Sabtu, 14 Juni 2008

Reformasi dan Demokratisasi di Indonesia

Salah satu perubahan politik besar di Indonesia adalah munculnya kekuatan reformasi yang mendorong keruntuhan kekuasaan rezim Suharto, Mei 10 tahun silam (1978). Perubahan itu kemudian hingga kini dikenal sebagai era reformasi. Berbagai penilaian telah muncul atas perjalanan reformasi dan demokratisasi, dari penilaian paling ekstrim negatif hingga ekstrim positif. Tulisan ini mengajukan suatu penilaian perjalanan reformasi dan demokratisasi berdasarkan perbandingan realitas obyektif yang melingkupi kemunculan kekuatan reformasi dan kejatuhan kekuasaan rezim Suharto, kemudian kemajuan dan permasalahan yang dihadapi dan prospek ke depan.

Munculnya kekuatan reformasi sebagai lawan kekuatan Orde Baru rezim Suharto sesungguhnya merupakan reaksi dari realitas obyektif politik ekonomi saat itu.

Beberapa indikator dapat ditunjukkan sebagai realitas obyektif dimaksud. Di hampir semua kehidupan politik di tanah air terlalu dominan ditentukan lembaga kepresidenan (Istana). Sentralisasi kekuasaan demikian kuat berada di satu tangan sehingga tidak berlebihan mempunyai “one man show politics”, “semua kembali kepada Suharto”. Sistem pemilihan Presiden dan Wakil melalui perwakilan MPR; sebagian anggotanya diangkat oleh Presiden.

Kepartaian sebagai salah satu pilar demokrasi, telah sangat dibatasi. Melalui UU No. 3 Tahun 1975 ttg Parpol dan Golkar, rezim Suharto menyederhanakan jumlah partai menjadi hanya 3 partai: PPP, PDI dan Golkar. Secara formal partai banyak, tapi substansial partai tunggal, yakni Golkar sangat dominan dalam pengambilan keputusan publik. Pemilu tidak Jujur dan Adil (Jurdil), dan Pemerintah sangat memihak pada Golkar. Dalam 5 Pemilu (1997, 1982, 1987, 1992, 1997), pesertanya hanya PPP, PDI dan Golkar. Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI hanya pelengkap atau ”ornamen” semata.

Dalam hal kebebasan pers, rezim Suharto juga sangat membatasi. Acapkali terjadi Pemerintah melakukan penyensoran, pembredelan dan penghentian siaran terhadap media. Bahkan, kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat dan berkumpul acap kali mendapatkan pembatasan baik melalui kekerasan maupun administratif, terutama perizinan dari instansi militer yang sesungguhnya tidak memiliki kompetensi untuk urusan masyarakat madani. Juga penegakan HAM masih sangat rendah dan lembaga peradilan kurang independen.

Di bidang kelembagaan negara, tidak ada kesetaraan (equity) di antara lembaga tinggi negara. Peranan MPR tidak jelas sebagai lembaga legislatif. Rekruitmen politik serba tidak terbuka (tertutup), tidak ada penegakan prinsip meritokrasi. Birokrasi berfungsi sebagai “badan pelaksana” kebijakan yang diambil eksekutif. Tak jarang hanya untuk memperkuat posisi eksekutif. Kebijakan publik tidak transparan. Bahkan menurut Lembaga Riset Transparancy International (1995), saat itu Indonesia sudah berada di peringkat pertama negara terkorup di Dunia.

Realitas obyektif politik semacam ini berjalan dapat dibilang sekitar 30 tahun, yang berujung pada krisis keuangan dan ekonomi sehingga mempercepat kenaikan kekuatan reformasi untuk menjatuhnya kekuasaan rezim Suharto. Bersama mahasiswa, kekuatan kelas menengah dan Islam (reformasi), melakukan aksi-aksi politik untuk mendesak lembaga-lembaga negara mencabut dukungan terhadap rezim Suharto sekaligus meminta Suharto mundur dari jabatan Presiden.

Relitas obyektif di atas antara lain menggelombangkan kekutan reformasi untuk menuntut reformasi total politik, ekonomi maupun hukum. Di lain fihak, kekuatan mahasiswa reformis mengajukan tuntutan sekitar politik: 7 agenda reformasi, yakni 1. Amandemen UUD 1945; 2. Hapuskan KKN; 3. Adili Soeharto; 4. Hapuskan Dwifungsi ABRI; 5. Otonomi Daerah; 6. Penegakan Hukum; dan, 7. Pertanggungjawaban Orde Baru



Kemajuan Reformasai dan Demokratisasi

Setelah 10 tahun reformasi dan demokratisasi di Indonesia, sesungguhnya telah terdapat banyak kemajuan, sekalipun juga masih jauh dari harapan kalangan kaum reformis seperti telah banyak kita baca dan dengar dari penilaian mereka selama ini. Sebagai misal, hasil jajak Pendapat Litbang Kompas, 6-7 Mei 2008, dari 871 responden terdapat 21 % menilai sudah terpenuhi tuntutan reformasi dalam hal penegakan HAM, sementara 78,2 % menilai belum terpenuhi dan 0,8 % tidak tahu.
Salah satu kemajuan reformasi adalah amandemen UUD 1945. Sebagai hukum dasar dan tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, UUD 1945 telah mengalami perubahan sejak tahun 1999 hingga 2002. Perubahan konstitusi tsb telah mengubah paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengubah pula corak dan format kelembagan serta mekanisme hubungan antarlembaga negara yang ada. Perubahan UUD 1945 telah menghasilkan rumusan UUD jauh lebih kokoh menjadi hak konstitusional warga negara. Adanya Butir Perubahan Mendasar: dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi langsung. Pasal 6A UUD 1945, yang mengatur sistem pemilihan presiden dan wakil presiden yang tidak lagi melalui perwakilan MPR, tetapi langsung dipilih oleh rakyat melalui suatu proses pemilihan umum. Perubahan Konstitusi juga telah memasukkan Bab khusus tentang HAM, terdiri dari 10 pasal. Juga dalam Konstitusi hasil amandemen telah ditetapkan adanya Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Telah terbentuk DPD mewakili seluruh Daerah Propinsi di Indonesia.

Amandemen UUD 45 telah menggeser kekuasaan membuat UU yang sebelumnya pada pemerintah kepada kekuasaan legislatif DPR. Telah meningkat produktivitas pembuatan UU: era Suharto (1994-98) 61 UU BJ Habibie (1998-99) 75 UU; Abdurahman Wahid (1999-2001) 51 UU; Megawati (2001-04) 115 UU; da, SBY (20 okt 2004-Mei 2008) 97 UU

Kemajuan juga terlihat dari pembentukan Komisi Yudisial (KY). Komisi ini bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Bahkan, terdapat ketentuan radikal, yakni sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD untuk pengelolaan pendidikan nasional (pasal 31, ayat 4), dll.

Sebagai konsekuensi reformasi konstitusi, telah dibentuk Mahkamah Konstitusi yang sepanjang Orde Baru, tidak pernah ada lembaga kenegaraan semacam ini. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil Pemilu. MK telah bekerja, misalnya penyelesaian Sengketa Pilpres Tahap I (2004) dan Judicial Review UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Satu agenda lain mahasiswa, yakni penghapusan dwi fungsi ABRI. Tuntutan ini telah berhasil dipenuhi. Telah terjadi penghapusan dwifungsi ABRI antara lain melalui kebijakan reposisi TNI/Polri: pemotongan institusi TNI dari keterlibatan dalam politik pemerintahan; seluruh Anggota DPRD.DPR dan DPD dipilih rakyat pada Pemilu 2004.; pemisahan Polri dari TNI. Selanjutnya, telah terbit UU Pertahanan yang memperjelas fungsi TNI (meski masih diperlukan berbagai regulasi lain). Kini terus berkembang wacana publik untuk merumuskan gagasan mendasar berkenaan masalah keamanan (security) dan pertahanan, struktur TNI dll.

Hapuskan KKN sebagai tuntutan lain mahasiswa reformasi juga mendapat respons positif walaupun berlahan-lahan. Salah satu respons yakni MPR telah menerbitkan TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Juga telah dibentuk suatu lembaga untuk pemberantasan KKN semacam Komisi Pemberantasan KKN.

Kehidupan kepartaian juga sangat berubah dalam era reformasi ini. Berbagai regulasi telah dibuat untuk memenuhi tuntutan sistem kepartaian banyak. Sebagai pilar demokrasi, kepartaian telah diatur melalui UU Parpol No. 2 Tahun 1999 di bawah pemerintahan Habibie. Lebih 200 parpol telah terbentuk dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan 44 Parpol sebagai Peserta Pemilu 1999. Selanjutnya, UU Parpol No. 31 Tahun 2002 di bawah pemerintahan Mega-Hamzah telah memberi peluang/kesempatan pendirian sekitar 200 ratus parpol. Terdapat 24 partai politik sebagai peserta Pemilu anggota legislatif tahun 2004. Selanjutnya, UU Parpol tahun 2007 di bawah pemerintahan SBY-JK. lebih 50 parpol telah lolos verifikasi badan hukum Departemen Kehakiman & HAM Sebanyak lebih 60 parpol resmi mendaftar sebagai peserta Pemilu 2009 ke KPU (s/d hari penutupan pendaftaran, 12 Mei 2008). Diperkirakan peserta Pemilu 2009 lebih banyak (sekitar 40 partai) ketimbang Pemilu 2004 (24 partai).

Pelaksanaan Pemilu juga sangat berbeda di era reformasi, relatif jurdil (jujur dan adil). Dasar hukum semula dibuat adalah UU Pemilu No. 3 Tahun 1999, dibawah pemerintahan Habibie. Telah terlaksana Pemilu 1999 yang relatif lebih kompetitif (bersaing), adil dan jujur dan melibatkan banyak (48) Parpol. UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 mengkondirikan sistem pemilihan lebih terbuka ketimbang sebelumnya dan lebih detail ketentuan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pemilu.

UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden No. 23 Tahun 2003 sebagai tindak lanjut dari perubahan konstitusi Pasal 6 A UUD 1945. Dengan berbagai kelemahan dalam hal penegakan prinsip jujur dan adil (jurdil), pada tahun 2004 telah dilaksanakan Pemilu anggota legislatif tanpa terjadinya konflik menifest dan kekerasan. Pada 2004 telah dilaksanakan Pilpres secara langsung sesuai Pasal 6A UUD 1945. Telah dilaksanakan juga pemilihan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) secara langsung pada Pemilu 2004.

Di bawah rezim SBY-JK, telah terbit UU No. 10 Tahun 2008 ttg Pemilu DPR, DPD dan DPRD. UU ini telah menjadikan Pilkada sebagai rezim Pemilu. Salahsatu ketentuan penting UU ini mengenai parlemantry treshold (PT), yakni parpol peserta pemilu yang memperoleh suara sah kurang dari 2,5 % dari total suara sah, tidak akan dapat memproleh kursi di DPR. Namun, parpol bersangkutan masih bisa mengikuti Pemilu 2014 mendatang.
Otonomi daerah juga mengalami kemajuan sesuai dengan tuntutan mahasiswa. UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah memuat desentralisasi pemerintahan dan distribusi dana sampai ke tingkat Kabupaten/Kota. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menetapkan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat dan DPRD tidak memiliki wewenang lagi untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Penganti UU. No.22 Tahun 1999). Kini setidaknya telah dilaksanakan lebih seratus Pilkada Kabupaten/Kota dan lebh dua puluh Pilkada Propinsi, yang memberikan kedaulatan langsung ditangan rakyat tanpa diwakilkan.

Sebagai hasil judicial review UU No. 32 Tahun 2004, terutama menyangkut Pilkada sesuai dengan atas tiga permohonan hak uji materi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, MK memutuskan antara lain: partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD, tetapi memiliki 15 % suara dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu bisa mengajukan Pasangan Calon. MK juga telah memutuskan untuk diperkenankannya calon perorangan ikut sebagai peserta Pilkada. Diperkirakan sejak bulan Juni 2008, calon perorangan sudah boleh mengikuti Pilkada Kabupaten/Kota seperti akan dilaksanakan di Kabupaten Deli Serdang, Lagkat, Batubara, Tapanuli Utara, Padang Bolak, Padang Bolak Utara dan Dairi.


Kebebasan Pers dan Berserikat

Payung hukum untuk kebebasan pers telah diterbitkan segera setelah jatuhnya rezim Suharto, yakni UU Pers No. 40 Tahun 1999. Tidak boleh ada lagi penyensoran, pembre4delan dan penghentian siaran terhadap media oleh Pemerintah. Di bawah UU Pers initelah berdiri ratusan media massa cetak dan belasan media audio visual (TV) di seantero ini. Hal ini tak pernah terjadi di Indonesia. Juga telah terbentuk Dewan Pers dan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) sebagai kelompok kepentingan masyarakat madani dalam dunia pers dan penyiaran. Juga organisasi profesi wartawan tidak hanya PWI (tunggal), tetapi telah berdiri beragam organisasi profesi wartawan lain seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen).

Bebeasan berserikat juga mengalami kemajuan pesat. Beragam bentuk organisasi kemasyarakatan dan politik sebagai bagian mayarakat madani telah tumbuh berkembang dalam era reformasi, antara lain parpol, pers, perhimpunan, Ornop/LSM, Ormas, OKP, assosiasi kelompok kepentingan, penampungan keluhan warganegara (Ombudsman, Watch. Pengorganisasian masyarakat madani ini mrupakan proses demokratisasi dan komponen demokrasi. Telah terbit UU yg menjamin kebebasan dan memberikan ruang bagi warganegara baik secara individual maupun kelompok melakukan aksi politik dalam bentuk demonstrasi dan unjuk rasa kepada lembaga pemerintahan. Hampir setiap minggu kita menemukan berita adanya aksi demonstrasi atau protes missal baik terhadap pemerintahan maupun dunia usaha. Bahkan, telah berdiri Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai tindak lanjut UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Permasalahan Reformasi dan Demokratisasi
Kemajuan refrmasi dan reformasi juga diikuti masih banyak persoalan, antara lain belum adanya ketentuan referendum dalam UUD hasil Amandemen tentang kebijakan atau kelangsungan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu secara langsung oleh rakyat. Reformasi politik (pemerintahan) telah berjalan, namun masih penuh kendala sehingga terkesan tersendat-sendat. Transformasi kultural demokratis (kreatif dan inovatif) masih sangat lambat, bahkan masih terjadi transformasi kultural birokrasi feodal. Semakin terasa adanya fenomena konservatisme dan elitisme baik di tingkat legislatif maupun eksekutif dalam proses pengambilan keputusan, misalnya pembuatan UU tentang politik (Parpol dan Pemilu). Fenomena oligarkis dalam sisitem kepartaian, yakni partai-partai semakin menjadi birokrasi dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri sedangkan pejabat partai di luar dan di dalam parlemen semakin menjadi birokrat, secara terencana melepaskan diri dari konstituen yang diwakili (pemberi mandat).

Pilkada masih belum atau sulit berlangsung demokratis (penegakan prinsip partisipatif dan transparansi khususnya) karena sebagian besar penentuan calon pada Pilkada secara substansial tidak ditentukan partai sesuai tingkat Pilkada tersebut (misalnya, DPD untuk Kabupaten/Kota dan DPW untuk Propinsi), melainkan oleh para elite pusat partai, level lebih tinggi daripada DPD atau DPW. Proses penentuan calon secara kelembagaan tidak melalui tingkat paling bawah (Kelurahan/Desa atau Kecamatan) dalam bentuk misalnya konvensi atau pemilihan Bakal Calon oleh anggota partai atau pimpinan level Desa/Kelurahan berdasarkan penegakan prinsip partisipasi dan transparansi.

Hasil Survei Kemitraan (Mei 2008) berdasarkan responden di Aceh, Jakarta dan Yogyakarta ( 1.369 responden, 770 pengurus partai Pusat hingga Daerah (konstituen, nonpartai dan partai) menunjukkan bahwa proses pencalonan Pilkada sangat ditentukan oleh tingkat pusat, yakni 46,2% responden menilai Pengurus Pusat dan 14, 8% menilai Ketua umum. Sementara itu, hanya 32,6 % menilai ditentukan oleh Pengurus Daerah.

Sekalipun perangkat organisasi pelaksana Pilkada (KPUD) dan penunjang sukses lainnya telah siap, namun pelaksanaan Pilkada tidak akan benar-benar terbebas dari politik uang dan kecurangan sehingga masih belum demokratis. Posisi masyarakat sipil baik di pusat maupun di daerah masih relatif rendah sehingga fungsi kontrol terhadap pemerintahan belum efektif; partisipasi kelompok warganegara dalam politik dan ruang publik politik mengekspresikan politik warga masih rendah. Kebanyakan masyarakat merasa aspirasi mereka tidak terwakili oleh anggota DPR periode 2004-2009. Jajak Pendapat “Kompas” tentang Kinerja Anggota DPR 26-27 Juli 2006, misalnya, menunjukkan, sekitar 76 % responden memiliki citra negatif terhadap DPR, hanya 19, 1% menilai baik, sisanya 4,6 % tidak tahu. Selanjutnya, sekitar 80 % responden merasa aspirasi mereka tidak terwakili oleh anggota DPR. Belum dilaksanakan secara konsekuen ketentuan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 tentang sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD untuk pengelolaan pendidikan nasional.

Pada tahun 1998 Indonesia tergolong negara terkorup keenam, kemudian di posisi ketiga setelah Nigeria dan Kamerun. Selanjutnya pada tahun 2003 masih di posisi keenam terkorup se dunia. KKN tetap saja merajalela. Pemerintah belum juga mampu mengurangi secara berarti praktek KKN, padahal harus melaksanakan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Namun, dibandingkan era pemerintahan Soeharto (1995), kini Indonesia telah menunjukkan kemajuan, yakni dari negara terkorup (No.1) menurun menjadi negara korup keenam (No.6) di dunia.

Namun, Indonesia telah mengalami jenis korupsi super destruktif dan berskala negara, yaitu state capture corruption. Negara sendiri melakukan korupsi atau pemerintah yang sedang berkuasa menggadaikan pada kekuatan korporasi asing, misalnya melalui politik hukum, yakni pembuatan UU dan PP (Peraturan Pemerintah). Pemerintah Indonesia telah menjadi pelayanan kepentingan asing, yang diberi payung hukum dengan perundang-undangan dan berbagai keputusan politik. State capture corruption (korupsi sandera negara), yang paling berbahaya semakin menjulang. Sejauh ini Pemerintah tidak menunjukkan kemauan dan komitmen politik untuk memberantas korupsi sungguh-sungguh.

Pemulihan Ekonomi
Kalangan pengkritik reformasi mengkaitkan kondisi perekonomian masyarakat dengan perpolitikan reformasi dan demokratisasi sedang berjalan. Bagi mereka, reformasi dan demokratisasi tidak mampu memecahkan permasalahan perekonomian. Bahkan, kondisi merosotnya perekonomian dewasa ini karena reformasi dan demokratisasi. Juga, terdapat asumsi dasar yang keliru bahwa masyarakat Indonesia belum siap untuk demokrasi dinilai dari tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Padahal para elite nasional telah salah diagnosa dan salah obat dari IMF yang telah menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang krisis yang lebih dalam. Mereka sama sekali telah mengabaikan prinsip-prinsip Good Coorporate Governance (GCG). Kebijakan yang disarankan IMF justru telah menciptakan ketidakstabilian finansial dan kebangkrutan.

Dari politik ekonomi, keadaan semakin tidak bermartabat dapat dilihat dari indikator antara lain: kemiskinan & pengangguran; pendapatan perkapita; utang luar negeri; sumber daya alam; kehutanan & lingkungan hidup; industri & perdagangan (harga barang kebutuhan pokok); pertahanan. Indonesia semakin dalam menjadi subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional, yang jelas-jelas menguras habis-habisan kekayaan Indonesia. Korporatokrasi adalah sebuah jaringan ekonomi, keuangan, politik, militer, intelektual dan media masa yang dibangun oleh kekuatan-kekuatan kapitalis dan demokrasi liberal Barat. Kedaulatan nasional kita justru tergadaikan ke berbagai korporasi asing.

Gambaran kondisi kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat kini tak dapat dipungkiri. Jajak Pendapat Litbang Kompas (6-7 Mei 2008), 871 responden berdomisli di 11 kota, menunjukkan, 75 % responden menyatakan kondisi kesejahteraan mayarakat saat ini jauh lebih buruk dibanding 10 tahun lalu. Setiap 8 dari 10 responden juga menyatakan, kondisi perekonomian lebih buruk dibanding satu dekade lalu. Sebanyak 50,4 % responden menganggap reformasi telah gagal membawa perubahan positif di bidang perekonomian, dan 16,5 % menilai gagal memperbaiki kondisi sosial dan kesejahteraan.

Sesungguhnya Indonesia masih belum dapat keluar dari krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 (era Orde Baru). Pengangguran masih relatif besar dan belum dapat dikurangi secara berarti; sekitar 27 %. Bahkan diperkirakan, 40 % penduduk Indonesia masih tergolong miskin (versi Bank Dunia, minimal 2 $ US per hari pendapatan). Kini telah terjadi peningkatan kemiskinan yang drastis. Pengangguran juga semakin meningkat, bahkan kini penangguran dari kalangan terdidik telah meningkat: sekitar 800 ribu orang.

Sementara itu, harga barang kebutuhan pokok terus meningka ke tahun (2005, 2006, 2007. Sedangkan daya beli masyarakat masih belum terangkat. Harga barang kebutuhan pokok dari tahun), terus meningkat. Hasil jajak Pendapat Litbang Kompas, 6-7 Mei 2008, dari 871 responden terdapat hanya 4% menilai sudah terpenuhi tuntutan reformasi dalam hal harga kebutuhan pokok/sembako yang terjangkau (murah), sementara 95,5 % menilai belum terpenuhi dan 0,5 % menilai tidak tahu.

Harga barang kebutuhan pokok dari tahun ke tahun (2005, 2006, 2007) terus meningkat. Sementara daya beli masyarakat masih belum terangkat. Hasil jajak Pendapat Litbang Kompas, 6-7 Mei 2008, dari 871 responden terdapat hanya 4% menilai sudah terpenuhi tuntutan reformasi dalam hal harga kebutuhan pokok/sembako yang terjangkau (murah), sementara 95,5 % menilai belum terpenuhi dan 0,5 % menilai tidak tahu.

Kemiskinan dan pengangguran itu diperkuat lagi dengan utang luar negeri sudah sangat besar hingga nilainya hnyaris dengan PDB (2001-2005). Kewajiban pembayaran utang Indonesia dari tahun ke tahun telah menguras devisa. Bunga utang telah terakumulasi hingga menyita 1/3 pembayaran utang sehingga menjadi beban tersendiri. Dalam 20 thn terakhir, cicilan pokok dan bunga utang telah menyedot hampir ½ pengeluaran rutin dalam anggaran pembangunan. Untuk menutupi defisit APBN Rp. 73,4 triliyun (2007), Pemerintah SBY-JK telah mengeluarkan obligasi yang diperdagangkan. Negara asing telah memiliki obligasi dimaksud dalam setahun meningkat Rp.23,7 triliyun dari Rp. 54,9 triliyun akhir 2006 menjadi 78,6 triliyun pd Desa 2007. Sementara itu, belum juga dilaksanakan secara konsekuen Pasal 31, Ayat 4 UUD hasil Amandemen, yakni sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD untuk pengelolaan pendidikan nasional.

Politik Hukum Pro Perusahaan Asing
Pemerintah Indonesia kini pada dasarnya telah menjadi apa yang disebut sebagai ”broken government” atau “pemerintahan kucar kacir”. Pemerintah smacam ini berkarakteristik antar lain pecah koordinasi dan kepentingan rakyat banyak tidak terlayani, misalnya antrian minyak tanah, makan nasi aking dan raskin, listrik mati di Jawa dan luar Jawa, kenaikan harga BBM sampai lebih dari 100%, kondisi infrastruktur jalan parah penuh berlubang besar.

Indonesia masih mengalami krisis dalam penegakan hukum yang akut. Reformasi hukum masih tersendat-sendat. Belum terciptanya penegakan supremasi hukum yang merupakan bagian inttegral dari tuntutan reformasi harus dilaksanakan secara adil. Belum tuntas penyelesaian pelanggaran HAM di masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru) sehingga memberi beban bagi perjalanan bangsa kini dan esok. Juga hingga kini belum ada pelaksanaan dua agenda reformasi mahasiswa, yakni a) adili Soeharto dan b) pertanggungawaban Orde Baru.

Politik hukum (Pembuatan UU dan PP) semakin diarahkan untuk kepentingan korporasi/kapital/investasi asing, bukan nasional atau lokal seperti UU Migas, UU Privatisasi Air, UU Privatisasi BUMN, UU Penanaman Modal, UU Pelayaran, dll. Jajak Pendapat Litbang Kompas (6-7 Mei 2008), menunjukkan 19,7 % dari 871 responden menilai reformasi gagal menegakkan supremasi hukum. Dari politik hukum, sekalipun tidak semua, Pemerintah bekerjasama dengan DPR menerbitkan UU yang lebih menguntungkan kelompok korporasi/kapital/investasi asing. Telah terjadi apa yang disebut sebagai “State Capture Corruption” di Indonesia. Korupsi sudah pada skala negara, bukan lagi sekedar pegawai eksekutif. Jenis korupsi ini tergolong super destruktif, melibatkan bukan saja eksekutif, melainkan legislatif dan yudikatif

Akhirnya, dari sosial budaya, masih berlaku budaya kerja dan praktik kesenjangan sosial yang kian tajam antara kelompok kaya sangat minor dan miskin sangat mayor. Para pemegang kekuasaan negara masih bermental “inlander” bahkan “kuli” yang takut dan patuh thdp korporasi asing. Juga semakin meningkat dan meluas mentalitas keserakahan dan konsumerisme dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.


Prospek Reformasi dan Demokratisasi

Prospek reformasi dan demokratisasi akan terus berjalan namun jika mekanisme pelaksanaan Pilpres, Pemilu legislatif dan terutama Pilkada tetap mendorong pebiayaan tinggi (high cost), maka demokrasi tidak lagi memiliki prinsip partisipasi, emansipatoris/keadilan, akuntabilitas publik, supremasi hukum (rule of game), tetapi bahkan sangat diskriminatif. Posisi-posisi Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden dan juga legislatif hanya untuk atau sangat ditentukan oleh klas pemilik uang/dana atau klas atas. Akibatnya, reformasi dan demokratisasi bukan lagi pemberian mandat atau kedaulatan ke tangan rakyat, melainkan ke tangan pemilik uang/dana atau klas atas, bahkan asing.

Diprakirakan, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, yang menerapkan prinsip Parlementary Treshold (PT) 2,5% perolehan suara sah partai untuk dapat memiliki kursi di DPR-RI pada Pemilu 2009 , maka jumlah parpol semakin terbatas (sekitar 7 parpol) memiliki kekuasaan pemerintahan pusat. Kebanyakan masyarakat masih merasa anggota DPR tidak mewakili aspirasi mereka

Di lain fihak, martabat Indonesia semakin menurun baik dari aspek politik ekonomi, politik hukum dan sosial budaya. Peran kapital/modal dan korporasi asing semakin menguat; subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional semakin dalam. Pembuatan UU dan PP lebih mengutamakan kepentingan kapital/modal atau korporasi asing. Perilaku sosial budaya masyarakat semakin bermentalkan keserakahan dan “kuli asing”.

Bila Pemilu 2009 tidak berhasil menelorkan kepemimpinan nasional yang bisa memecahkan masalah mendasar Indonesia, yakni penjajahan ekonomi asing semakin luas dan mendalam, maka prospek Indonesia agaknya tidak mempunyai harapan untuk bangkit kembali dan kondisi multi-dimensional semakin terpuruk. Jenis state capture corruption menjadi semakin sistemik, melembaga, mengakar makin dalam, dan destruktif. Jika keadaan ini terus berlangsung, maka demokratisasi di Indonesia justru menurunkan martabat/harga diri Indonesia, yang pada gilirannya mendorong terjadinya “malapetaka” demokrasi, yakni “revolusi” atau “chaos”.