutama politik. Banyak Parpol pro demokrasi bermunculan, satu di antaranya Partai Amanat Nasional (PAN). Para pendiri telah sepakat menjadikan PAN sebagai “partai kader”.
Refomasi dan Demokratisasi Pemerintahan.
Reformasi dan demokratisasi menuntut harus dilakukan pembaruan (reformasi) tata pengaturan kehidupan negara bangsa berdasarkan good governance (GG) Konsep GG ini menjadi sangat populer di negara-negara sedang dan telah menuju masa transisi demokrasi, termasuk Indonesia. Sedangkan sasaran utama tuntutan demokratisasi pada dasarnya bukan saja ditujukan kepada negara bangsa pada tingkat global, tetapi juga pada tingkat individual (ssatu negara) seperti Indonesia. Pada tingkat individual, pada umumnya terdapat 3 (tiga) sasaran demokratisasi, yakni 1). Pemerintahan, 2). Dunia Usaha, dan 3) Warganegara (Civil Society).
Reformasi dan demokratisasi pemerintahan mengharuskan reformasi/pembaruan tata pengaturan pemerintahan, mengandung pengertian bahwa institusi-institusi seperti legislatif, yudikatif dan eksekutif harus mendapatkan reformasi atau pembaruan dalam pengaturan baik (good governance). Pada negara demokratis, institusi pemerintahan atau negara menegakan setidaknya 4 (empat) prinsip GG, yakni (1) partisipasi, (2) transparansi, (3) akuntabilitas dan (4) kesetaraan Di samping itu, terdapat pemilu kompetitif, bebas dan jujur. Sementara pada negara otoriter, peranan institusi pemerintahan (negara) sangat dominan dan tidak menegakan 4 (empat) prinsip GG di atas, dan juga tidak terdapat pemilu kompetitif , bebas dan jujur.
Demokratisasi menuntut perubahan dari pemerintahan tidak partisipatif, tidak transparan dan tidak akuntabel bagi publik (warganegara) ke arah partisipatif, transparan dan akuntabel bagi publi dan, dari pemilu tidak kompetitif, tidak bebas dan tidak jujur ke arah kompetitif, bebas dan jujur.
Secara kelembagaan, pengaturan sektor publik ini mencakup perimbangan kekuasaan antara Dewan Eksekutif (Presiden), lembaga legislatif (Parlemen) dan lembaga Yudikatif. Pembagian kekuasaan sangatlah penting untuk mengatur lembaga-lembaga publik di atas baik pada tingkat pusat dan maupun daerah.

Demokratisasi menuntut reformasi hubungan Pusat dan Daerah dalam pemerintahan melalui pelaksanaan otonomi daerah seluas-luaasnya. Otonomi daerah merupakan upaya harus dilakukan untuk memperbaiki pelayanan masyarakat (public services) tersebar secara gerografis dan peningkatan partisipasi politik warganegara dalam proses pengambilan keputusan di Daerah. Arti penting pelaksanaan otonomi daerah terletak pada proses desentralisasi vertikal pemerintahan dikelola secare sentralistik. Ada beberapa alasan tuntutan reformasi hubungan Pusat dan Daerah melalui pelaksanaan otonomi daerah:
Pertama, pelaksanaan pembangunan selama ini dikelola secara sentralistik, walaupun telah mencapai prestasi tertentu dalam pertumbuhan ekonomi per tahun, namun telah membawa biaya sosial mahal karena telah terjadi ketimpangan sosial dan ketimpangan perkembangan antar daerah.

Kedua, pemerintahan dikelola secara sentralistik telah melahirkan tingkat responsifitas rendah dalam proses pengambilan keputusan politik sehingga solusi dari Pusat sering tidak sesuai dengan kondisi daerah menjadi sasaran pengambilan keputusan tersebut.

Ketiga, kesulitan Daerah cenderung semakin tergantung pada Pusat (ditandai oleh rasio semakin rendah antara PAD terhadap total penerimaan Daerah), diperlukan desentralisasi wewenang kepada Daerah untuk mencari cara-cara dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan kondisi Daerah tersebut.

Karena pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu cara menyeimbangkan kekuasaan antara Pusat dan Daerah serta memunculkan pusat-pusat kekuasaan baru tersebar secure gerografis, maka otonomi daerah berarti juga merupakan pelaksanaan nilai-nilai demokrasi. Dengan perkataan lain, tidak ada demokrasi tanpa otonomi daerah.

Karena pelaskanaan otonomi daerah pada hakekatnya memberikan kemungkinan terhadap penguatan rakyat pada tingkat grassroot (akar rumput), sedangkan demokrasi mengandaikan adanya partisipasi masyarakat secara sukurela (outonomous participation) terhadap kehidupan bernegara, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan memberikan landasan kokoh terhadap kehidupan demokrasi.

Demokratisasi Dunia Usaha.

Reformasi dan demokratisasi dunia usaha menuntut reformasi tata pengaturan dunia pelaku bisnis baik perusahaan swasta dalam negeri, milik negara, multinasional, organisasi non-profit, dll. Kegiatan bisnis industri, misalnya harus berdasarkan kontrak disepakati bersama. Selanjutnya, perusahaan sebelumnya berbentuk “shareholder democracy“ harus berubah ke arah “stakeholder democracy”.

Perusahaan berbentuk “shareholder democracy” memiliki karakteristik antara lain:

1.Para pemilik modal (owners) atau shareholders memiliki kekuasaan dominan dalam pengawasan dan pengaturan berjalannya perusahaan; termasuk dalam menentukan kebijakan investasi.
2.Pengaturan perusahaan semata-mata disesuaikan dengan kepentingan dan perusahaan itu harus berjalan sesuai dengan kerangka kepentingan para pemilik modal atau shareholders.
3.Kalaupun terdapat kebijakan shareholders menunjuk para Manajer (Kelompok Dalam) untuk bertindak sebagai pengawas dalam pengaturaan berjalannya perusahaan, namun kebijakan itu masih dalam kerangka mewakili kepentingan pemilik modal (shareholders).

Di lain pihak, perusahaan berbentuk “stakeholder democracy” memiliki karakteristik sangat berbeda dibandingkan “shareholder democracy”. Beberapa karakteristik stakeholder democracy, yakni:

Kecuali para pemilik modal (owners) atau shareholders dan para Manajer (Kelompok Dalam), fihak-fihak lain (Kelompok Luar) juga harus terlibat dalam penentuan investasi, dan memiliki kekuasaan relatif setara dalam pengawasan dan pengaturan berjalannya perusahaan.
Pengaturan perusahaan tidak hanya disesuaikan dengan kepentingan “kelompok dalam” (shareholders dan para manajer), tetapi juga “kelompok luar” seperti “kepentingan nasional”, “kepentingan lingkungan”, pekerja/buruh, kreditor, konsumen, masyarakat lokal/setempat, pemasok (suppliers) dll.

Demokratisasi dipengaruhi oleh globalisasi ekonomi ini menuntut juga perubahan dari sektor tradisional ke arah sektor moderen/maju. Sektor tradisional, bagaimana pun, harus menghadapi tantangan dan kendala berat, yakni perubahan dari “comparative advantage” ke arah “competitive advantage”. Cepat atau lambat sektor tradisional akan digeser oleh sektor moderen/maju, dan dalam batas-batas tertentu usaha tradisional nasional dapat digantikan oleh usaha moderen internasional.

Bagi negara-negara sedang mengalami perubahan dari otoriter ke demokratis (menuju masa transisi demokrasi), diperlukan adanya perubahan perusahaan nasional dan global negara bersangkutan (baik sektor profesi, perdagangan maupun industri), dari bentuk shareholder democracy menjadi stakeholder democracy. Salah satu caranya adalah melakukan pembaruan tata pengaturan perusahaan nasional dan global baik berdasarkan penegakan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG)

Perusahaan nasional tidak mengacu pada bentuk “stakeholder democracy” akan ditekan dan dipinggirkan oleh berbagai institusi/lembaga internasional sebagai aktor globalisasi dan transformasi demokrasi, seperti WTO, ILO, OECD, GATT, IMF dan Bank Dunia. Intinya, globalisasi, transformasi demokrasi atau demokratisasi menuntut reformasi (pembaruan) tata pengaturan dunia usaha baik baik sektor profesi, perdagangan maupun industri, termasuk industri telekomunikasi.

Reformasi dan Demokratisasi Warganegara (Civil Society).

Kecenderungan kekuasaan negara otoriter, semakin birokratis dan masif membuat masyarakat menjadi tidak berdaya terhadap negara. Ini adalah ciri masyarakat tanpa demokrasi. Bila proses militerisasi berlangsung di dalam suatu negara otoriter, maka masyarakat semakin tidak berdaya terhadap negara. Dalam perspektif demokratisasi, negara otoriter, birokratis dan militeristis semacam ini harus direformasi melalui jalur penyeimbangan hubungan antara negara dan masyarakat dengan cara demokratisasi warganegara (civil society).

Demokratisasi warganegara (civil society) sesungguhnya mengandung penjelasan tentang pembentukan, pengembangan dan penguatan civil society dalam batas-batas hubungan “negara” dan “warganegara”. Demokratisasi warganegara mengharuskan reformasi tata pengaturan civil society berdasarkan pelaksanaan dan penegakan prinsip-prinsip GG (good governance).

Civil society memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:

1.Terdapat suatu ruang kehidupan kelompok warganegara dapat bergerak dan menegakkan eksistensinya, terbebas dari perilaku militeristik dan kekerasan negara.
2.Kelompok warganegara ini saling bekerjasama dalam membangun masyarakat madani berkeadilan sosial dan menghormati hak-hak orang lain.
3.Di dalam ruang kehidupan tersebut, hubungan warganegara dan negara ditandai dengan adanya kelompok-kelompok masyarakat otonom dalam mengartikulasikan kepentingan dan keyakinan mereka berbeda dengan institusi-institusi negara.
4.Terdapat perangkat jaringan hubungan kerjasama (relational networks) terbentuk berdasarkan keluarga, kepercayaan, kepentingan, dan ideologi terpisah dari negara .
5.Adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan negara, pada hakekatnya memberikan kemungkinan terhadap penguatan rakyat pada tingkat “akar rumput” (grass-root), dan memberikan landasan \ kokoh terhadap kehidupan demokrasi
6.Terdapat suasana kebebasan warga negara untuk berpartisipasi dalam membangun kebudayaan dan peradaban, \ termanifestasi dalam bentuk partisipasi aktor demokrasi seperti partai politik, pers/media massa, organisasi non-pemerintah, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan organisasi-organisasi masyarakat, keluarga, perkumpulan, asosiasi, dll. \ memungkinkan hubungan \ berdaya terhadap negara.
7.Individu dan kelompok aksi sebagai institusi demokrasi relatif berkembang dan kuat. Langsung atau melalui institusi demokrasi ini warganegara memiliki hak-hak sipil dan politik, dan tanpa rasa takut berhak mengeskpresikan diri tentang masalah-masalah politik ekonomi, termasuk mengkritik pejabat, pemerintah, rezim, tatanan socioekonomi, dan bahkan ideologi berlaku.
8.Para warganegara berhak dan bebas untuk membentuk asosiasi dan organisasi relatif independen dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka.
9.Pada kondisi civil society masih menuju masa transisi demokrasi, diperlukan pengembangan dan penguatan institusi, aktor dan kelompok aksi demokrasi berdaya terhadap perilaku militeristik dan kekerasan negara.

Cita-cita dan Tujuan Pendirian PAN.

Dalam kondisi gelombang refromasi sangat tinggi dengan tuntutan sesuai agenda reformasi dan proses demokratisasi dipengaruhi juga proses globalisasi dan pada akhirnya terjadi keruntuhan kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto (1997/98), sejumlah kaum reformasi mengatasnamakan MARA memprakarsai pendirian sebuah partai baru. Pada 5-6 Agustus 1998 di Mega Mendung, Bogor, para pendiri MARA sepakat membentuk Partai Amanat Bangsa (PAB), tetapi nama itu kemudian diubah menjadi Partai Amanat Nasional (PAN), dideklarasikan pada 23 Agustus 1998, kemudian diperingati sebagai hari kelahiran PAN sebagai partai reformis, demokratis dan kader. Pendirian PAN ini sesungguhnya merupakan salah satu episode dari keseluruhan ikhtiar untuk menuntaskan agenda reformasi dicanangkan oleh rakyat Indonesia dimotori oleh pemuda dan mahasiswa.

PAN bertugas memperjuangkan kedaulatan rakyat, demokrasi, kemajuan dan keadilan sosial. Cita-cita PAN berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan. Sedangkan prinsip dianutnya adalah nonsekterian dan nondiskriminatif. Dalam hal pembangunan masyarakat, PAN mencita-citakan suatu masyarakat Indonesia demokratis berkeadilan sosial, mandiri dan cerdas. PAN disebutkan lahir sebagai bagian dari sebuah ikhtiar besar, yakni usaha membangun sebuah masyarakat madani bisa bertahan dari cengkraman birokrasi sipil serta militer, dan bisa tangguh d hadapan desakan modal besar. Melalui proses politik demokratis, PAN ingin membangun sebuah Indonesia terdiri dari individu-individu mandiri, organisasi-organisasi rakyat kuat dan satuan-satuan administarsi \ otonom.

PAN bertujuan menciptakan Indonesia Baru menjunjung tinggi dan menegakkan nilai-nilai Iman dan Taqwa, kedaulatan rakyat, keadilan dan kesejahteraan sosial.

PAN menginginkan tatanan memungkinkan setiap anggota masyarakat dapat mengembangkan keperidbadiannya dalam suasana kebebasan. Setiap anggota masyarakat dapat berperan serta dalam kehidupan politik, ekonomi dan budaya dan berperan serta dalam usaha-usaha mengembangkan kemanusiaan.

Dalam hal pemerintahan, PAN menentang segala bentuk kediktatoran, totalitarianisme dan otorterianisme karena bertentangan dengan harkat dan martabat manusia, memasung kebebasan danm menghancurkan hukum. PAN menjungjung tinggi demokrasi dan berjuang untuk mewujudkan tatanan sosial dan politik memungkinkan suburnya kehidupan masyarakat madani untuk mengawasi kekuasaan sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya penetrasi kekuasaan negara \ berlebihan terhadap individu. PAN berjuang untuk berperan sebagai suplemen dan komplemen terhadap kewajiban dan peran negara.

Dalam hal dunia usaha (ekonomi), PAN ingin mewujudkan kesejahteraan sosialo melalui pertumbuhan ekonomi berkeadilan dengan belandaskan moralitas menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, tidak mengenal perbedaan ras,suku dan agama, serta memberikan perhatian kepada kelompok-kelompok masyarakat rentan dan mengalami marginalisasi dari proses pembangunan. PAN memperjuangkan pemberian kesempatan sama bagi semua faktor untuk mewujudkan semua potensi dimiliki bagi penguatan daya saing nasional. Peran pemerintah harus lebih ditekankan pada penciptaan ajringan pengaman dan kebijakan menyetarakan peluang dari berbagai pelaku dunia usaha dengan meperhatikan asas keadilan.

Pemilu Legislatif 2009: Pencalegan Dini.

Jika kita membandingkan cita-cita dan tujuan pendirian PAN sebagai realitas simbolik (apa seharusnya) dan realitas obyektif (apa adanya), dapat disimpulkan bahwa PAN baik di bawah kepemimpinan M. Amien Rais maupun Soetrisno Baghir mengalami penyimpangan cita-cita dan tujuan pendirian. Fenomena berlaku kontra reformasi dan demokrasi, yakni elitis, oligarkis, transaksional dan kontraktual, bahkan akhir-akhir ini terindikasi “kartel”. Prinsip demokrasi berupa supremasi hukum atau rule of game acap kali tidak ditegakan. Hal ini sangat terlihat ketika kita menelaah keputusan DPP PAN terkait hubungan PAN dengan negara/pemerintahan seperti terkait dnegan Pemilu legislatif 2009, Pemilu Presiden 2009, Penetapan Anggota Legislatif (suara terbanyak), Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Permintaan Departemen Hukum dan HAM tentang AD/ART PAN asli, dll.

Untuk menghadapi Pemilu 2009, PAN telah mengeluarkan berbagai keputusan menkut tata pengelolaan pencalegan dini, termasuk syarat-syarat untuk menjadi Caleg PAN dan menduduki nomor urut kecil, sebagai misal nomor urut 1. Terkesan menegakkan prinsip demokrasi berupa partisipasi, kesetaraan (nondiskriminatif), transparansi, akuntabilitas publik, dan supremasi hukum. PAN membuat ketentuan dikenal sebagai “pencalegan dini” selama sekitar 1 (satu) tahun sebelum penentuan Caleg Sementara. Berbagai kriteria/norma dalam pencalegan dini ditetapkan sebagai dasar untuk menentukan seorang kader atau tokoh masyarakat menjadi Caleg PAN termasuk nomor urut di Dapil (Daerah Pemilihan) dipilih.

Logika ketentuan pencalegan dini adalah setiap kader memiliki peluang sama tanpa diskriminatif untuk menjadi Caleg nomor urut 1. Penentuan nomor urut tergantung keberhasilan Caleg untuk memenuhi berbagai syarat dalam bentuk kegiatan baik di Dapil dipilih sendiri maupun di DPP PAN. Karena itu, para kader berharap dapat menjadi caleg nomor urut kecil melakukan berbagai kunjungan calon konstituen, misalnya, dan berbagai kegiatan memperkenalkan diri (sosialisasi diri) di masyarakat pemilih Dapil dipilih.

Tetapi, DPP PAN di bawah Soetrisno Bachir dan Zulkifli Hasan secara terang-terangan mengabaikan ketentuan itu. Satu bukti, yakni dalam realitas obyektif DPP PAN menetapkan setiap personil pimpinan harian DPP PAN menjadi Caleg nomor urut 1. Kecuali mereka, juga ada beberapa Ketua Departemen juga menduduki nomor urut 1 tanpa dilakukan penilaian berdasarkan ketentuan pencalegan dini. Akibatnya, penetapan Caleg nomor urut 1 tidak demokratis, tetapi diskriminatif, nepotisme, dan melanggar aturan main dibuat sendiri (rule of the game). Ke publik dikesankan PAN demokratis dan menganut suara terbanyak, tetapi dalam kenyataannya semua personil pengurus harian DPP PAN menduduki nomor urut 1. Jika memang prinsip suara terbanyak mau ditegakkan konsisten dan konsekuen, mengapa semua personil DPP PAN itu menduduki nomor urut 1 tanpa melalui proses pencalegan?

Bukti selanjutnya, yakni penetapan seorang anak pendiri PAN ( menjabat Ketua MPP DPP PAN) sebagai Caleg PAN nomor urut 1 untuk DPR-RI di salah satu Dapil di Jawa Tengah. Dia bukan pimpinan DPP PAN, belum juga mengikuti latihan kader PAN, bahkan tergolong masih muda sekali, tidak mengikuti proses pencalegan dini, tiba-tiba menduduki nomor urut 1. Padahal ada kader senior anggota DPR RI dan bahkan Pendiri PAN (Zunaidi), telah terbukti jauh lebih banyak berbuat untuk PAN, atas`alasan rasional apapun seharusnya sangat layak menduduki nomor urut 1 di Dapil itu tetapi DPP PAN mendudukkannya sebagai nomor urut 2 di bawah anak Ketua MPP DPP PAN. Penepatan ini sungguh bersifat nepotis, diskriminatif, tidak transparan, melanggar aturan main. Hanya karena bapaknya seorang Ketua MPP DPP PAN, bisa menyingkirkan seorang pendiri PAN untuk meraih nomor urut 1. Sangat tragis bagi sebuah partai akder!

Pemilu Presiden 2009: Mendukung SBY
Kasus berikutnya terkait kebijakan DPP PAN menentukan Calon Presiden, sempat mengundang polemik kader dan perhatian publik. Sebagai partai reformis dan demokratis, tentu saja aturan main dan etika politik sangat penting untuk ditegakkan dalam tata pengaturan partai. Lazimnya, DPP PAN memiliki wewenang pengambilan keputusan partai lebih tinggi ketimbang keputusan peribadi Ketua MPP DPP PAN.

Dalam kenyataannya, Ketua MPP DPP PAN, mendahului Keputusan DPP PAN dipimpin Soetrisno Bachir. Ketua MPP ini menyampaikan sepihak pernyataan mendukung SBY menjadi Calon Presiden. Dikesankan, pernyataan ini sebagai keputusan pertemuan silahturahim MPP DPP PAN di Rumahnya sendiri, Yogyakarta.

Setelah Ketua MPP DPP PAN menyatakan dukungan politik itu, terjadilah rekayasa politik internal untuk mengadakan Rakernas sepihak di Yogyakarta untuk menjustifikasi/memperkuat pernyaaan. Proses pengambilan keputusan harus domain DPP PAN telah diambilalih oleh Ketua MPP DPP PAN. Pernyataan dukungan tidak dihadiri oleh beberapa petinggi DPP PAN, termasuk Ketua Umum Soetrisno Bachir. Intinya, dukungan terhadap SBY bukkanlah bermula dari prakarsa atau gagasan DPP PAN, melainkan Amien Rais peribadi dikesankan sebagai hasil keputusan MPP DPP PAN. Indikasi transaksional dan kontraktual menjadi semakin terlihat saat dan setelah Pilres berlangsung.

Penetapan Anggota Legislatif: Suara Terbanyak.

Perubahan mendasar Pemilu 2009, penentuan caleg \ berhak menduduki kursi legislatif hasil penetapan kursi berdasarkan perolehan suara terbanyak caleg, bukan nomor urut sebagaimaan berlaku pada Pemilu 2009. Perubahan ini sungguh terjadi bukan karena kehendak pembuat UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, melainkan kehendak Mahkamah Konstitusi (MK).

Secara sosiologis desakan penegakan prinsip suara terbanyak ini sebagai konsekuensi dari asumsi dasar bahwa penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut tidaklah demokratis dan lebih mengutamakan kepentingan elite partai. Asumsi dasar ini terbentuk dari pengalaman Pemilu 2004. Juga, diperkirakan jika nomor urut masih diberlakukan, maka caleg akan bekerja mencari pemilih hanya mereka duduk di nomor urut kecil, terutama nomor urut 1 dan 2. Sementara caleg di nomor urut 3 dan seterusnya akan tidak berpartisipasi. Itulah sebabnya semangat pemberlakuan suara terbanyak dan keputusan MK tentang suara terbanyak mendapat dukungan luas dari kalangan bakal caleg dan kader partai berkepentingan untuk menjadi anggota legislatif.

Sesungguhnya PAN telah memiliki aturan tersendiri tentang penentuan Calon Terpilih anggota DPR berdasarkan metode ”suara terbanyak” wajib ditaati dan dilaksanakan seluruh Calon Anggota Legislatif dari PAN. Sesuai Amanat Kongres PAN 2005 di Semarang dan dalam Rapat kerja Nasional III berlangsung di Surabaya 29-31 Mei 2008, PAN memutuskan metode ”suara terbanyak” menjadi ketentuan para Caleg PAN mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi hingga Nasional. Ketentuan utama tertera di dalam Anggaran Dasar PAN Bab X Pasal 21 ayat 5 berbunyi, anggota PAN menjadi anggota legislatif terpilih adalah memperoleh suara terbanyak dalam setiap tingkatan. Ketentuan konstitusional ini ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan DPP PAN Nomor: PAN/A/Kpts/KUSJ/075/V/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Terpilih Berdasarkan Suara Terbanyak PAN pada Pemilu 2009.

SK DPP PAN No. 075 ini dimaksudkan untuk memberikan arah dan petunjuk kepada pengurus dan kader partai mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Tata Cara Penetapan Suara Terbanyak masing-masing Calon dalam satu Dapil. Tindak lanjut Surat Keputusan DPP PAN tersebut yakni seluruh Calon Anggota Legislatif dari PAN telah menandatangani 2 (dua) Surat Pernyataan. 1. Surat Persetujuan Suara Terbanyak. 2. Surat Pernyataan Pengunduran Diri dan Ketidakbersediaan untuk Dilantik dan Disumpah sebagai Calon Terpilih Anggota DPR-RI Periode 2009-2014 Apabila Tidak Memperoleh Suara Terbanyak

Kebijakan ini menjadikan PAN sebagai ”Pelopor” penerapan metode suara terbanyak, dan perjuangan PAN mendapat hasil dengan dukungan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan penggunaan suara terbanyak dalam menentukan siapa akan duduk di kursi legislatif. Penggunaan metode suara terbanyak ini juga diperkuat oleh Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 Pasal 88 ayat 4 jo. Pasal 218 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Penggantian Calon Terpilih mempertimbangkan suara terbanyak peringkat berikutnya. Kebijakan suara terbanyak ini telah mempengaruhi para kader dan tokoh masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai Caleg dalam Pemilu 2009. Ada sejumlah tokoh masyarakat, bahkan seorang Dirjen Binapenta Depnakertrans, mendaftarkan diri menjadi Caleg di PAN. Di bawah ”iming-iming” suara terbanyak, para kader PAN dan tokoh masyarakat sebagai Caleg berkerja semaksimal mungkin mempromosikan dan mengkampanyekan diri agar dipilih masyarakat pemilih sesuai Dapil masing-masing.

Setelah Pemilu legislatif memasuki tahap penetapan siapa duduk di kursi milik PAN, ternyata DPP PAN tidak menegakkan prinsip suara terbanyak sesuai SK 75 di atas. Ironisnya, mereka dirugikan karena tidak konsisten dan konsekuen, bukan saja kader kelas pengurus DPW (Propinsi) atau DPD (Kabupaten/Kota) atau tokoh masyarakat, petinggi PAN di DPP seperti Didik Rachbini (Ketua) dan Zulkifli Halim (Wakil Sekjen) juga mengalami. Didik telah memperoleh suara terbanyak di bandingkan semua caleg PAN untuk DPR RI di Propinsi Jawa Barat, seharusnya dia menduduki kursi perolehan PAN hasil putaran ke tiga di jawa Barat. Namun, mendudukinya justru kader lain dekat secara personal dengan Ketua Umum DPP PAN. Sementara Zulkifli Halim, memperoleh suara terbanyak dibandingkan semua Caleg PAN untuk DPR-RI di Kalimantan Selatan, tetapi bukan dia menduduki kursi perolehan PAN putaran ketiga.

Di tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota, puluhan kader sekalipun meraih suara terbanyak sesama kader PAN di daerahnya, tetapi tidak ditetapkan oleh Pengurus PAN setempat menduduki kursi legislatif bersangkutan. Secara nasional PAN sesungguhnya telah melanggar konstitusi dan SK No. 75, suatu bukti tidak konsisten dan konsekuen melaksanakan supremasi hukum. Penetapan internal Caleg PAN menduduki kursi PAN lebih dominan berdasarkan relasi nepotisme, tidak reformis dan demokratis.

Pemalsuan AD/ART PAN.

Atas gugatan Hamid Husein, Seorang Pendiri PAN dan anggoat Badan Arbitrase DPP PAN, Pengadilan Negeri Jaksel menggelar pengadilan perkara perdata pada peradilan tingkat pertama. Pengadilan mengabulkan gugatan Hamid, menyatakan Akta Notaris No. 1 Juni 2005 bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Putusan ini diucapkan Selasa, 20 Januari 2009, dalam persidangan terbuka untuk umum, dan dituangkan ke dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1129/PdtG/2008/PNJktSel tanggal 5 Februari 2009. Karena itu, AD/ART PAN didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM tidak sama dengan AD/ART hasil Kongres II PAN di Semarang tahun 2005. Pengadilan telah membuktikan adanya penambahan dan perubahan di sana sini AD/ART PAN hasil Kongres III tahun 2005 Semarang, butir-butir pemalsuan: 6 (enam) ayat pada tiga pasal di AD serta 22 pasal di ART.

Setelah Pengadilan Negeri Jaksel dikeluarjan, Depertemen Hukum dan HAM, A.n. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Direktur Tata Negara, DR. Aidir Amin Daud, SH, MH, mengajukan Surat kepada DPP PAN (01 Juni 2009). Departemen ini minta DPP PAN agar mengirimkan AD/ART PAN hasil Kongres II April 2005 di Semarang telah dituangkan dalam Akta Notaris, untuk diproses sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Namun DPP PAN mengabaikan, belum menyerahkan AD/ART hasil Kongres asli. Apa sebabnya? Konon, jika diserahkan asli, maka pelaku pemalsu (mungkin Ketum, Sekjen, dan team Formatur hasil Kongres II Semarang) akan terkena hukuman tindak pidana.

Para kader kritis menilai, sejak 5 Februari 2009 PAN tidak memiliki AD/ART karena itu tidak bisa melakukan ”perbuatan hukum” apapun sebelum AD/ART palsu/dipalsukan diganti dengan syah sesuai ketetapan Kongres II PAN Semarang. Bahkan, dokumen AD/ART dipalsukan itulah mengantarkan PAN ikut Pemilu April 2009 dengan meraih 43 kursi DPR-RI dan ratusan atau ribuan kursi di legislatif lokal. Para pengurus DPP PAN bersekongkol untuk menutupi masalah pemalsuan ini, bagikan perilaku ”kartel” tentunya.

UU N0. 2 Tahun 2008, Pasal 5 (1) menetapkan, perubahan AD/ART harus didaftarkan ke Departemen paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut. Pasal 2 menetapkan, pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud ayat (1), menyertakan akta notaris mengenai perubahan AD/ART. Karena itu, kedudukan anggota Dewan dari PAN tidak sesuai dengan aturan hukum berlaku. Maka bisa muncul pertanyaan: apa mendasari DPP PAN di bawah Soetrisno Bachir dan Zulkifli Hasan melaksanakan Kongres III PAN di Batam Januari 2010 ?

Tindak lanjut putusan Pengadilan, upaya untuk mempidanakan perkara dugaan pemalsuan AD/ART PAN, antara lain pembuatan akte notaris perubahan AD/ART dan kepengurusan DPP PAN periode 2005-2010 tidak ditandatangani pimpinan sidang pleno III Kongres II PAN tahun 2005, Semarang Berdasarkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) tertanggal 28 April 2009 dari Polda Metro Jaya, penyidik sudah memeriksa dan membuat berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap 8 (delapan) saksi dari kalangan pengurus dan mantan pengurus PAN, serta saksi ahli. Saksi menjalani pemeriksanaan, yakni Hamid Husein (Pendiri PAN dan anggota Badan Arbitrase PAN), Benny Muharam (Staf Pimpinan PAN), Muhammad Suwardi (Mantan Wakil Ketua Badan Arbitrase PAN), Prof. Moh. Askin (Mantan Ketua Badan Arbitrase PAN), Suwarno Adiwijoyo (Mantan Wakil Ketua Badan Arbitrase PAN), Viva Yoga Mauladi (Wakil Sekjen DPP PAN), Notaris Muhammad Hanafi dan saksi ahli Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo.

Ada`desakan kader kritis agar Polda Metro Jaya memeriksa Ketua Umum DPP PAN, Sutrisno Bachir terkait pemalsuan AD/ART ini. Walaupun Polda Metro Jaya telah dua kali memanggil Sutrisno Bachir (pertama 16 Februari 2009 dan kedua 26 Februari 2009) guna diperiksa dan didengar keterangannya dalam kapasitas sebagai saksi, tetapi ia tidak memenuhi panggilan penyidik tanpa alasan patut dan wajar. Bahkan, hingga awal Nopember 2009, menurut sebuah sumber, terhadap bersangkutan belum dilakukan pemeriksaaan per BAP. Sutrisno adalah salah seorang petinggi DPP PAN mendaftarkan akte AD/ART diduga palsu itu ke Departemen Hukum dan HAM.

Pemalsuan AD/ART ini sungguh bertentangan dengan penegakan prinsip demokrasi berupa supremasi hukum (rule of game), dan sangat tidak reformis dan demokratis. Ada kritikus bilang, kalau AD/ART milik partai sendiri dipalsukan, kalau akder PAN jadi pejabat dalam pemerintahan, bisa saja menjadi pelaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), anti reformasi dan anti demokrasi, suatu prilaku bertentangan dengan cita-cita dan tujuan pendirian PAN.

Tanggungjawab para Pendiri PAN.

Bagaimana cara mengembalikan kipra PAN ke arah cita-cita dan tujuan pendirian PAN, sebuah pertanyaan harus dijawab oleh para Pendiri PAN. Mereka tidak boleh ”lepas tangan”, harus bertindak memecahkan masalah kipra PAN ”elitis”, ”oligarkis”, ”transaksional”, ”kontraktual”, bahkan terindikasi ”kartel” terutama sepanjang tahun 2009 lalu. Para Pendiri PAN harus memberikan tanggungjawab atas fenomena PAN menyimpang dan anti reformasi dan demokrasi ini.

Prospek ke depan, sebuah strategi alternatif harus diambil para Pendiri PAN untuk mengembalikan PAN dalam alur semangat dan gelombang reformasi dan demokratisasi saat pendirian tahun 1998. Sudah mulai ditegakkan seharusnya prinsip partisipasi, kesetaraan (nondiskriminatif), transparansi, akuntabilitas publik, supremasi hukum (rule of the game) di dalam tubuh PAN itu sendiri. Jika tidak, PAN sebagai partai reformis dan demokratis, bisa jadi, semakin kencang ke arah partai kontraktual dan akrtel, tentu saja sangat bertentangan dengan nilai-nilai reformasi dan demokrasi.