Sabtu, 24 Oktober 2009

Suara Terbanyak di PAN dalam Pemilu 2009

SUARA TERBANYAK DI PAN DALAM PEMILU 2009




Pemilu 2009 memiliki karakteristik berbeda dengan Pemilu-pemilu sebelumnya (1955 s/d 2004), khususnya penetapan “Caleg Terpilih”. Jika Pemilu-pemiu sebelumnya penetapan calon terpilih untuk duduk di kursi legislatif berdasarkan nomor urut, Pemilu 2009 berdasarkan perolehan suara terbanyak. Karakteristik ini membuka peluang Caleg “nomor sepatu” (nomor di bawah) bisa duduk di legislatif. Karakteristik ini muncul karena keputusan MK (Mahkamah Konstitusi), yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait uji materi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Berbagai argumentasi telah diajukan untuk menjustifikasi metode suara terbanyak untuk penetapan caleg terpilih. Secara sosiologis desakan penegakan prinsip suara terbanyak ini sebagai konsekuensi dari asumsi dasar bahwa penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut tidaklah demokratis dan lebih mengutamakan kepentingan elite partai. Pengalaman Pemilu 2004 menunjukkan, mereka yang duduk di nomor urut 1 (satu) untuk DPR-RI misalnya kebanyakan yang mempunyai hubungan kepentingan dengan Ketua Umum atau Sekjen Partai tingkat Pusat. Bahkan, keputusan MK ini dinilai sebagai kemenangan rakyat, akan berdampak pada penyehatan iklim politik nasional karena telah mencerminkan keadilan dan demokrasi.

Juga, diperkirakan jika nomor urut masih diberlakukan, maka caleg yang akan bekerja mencari pemilih hanya mereka duduk di nomor urut kecil, terutama nomor urut 1 dan 2. Sementara caleg di nomor urut 3 dan seterusnya akan tidak berpartisipasi. Itulah sebabnya semangat pemberlakuan suara terbanyak dan keputusan MK tentang suara terbanyak mendapat dukungan luas dari kalangan bakal caleg dan kader partai berkepentingan untuk menjadi anggota legislatif melalui Pemilu 2009. Ketentuan nomor urut pada dasarnya merupakan penipuan terhadap rakyat. Caleg seharusnya terpilih berdasarkan suara terbanyak bisa dikalahkan hanya karena tidak berada di nomor urut satu.

Kebijakan PAN

Sesungguhnya PAN telah memiliki aturan tersendiri tentang Penentuan Calon Terpilih anggota DPR berdasarkan metode ”suara terbanyak” yang wajib ditaati dan dilaksanakan seluruh Calon Anggota Legislatif dari PAN. Bahkan menanggapi Keputusan MK tersebut, Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir menyebutnya sebagai kemenangan rakyat. Menurutnya, PAN selama ini memang memperjuangkan suara terbanyak. “Dengan suara terbanyak itulah peranan partai harus berbagi dengan caleg yang dipilih rakyat langsung. Ini demokrasi yang benar-benar adil,” tandasnya.

Sebelum Keputusan MK, sesungguhnya PAN melalui Kongres PAN 2005 di Semarang, telah mengamanatkan kebijakan suara terbanyak ini, diperkuat melalui Rapat kerja Nasional III di Surabaya 29-31 Mei 2008. PAN memutuskan metode ”suara terbanyak” menjadi ketentuan para Caleg PAN mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi hingga Nasional. Ketentuan utama tertera di dalam Anggaran Dasar PAN Bab X Pasal 21 ayat 5 berbunyi, anggota PAN yang menjadi anggota legislatif terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak dalam setiap tingkatan.

Ketentuan konstitusional ini ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan DPP PAN Nomor: PAN/A/Kpts/KUSJ/075/V/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Terpilih Berdasarkan Suara Terbanyak PAN pada Pemilu 2009. SK DPP PAN No. 075 ini dimaksudkan untuk memberikan arah dan petunjuk kepada pengurus dan kader partai yang mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Tata Cara Penetapan Suara Terbanyak masing-masing Calon dalam satu Dapil.

Tindak lanjut Surat Keputusan DPP PAN tersebut yakni seluruh Calon Anggota Legislatif dari PAN telah menandatangani 2 (dua) Surat Pernyataan. 1. Surat Persetujuan Suara Terbanyak. 2. Surat Pernyataan Pengunduran Diri dan Ketidakbersediaan untuk Dilantik dan Disumpah sebagai Calon Terpilih Anggota DPR-RI Periode 2009-2014 Apabila Tidak Memperoleh Suara Terbanyak

Kebijakan ini menjadikan PAN sebagai ”Pelopor” penerapan metode suara terbanyak, dan perjuangan PAN mendapat hasil dengan dukungan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan penggunaan suara terbanyak dalam menentukan siapa yang akan duduk di kursi legislatif. Penggunaan metode suara terbanyak ini juga diperkuat oleh Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 Pasal 88 ayat 4 jo. Pasal 218 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Penggantian Calon Terpilih yang mempertimbangkan suara terbanyak peringkat berikutnya.


Respon Tokoh Masyarakat

Kebijakan suara terbanyak ini telah mempengaruhi bukan saja kader aktif partai, melainkan juga tokoh masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai Caleg dalam Pemilu 2009. Untuk Dapil Jabar XI (Kota dan Kabupaten Tasik Malaya dan Kab. Garut), berberapa tokoh masyarakat mendaftarkan diri sebagai caleg PAN, antara lain Eri Poernomo Hadi dan Tjetje Al Anshori. Kedua tokoh ini bukan saja tergolong tokoh lokal melainkan nasional.

Eri Poernomo Hadi adalah anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas). Sementara Tjetje Al Anshori saat itu adalah Dirjen Binapenta Depnakertrans. Karena berminat menjadi Caleg DPR-RI dari PAN, maka Tjetje mengajukan permohonan kepada Presiden RI untuk berhenti sebagai Dirjen Binaperta Depnakertrans. terhitung 1 September 2008, yang seharusnya masa jabatan tersebut akan berakhir 1 September 2011 (berdasarkan PP No. 65 Tahun 2008), telah mendapatkan hak pensiun sebagai PNS.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Penyelenggara Pemilu telah melaksanakan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan juga telah mengumumkan hasil perolehan suara tiap-tiap partai Peserta Pemilu. Berdasarkan Keputusan KPU No. 379/Kpts/KPU/ Tahun 2009 tentang Perubahan Keputusan KPU No.: 286/Kpts/ KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Calon Terpilih anggota DPR-RI dalam Pemilu 2009 tanggal 2 September 2009, KPU telah menetapkan jumlah kursi Anggota DPR terpilih yang diperoleh PAN adalah 46 (empat puluh enam) kursi.

Dari 46 (empat puluh enam) kursi PAN, 5 (lima) kursi diantaranya adalah hasil perhitungan tahap ke-3 yang merupakan penggabungan suara PAN dari semua Dapil di Propinsi bersangkutan. Kursi hasil perhitungan tahap ke-3 dimaksud yakni 1(satu) kursi di Kalimantan Selatan, 1 (satu) kursi NTT, 1 (satu) kursi Jawa Barat, 1 (satu) kursi DKI Jakarta dan 1 (satu) kursi Banten.

Khusus di Jabar, PAN meraih hanya 3 (tiga) kursi anggota DPR-RI; 1 kursi di Dapil Jabar IX hasil perhitungan tahap 1, 1 kursi di Dapil Jabar XI hasil perhitungan tahap 2, dan 1 kursi lain di Dapil Jabar X hasil kursi tahap 3 (gabungan suara PAN dari semua Dapil di Jabar).


Kasus Dapil Jabar XI

Kasus Dapil Jabar XI dapat mencerminkan pelaksanaan metode suara terbanyak di PAN yang tidak konsisten dan konsekuen, bahkan lebih mencerminkan perilaku nepotis. Perolehan suara anggota DPR-RI dari PAN di Dapil Jabar XI ini sebanyak 159.249 suara. Peringkat perolehan suara masing-masing Caleg sbb: Peringkat pertama, 24.950 suara, Eri Poernomo (No. Urut 11); peringkat kedua, 23.369 suara, Tjetje Al Anshori (No. Urut 5); peringkat ketiga, 20.096 suara, Rudy Sukendra Sindapati (No.Urut 1).

Sesuai Surat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) No. 611/Bawaslu/IX/2009 tanggal 9 September 2009, calon terpilih Anggota DPR-RI dengan peringkat suara terbanyak pertama mewakili Dapil Jabar XI atas nama Eri Poernomo Hadi dinyatakan tidak memenuhi syarat calon sebagai Anggota DPR-RI. Hal ini mengingat calon yang bersangkutan pada tahap pencalonan dan perbaikan syarat calon tidak menyampaikan surat pengunduran diri sebagai Anggota Komite BPH Migas yang tidak dapat ditarik kembali dan bukti surat keterangan dari Kepala BPH Migas yang menyatakan telah menerima permohonan pengunduran dirinya dan akan diteruskan proses pemberhentiannya oleh instansi BPH Migas. Surat Bawaslu itu sendiri terbit setelah adanya pengaduan dari Panwaslu Jawa Barat ke Panwaslu Pusat, yang menyatakan jika dirinya masih terdaftar di BPH Migas.

Berdasarkan hal ini, antara lain KPU tidak dapat menetapkan Eri Poernomo Hadi ini sebagai calon terpilih Anggota DPR-RI mewakili Dapil Jabar XI. Lebih jauh, KPU meminta DPP PAN untuk menyampaikan Surat Keputusan DPP PAN mengenai usul penggantian calon terpilih anggota DPR-RI atas nama Eri Poernomo Hadi mewakili Dapil Jabar XI yang ditandatangani oleh Ketum dan Sekjen. Akibatnya, Eri Poernomo gagal dilantik dan dicoret menjadi anggota DPR-RI.

Setelah Eri Poernomo Hadi didepak dari Caleg terpilih, lalu sebagai pengganti diajukan DPP PAN yang ditandatangani Sekjen dan Ketum, yakni caleg peraih peringkat suara terbanyak ketiga, Rudy Sukendra Sindapati (nomor urut 1). Sesuai dengan ketentuan, terutama SK DPP PAN No. 075 di atas, maka sebagai pengganti Eri Poernomo Hadi peraih peringkat suara terbanyak kesatu, seharusnya Tjetje Al Anshori, peraih peringkat suara terbanyak kedua, bukan peraih peringkat suara ketiga (Rudy Sukendra Sindapati).


Perlawanan Eri Poernomo Hadi

Eri Poernomo Hadi sendiri tak bisa menerima perlakuan pendepakan dari daftar caleg terpilih ini, kemudian melakukan “perlawanan”. Eri mengaku sudah melakukan proses pemilihan dan kemenangan sudah digenggamnya. Perlawanan pertama, Eri melayangkan gugatan ke KPU Pusat dan DPP PAN. “Gugatan yang saya lakukan hanya untuk mencari keadilan dan meminta kembali hak saya”, tegasnya. Lebih jauh Eri menilai, keputusan KPU dan DPP PAN sangat merugikannya yang sejak awal sudah jauh melangkah untuk meraih suara pada Pemilu legislatif lalu. Eri bahkan mengakui, pengunduran diri secara resmi sudah dilakukan pada saat mendaftarkan diri ke KPU sebagai calon anggoat DPR-RI. Surat tersebut sudah dianggap sah oleh ketua KPU Pusat Abdul Hafidz Anshari sehingga dirinya bisa mengikuti Pemilu.

“Saya sendiri kurang mengerti ada permainan apa sehingga nama saya dicoret dan digantikan oleh Caleg lain”, tandas Eri Sembari menekankan, padahal surat pengunduran diri sudah dia buat. “Apalagi BPH Migas itu bukan BUMN dan saya bukan PNS. Jelas itu permaianan”, lanjut Eri.

Perlawanan Eri kedua adalah melakukan pengajuan uji materiil UU No. 10/2008 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Eri memperkarakan, pasal 50 yang mengatur pengunduran diri pejabat Negara sebelum pencalegan. Pasal itu mensyaratkan, para bakal caleg wajib mengundurkan diri terlebih dahulu dari posisinya, sebagai pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota Kepolisian, pengurus pada BUMN dan atau BUMD, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara. Pasal ini dinilai merugikan Eri. Frase “pengurus badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara berlaku”, menurut Eri, tidak memiliki ukuran yang jelas.

Eri kemudian berharap, putusan MK dapat membatalkan frase ini surut sehingga bisa dilantik sebagai anggota DPR. Di lain fihak, Eri juga telah mengklaim, ia telah memenuhi semua persyaratan sebelum pencalegan. Sebagai bukti, Eri tunjukkan namanya yang tetap nongol di DCT (Daftar Caleg Tetap). Bahkan, lewat Surat KPU No. 49 yang diterbitkan pada 9 Januari 2009, KPU telah menetapkan dirinya menenuhi syarat pencalegan.



Tjetje Al Anshori sebagai Pengganti Eri

Jika Ketum dan Sekjen DPP PAN sungguh-sungguh obyektif dan mengacu pada semangat sosiologis kader PAN dan kebijakan suara terbanyak. Maka sebagai pengganti Eri Poernomo untuk menjadi anggota DPR-RI dari Dapil Jabar XI, bukanlah Rudy Sukendra Sindapati (peringkat ketiga), melainkan Tjetje Al Anshori (peringkat kedua). Ketum dan Sekjen sekalipun pernah ditolak KPU tetap saja mengajukan peraih suara ketiga sebagai pengganti Eri Poernomo , bagaikan cerminan perilaku nepotis. Salah satu bukti adalah Surat DPP PAN (Ditandatangani Ketum dan Sekjen) tertanggal 18 Juni 2009 dan 8 September 2005 ke KPU, yang mengusulkan Rudy Sukendra Sindapati (peringkat ketiga) untuk menggantikan Eri Poernomo Hadi. Namun, KPU menilai pergantian calon terpilih oleh Rudy Sukendra Sindapati usulan DPP PAN tidak memenuhi salah satu diantara syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 87 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 jo. Pasal 218 UU No. 10 Tahun 2008 dan penjalasannya. Singkat cerita, DPP PAN terus berupaya memperjuangkan Rudy sebagai pengganti Eri Poernomo Hadi dan pada gilirannya Rudy Sukendra Sindapati berhasil dilantik dilantik menjadi anggota DPR-RI tanggal 1 Oktober lalu.

Sementara Tjetje peraih peringkat suara terbanyak kedua yang seharusnya menggantikan Eri Poernomo Hadi telah diabaikan oleh DPP PAN. Karena itu, kasus ini memperkuat Ketum dan Sekjen DPP PAN tidak konsekuen menegakkan prinsip suara terbanyak. Padahal Ketua MPP DPP PAN, Amien Rais, bersikap berbeda dengan sikap DPP PAN ini. Amien menilai, Tjetje Al Anshori lebih layak untuk menggantikan Eri Poernomo karena meraih suara lebih banyak ketimbang Rudy. Hal ini terlihat dari kandungan Surat Amien ke KPU, meminta agar KPU sungguh-sungguh melaksanakan prinsip suara terbanyak dan mengingatkan agar kasus Tjetje ini tidak menjadi kasus hukum. Bahkan, menurut Tjetje, penetapan Rudy sebagai anggota DPR-RI dari PAN untuk Dapil Jabar XI adalah tdiak sah dan melawan hukum. Tjetje menuntut KPU harus segera membatalkan.


Perlawanan Tjetje Al Anshori.

Berbagai upaya baik secara tertulis maupun lisan telah dilakukan Tjetje untuk memperjuangkan haknya sebagai anggota DPR-RI mewakili Dapil Jabar XI dari PAN. Termasuk diantaranya berkonsultasi dengan Ketua MPP DPP PAN, Amien Rais, di Yogyakarta. Hasilnya, Amien Rais memberikan perhatian serius dan membuat Surat ke Pimpinan KPU (Jakarta) menyangkut terutama kasus penetapan caleg terpilih untuk kursi PAN di Dapil Jabar XI.

Pertama-tama perlawanan Tjeje Al Anshori adalah menulis surat ke DPP PAN tertanggal 18 September 2009. Surat tsb menegaskan setidaknya 4 hal. Pertama, diduga telah terjadi upaya pemaksanaan kehendak penetapan calon terpilih tanpa melalui system suara terbanyak jauh sebelum Eri Poernomo Hadi statusnya sebagai caleg tetap dibatalkan oleh Bawaslu/KPU.

Kedua, adanya inkonsistensi dalam penetapan suara terbanyak, Pasal 218 ayat 3 UU No. 10 tahun 2008 dan Surat Pernyataan Pengunduran Diri seluruh Caleg PAN yang akan digunakan PAN untuk proteksi penetapan suara terbanyak, ternyata diduga diselewengkan dengan digunakan berbalik sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan individu.

Ketiga, setelah Eri Poernomo Hadi satstusnya sebagai caleg tetap dibatalkan oleh Bawaslu/KPU dan dicoret dari daftar Calon Tetap sesuai surat Bawaslu No. 661/bawaslu/IX/2009 tanggal 9 September 2008, maka suara terbanyak berikutnya jatuh pada Tjetje Al Anshori, sesuai surat KPU ke DPP PAN No. 1460/KPU/IX/2009 tanggal 14 September 2009 point 4c.

Keempat, dengan surat usulan Penetapan anggota DPR Jabar XI Rudy Sukendra Sindapati, diduga sudah melanggar Amanat Konsres PAN 2005, Rapat Kerja Nasional III di Surabaya 29-31 Mei 2008, SK DPP PAN N0. 075 serta diduga tidak mempertimbangkan Keputusan MK tentang suara terbanyak dan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 Pasal 88 ayat 4 jo. Pasal 218 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Penggantian calon terpilih yang mempertimbangkan Suara tebanyak peringkat berikutnya.

Dalam Surat ini Tjetje menegaskan, beliau tidak pernah membuat pernyataan pengunduran diri sebagai calon Tetap Anggota DPR-RI dari PAN walaupun Rudy Sukendra Sindapati meminta untuk mundur dengan menyerahkan format suarat yang harus ditandatangani. Lebih jauh, Tjetje memohon ke DPP PAN kearifan dan kebijaksanaan untuk menarik kembali dan mengganti surat usulan penetapan anggoat DPR Jabar XI atas nama Ir. H. Rudy Sukendra Sindapati yang tidak mencerminkan suara terbanyak. Namun, DPP PAN tetap saja mengabaikan prinsip suara terbanyak dimaksud.

Perlawanan Tjetje Al Anshori berikutnya tertuang di dalam Surat ke Ketua KPU, beberapa hari menjelang pelantikan anggota DPR-RI, 1 Oktober 2009. Isi surat ini pada prinsipnya mempertegas, penetapan calon legislatif terpilih anggota DPR dari PAN untuk Dapil Jabar XI sebagai pengganti calon terpilih anggota DPR dari PAN untuk Dapil Jabar XI adalah tidak sah serta melawan hukum. Karena itu, Tjetje meminta, penetapan calon legislatif dimaksud harus segera dibatalkan.

Sekalipun telah muncul perlawanan baik dari Eri Poernomo Hadi maupun Tjetje Al Anshori tentang penetapan Rudy Sukendra Sindapati sebagai anggota DPR dari PAN untuk Dapil Jabar XI, Ketum dan Sekjen DPP PAN tetap saja tidak mengubah keputusan mereka. Kasus ini telah mencerminkan DPP PAN umumnya tidak konsekuen melaksanakan suara terbanyak. Sekalipun, di publik PAN terkesan sebagai ”pelopor” suara terbanyak di Indonesia.





Reaksi Kader PAN

Kasus Dapil Jabar XI, penetapan Rudy Sukendra Sindapati sebagai anggota DPR-RI dari Dapil Jabar XI, telah mengundang reaksi protes dari kalangan kader dan konstituen PAN. Sebagai misal, Ketua DPD PAN Kota Tasikmalaya, Budi Achdiat yang menggelar rapat bersama dengan seluruh DPC PAN. Mereka telah sepakat untuk melakukan gugatan internal ke DPP PAN terhadap AD/ART akan segera dilakukan.

Budi Achdiat menilai, DPP PAN telah melanggar ketentuan mengenai ketetapan suara terbanyak yang menetapkan Rudy Sukendra Sindapati (peraih suara terbanyak ketiga) sebagai pengganti Eri Poernomo Hadi (peraih suara terbanyak pertama) karena peraih suara terbanyak setelah Eri sesungguhnya Tjetje Al Anshori (peraih suara terbanyak kedua).

”Kami akan mempertanyakan mengenai suara terbanyak yang sejak awal didengungdengungkan tapi pada kenyataannya dilanggar. Juga masalah yang dihadapi Pak Eri menjadi gejolak di internal partai, dan kader pemilih pun menanyakan hal itu”, tegas Ketua DPD PAN Kota Tasikmalaya ini.

Suara protes terhadap kebijakan Ketum dan Sekjen DPP PAN juga muncul dari sekelompok Ketua PAC PAN (tingkat kecamatan), disebut kemudian sebagai Forum DPC PAN Kabupaten Garut. Mereka mendatangi DPP PAN dan juga rumah peribadi Ketum di Jakarta pada Rabu malam, 21 Oktober 2009. Jika di DPP PAN, mereka diterima dan berdialog di depan Rapat Harian. Sementara itu, di rumah peribadi Ketum, mereka tidak bisa berdialog dengan Ketum karena tidak bersedia berdialog sekalipun mereka sudah berjumpa Ketum di dalam rumah tsb.

Sebuah surat pernyataan kepada Ketum dan Sekjen DPP PAN, tertanggal 11 Oktober 2009, telah mereka sampaikan baik ke DPP PAN maupun ke rumah peribadi Ketum. Melalui Surat ini mereka menuntut agar DPP PAN konsekuen dengan komitmen awal dan tetap berpegang teguh kepada Platform PAN, Amanat Kongres PAN 2005 di Semarang, Rakornas III Mei 2008, SK DPP PAN No. 075 yang memutuskan penetapan calon anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak.

Sekompok Ketua PAC PAN ini juga mendesak DPP PAN agar mencabut penentuan anggota DPR atas nama Ir. H. Rudy Sekendra Sindapati (pemegang suara terbanyak ketiga) dan dialihkan kepafa yang berhak. Lebih jauh, menuntut agar mengangkat Drs. H. Tjetje Al Anshori (pemegang suara terbanyak kedua) menjadi anggota DPR-RI. Tjetje ditegaskan yang behak menggantikan Ir. H. Eri Poernomo Hadi (pemegang pertama yang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan oleh KPU) sesuai aturan partai yang dikuatkan oleh Keputsuan KPU.

Suara protes ini dibarengi dengan penegasan, bilamana tjntutan dan desakan ini tidak dikabulkan maka mereka merasa DPP PAN sudah tdiak layak lagi untuk diikuti karena merusak tatanan konstitusi. Karena itu, mereka akan mengajukan mosi tidak percaya dan tidak layak lagi diajukan sebagai bakal calon pengurus DPP PAN periode selanjutnya. ”Tidak menutup kemuingkanan kami akan menggugat Ketua Umum dan Sekjen DPP PAN melalui jalur hukum sesuai peraturan perudnang-undangan yang berlaku, ” tandas mereka.

Bagaimanapun, penentangan dan protes terhadap DPP PAN terkait dengan kasus Dapil Jabar XI ini akan berlanjut terus. Perilaku ini bisa diwarnai berbagai motip, tetapi yang penting terdapat motip perjuangan keadilan terutama bagi caleg yang merasa dirugikan karena penetapan Rudy Sukendra Sindapati sebagai anggota DPR-RI dari Dapil Jabar XI (NSEAS Team).



--------------------

Menyoal Korupsi Aliran Dana Publik ke Bank Century

“STATE CAPTURE CORRUPTION :
“Menyoal Korupsi Aliran Dana Publik ke Bank Century”



Cita-cita bangsa yang merdeka berupa terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera, yang menjadi soul and spirit proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetap diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa Indonesia. Namun hasilnya masih jauh dari harapan. Satu aspek mendesak yang wajib hadir dalam kehidupan bangsa dewasa ini adalah integritas negara—bangsa yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat. Hal ini menjadi tanggung jawab konstitusional pengelola kekuasaan negara. Tantangan paling serius dan berat bagi pengelola kekuasaan negara untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan itu—adalah memberantas korupsi yang telah menjadi “penyakit kronis” bangsa Indonesia.

Korupsi telah mengakibatkan gagalnya negara menjalankan politik yang seharusnya “...a noble quest for a good justice”, yang menguntungkan rakyat. Praktek korupsi menghisap hasil pembangunan untuk dinikmati segelintir orang, sebaliknya, menyengsarakan rakyat banyak. Saking kronisnya, Indonesia terus tercatat sebagai “juara dunia” di antara negara-negara yang tingkat korupsinya tinggi di dunia. Kondisi inilah yang membuat kinerja pemerintahan, baik di masa rejim otoriter orde baru sampai (bahkan cenderung lebih parah) pemerintahan-pemerintahan era reformasi, sangat buruk, khususnya dalam menjalankan fungsi dan tugas negara yang melayani dan pro kepentingan rakyat banyak.

Namun, walaupun telah menggerogoti kemampuan negara dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, korupsi jenis ini masih dikategorikan sebagai “korupsi biasa”. Ada satu jenis korupsi yang “paling berbahaya” yang sedang melumpuhkan kemampuan bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita kemerdekaannya yaitu “state capture corruption”, korupsi sandera negara. Melalui konspirasi berbagai kekuatan ekonomi-politik internasional, yang disebut sebagai korporatokrasi internasional, mereka menguasai ekonomi, politik, dan sampai batas tertentu pertahanan keamanan kita. Kekuasaan negara seperti Pemerintah (eksekutif), DPR (legislatif) dan Mahkamah Agung (yudikatif) secara sadar atau tidak telah membuat keputusan-keputusan dalam rangka menghamba pada kepentingan asing dan melakukan korupsi yang paling berbahaya, karena yang dipertaruhkan adalah kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, bahkan kedaulatan pertahanan keamanan bangsa Indonesia.

State capture corruption terwujud dalam pembelian berbagai dekrit politik, pembuatan undang-undang dan kebijakan-kebijakan pemerintah oleh sektor korporat dan penyalahgunaan wewenang dalam mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Dengan kata lain sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing (korporatokrasi internasional) lewat pemerintah yang sedang berkuasa mampu membeli peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah, mendiktekan kontrak harga di bidang pertambangan, dan di bidang-bidang lainnya seperti perbankan, pertanian, kehutanan, pendidikan, dan lain sebagainya. Akibatnya pemerintah sendiri hanya sekedar kepanjangan tangan korporasi-korporasi besar.

Salah satu kasus korupsi, disebut juga kejahatan ekonomi, yang merefleksikan “state capture corruption” adalah kasus aliran dana publik dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) ke Bank Century yang telah menjadi sorotan publik. Kasus Bank Century ini sesungguhnya mencakup dua masalah utama, yakni 1). penipuan manajemen terhadap nasabah; 2). Kebijakan pemerintah tentang aliran dana publik dari LPS ke Bank Century.

Secara ringkas masalah aliran dana publik dari LPS ke Bank Century ini dapat digambarkan sebagai berikut. Bermula dari 20 November 2008, kondisi likuiditas Bank Century terus memburuk secara drastis, diikuti dengan penurunan rasio kecukupan modal (CAR). Apabila memasukkan koreksi hasil pemeriksaan per 31 Oktober 2008, CAR Bank Century terus menurun menjadi negatif. BI (Bank Indonesia) kemudian menetapkan Bank Century sebagai “Bank gagal”. Atas permintaan BI, pada 20 November 2008 KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) mengadakan rapat dan memutuskan bahwa Bank Century adalah “bank gagal” yang berdampak sistemik, dan diambil alih oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).

Pada 23 November 2008, dialirkan dana Rp. 2,776 triliyun ke Bank Century untuk CAR 8 % dibutuhkan Rp. 2,655 triliyun, dalam peraturan LPS dapat menambah modal sehingga CAR 10 % yaitu Rp. 2.776 triliyun. Pada 5 Desember 2008 dialirkan Rp. 2,201 triliyun untuk memenuhi ketentuan kebutuhan CAR berdasarkan hasil assessmen BI atas perhitungan Direksi Bank Century. Pada 21 Juli 2009 ditambahkan lagi Rp. 0,63 triliyun untuk menutup kebutuhan CAR berdasarkan assessmen BI atas hasil audit kantor akuntan publik. Tambahan Rp. 1,7 triliyun juga datang dari pemerintah untuk “bailout” Bank Century, walaupun sudah diketahui sebagai “Bank gagal” oleh Bank Indonesia. Intinya, KSKK masih saja memberi tambahan Rp. 4,9 triliyun ke Bank Century sekalipun telah diketahui Bank ini tergolong “Bank gagal”.

Kebijakan-kebijakan Pemerintah tentang aliran dana publik lebih Rp. 6 triliyun ke Bank Century dan tanpa persetujuan dan penolakan dari DPR menunjukkan adanya indiaksi “state capture corruption”, yakni kebijakan-kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal Bank Century (termasuk orang asing) dan korporat-korporat yang memiliki dana di Bank Century, sementara kepentingan nasabah kebanyakan diabaikan hingga kini. Kebijakan-kebijakan ini sesungguhnya merugikan keuangan publik.

Masalah berikutnya berkaitan dengan tuntutan publik, khususnya kalangan nasabah Bank Century, agar dana mereka dikembalikan Bank Century. Hingga kini, mereka terus berjuang baik melalui jalur hukum maupun politik, namun Pemerintah maupun Bank Century ( kini Bank Mutiara) belum juga memenuhi tuntutan mereka ini. Pada umumnya nasabah yang menuntut ini tergolong nasabah kecil, bukan korporat. Sekalipun mereka melalui jalur hukum telah berhasil memenangkan perkara, dan manajemen Bank Century, diputuskan Pengadilan sebagai fihak bersalah (Pengadilan DI Yogyakarta), namun tetap saja Pemerintah tidak menindak lanjuti keputusan itu dalam bentuk pengembalian dana nasabah kecil-kecil ini.

Pelaksanaan Suara Terbanyak di PAN dalam Pemilu 2009

OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




Pemilu 2009 memiliki karakteristik berbeda dengan Pemilu-pemilu sebelumnya (1955 s/d 2004), khususnya penetapan “Caleg Terpilih”. Jika Pemilu-pemiu sebelumnya penetapan calon terpilih untuk duduk di kursi legislatif berdasarkan nomor urut, Pemilu 2009 berdasarkan perolehan suara terbanyak. Karakteristik ini membuka peluang Caleg “nomor sepatu” (nomor di bawah) bisa duduk di legislatif. Karakteristik ini muncul karena keputusan MK (Mahkamah Konstitusi), yang mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait uji materi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Berbagai argumentasi telah diajukan untuk menjustifikasi metode suara terbanyak untuk penetapan caleg terpilih. Secara sosiologis desakan penegakan prinsip suara terbanyak ini sebagai konsekuensi dari asumsi dasar bahwa penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut tidaklah demokratis dan lebih mengutamakan kepentingan elite partai. Pengalaman Pemilu 2004 menunjukkan, mereka yang duduk di nomor urut 1 (satu) untuk DPR-RI misalnya kebanyakan yang mempunyai hubungan kepentingan dengan Ketua Umum atau Sekjen Partai tingkat Pusat. Bahkan, keputusan MK ini dinilai sebagai kemenangan rakyat, akan berdampak pada penyehatan iklim politik nasional karena telah mencerminkan keadilan dan demokrasi.

Juga, diperkirakan jika nomor urut masih diberlakukan, maka caleg yang akan bekerja mencari pemilih hanya mereka duduk di nomor urut kecil, terutama nomor urut 1 dan 2. Sementara caleg di nomor urut 3 dan seterusnya akan tidak berpartisipasi. Itulah sebabnya semangat pemberlakuan suara terbanyak dan keputusan MK tentang suara terbanyak mendapat dukungan luas dari kalangan bakal caleg dan kader partai berkepentingan untuk menjadi anggota legislatif melalui Pemilu 2009. Ketentuan nomor urut pada dasarnya merupakan penipuan terhadap rakyat. Caleg seharusnya terpilih berdasarkan suara terbanyak bisa dikalahkan hanya karena tidak berada di nomor urut satu.

Kebijakan PAN

Sesungguhnya PAN telah memiliki aturan tersendiri tentang Penentuan Calon Terpilih anggota DPR berdasarkan metode ”suara terbanyak” yang wajib ditaati dan dilaksanakan seluruh Calon Anggota Legislatif dari PAN. Bahkan menanggapi Keputusan MK tersebut, Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir menyebutnya sebagai kemenangan rakyat. Menurutnya, PAN selama ini memang memperjuangkan suara terbanyak. “Dengan suara terbanyak itulah peranan partai harus berbagi dengan caleg yang dipilih rakyat langsung. Ini demokrasi yang benar-benar adil,” tandasnya.

Sebelum Keputusan MK, sesungguhnya PAN melalui Kongres PAN 2005 di Semarang, telah mengamanatkan kebijakan suara terbanyak ini, diperkuat melalui Rapat kerja Nasional III di Surabaya 29-31 Mei 2008. PAN memutuskan metode ”suara terbanyak” menjadi ketentuan para Caleg PAN mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi hingga Nasional. Ketentuan utama tertera di dalam Anggaran Dasar PAN Bab X Pasal 21 ayat 5 berbunyi, anggota PAN yang menjadi anggota legislatif terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak dalam setiap tingkatan.

Ketentuan konstitusional ini ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan DPP PAN Nomor: PAN/A/Kpts/KUSJ/075/V/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Terpilih Berdasarkan Suara Terbanyak PAN pada Pemilu 2009. SK DPP PAN No. 075 ini dimaksudkan untuk memberikan arah dan petunjuk kepada pengurus dan kader partai yang mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan Tata Cara Penetapan Suara Terbanyak masing-masing Calon dalam satu Dapil.

Tindak lanjut Surat Keputusan DPP PAN tersebut yakni seluruh Calon Anggota Legislatif dari PAN telah menandatangani 2 (dua) Surat Pernyataan. 1. Surat Persetujuan Suara Terbanyak. 2. Surat Pernyataan Pengunduran Diri dan Ketidakbersediaan untuk Dilantik dan Disumpah sebagai Calon Terpilih Anggota DPR-RI Periode 2009-2014 Apabila Tidak Memperoleh Suara Terbanyak

Kebijakan ini menjadikan PAN sebagai ”Pelopor” penerapan metode suara terbanyak, dan perjuangan PAN mendapat hasil dengan dukungan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan penggunaan suara terbanyak dalam menentukan siapa yang akan duduk di kursi legislatif. Penggunaan metode suara terbanyak ini juga diperkuat oleh Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 Pasal 88 ayat 4 jo. Pasal 218 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Penggantian Calon Terpilih yang mempertimbangkan suara terbanyak peringkat berikutnya.


Respon Tokoh Masyarakat

Kebijakan suara terbanyak ini telah mempengaruhi bukan saja kader aktif partai, melainkan juga tokoh masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai Caleg dalam Pemilu 2009. Untuk Dapil Jabar XI (Kota dan Kabupaten Tasik Malaya dan Kab. Garut), berberapa tokoh masyarakat mendaftarkan diri sebagai caleg PAN, antara lain Eri Poernomo Hadi dan Tjetje Al Anshori. Kedua tokoh ini bukan saja tergolong tokoh lokal melainkan nasional.

Eri Poernomo Hadi adalah anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas). Sementara Tjetje Al Anshori saat itu adalah Dirjen Binapenta Depnakertrans. Karena berminat menjadi Caleg DPR-RI dari PAN, maka Tjetje mengajukan permohonan kepada Presiden RI untuk berhenti sebagai Dirjen Binaperta Depnakertrans. terhitung 1 September 2008, yang seharusnya masa jabatan tersebut akan berakhir 1 September 2011 (berdasarkan PP No. 65 Tahun 2008), telah mendapatkan hak pensiun sebagai PNS.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Penyelenggara Pemilu telah melaksanakan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD dan juga telah mengumumkan hasil perolehan suara tiap-tiap partai Peserta Pemilu. Berdasarkan Keputusan KPU No. 379/Kpts/KPU/ Tahun 2009 tentang Perubahan Keputusan KPU No.: 286/Kpts/ KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Calon Terpilih anggota DPR-RI dalam Pemilu 2009 tanggal 2 September 2009, KPU telah menetapkan jumlah kursi Anggota DPR terpilih yang diperoleh PAN adalah 46 (empat puluh enam) kursi.

Dari 46 (empat puluh enam) kursi PAN, 5 (lima) kursi diantaranya adalah hasil perhitungan tahap ke-3 yang merupakan penggabungan suara PAN dari semua Dapil di Propinsi bersangkutan. Kursi hasil perhitungan tahap ke-3 dimaksud yakni 1(satu) kursi di Kalimantan Selatan, 1 (satu) kursi NTT, 1 (satu) kursi Jawa Barat, 1 (satu) kursi DKI Jakarta dan 1 (satu) kursi Banten.

Khusus di Jabar, PAN meraih hanya 3 (tiga) kursi anggota DPR-RI; 1 kursi di Dapil Jabar IX hasil perhitungan tahap 1, 1 kursi di Dapil Jabar XI hasil perhitungan tahap 2, dan 1 kursi lain di Dapil Jabar X hasil kursi tahap 3 (gabungan suara PAN dari semua Dapil di Jabar).


Kasus Dapil Jabar XI

Kasus Dapil Jabar XI dapat mencerminkan pelaksanaan metode suara terbanyak di PAN yang tidak konsisten dan konsekuen, bahkan lebih mencerminkan perilaku nepotis. Perolehan suara anggota DPR-RI dari PAN di Dapil Jabar XI ini sebanyak 159.249 suara. Peringkat perolehan suara masing-masing Caleg sbb: Peringkat pertama, 24.950 suara, Eri Poernomo (No. Urut 11); peringkat kedua, 23.369 suara, Tjetje Al Anshori (No. Urut 5); peringkat ketiga, 20.096 suara, Rudy Sukendra Sindapati (No.Urut 1).

Sesuai Surat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) No. 611/Bawaslu/IX/2009 tanggal 9 September 2009, calon terpilih Anggota DPR-RI dengan peringkat suara terbanyak pertama mewakili Dapil Jabar XI atas nama Eri Poernomo Hadi dinyatakan tidak memenuhi syarat calon sebagai Anggota DPR-RI. Hal ini mengingat calon yang bersangkutan pada tahap pencalonan dan perbaikan syarat calon tidak menyampaikan surat pengunduran diri sebagai Anggota Komite BPH Migas yang tidak dapat ditarik kembali dan bukti surat keterangan dari Kepala BPH Migas yang menyatakan telah menerima permohonan pengunduran dirinya dan akan diteruskan proses pemberhentiannya oleh instansi BPH Migas. Surat Bawaslu itu sendiri terbit setelah adanya pengaduan dari Panwaslu Jawa Barat ke Panwaslu Pusat, yang menyatakan jika dirinya masih terdaftar di BPH Migas.

Berdasarkan hal ini, antara lain KPU tidak dapat menetapkan Eri Poernomo Hadi ini sebagai calon terpilih Anggota DPR-RI mewakili Dapil Jabar XI. Lebih jauh, KPU meminta DPP PAN untuk menyampaikan Surat Keputusan DPP PAN mengenai usul penggantian calon terpilih anggota DPR-RI atas nama Eri Poernomo Hadi mewakili Dapil Jabar XI yang ditandatangani oleh Ketum dan Sekjen. Akibatnya, Eri Poernomo gagal dilantik dan dicoret menjadi anggota DPR-RI.

Setelah Eri Poernomo Hadi didepak dari Caleg terpilih, lalu sebagai pengganti diajukan DPP PAN yang ditandatangani Sekjen dan Ketum, yakni caleg peraih peringkat suara terbanyak ketiga, Rudy Sukendra Sindapati (nomor urut 1). Sesuai dengan ketentuan, terutama SK DPP PAN No. 075 di atas, maka sebagai pengganti Eri Poernomo Hadi peraih peringkat suara terbanyak kesatu, seharusnya Tjetje Al Anshori, peraih peringkat suara terbanyak kedua, bukan peraih peringkat suara ketiga (Rudy Sukendra Sindapati).


Perlawanan Eri Poernomo Hadi

Eri Poernomo Hadi sendiri tak bisa menerima perlakuan pendepakan dari daftar caleg terpilih ini, kemudian melakukan “perlawanan”. Eri mengaku sudah melakukan proses pemilihan dan kemenangan sudah digenggamnya. Perlawanan pertama, Eri melayangkan gugatan ke KPU Pusat dan DPP PAN. “Gugatan yang saya lakukan hanya untuk mencari keadilan dan meminta kembali hak saya”, tegasnya. Lebih jauh Eri menilai, keputusan KPU dan DPP PAN sangat merugikannya yang sejak awal sudah jauh melangkah untuk meraih suara pada Pemilu legislatif lalu. Eri bahkan mengakui, pengunduran diri secara resmi sudah dilakukan pada saat mendaftarkan diri ke KPU sebagai calon anggoat DPR-RI. Surat tersebut sudah dianggap sah oleh ketua KPU Pusat Abdul Hafidz Anshari sehingga dirinya bisa mengikuti Pemilu.

“Saya sendiri kurang mengerti ada permainan apa sehingga nama saya dicoret dan digantikan oleh Caleg lain”, tandas Eri Sembari menekankan, padahal surat pengunduran diri sudah dia buat. “Apalagi BPH Migas itu bukan BUMN dan saya bukan PNS. Jelas itu permaianan”, lanjut Eri.

Perlawanan Eri kedua adalah melakukan pengajuan uji materiil UU No. 10/2008 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Eri memperkarakan, pasal 50 yang mengatur pengunduran diri pejabat Negara sebelum pencalegan. Pasal itu mensyaratkan, para bakal caleg wajib mengundurkan diri terlebih dahulu dari posisinya, sebagai pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota Kepolisian, pengurus pada BUMN dan atau BUMD, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara. Pasal ini dinilai merugikan Eri. Frase “pengurus badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara berlaku”, menurut Eri, tidak memiliki ukuran yang jelas.

Eri kemudian berharap, putusan MK dapat membatalkan frase ini surut sehingga bisa dilantik sebagai anggota DPR. Di lain fihak, Eri juga telah mengklaim, ia telah memenuhi semua persyaratan sebelum pencalegan. Sebagai bukti, Eri tunjukkan namanya yang tetap nongol di DCT (Daftar Caleg Tetap). Bahkan, lewat Surat KPU No. 49 yang diterbitkan pada 9 Januari 2009, KPU telah menetapkan dirinya menenuhi syarat pencalegan.



Tjetje Al Anshori sebagai Pengganti Eri

Jika Ketum dan Sekjen DPP PAN sungguh-sungguh obyektif dan mengacu pada semangat sosiologis kader PAN dan kebijakan suara terbanyak. Maka sebagai pengganti Eri Poernomo untuk menjadi anggota DPR-RI dari Dapil Jabar XI, bukanlah Rudy Sukendra Sindapati (peringkat ketiga), melainkan Tjetje Al Anshori (peringkat kedua). Ketum dan Sekjen sekalipun pernah ditolak KPU tetap saja mengajukan peraih suara ketiga sebagai pengganti Eri Poernomo , bagaikan cerminan perilaku nepotis. Salah satu bukti adalah Surat DPP PAN (Ditandatangani Ketum dan Sekjen) tertanggal 18 Juni 2009 dan 8 September 2005 ke KPU, yang mengusulkan Rudy Sukendra Sindapati (peringkat ketiga) untuk menggantikan Eri Poernomo Hadi. Namun, KPU menilai pergantian calon terpilih oleh Rudy Sukendra Sindapati usulan DPP PAN tidak memenuhi salah satu diantara syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 87 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 jo. Pasal 218 UU No. 10 Tahun 2008 dan penjalasannya. Singkat cerita, DPP PAN terus berupaya memperjuangkan Rudy sebagai pengganti Eri Poernomo Hadi dan pada gilirannya Rudy Sukendra Sindapati berhasil dilantik dilantik menjadi anggota DPR-RI tanggal 1 Oktober lalu.

Sementara Tjetje peraih peringkat suara terbanyak kedua yang seharusnya menggantikan Eri Poernomo Hadi telah diabaikan oleh DPP PAN. Karena itu, kasus ini memperkuat Ketum dan Sekjen DPP PAN tidak konsekuen menegakkan prinsip suara terbanyak. Padahal Ketua MPP DPP PAN, Amien Rais, bersikap berbeda dengan sikap DPP PAN ini. Amien menilai, Tjetje Al Anshori lebih layak untuk menggantikan Eri Poernomo karena meraih suara lebih banyak ketimbang Rudy. Hal ini terlihat dari kandungan Surat Amien ke KPU, meminta agar KPU sungguh-sungguh melaksanakan prinsip suara terbanyak dan mengingatkan agar kasus Tjetje ini tidak menjadi kasus hukum. Bahkan, menurut Tjetje, penetapan Rudy sebagai anggota DPR-RI dari PAN untuk Dapil Jabar XI adalah tdiak sah dan melawan hukum. Tjetje menuntut KPU harus segera membatalkan.


Perlawanan Tjetje Al Anshori.

Berbagai upaya baik secara tertulis maupun lisan telah dilakukan Tjetje untuk memperjuangkan haknya sebagai anggota DPR-RI mewakili Dapil Jabar XI dari PAN. Termasuk diantaranya berkonsultasi dengan Ketua MPP DPP PAN, Amien Rais, di Yogyakarta. Hasilnya, Amien Rais memberikan perhatian serius dan membuat Surat ke Pimpinan KPU (Jakarta) menyangkut terutama kasus penetapan caleg terpilih untuk kursi PAN di Dapil Jabar XI.

Pertama-tama perlawanan Tjeje Al Anshori adalah menulis surat ke DPP PAN tertanggal 18 September 2009. Surat tsb menegaskan setidaknya 4 hal. Pertama, diduga telah terjadi upaya pemaksanaan kehendak penetapan calon terpilih tanpa melalui system suara terbanyak jauh sebelum Eri Poernomo Hadi statusnya sebagai caleg tetap dibatalkan oleh Bawaslu/KPU.

Kedua, adanya inkonsistensi dalam penetapan suara terbanyak, Pasal 218 ayat 3 UU No. 10 tahun 2008 dan Surat Pernyataan Pengunduran Diri seluruh Caleg PAN yang akan digunakan PAN untuk proteksi penetapan suara terbanyak, ternyata diduga diselewengkan dengan digunakan berbalik sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan individu.

Ketiga, setelah Eri Poernomo Hadi satstusnya sebagai caleg tetap dibatalkan oleh Bawaslu/KPU dan dicoret dari daftar Calon Tetap sesuai surat Bawaslu No. 661/bawaslu/IX/2009 tanggal 9 September 2008, maka suara terbanyak berikutnya jatuh pada Tjetje Al Anshori, sesuai surat KPU ke DPP PAN No. 1460/KPU/IX/2009 tanggal 14 September 2009 point 4c.

Keempat, dengan surat usulan Penetapan anggota DPR Jabar XI Rudy Sukendra Sindapati, diduga sudah melanggar Amanat Konsres PAN 2005, Rapat Kerja Nasional III di Surabaya 29-31 Mei 2008, SK DPP PAN N0. 075 serta diduga tidak mempertimbangkan Keputusan MK tentang suara terbanyak dan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 Pasal 88 ayat 4 jo. Pasal 218 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Penggantian calon terpilih yang mempertimbangkan Suara tebanyak peringkat berikutnya.

Dalam Surat ini Tjetje menegaskan, beliau tidak pernah membuat pernyataan pengunduran diri sebagai calon Tetap Anggota DPR-RI dari PAN walaupun Rudy Sukendra Sindapati meminta untuk mundur dengan menyerahkan format suarat yang harus ditandatangani. Lebih jauh, Tjetje memohon ke DPP PAN kearifan dan kebijaksanaan untuk menarik kembali dan mengganti surat usulan penetapan anggoat DPR Jabar XI atas nama Ir. H. Rudy Sukendra Sindapati yang tidak mencerminkan suara terbanyak. Namun, DPP PAN tetap saja mengabaikan prinsip suara terbanyak dimaksud.

Perlawanan Tjetje Al Anshori berikutnya tertuang di dalam Surat ke Ketua KPU, beberapa hari menjelang pelantikan anggota DPR-RI, 1 Oktober 2009. Isi surat ini pada prinsipnya mempertegas, penetapan calon legislatif terpilih anggota DPR dari PAN untuk Dapil Jabar XI sebagai pengganti calon terpilih anggota DPR dari PAN untuk Dapil Jabar XI adalah tidak sah serta melawan hukum. Karena itu, Tjetje meminta, penetapan calon legislatif dimaksud harus segera dibatalkan.

Sekalipun telah muncul perlawanan baik dari Eri Poernomo Hadi maupun Tjetje Al Anshori tentang penetapan Rudy Sukendra Sindapati sebagai anggota DPR dari PAN untuk Dapil Jabar XI, Ketum dan Sekjen DPP PAN tetap saja tidak mengubah keputusan mereka. Kasus ini telah mencerminkan DPP PAN umumnya tidak konsekuen melaksanakan suara terbanyak. Sekalipun, di publik PAN terkesan sebagai ”pelopor” suara terbanyak di Indonesia.





Reaksi Kader PAN

Kasus Dapil Jabar XI, penetapan Rudy Sukendra Sindapati sebagai anggota DPR-RI dari Dapil Jabar XI, telah mengundang reaksi protes dari kalangan kader dan konstituen PAN. Sebagai misal, Ketua DPD PAN Kota Tasikmalaya, Budi Achdiat yang menggelar rapat bersama dengan seluruh DPC PAN. Mereka telah sepakat untuk melakukan gugatan internal ke DPP PAN terhadap AD/ART akan segera dilakukan.

Budi Achdiat menilai, DPP PAN telah melanggar ketentuan mengenai ketetapan suara terbanyak yang menetapkan Rudy Sukendra Sindapati (peraih suara terbanyak ketiga) sebagai pengganti Eri Poernomo Hadi (peraih suara terbanyak pertama) karena peraih suara terbanyak setelah Eri sesungguhnya Tjetje Al Anshori (peraih suara terbanyak kedua).

”Kami akan mempertanyakan mengenai suara terbanyak yang sejak awal didengungdengungkan tapi pada kenyataannya dilanggar. Juga masalah yang dihadapi Pak Eri menjadi gejolak di internal partai, dan kader pemilih pun menanyakan hal itu”, tegas Ketua DPD PAN Kota Tasikmalaya ini.

Suara protes terhadap kebijakan Ketum dan Sekjen DPP PAN juga muncul dari sekelompok Ketua PAC PAN (tingkat kecamatan), disebut kemudian sebagai Forum DPC PAN Kabupaten Garut. Mereka mendatangi DPP PAN dan juga rumah peribadi Ketum di Jakarta pada Rabu malam, 21 Oktober 2009. Jika di DPP PAN, mereka diterima dan berdialog di depan Rapat Harian. Sementara itu, di rumah peribadi Ketum, mereka tidak bisa berdialog dengan Ketum karena tidak bersedia berdialog sekalipun mereka sudah berjumpa Ketum di dalam rumah tsb.

Sebuah surat pernyataan kepada Ketum dan Sekjen DPP PAN, tertanggal 11 Oktober 2009, telah mereka sampaikan baik ke DPP PAN maupun ke rumah peribadi Ketum. Melalui Surat ini mereka menuntut agar DPP PAN konsekuen dengan komitmen awal dan tetap berpegang teguh kepada Platform PAN, Amanat Kongres PAN 2005 di Semarang, Rakornas III Mei 2008, SK DPP PAN No. 075 yang memutuskan penetapan calon anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak.

Sekompok Ketua PAC PAN ini juga mendesak DPP PAN agar mencabut penentuan anggota DPR atas nama Ir. H. Rudy Sekendra Sindapati (pemegang suara terbanyak ketiga) dan dialihkan kepafa yang berhak. Lebih jauh, menuntut agar mengangkat Drs. H. Tjetje Al Anshori (pemegang suara terbanyak kedua) menjadi anggota DPR-RI. Tjetje ditegaskan yang behak menggantikan Ir. H. Eri Poernomo Hadi (pemegang pertama yang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan oleh KPU) sesuai aturan partai yang dikuatkan oleh Keputsuan KPU.

Suara protes ini dibarengi dengan penegasan, bilamana tjntutan dan desakan ini tidak dikabulkan maka mereka merasa DPP PAN sudah tdiak layak lagi untuk diikuti karena merusak tatanan konstitusi. Karena itu, mereka akan mengajukan mosi tidak percaya dan tidak layak lagi diajukan sebagai bakal calon pengurus DPP PAN periode selanjutnya. ”Tidak menutup kemuingkanan kami akan menggugat Ketua Umum dan Sekjen DPP PAN melalui jalur hukum sesuai peraturan perudnang-undangan yang berlaku, ” tandas mereka.

Bagaimanapun, penentangan dan protes terhadap DPP PAN terkait dengan kasus Dapil Jabar XI ini akan berlanjut terus. Perilaku ini bisa diwarnai berbagai motip, tetapi yang penting terdapat motip perjuangan keadilan terutama bagi caleg yang merasa dirugikan karena penetapan Rudy Sukendra Sindapati sebagai anggota DPR-RI dari Dapil Jabar XI (NSEAS Team).



----